Lebaran, Puncak Kemuliaan Ayam Kampung

6 Jul 2016 01:30 5116 Hits 2 Comments

Sulit mengingkari keberadaan ayam kampung di sekitar masyarakat pedesaan. Ayam kampung yang sukanya buang hajat di mana-mana, pada musim lebaran, menduduki tempat paling mulia di hati rakyat kampung. Mungkin tidak semua orang kampung di negara ini memposisikan ayam kampung pada derajat yang sama, namun di Madura pedesaan, ayam kampung sungguh mulia. Selamanya.

Sulit mengingkari keberadaan ayam kampung di sekitar masyarakat pedesaan. Ayam kampung yang sukanya buang hajat di mana-mana, pada musim lebaran menduduki tempat paling mulia di hati rakyat kampung. Mungkin tidak semua orang kampung di negara ini memposisikan ayam kampung pada derajat yang sama, namun di Madura pedesaan, ayam kampung sungguh mulia. Selamanya.

Sebagaimana bertahun-tahun yang telah lewat, lebaran kali ini, beratus-ratus ribu—bahkan mungkin berjuta-juta—ekor ayam kampung berbondong-bondong menduduki singgasana kemuliaannya di hadapan rakyat Madura. Mereka disembelih dengan harapan, mereka dimasak dengan keagungan, dan mereka dihidangkan dengan kehangatan.  

Di Madura pedesaan, menyembelih ayam kampung bukan semata hanya untuk memenuhi tuntutan lidah. Lebih dari itu, menyembelih ayam kampung adalah tuntunan kebudayaan Madura. Madura dan seperangkat budayanya, meniscayakan ayam kampung sebagai hewan paling mulia yang akan selalu hadir di hari-hari yang juga mulia.

Bisa dipastikan, di hari-hari yang disandarkan pada waktu (hari-hari besar Islam) dan peristiswa (siklus kehidupan: lahir, menikah, dan meninggal), ayam kampung hadir di panci, wajan, piring, dan di bibir orang Madura. Di luar hari-hari penting itu, ayam kampung nyaris tak disembelih. Di hari-hari biasa, lauk orang Madura bukan ayam kampung. Ayam kampung terlalu istimewa untuk disantap di hari-hari tanpa momen besar.

Kedudukan ayam kampung itu, gayung bersambut dengan hari paling mulia di dalam Islam, yakni dua hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha. Bila kedua hari raya itu tiba, ayam kampung yang dipelihara oleh rakyat Madura pedesaan diburu sebelum akhirnya takluk di tangan para ayah dan bertetuk-sayap di tangan para ibu.

Sedangkan anak-anak, nonton saja proses penyembelihan ayam kampung. Mereka nonton dengan perasaan tak sabar untuk segara mengeksekusi si ayam kampung lewat gigi-gigi susunya. Tak ketinggalan, selama proses menyembelih hingga dihidangkan, para kucing kampung selalu mengintip dengan harapan ada tulang dan daging ayam kampung yang bisa dikemul-kemul sambil menggerak-gerakkan ekor. Sementara laki-laki yang menuliskan ini, tepat di malam lebaran, diam-diam mengecap-ngecapkan bibir dan asirut-asirut alias baru saja menggigit dada ayam kampung, ha-ha.

 

Ayam Kampung dan Islam Madura

Tanpa ayam kampung, barangkali hari-hari besar Islam di Madura akan sepi-sepi saja. Di hari-hari itu, tanpa ayam kampung, dapur ibu-ibu Madura hanya akan mengeluarkan asap dengan enggan-engganan. Tapi dengan adanya ayam kampung, asap-asap dapur di seluruh pedesaaan Madura mengepul, menebal, dan menari-nari di langit Madura. Hanya asap kebakaran hutan Kalimantan saja yang bisa menandingi banyaknya asap dapur orang Madura saat hari-hari besar Islam tiba, terutama saat lebaran.

Karena itu, wajar belaka ketika hari puasa terakhir saat para ibu pedesaan Madura saling bertegur sapa, yang mereka saling perbincangkan adalah seputar ayam kampung. Di hari itu, ayam kampung menjadi gosip hangat para ibu-ibu Madura: ayam si itu gemuk, ayam si ini langsing, ayam si dia sulit ditangkap (silakan cari sendiri kalau tiga bahan gosip ayam kampung ini kurang bayak, ho-ho).

Wajar pula, saat buka puasa terakhir, seluruh keluarga Madura pedesaan berbuka dengan lauk ayam kampung. Serta, di hari puasa terakhir hingga malam hari, orang Madura akan hilir mudik berbagi menu ayam kampung yang diantarkan oleh menantu (perempuan) pada mertuanya (keluarga suami). Esoknya, di hari lebaran 1 Syawal, hidangan dengan menu ayam kampung itu akan dihidangkan pada sanak famili yang datang bersilaturahmi.

Dengan demikian, salah satu ciri khas Islam Madura di antaranya identik dengan ayam kampung. Melalui ayam kampung, Islam di Madura menjadi nyata sebagai agama yang univesal di mana tradisi dan agama berakulturasi untuk kemudian Islam menjadi membumi tanpa kehilangan nilai-nilainya. Islam yang membawa semangat persaudaraan, di tangan orang Madura termanifestasikan lewat ayam kampung sebagai wujud berbagi, merayakan, dan menyemarkan semangat keberagamaan Islam.

Pada titik itu, peran ayam kampung bagi orang Madura tak ubahnya peran unta bagi orang Arab pada zaman Baginda Rasul Saw. Jika pada masa itu unta dikendarai untuk bersilaturahmi, maka ayam kampung oleh orang Madura disembelih untuk pula memanjangkan tali persaudaraan itu. Unta dikendarai dan ayam kampung disembelih. Meskipun kedua bangsa hewan ini dimanfaatkan dengan cara berbeda (yah, unta juga sebenarnya disembelih), pada hakikatnya peran keduanya sama: menyatukan jarak. Dengan unta kaum muslimin jazirah Arab zaman dulu menyambungkan persaudaraan dan dengan ayam kampung orang Madura menyambungkan hal serupa.

Lagi pula, mana mungkin orang Madura menyembelih unta?

 

Pajagungan, 05 Juli 2016

*foto: www.artikel.web.id

Tags

About The Author

RACHEM McADAMS 26
Novice

RACHEM McADAMS

penyuka prosa & kucing | sesekali menulis cerpen & novelette
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel