Serangan bom istisyhad (bom bunuh diri) yang dilakukan Nur Rohman di Markes Kepolisian Resort (Mapolres) Solo Manahan pada hari Selasa pekan kemarin sungguh menghebohkan. Kepolisian yang dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai sumber kejahatan dan kezaliman ditanggapi dengan sangat serius oleh Nur Rohman dengan melakukan bom istisyhad tersebut. Serangan ini, mengingatkan kita kepada serangan boemi hangoes yang dilakukan pedjoeang kemerdekaan di kota Bandung yang kemudian terkenal menjadi sebutan Bandung Lauan Api. Kala itu, pedjoeang kemerdekaan menghantamkan dirinya ke gudang senjata milik kompeni yang juga bisa dilihat sebagai aksi bom bunuh diri. Tentu oleh kacamata kompeni dan antek-anteknya.
Paling tidak ada dua pelajaran yang bisa diambil oleh penulis dalam serangan istisyhad tersebut. Pertama, agaknya, model-model serangan-serangan seperti ini sulit diprediksi oleh intelijen dan aparat kepolisian. Bagaimana tidak, meskiput telah terjadi penangkapan besar-besaran sepanjang Januari hingga Juni 2016. Kepolisian dan intelijen dirasa telah kecolongan, ntah pula siapa yang nyolong (mencuri). Pemerintah melalui polri mengklaim tidak kecolongan dengan melakukan penangkapan terduga teroris di Surabaya.
Penangkapan yang dilakukan dirasa tidak mampu mencegah aksi-aksi mengejutkan dari kelompok yang dicap sebagai teroris tersebut. Entah, gw harus berbangga ataupun bersedih dengan cap dari kepolisian yang bagi sebagian masyarakat kita juga beranggapan tak lebih jahat dari seorang teroris. Toh bagi polisi dan densus, kodok dan anjing matipun gw bakal disalahkan. Koq bisa? ntar gw jelasin selanjutnya.Â
Kedua, agaknya serangan-serangan ini merupakan buntut dari sebuah sebab yang harus diselesaikan secara fundamental. Tiada asap bila tidak ada api. Tidak ada bakwan bila tak ada udang. Maka solusi yang harus dipertengahkan harusnya solusi yang tuntas yang harus tidak menimbulkan solusi lain. Bagaimana solusinya? insha Allah pada tulisan berikutnya gw paparkan solusi tersebut.
Aksi-aksi penangkapan, dan penghakiman jalanan (judicial street) seolah menjadi sebab. Korbannya pun tak tanggung-tanggung. Hampir 150 orang menjadi korban hakim jalanan ala koboi yang dilakukan oleh detasemen densus 88. Secara logika, densus yang melakukan operasi penangkapan dengan 10 personil atau lebih aparat kepolisian terhadap satu atau dua orang teroris yang terikat rapat, tertutup matanya, dan tidak berdaya melawan petugas yang berotot kekar tersebut. Apakah teroris tersebut bisa melawan dan mengancam jiwa petugas, sehingga teroris harus dihabisi? Sayang sekali Siyono telah tewas terbunuh. Mungkin hanya galileo yang bisa menjawabnya. Bukan anggota DPR yang cukup sekedar puas menyampaikan apresiasi masyarakat dan mendapat jawaban diplomatis dari Tito Karnavian. Toh proyek revisi UU Terorisme tetap berjalan dengan target 3 bulan lagi selesai.
Lalu bagaimana hubungannya Bom Mapolresta Solo ini dengan kemacetan yang terjadi di Brebes? mari kita tanya galileo.Â
Apa yang terjadi di Mapolresta Surakarta pada hakikatnya adalah konflik 'pribadi' antara teroris dan aparat kepolisian. Sehingga langsung atau tidak langsung, suka atau tidak suka, masyarakat pada akhirnya akan memahami bahwasanya target dari teroris adalah kepolisian. Saya tidak mau menyebutkan bahwasanya ini adalah kepentingan politik semata terkait rebutan proyek terorisme TNI dan Polri. Ataupun anggaran BIN yang lemah dan dianggap tidak berjalan, sehingga Sutiyoso cukup ketar-ketir 'dilirik-lirik' oleh Jokowi.Â
Maupun kepentingan jabatan dengan naiknya Tito Karnavian menjadi Kapolri. Maupun kepentingan asing atas menguatnya kekuatan China di Laut China Selatan, Laut Pasifik, dan Laut Hindia. Terlebih dibangunnya pangkalan baru militer China di selatan perairan Yaman. Apalagi uji coba rudal jelajah baru milik Korea Utara. Dan rudal Korsel yang menewaskan nelayan-nelayan China.
Akan tetapi, menengok dari kemacetan Brebes yang mengakibatkan 11 pemudik meninggal karena kelelahan menjadi catatan tersendiri bagi warga masyarakat Indonesia, akan tanggung jawab dan motto yang diemban oleh aparat kepolisian, yaitu mengayomi dan melayani masyarakat.
Meskipun kemacetan Brebes secara umum tidak menjadi beban dan tanggung jawab aparat kepolisian, karena banyak instansi dan pejabat yang bertanggung jawab didalamnya. Akan tetapi secara khusus, aparat kepolisian khususnya kepolisian lalu lintas memiliki tanggung jawab secara khusus untuk mengatasi kemacetan di jalanan.Â
Seperti yang kita ketahui, bahwasanya kepolisian lalu lintas selama ramadhan lebih terfokus dalam penanganan aksi-aksi terorisme yang kemudian membekali dirinya dengan 2000 rompi anti peluru. Namun melupakan kewajiban utama mereka dalam mengatur lalu-lintas dan jalan raya. Â Kepolisian khususnya kepolisian lalu lintas telah berubah menjadi detasemen khusus anti teror 88 yang bersiap siaga mengantisipasi serangan terorisme. Unit-unit kepolisian secara umum berubah menjadi densus-densus yang memfokuskan diri kepada serangan terorisme yang hanya menelan korban jiwa 3 aparat kepolisian, dan 2 orang aparat kepolisian terluka parah dan ringan. Dibandingkan dengan kematian para pemudik karena kelelahan yang diakibatkan oleh kemacetan Brebes yang mencapai 11 orang masyarakat sipil, tentu angka tersebut jauh dari tugas dan amanah utama kepolisian. Yaitu, bukan menangkap teroris...Â