Tito Karnavian Dimata Seorang Teroris

26 Jun 2016 17:40 7670 Hits 2 Comments Approved by Plimbi
character reading seorang calon kapolri dari kacamata seorang teroris. Dengan penuh rasa cinta...

Jarum jam menunjukkan waktu 10.10 malam. Namun suasana di sekitar Polda Metro Jaya masih nampak terlihat beberapa aktifitas manusia. Udara hangat ibukota jelas terasa di tubuh seorang pemuda asal Solo tersebut. Hari itu tanggal 12 Nopember 2010, Ia masih menunggu di dalam mobil bersama empat petugas dari detasemen khusus (densus) 88 anti teror mabes polri. Pemuda tersebut masih meringis menahan sakit di tengah gelapnya malam tanpa seorangpun tau. Matanya masih ditutupi dengan koran dan lakban, namun hatinya masih merdeka dari kezaliman manusia-manusia kejam dari batak, ambon, dan kupang tersebut. Entah dendam apa mereka terhadap pemuda kecil tersebut yang tidak memiliki musuh dari batak, ambon, dan kupang. Pemuda kecil tersebut justru memiliki teman yang berperang di Timor Leste saat referendum hendak dipaksakan demi menjaga lepasnya Timor Leste tersebut. 

Pemuda berusia 27 tahun tersebut mengetahui hal tersebut dari pembicaraan sesama mereka yang menceritakan kehidupan mereka. Bagaimana mereka menceritakan lomba menembak melawan TNI dan memaki-maki personil TNI yang mengalahkan mereka di ajang tersebut. Mereka menyebut para teroris sebagai sebutan tikus-tikus yang harus dihabisi. Mereka juga menelepon istri mereka dan anak-anak mereka. Sedikit pemuda solo tersebut bertanya didalam hati, ternyata anjing gilapun masih memiliki perasaan terhadap anak dan istri mereka. Setelah beberapa hari memukuli tanpa perasaan seorang pemuda kecil tanpa henti. Ada apa gerangan dengan cairan kuning yang mereka minum sehingga mereka menjadi garang dan bertenaga selama berhari-hari.

Tak sampai 10 menit, pintu gerbang gedung tahanan narkoba Polda Metro Jaya telah dibuka. Agaknya perlu beberapa saat untuk mengkoordinirkan beberapa petugas yang mungkin tertidur di ruang jaga, dan menonton pertandingan bola yang ditayangkan televisi disamping ruang jaga didepan ruang pemeriksaan kesehatan. Pemuda itu terus digelandang di ruang interogasi yang berada di bagian pojok kanan didepan mushola yang tak terurus di lantai bawah gedung tahanan narkoba tersebut. 

Sementara, beberapa petugas masih berdebat terkait sosok yang ditangkapnya enam jam sebelum kedatangan Presiden Barack Obama yang tiba di Indonesia pukul 16.00 WIB tanggal 9 Nopember. Molor hampir tiga jam dari jadwal yang diserahkan secret servic kepada pemerintah Indonesia. Baru kali ini, ada jam karet di pemerintahan amerika yang terkenal adikuasa di jagat raya. Mungkin masih ada pembicaraan penting antar pemimpin negara, ataupun macetnya lalu lintas penerbangan diatas sana. 

Sosok Tito Karnavian yang waktu itu masih menjadi pejabat kecil duduk terdiam di pojokan 'ruang rapat' tersebut. Nampak juga pak kumis Badroddin Haiti berdiri dan beberapa petugas berperut besar lainnya di ruang tersebut. Entah apa yang mereka harapkan dari pemuda kurus kerempeng yang dituduhkannya hendak menembak presiden barack Obama tersebut. Mungkin informasi yang didapat dari CIA dan Secret Service berasal dari dukun 'terawang' asal indonesia dan bukan dari dukun bola kaca yang sering nongol di film-film ituh. Saat, petugas lain masih berdebat tentang informasi yang tidak masuk akal tersebut. Tito Karnavian sebagai sosok yang cerdas berusaha menyelami dan mempelajari karakter pemuda tersebut dari jawaban-jawaban introgasi pemuda tersebut. Tanpa sepatah katapun, Tito Karnavian memperhatikan bagaikan jatuh cinta terhadap pemuda yang diketahuinya memiliki orang tua diatas angkatannya tersebut. 

Alhasil, Tito masih termenung lama hingga petugas densus bernama Manurung dan Roberto (berto_cyber@yahoo.co.id) menyelesaikan pokok dakwaan dan membuatkan surat penangkapan terhadap pemuda tersebut, tiga hari pasca penangkapan tanpa surat penangkapan itu. Pemuda tersebut mendengar pembicaraan antara beberapa 'tangan kanan' Amerika di ruang tersebut dengan Tito yang menjawabnya dengan sangat halus seolah-olah berbicara dengan seorang raja dari dinasti Khan. Kami menterjemahkan gaya bahasa dan bahasa tubuh Tito tersebut dengan sebuah makna bernama penjilatan, bukan seperti menjilatnya seekor kucing di sebuah wadah berisi air susu.  Saya tegaskan, bukan... ini bukanlah perumpamaan kucing yang lucu, ataupun anjing yang kadang lucu dan kadang nyebelin. Perumpamaan ini adalah hakikat sebenarnya dari sebuah bawahan terhadap atasan yang diproyeksikannya beberapa tahun kedepan akan dipromosikan secara cepat. Dan itu terjadi kan??

Nampaknya Bapak Haji Achmad Saleh harus kecewa ketika mendengar kisah ini. Anak tercerdasnya tersebut tumbuh menjadi sosok yang cerdas, namun lemah secara psikologi terkait karakter yang dimilikinya menjadi tidak jelas. Berbeda jauh dari karakter presiden Tito yang diharapkannya terhadap anaknya tersebut. Penulis berpikir apakah sekolah Kanisius yang ia belajar di dalamnya menjadikan Tito sebagai sosok yang memiliki karakter yang berbeda dari akar budaya dan religi keluarganya. Padahal mungkin harapan Bapak Haji Achmad Saleh yang tinggal di Jl Sambu No 36 RT 2 RW 1, Kelurahan 26 Ilir Palembang tersebut adalah menginginkan Tito memiliki toleransi yang tinggi terhadap yang bahkan bukan sesamanya, bukan penjilat terhadap ideologi yang berbeda dengannya. Tito nampaknya belum mengetahui bagaimana perbedaan toleransi ideologi dengan penjilatan tersebut yang justru menjadikan ia intoleran terhadap reliji dan budaya keluarganya.

Memang benar, mungkin Tito secara kasat mata mampu konsisten menjalani ibadah-ibadah yang dia banggakan seperti puasa dan sholatnya. Namun Tito melupakan bahwa karakter reliji (akhlak) justru tidak terbentuk didalamnya disaat dia tidak mengintisarikan ajaran agamanya dan budaya keluarganya secara utuh dalam keseharian dan pekerjaannya. Penulis-pun takut, acara minum-minum setelah proses introgasi tersebut di rumah Gorris Mere di Jakarta Selatan juga difahami Tito sebagai sebuah etika komunikasi yang harus dihadirinya karena menghormati atasannya saat itu. Bagaimana tidak? sekelas penyidik Roberto-pun membanggakan Blackberry Torch terbarunya yang dipasaran masih seharga 6 jutaan hasil bonus dari penangkapan pemuda Solo yang masih kebingungan apa sebab penangkapannya tersebut.

Pola intoleransi reliji dan budaya keluarganya, penulis nilai akhirnya menjadikan sikap defensif (egoisme)nya terhadap ideologi-ideologi yang berbeda dengannya, namun terpaksa dilaksanakannya demi nama sebuah pekerjaan dan jabatan. Defensifitas tersebut bukan lantas Tito membela mati-matian ideologi yang berbeda dengannya, mungkin bukan. Namun Defensifitas tersebut akhirnya menjadikan Tito kurang bisa menempatkan prioritas antara nilai-nilai ideologi, reliji, dan budaya yang harus dijaganya diatas pekerjaan dan jabatannya. Alhasil, Tito akhirnya mengorbankan reliji dan budaya keluarganya, dan menjadi sangat tidak toleran terhadap hal-hal yang mengancam pekerjaan dan jabatannya. 

Penulis membacanya sebagai sebuah ketakutan dan paranoid terhadap hal-hal yang lebih mengancam pekerjaan dan jabatannya daripada budaya keluarga dan relijinya. Sebagai contoh, andaikan Tito tidak kebingungan menampilkan karakter mana yang ia harus toleran dan yang mana ia tidak bisa toleran adalah disaat dimana ketika anaknya harus disekolahkan di Singapura. Meski ia mampu berkata kesederhanaan saat wartawan dan anggota DPR hadir di rumah dinasnya di kompleks polri Ragunan. Dan disaat ia naik ojek menembus kemacetan Jakarta, namun penulis bertanya di dalam hati berapa ratus juta yang ia keluarkan untuk mengungsikan ketiga anaknya ke Singapura?

Pola defensifitas Tito ini akhirnya menimbulkan pemikiran subjektif lainnya, seperti halnya ketakutan (paranoid)nya terhadap kelompok Bahrun naim yang dikatakan menjadikannya target nomor satu. Saya takut, hal itu justru menjadi kenyataan ketika Tito menjabat sebagai Kapolri yang diidam-idamkannya. Demikian pula dengan angan-angan Tito yang mengatakan serangan Thamrin sebagai perebutan kekuasaan antar pemimpin ISIS. Lha wong, secara logika Tito saja tidak mengetahui siapa pemimpin ISIS sebenarnya di Indonesia. Demikian pula analisa lain Tito yang menyebutkan bahwa Ibadurrahman yang berusia 19 tahun adalah teman main Bahrun naim yang berusia 33tahun. Secara logika seorang ibad yang bermain-main diusia 5 tahun (14tahun silam), adalah masa Bahrun naim berusia 19 tahun (usia kuliah). Mungkin lebih tepat, kalau tuduhannya menjadi seorang babysitter (pengasuh).

Tags

About The Author

Bahrunnaim 23
Novice

Bahrunnaim

aku mah apah atuh...
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Bahrunnaim