Modus Anomali; Di Dalam yang Tak Nampak

13 Jul 2016 19:54 5003 Hits 1 Comments
Bila anda menyukai film sebab quotes menggugah—atau edukatif—yang diucap para tokohnya, The Robber (2010) barangkali bukan tontonan yang pas; hampir tidak ada dialog memikat di dalamnya. Johann Rettenberger, tokoh sentral dalam film tersebut, adalah sosok yang cenderung pendiam. Sepanjang 1 jam 36 menit, The Robber cuma menyajikan dua jenis adegan: berbuat jahat lalu melarikan diri, dan selebihnya serpih variasi penunjang—yang hampir semuanya diperlukan untuk memberi kelengkapan detail bio-pic dan menyelamatkan film ini dari banalitas sebuah thriller.

Mereka tinggal serumah tetapi menempati kamar yang berlainan. Suatu malam, setelah sekian kebiasaan tidur seranjang yang tidak diadegankan, Johann mendapati Erika hilang dari sisinya. Segera ia menuju kamarnya sendiri—duga dan kekhawatirannya tak meleset, perempuan itu memang telah di sana; terduduk di lantai dalam gelagat lunglai, memakai topeng (yang biasa dipakai Johann untuk melancarkan aksi perampokan bank), dan hasil rampokan berantakan di luar kolong ranjang. “Apa itu penting bagi hidupmu, hanya sedikit uang?” ujar Erika, dengan nada bicara khas seorang kekasih yang dikecewakan. Wanita itu memuaskan curiga, lantas membongkar rahasia. Johann lekas menimpalinya, dengan kejengkelan tak bertenaga khas seorang yang lelah dan tak terpahami, “Apa yang aku lakukan, tidak ada hubungannya dengan apa yang kau sebut kehidupan.”

***

Johann memiliki raut yang monoton; mewarisi hasil tempaan hidup yang keras, tanpa kemahiran berbasa-basi. Ia tidak menguasai fleksibilitas-ekspresi khas dekorasi relasi sosial yang stabil. Kerutan di wajahnya tampak dirawat kecemasan. Pada dua momen saja, tokoh yang diambil dari sebuah kisah nyata ini, membuat sumringah kecil; untuk membalas tatapan bocah di dalam bus dan ketika bertemu Erika—gadis dari masalalu yang kini telah menjadi matang. Johann adalah sebuah pose, kebekuan seorang lelaki penanggung belenggu.

The Robber tak membenahi “kemisteriusan” itu; dan justru membiarkannya menjadi yang enigmatik hingga maut merenggut karir sang perampok: adegan berakhir di tepi jalan raya, dalam sebuah drama kematian yang dingin. Kehidupan Sang Rettenberger  terparkir di selepas jauh, di tengah kabut, diiringi tata bunyi yang memukau dan amat membekas. Di detik-detik itulah, untuk kali-pertama, ia pertontonkan sebentuk gairah natural yang terlambat, dari diri yang terlanjur terpencil: bercakap dengan seseorang.

Bila anda menyukai film sebab quotes menggugah—atau edukatif—yang diucap para tokohnya, The Robber (2010) barangkali bukan tontonan yang pas; hampir tidak ada dialog memikat di dalamnya. Johann Rettenberger, tokoh sentral dalam film tersebut, adalah sosok yang cenderung pendiam. Sepanjang 1 jam 36 menit, The Robber cuma menyajikan dua jenis adegan: berbuat jahat lalu melarikan diri, dan selebihnya serpih variasi penunjang—yang hampir semuanya diperlukan untuk memberi kelengkapan detail bio-pic dan menyelamatkan film ini dari banalitas sebuah thriller.

Tetapi film adaptasi dari novel Martin Prinz ini, sebenarnya cukup jenius; sebab telah memilih strategi narasi yang tepat dengan tidak menampilkan kejelasan sosok Johann secara penuh. Di sanalah, yang biasa kita sebut sebagai perspektif-lain— “the others” side—dari film yang sempat ternominasikan (Golden Bear) pada gelaran 60th Berlin International Film Festival, pula memenangkan 5 kategori dari 11 nominasi yang dia raih dalam berbagai festival film lainnya, justru terasa hadir. Meski samar, kehadiran itu berpotensi menguat melalui kejelian mata penonton. Hampir keseluruhan adegan berisi serentetan peristiwa perampokan yang mempergunakan Johann sebagai pelaku-tunggal, penjahat soliterian yang terus diburu dan merepotkan polisi. Kemisteriusan yang tertanam pada raut dan gelagatnya secara wajar membangkitkan empati. Seolah memberi pengertian bahwa ada yang keliru dari cara-cara kita memahami “penjahat” dan “kejahatan”. Gerak alur yang tak tergesa, pula tata ilustrasi bunyi yang sublim—bahkan ketika adegan perampokan berlangsung—membuat kemisteriusan itu tersaji sebagai kepekatan emosi yang terjaga. Sebab sederet faktor tersebutlah, The Robber memberikan rasa yang eksistensial dari pengertian “Apa itu menonton dan apa itu tontonan?” yang sayang bila tak anda dapatkan.

Film besutan Benjamin Heinsenb ini, meski diangkat dari sebuah novel, sebenarnya lebih menyerupai pengkayaan atas sebentuk cerita pendek; tokoh Johann menguasai hampir keseluruhan plot, sementara tokoh-tokoh lainnya tidak mendapat cukup durasi untuk memeristiwakan karakternya. Bahkan Erika, sosok terpenting kedua dalam The Robber, belumlah sempat memperlihatkan karakter yang kuat. Film ini memang tidak menawarkan klimaks dari kompleksitas, melainkan mewarisi semacam tradisi-kreatif dari tipikal film pendek; dan pewarisan itu konfirmatif melalui karir Sang Sutradara.

Film ini mengawali percakapan dalam adegan pembekalan pada suatu petang; sederet nasihat menguap. Keesokan-paginya, Johann menerima pembebasan bersyarat—dan sebelum sempat membaringi ranjangnya di luar penjara, di tempat tinggal yang baru, ia telah melakukan pencurian mobil, lalu melancarkan aksi perampokan bank. Tetapi, orang-orang kemudian mengenalnya sebagai pendatang baru: seorang pelari maraton yang tangguh dan mengejutkan. Tak begitu jelas; antara maraton dan kejatahan yang dia kerjakan, mana sesungguhnya yang berfungsi sebagai kedok. Kedua hal tersebut, meski saling menafsirkan, tidaklah seperti keterhubungan yang saling menikam.

Suatu pagi, Johann mengunjungi semacam kantor informasi lowongan kerja; dan tak sengaja ia bertemu Erika—yang bersamanya, di kemudian adegan, akan dia buat dua peristiwa sejenis, berulang. Satu mukadimah persetubuhan yang cukup menggiurkan, canggung, dan tanpa kata-kata—yang dalam keberulangannya, adegan percintaan itu berubah hambar. Kedua persetubuhan itu cuma meneguhkan; betapa di dalam jalinan cinta, atau keberpilinan relasi sosial dalam berbagai variannya, atau dalam menjalani hidup itu sendiri, sungguhlah dibutuhkan sebentuk keterbukaan. Johann tak sanggup mendapatkannya; dan sebab kriteria inilah, ia mendapat intensitas sebagai tokoh yang memang layak difilmkan.

Johann Rettenberger sebenarnya jelmaan dari sesosok Johann Kastenberger di dalam kehidupan nyata; seorang pelari kelahiran 1 Oktober 1958 asal Austria. Dan mungkin terbantu latar belakang itu, salah satu scene terbaik dalam film ini tertampilkan ketika ia mengikuti kejuaraan maraton terakhirnya sebelum jadi buruan yang harus berhasil ditangkap; Johann membunuh seorang anggota kepolisian yang bertugas mengawasi pembebasan bersyaratnya dengan dua pukulan menggunakan piala kemenangan yang baru saja didapatkannya. Pemilihan latar, dan pemakaian single-shoot—style kamera yang terdaya-guna dengan luar biasa dalam Revenant (2015)—pula terbantu iringan seriosa, sukses menampilkan kesan keterpendaman perasaan yang cukup lembab; dan tentu saja, ada semacam “gelagat lain dalam yang tak nampak”. Johann, seakan-akan senantiasa bersuara—meminjam lirik Creep-Radiohead, “I don’t belong here...”

Beberapa scene lain juga menarik dan sejumlah adegan patut dicatat. Misalnya, ketika Johann mendapat tepuk tangan di garis finish; kejadian itu seolah-olah mengantarkan saya pada hal-hal lain yang tidak terduga. Selain kejengkelan atas uforia kemanusiaan yang kerap luput menakar “sudut pandang pelaku” dan belaka memandang kejahatan bukan sebagai deret peristiwa determinatif dari semerawutnya tata kehidupan sehari-hari, saya terlempar kepada Prenjak—film pendek pertama produksi Indonesia yang sukses memenangi Leica Cine Discovery Prize di Semaine de la Critique, Festival De Cannes 2016; apakah histeria “sok-nasiolnalis” itu masih akan tanpa pro-kontra saat mereka ketahui bahwa film tersebut, konon, lugas menampilkan kelamin? Atau ketika Johann kabur dari kantor polisi setelah tersergap aparat di apartmen Erika, kemudian terjebak dalam operasi pengejaran semalam suntuk; tetapi mendapat keberuntungan melolos diri, dan selepas keberuntungan itu, ia justru menjemput kematiannya sendiri melalui sebuah kejadian yang sepele.

The Robber memang bergerak dari kelindan aksi kejahatan; curi mobil, merampok bank, lantas melarikan diri—yang berulang. Tetapi dalam move-scene yang terancam kemonotonan itulah, nampak mencolok dua hal: konsistensi menjaga kemisteriusan protagonisme melalui adegan-adegan antagonis, pula tidak tergoda untuk mengemas “crime” dalam permainan atraksi atau kecepatan melalui editing sinematiknya. Meski memilih dunia interior Johann sebagai perspektif dominan, film ini tidaklah terkesan mengkontaminasinya dengan upaya pembelaan, pun tendesi penghakiman. Sejumlah pertimbangan yang bagi saya tahu diri demi terjangkaunya kewajaran based of true story hingga akhir durasi.

The Robber juga mengingatkan saya pada film besutan Joko Anwar, Modus Anomali (2012)—tanpa kebutuhan memakai “logika-mimpi” pula penggunaan latar dis-lokasi; tentu, The Robber tergarap jauh lebih matang. Betapapun,  Johann  adalah tokoh yang mengidap modus anomali tersebut; dan Andreas Lust memerankannya dengan cukup kuat, seperti yang juga ditampilkannya melalui peran .

Keanehan sosok seperti Johann-lah yang dalam bahasa Jawa kerap disebut memiliki “ciri” (cacat)—yang tak nampak; yang ketika diletakan pada “konteks-politis” dalam kontestasi perebutan ruang kehidupan bersama tersingkir sebagai “Liyan”. Ialah yang sesungguhnya cuma tertimpa sial nasib; menjadi jahat tanpa bermaksud berbuat jahat. Seseorang yang sesungguhnya tak mampu lagi ditangani ketersediaan pranata moral. Dalam puisinya, Chairil Anwar menamai keabadian situasi diri yang diemban seorang semacam Rettenberger tersebut sebagai “kesunyian masing-masing”. Tanpa lelucon. Tak terpahami! Di sekitarnya, gagasan kemanusiaan kita mendapat medan pergulatan untuk menangani kebutaan hukum formal dan me-“jamas” keberkalaan ide keadilan; melampaui mantera-mentah yang diumbar-umbar Jokowi, “Kerja! Kerja! Kerja!”[]

Tags

About The Author

Halim Bahriz 21
Novice

Halim Bahriz

Penulis lepas; menulis esai, puisi, cerita pendek, naskah drama, dll; menyukai sastra dan seni pertunjukan. Penggemar film baik. Pengendali laman www.awalpekan.blogspot.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel