“Aku malu. Ingin rasanya bersembunyi di kolong meja. Di kelas kami ada 50 siswa, 47 orang berasal dari suku Hutu. Aku begitu cemas dan malu. Itulah pertama-kalinya aku merasa malu menjadi orang Tutsi.â€
Immaculée masih remaja saat monolog itu ia gumamkan dalam hati, di hari pertama, Oktober 1990. Di hari yang cerah itu, Pak Gahigi, seorang pengajar kewarganegaraan  Lycée de Notre Dame d’Afrique (salah satu SMA terbaik di Rwanda) yang terlambat, tiba di kelas dan tampak panik; baru saja tersiar kabar bahwa serangan pemberontak Tutsi telah berhasil melewati perbatasan. Serentetan pertanyaan yang diocehkannya seraya mondar-mandir membuat suasana pagi menjadi gempar dan tertawan. Seakan-akan sedang ia sampaikan materi kewarganegaraan dalam ketelanjangannya dan basa-basi nasionalisme yang sesungguhnya terbelah, “[...] Apa maunya orang-orang Tutsi itu? Mengapa mereka menyerang kita?†umbarnya sepenuh amarah.
Serangan itu merupakan episode lanjutan dari drama dendam lama. Di masa lampau, sebuah monarki di bawah kepemimpinan seorang Tutsi mampu menciptakan harmoni selama berabad-abad sebelum kemudian kolonial Belgia datang dan mempraktekkan sisi iblis dari politik; dengan menyokong para pembesar Tutsi yang merupakan etnis minoritas dengan menjadikan mereka jajaran aristokrat, atau klas penguasa. Belgialah yang pertama kali memperkenalkan kartu identitas etnis di Rwanda.
Namun saat orang-orang Tutsi mulai menuntut kemerdekaan, kolonial Belgia segera berpaling. Tahun 1959, mereka berbalik mendukung orang-orang Hutu mengadakan revolusi berdarah yang akhirnya sanggup menumbangkan monarki Tutsi. Kaum Tutsi tersingkir, sebagian mengungsi ke Uganda dan menetap di sana. 41 tahun kemudian mereka kembali; menyerang dari arah perbatasan demi merebut ibu kota Kigali, demi memiliki lagi tanah-airnya yang telah dirampas—setelah kudeta yang gagal di tahun 1973, ketika Immaculée yang baru berusia 3 tahun, digendong Sang Ibu dalam derap terbirit-birit menjauhi malam yang telah dipenuhi kobaran api.
Immaculée adalah seorang putri keluarga Katolik Tutsi yang taat dan amat dihormati di kampung Mataba, provinsi Kibuye. Masa kecilnya tidak mewarisi lanskap gersang yang seringkali kita identikan sebagai keseluruhan Afrika. Rumah Immaculée berdiri di atas bukit, di dekat danau Kivu. Bersama empat saudaranya, perempuan yang kelak bekerja untuk PBB itu, tumbuh dalam lingkungan damai dan hijau. Sang Ibu (Marie Rose Kankindi), pun Sang Ayah (Leonard Ukulikiyinkindi), sama berprofesi sebagai guru. Mereka tidak pernah memperkenalkan etnisitas dan sejarah kelam Rwanda pada anak-anaknya. Sampai suatu hari, Immaculée kecil terusir dari kelas sebab tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan bersuara keras dari gurunya, Buhoro. Ia berlari menuju halaman sekolah, lantas menangis di balik semak. Ketika makan malam, Immaculée menggugat Sang Ayah. Tak ada jawaban, kecuali garpu yang seketika diletakkan dan adegan makan yang tiba-tiba terhenti, “Besok aku akan bicara dengan Buhoro,†ujar Ayahnya, dengan amarah nampak lugas. “Tapi Ayah, apa sukuku?†kejar Immaculée, dan percakapan berakhir tanpa kejelasan.
Diskriminasi memang dilembagakan otoritas pemerintah sebagai reaksi “oportunis-cauvinis†paska kudeta 1973 melalui program terkenal: “keseimbangan etnisâ€â€”yang mencakup keseluruhan lini kehidupan rakyak Rwanda; dari sekolah, pembagian jatah pekerjaan, sampai pelayanan publik. Namun tujuan sesungguhnya dari rencana picik itu adalah menjaga sirkulasi kuasa politik tetap dalam kendali orang-orang Hutu dan tak terlepas pada tangan-tangan Tutsi. Meskipun “keseimbangan etnis†tersebut terus didengungkan sebagai keadilan yang mencerminkan susunan etnikal Rwanda; Tutsi 14%, Hutu 85%, dan Twa 1%—dalam kenyataannya tak demikian. Immacullée yang cerdas dan lulus dengan nilai terbaik kedua (pula temannya yang meraih nilai terbaik pertama) di sekolahnya, tak diterima di SMA Negeri karena keduanya seorang Tutsi; dan ia terpaksa meneruskan jenjang pendidikan ke sekolah swasta yang mahal dengan fasilitasnya yang jelek. Di tahun terakhir SMA-nya, ketika dalam sebuah tes beasiswa kecerdasan Immaculée tak terelakan lagi, barulah ia diterima di sekolah negeri.
Bermula di tahun tersebutlah perang saudara pecah di mana-mana dan semakin parah  pada tahun-tahun berikutnya. Pemberontak RPF (Front Patriotik Rwanda) yang kian mendekati Kigali kian menguatkan inisiatif pemerintah yang secara aktif melakukan mobilisasi massa besar-besaran; para kaum muda nan pengangguran—dengan iming-iming uang, alkohol, dan narkotik gratis, dikelola melalui gerakan pemusnahan etnis. Interawhamwe (nama gerakan itu) dengan segera meraih reputasi suram nan populer. Tugas mereka sangatlah gampang dan pasti: membunuh orang-orang Tutsi. Di jalan-jalan mereka meraja-lela, dengan gelimang aksesoris pisau besar, granat, atau amunisi lain sumbangan pemerintah; menyulap jalan-jalan Rwanda menjadi catwalk panjang, tempat bagi kebrutalan unjuk gigi.
Terlahir sebagai seorang Tutsi dan perempuan adalah kesialan berganda. Immaculée bersama Clementine, temannya sesama Tutsi, bahkan telah memutuskan suatu teknik penyelamatan diri jika mereka benar-benar terdesak: menyetrumkan tubuh pada kotak listrik bertegangan 1.500 volt yang tersimpan dalam bangunan tertutup di sekolahnya. Mereka sebenarnya cuma menghindari pemerkosaan massal dan menolak memuaskan aksi sadisme para Interawhamwe melalui sajian kematian yang bertele-tele. “Sungguh aneh berbicara tentang akhir hidup saat kami baru berusia 19 tahun,†tulis Immaculée, meskipun ia mengangguk setuju pada ajakan yang direncanakan Clementine.
Saat itu kehidupan asrama sekolah tak mampu membendung propaganda radio-radio yang dengan gegap-gempita menyulut amok-kebencian. Mereka mengatakan bahwa pemberontak Tutsi tinggal dalam hutan-hutan, berkawan dengan monyet, dan karena perangainya yang jahat, telah tumbuh tanduk di kepalanya; kemudian menutup siaran dengan menyebut orang-orang Tutsi sebagai kecoak yang harus dibasmi atau orang-orang Hutulah yang akan lebih dulu habis terbunuh. Banyak jalin persahabatan yang rusak hanya karena asal-usul kesukuan; dan berubah menjadi manifestasi permusuhan yang sulit dipercaya bisa juga menjadi kenyataan.
Pada akhir musim panas 1991, Immaculée secara ajaib diterima di universitas negeri di Butare. Suatu pencapaian yang tak ia sangka-sangka di tengah situasi perang yang terus bergejolak. Tahun 1993, saat dalam perjalanan menuju ke Kigali, untuk pertama kali, Immaculée bertemu secara langsung dengan 300 Interawhamwe. Mereka hadang laju lalu lintas; Immaculée menyaksikan seorang perempuan ditelanjangi, ditendang, dirampas perhiasannya. Dari sebingkai jendela bus, ia tahu tidak bisa melakukan apa-apa selain mulai menanam benih dendam dalam dadanya.
Satu bulan setelah kejadian tersebut, Presiden Habyarimana menandatangi kesepakan damai dengan pemberontak Tutsi di Tanzania. Namun salah seorang pembesar militer yang paling berpengaruh sekaligus pucuk pimpinan Interwhamwe, kolonel Theoneste Bogosara yang turut mendampingi presiden Habyarimana, protes keras lantas berjanji kembali ke Rwanda untuk menyiapkan akhir zaman; dan drama itulah yang sungguh-sungguh ia panggungkan di atas tanah Rwanda. Pesawat presiden ditembak jatuh dan Habyarimana meninggal. Rumor dengan cepat merebak; 20 keluarga Tutsi dilaporkan telah dibunuh sebagai pernyataan balas dendam atas kematian sang presiden. Orang-orang Hutu terus diprovokasi agar segera melakukan upaya serupa sebagai ganti atas impas. Siklus perekonomian lumpuh total dan keseharian Rwanda seketika monoton: hanya tentang “berburu†dan “bersembunyiâ€.
Selama berminggu-minggu, Immaculée bersama sejumlah perempuan Tutsi berdesak dalam kamar mandi di rumah pendeta Murinzi, seorang Hutu yang baik. Di sanalah, ia menunda kematian sampai dagingnya tipis dan duduknya kian tidak nyaman sebab tulang pantatnya menekan ke lantai. Tak boleh berisik, berkata-kata akan mengantar mereka kepada maut. Pendeta Murinzi bahkan merahasiakan keberadaan mereka dari keluarganya sendiri. Namun teriakan, percakapan, atau hura-hura Interwhamwe terus terdengar; dan dengan nalar inilah “Yang Tersisa Yang Bercerita†mengambil posisi sastrawinya. Mungkin, demi menangani subyektifitas sekaligus mempertahankan sisi yang emosional pula tak terjebak pada penyampaian yang cenderung mengeksploitasi kengerian. Tentu, sebab kisah seperti ini menjadi bacaan yang selamanya sensitif bagi rakyat Rwanda; seperti halnya Genosida ’65 di Indonesia. Immaculée (bersama Steve Erwin) menulisnya dalam kadar yang pas dan tak tendensius memihak posisi politis tertentu.
Dalam kamar mandi tersebutlah, momen-momen religius Immacullée menjadi sering. Keterpisahannya dengan seluruh anggota keluarga dan ancaman kematian atas dirinya (pula banyak orang Tutsi lainnya) membawa suasana gereja ke dalam toilet yang tiap pekan bertambah pengap dan bau; siklus menstruasi, makan dan buang air, tidur dan keram pada tulang, menjadi demikian melimpah memberinya rasa via dolorosa dalam semacam ketabahan jalan buntu. Selama 12-13 jam dalam sehari, waktu habis untuk berdo’a dan setiap hari pula yang datang hanya kabar buruk.
Keadaan semakin terasa tanpa harapan ketika terdengar kabar bahwa PBB dan Belgia menarik pasukannya. Amerika Serikat bahkan tidak mengakui bahwa sedang terjadi bencana pemusnahan etnis di Rwanda. Namun iman Immacullée tak jua goyah. Justru ia kian percaya bahwa Bunda Maria bersamanya—setelah sejumlah penggeledahan yang akhirnya gagal; terutama ketika ia tiba-tiba mendapat ide agar pendeta Murinzi menutup pintu kamar mandi dengan lemari.
Peristiwa-Peristiwa sejak Immaculée terkurung dalam kamar mandi—yang sebagian besar berupa suara bahasa semata-mata, sampai kesaksiannya sendiri dan detail cerita lisan tentang pembantaian; semulai sahabat sampai anggota keluarga (setelah pendeta Murinzi, karena pembantunya berkhianat demi imbalan uang, tak punya pilihan selain mengusir dengan santun dan berat hati sembilan perempuan yang disembunyikannya kemudian membiar mereka menempuh medan kematian menuju barak perlindungan pasukan Perancis di dekat danau Kivu; jarak yang cukup untuk menyaksikan bahwa kejahatan manusia bisa dan telah benar-benar melampaui imaginasi melalui sehampar pemandangan yang begitu ganas—meminjam Afrizal Malna—yang memberi mereka sepasang mata yang untuk pertamakalinya melihat kebenaran), adalah fragmen paling bernilai yang agaknya menggerakkan Immaculéé menulis buku ini; ditata dalam plot tak menyusahkan dan penuturan yang renyah. Dalam keadaan yang manusiawi, saya kira, pembaca akan turut merasakan di bagian mana kesedihan Immaculée mengental dan di bagian mana semestinya mata pembaca wajar bergetah.
Mungkin momen-momen religius dan keselamatan yang didapat Immaculée melalui bertaburan do’a, potongan ayat-ayat Al-Kitab, pula gumam-gumam kepasrahan, tak cukup menyakinkan bagi sebagian orang yang (bisa jadi) cenderung menganggapnya cuma kebetulan menguntungkan sebab memang berada di luar kendali atau kepastian subjek-manusia yang mengalami. Namun judul yang saya pilih, sungguhlah visi yang didambakan buku ini. Meskipun pemberontak RPF pada akhirnya berhasil menguasai Kigali dan Tutsi meredakan kemelut perang saudara dengan kemenangan, Immaculée tetaplah orang yang merugi; ia kehilangan seluruh anggota keluarganya kecuali kakak lelakinya, Aimable, yang ketika genosida berlangsung sedang bersekolah di Senegal. Mereka pun baru berjumpa setahun kemudian di penghujung 1995.
Beberapa minggu, setelah keseharian mulai kembali pulih dan otoritas politik sudah berganti, Immaculée mendapatkan kesempatan menemui Felicien, pembunuh Ibu dan kakak tertuanya. Dalam perjumpaan tersebutlah, ia menunjukkan dengan tentang apa sebenarnya “kegunaan agama bagi orang-orang kalahâ€. Mungkin Immaculée teringat pada “suara lain†yang pernah didengarnya ketika dadanya penuh sesak oleh dendam, “Jangan memanggil Tuhan, Immaculée [..] Dia tahu kamu pembohong. Kamu bohong tiap kali berdo’a pada-Nya mengatakan kalau kamu mencintai-Nya. Bagaimana bisa kamu mencintai Tuhan tetapi begitu membenci ciptaan-Nya?†Ketika Felicien—yang tampak mudah diberi sedikit tamparan, atau diludahi, atau dilubangi kedua telinganya dengan teriakan yang menghinakan, atau bahkan ditendang tulang hidungnya dan tak akan ada yang mencegahnya—begitu terjangkau di hadapannya, Immacullée memilih redam dan hanya mengatakan apa yang menurutnya perlu dan harus dikatakan, “Aku mengampunimu.†Kemudian pembunuh itu diseret dua tentara kembali ke dalam sel.
Perkataan Immaculée mengingatkan saya kepada ujaran Derrida, “mari memulai dari yang tidak mungkin†dan ujarannya yang lain saat ia turut angkat bicara menyangkut Apartheit, “gagasan memaafkan selalu tentang hal-hal yang tak termaafkanâ€. Melalui “Left To Tell; Yang Tersisa Yang Berceritaâ€, Immaculée tak hanya menyajikan buku yang dengan begitu baik dan tentu tak murahan dalam upayanya menularkan sebuah inspirasi pada pembaca. Namun, juga memperdengarkan “suara Mandela†dari tanah Rwanda. Terima kasih, Immaculée Illibagiza. Terima kasih![]