Ketika Cinta Bicara (When Love Talks) Chapter 12

10 Jun 2016 19:53 11675 Hits 11 Comments

Kayla pucat pasi begitu melihat adegan tabrakan di depan matanya, ia teringat Choky berada di mobil itu. Air matanya mengalir deras, ia menutupi bibir manisnya sambil menangis terisak. Kayla masih sempat melihat mobil itu terjungkal berkali-kali sebelum akhirnya berhenti sendiri dalam keadaan terbalik. ”NOOOOO!!!”

Bagaimana nasib Choky selanjutnya? Apakah akan berakhir tragis?

 

Chapter sebelumnya :

http://www.plimbi.com/article/164909/ketika-cinta-bicara-when-love-talks-chapter-11

 

Kamis pagi...

Fendi bermaksud menghubungi anak buahnya, Herman. Hingga detik ini ia belum tahu kalau Herman dan anak buahnya yang lain kini sudah berada di kantor polisi.

”You were always gonna be mine, itsuuka...” lantunan melow penyanyi Jepang Utada Hikaru terdengar dari hp Herman. Herman membiarkan hp-nya berbunyi.

”Kenapa nggak diangkat? Angkat sajalah! Ikuti saja apa katanya, tapi ingat!, jangan bilang kamu ada di kantor polisi!!” Bambang memberi saran. Herman mengangguk, lalu merespon panggilan Boss-nya, ”Haloo...”

”Kemana saja kamu semalam? Koq kuhubungi nggak kamu angkat?” bentak Fendi kesal.

”Ma-maaf, koh. K-kemarin saya... ketiduran, koh!” Herman menjawab gagap, bingung harus memberi alasan yang tepat tapi tak mencurigakan. Saat ini, Bambang sudah berdiri dekat Herman. Selain Bambang, Herman diapit Edwin yang sedari tadi sudah berdiri dekat dirinya.

”Ketiduran?? Ahh, alasan kau!! Ya sudahh, besok pagi kau temui Mr. Steven, nggak jadi hari ini. Ingat, di tempat dan jam yang sama!! Ingat ya, jangan sampai ketiduran lagi!!” bentak Fendy menyampaikan pesan yang sama sampai dua kali.

”I-iya, Boss...” Herman mengiyakan.

Klik!, tanpa basa-basi Fendi langsung mematikan hp-nya, ia kesal dengan alasan Herman yang tidak profesional. Ia masih belum mengetahui jika Herman dan anak buahnya yang lain sudah ditangkap polisi.

”Bagus!, dia tidak curiga!” Bambang tersenyum lebar. Dia langsung memberi instruksi kepada anak buahnya agar bersiap-siap melakukan penangkapan besok.

”Skak mat! Besok kita akan menjaring ikan hiu!! Hahaha!!!” kelakar Bambang sambil tertawa lebar. Perutnya yang buncit dan bergelambir berguncang-guncang akibat tertawa ngakak. Baginya ini adalah sebuah prestasi besar jika penangkapan besok juga sekaligus menangkap otak mafia perdagangan manusia yang selama ini cukup meresahkan warga masyarakat Sumatera Utara, khususnya di kota Medan.

”SIAAPP, Komandan!!” Edwin memberikan salam hormat pada atasannya sambil tersenyum. Herman hanya bisa mengulum lidahnya yang kelu. Ia hanya bisa pasrah.

***

 

Pukul 10.13 pagi...

”Halo, ko?” Seorang anak buah Fendi yang bernama Amin menghubungi Fendi.

”Ha, Anchua(37), Min?” Fendy langsung merespon. Ia sudah berada di kantornya yang terletak di pusat kota.

”Wah, gawat ko! Rumah Belawan sudah dikepung polisi! Semua tertangkap, kecuali saya ko!!” Amin berteriak keras. Amin satu-satunya yang lolos dari rumah penampungan semalam. Ia kabur lewat terowongan rahasia di balik kantor di bawah tanah. Saat ini ia sudah meloloskan diri dan tengah berada di perjalanan menuju Pekan Baru.

(37) Anchua : Bagaimana

”HAHH?! Cemana bisa?? Sial! Jangan macam-macam kau, Min?” Fendi tak percaya, ia hampir saja kena serangan jantung begitu mendengar informasi mengejutkan dari salah satu anak buah  kepercayaannya itu. Fendi yang sedang bertemu dengan koleganya, tidak dapat menyembunyikan kekagetannya. Teriakannya mengagetkan semua orang yang berada di ruangan kantornya.

”Eh, maaf. Sebentar ya?” Fendi buru-buru minta permisi. Ia keluar dari ruangannya menuju ke ruangan rapat yang saat itu sedang kosong, masuk dan mengunci pintu. Jantungnya berdebar-debar.

”Halo, Amin? Kau masih di situ?” Fendi berbisik. Meskipun sudah sendirian di dalam ruangan rapat, tapi tembok pemisah ruangan terbuat dari papan triplek, masih memungkinkan orang bisa mendengar pembicaraan, apalagi jika sampai berteriak.

”Ya, ko. Pokoknya aku gak bohong lah ko. Koko harus kabur selagi bisa! Kalau tidak, celaka!” Amin memberi saran.

”Tapi kok bisa? Pasti ada yang bocorin!”

”Nggak tahulah ko kalau itu. Aku kan cuma sampaikan yang sebenarnya. Kapan aku bohong sama koko selama ini?” Amin terus meyakinkan Fendi untuk percaya omongannya.

”Apa polisi tahu kalau aku terlibat?”

”Aku nggak tahu ko. Bisa ya, bisa tidak.” Amin geleng-geleng kepala. ”Atau Koko telepon aja PAK KETUA. Dia pasti bisa bantu!” Amin mengingatkan Fendi segera menghubungi seseorang untuk mengamankan dirinya.

”Oke lah kalau gitu. Nanti kutelepon lagi. Kamsiah!”

”Klik!”

Fendi teringat Tigor. Ia menghubungi Tigor, memberitahukan kejadian yang sebenarnya.

”BBAAHH!! ***ima lah! Ini pasti kerjaan si Tumpal, bapaknya Choky! Ia pasti sakit hati sama kita karena sudah kita pecat! Padahal uangku juga yang kupakai untuk menebus dia dari penjara! Dasar tak tahu malu!” Tigor mengucapkan sumpah serapah berkali-kali. Ia menuduh bapaknya Choky biang keladinya.

”Tahu dari mana kau, kalau bapaknya Choky yang membocorkan ini semua?” Fendi.

”Ya pastilah! Selain kita-kita kan cuma dia yang tahu tempat rahasia kita, termasuk rumah itu!” Tigor memberi alasan yang belum tentu kebenarannya, tapi Fendi justru percaya.

”Kurang ajar juga temanmu itu ya!” Fendi ikut-ikutan memaki. Ia mondar-mandir mengelilingi meja rapat. Kini mereka benar-benar bingung.

”Begini saja, saat ini juga kau keluar dari rumahku dan bawa Choky! Kita sembunyi dulu! Kau temui aku di lobby hotel tempat biasa kita menginap, sekarang!! Nanti kita pikirkan lagi selanjutnya!, ok?!”

Tak lama kemudian mereka memutuskan pembicaraan.

Fendi berkeringat dingin, kini ia sadar jika saat ini ia sudah diambang kehancuran. Fendi menimbang-nimbang saran Amin, apakah ia akan menghubungi PAK KETUA untuk membantu mengamankan dirinya atau sembunyi dulu seperti yang sudah dia sampaikan pada Tigor. Terlintas dibenaknya untuk kabur saja. Ia bisa menyusul istri dan anaknya yang sekarang berada di rumahnya yang di luar negeri saat ini juga, hanya resikonya ia harus siap kehilangan uang milyaran rupiah jika ia benar-benar memutuskan untuk kabur, sebab besok adalah hari yang paling dinantikan. Ia akan bertemu dengan Mr. Steven, warga negara Amerika yang berniat membeli anak-anak seumuran Choky dalam jumlah yang sangat besar. Jika mencapai kesepakatan, sudah bisa dipastikan ia akan memperbanyak pundi-pundi kekayaannya yang sudah menumpuk.  

Ia pun mulai bimbang...

***

 

Tigor panik begitu mendapat informasi dari Fendi. Tanpa pikir panjang lagi ia pun berniat kabur menyelamatkan diri. Ia sudah lupa dengan pesan Fendi barusan.

Tiba-tiba setan datang berbisik di telinganya, "Bodoh kau! Kenapa pulak jadi ikut-ikutan kabur! Kan masih ada Choky, juga anak-anak ingusan dan gadis-gadis kecil lainnya yang kau simpan di rumah rahasiamu. Itu saja yang kau kasih sama bule itu. Uangnya kan bisa jadi milik kau! Tak usah kau kasih ke si Fendi nanti!"

Tigor pun tersenyum lebar. Benar juga!, kenapa pulak aku harus berbagi uangnya dengan si Fendi itu!, dia kan sudah kaya! Kenapa tidak kunikmati saja uangnya sendirian! Aku pun bisa kaya raya! Hahaha!!, batin Tigor tertawa girang.

Ia mulai menyusun rencana. Ia berniat meninggalkan rumah Fendi sambil membawa Choky. Ia sendiri yang akan menyerahkan Choky dan anak-anak yang lain ke Mr. Steven, orang yang akan membeli mereka besok, mengambil uangnya lalu kabur menikmati uangnya sendirian tanpa Fendi, itulah yang sekarang berada di benak Tigor.

Dengan langkah pasti, Tigor menuju kamar Choky. Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu kamar Choky. Choky baru saja selesai sarapan.

”Sudah makan kau? Bagus! Sebentar lagi kita berangkat ya!” Tigor tersenyum ramah. Wajahnya terlihat sumringah. Mata Tigor berbinar-binar seperti baru saja menemukan tambang emas. Choky belum pernah melihat Tigor seramah ini. Ia hanya diam saja.

Tigor tak bergeming sama sekali. Ia terus bersender di dinding dekat pintu kamar sambil terus tersenyum memandangi Choky. Choky sampai heran sendiri. Ia jadi tidak bebas beraktifitas.

”Tenang saja, kau tak usah khawatir! Anggap saja aku tak ada!” Tigor menjawab enteng. Ia melipat kedua tangannya sambil terus bersender dan memandangi Choky. Kini Choky jadi sebal, mukanya mengerut. Wajahnya seperti kertas yang diremas-remas.

Setelah terdiam agak lama, Tigor menyuruh Choky untuk segera berkemas-kemas. ”Oke, sudah cukup santainya. Sudah bisa kita berangkat sekarang!” Tigor mendekati Choky, tangannya menjulur hendak memegang tangan Choky.

Ia memaksa Choky untuk ikut dengan dirinya, tapi Choky menolak, Choky mengeraskan tangannya. Kekuatan tangan Tigor yang sudah pasti lebih kuat dari tenaga Choky membuat Choky tak berdaya, remasan tangan Tigor yang erat membuat tangannya sakit. Tigor berjalan keluar kamar sambil terus memegang tangan Choky erat. Choky menangis meronta-ronta, tangan kanannya memukul-mukul tangan kiri Tigor.

Tigor mulai kesal, ia jadi tak sabaran. Pukulan Choky berkali-kali membuat tangannya jadi terasa sakit. Ia pun menggotong Choky keluar dari rumah Fendy. Asiang dan Juntak melihat tingkah polah Tigor yang menggotong paksa Choky, namun tak bisa berbuat apa-apa.

”Tak mau!, aku tak mau ikut tulang!! Tulang jahaaat!!” Choky berteriak keras sambil menangis. Giliran punggung belakang Tigor yang kena sasaran pukulan Choky yang bertubi-tubi. Tigor meringis kesakitan, ”Aduuhh!!, sudah, diaamm!!”, bentak Tigor.

Sambil terus menggotong Choky, ia menuju mobilnya lalu memasukkan Choky ke dalam jok belakang mobil dengan paksa. Tanpa menunggu waktu lama, Tigor dan Choky sudah pergi meninggalkan kediaman Fendi. Ia melupakan sopirnya yang kebingungan tidak diajak ikut. Kini yang tertinggal hanya debu tanah yang mengepul akibat deru mobil yang melaju kencang.

Tigor bermaksud menyembunyikan Choky di rumah rahasianya. Ia memanggil beberapa temannya yang lain untuk ikut ia besok. Dalam perjalanan, ia terus berpikir tindakan apa yang akan dilakukannya agar uang haram itu bisa jatuh ke tangannya tanpa mencurigakan. Ia tidak peduli lagi dengan janji untuk ketemu Fendi hari ini. Ia bahkan tidak peduli lagi dengan tangisan keras Choky yang bising dan mengganggu sepanjang perjalanan. Pikirannya melambung membayangkan dirinya sedang berenang bermandikan uang yang banyak.

***

 

Fendi gelisah. Sejak tadi ia mondar-mandir mengelilingi kamar hotel menunggu Tigor, namun hingga siang ini Tigor tidak juga menunjukkan batang hidungnya, padahal ia sampai membatalkan rapat dengan para koleganya di kantor demi bertemu Tigor.

”Dasar hantu!!” Ia memaki-maki Tigor berulang kali. Kedua tangannya saling meremas menahan marah. Ia tersadar kalau Tigor pasti punya niat jahat ingin menikmati sendiri uang itu, apalagi Choky masih bersamanya.

”SIAAALL!!” Fendi berteriak keras, suaranya menggema keluar. Tangannya meng-hamburkan berkas-berkas dan dokumen yang sebelumnya ia letakkan di meja hingga berserakan di lantai. Tak puas sampai di situ, ia menendang meja hotel hingga jatuh, untung tidak rusak. Setelah amarahnya berhasil tersalurkan, ia terduduk lemas di tempat tidur. Wajahnya yang kusut ia tutupi dengan kedua tangannya.   

Setelah agak tenang, ia pun teringat Mr. Steven, koleganya yang akan bertemu dengan dirinya besok. Terlintas dibenaknya untuk membatalkan pertemuan.

”Biar tahu rasa si perbada(38) itu! Dipikirnya gampang apa nipu saya!” Fendi mengomel sendiri memaki-maki Tigor, tangannya mengambil handphone dari kotak handphone yang disangkutkan di pinggangnya, bermaksud untuk menghubungi koleganya itu.

(38) perbada : brengsek, tak tahu diri

Tapi beberapa detik kemudian ia berubah pikiran, ia mematikan kembali ponsel pintarnya yang sudah sempat tersambung. Ia mengubah keputusan, membiarkan Tigor mengambil uangnya dari Mr. Steven. Ia lebih memilih mencari aman.

Meskipun berat, akhirnya ia memutuskan untuk memilih tinggal sementara bersama keluarganya di luar negeri. Ia tidak mau karir dan citranya sebagai pengusaha sukses yang disegani jadi rusak dan tercoreng gara-gara bisnis ini.

Tubuhnya lemas, keputusan terberat harus dia pilih, dan dia sudah mengambil keputusan. Ia kembali menelepon sekretarisnya untuk membatalkan semua rapat dan pertemuan dengan para koleganya hingga sebulan ke depan, tak lupa pula memesan tiket pesawat ke Australia hari ini juga. Ia ingin sesegara mungkin pergi dari Tanah Air.

Sekarang giliran sekretaris Fendi yang pusing tujuh keliling...   

***

 

Jumat, hari yang dinanti-nantikan...

Tigor memberanikan diri menemui Mr. Steven, bermaksud mendapatkan uang itu dan sebagai gantinya menyerahkan Choky dan anak-anak lainnya secara langsung. Ia saat ini bersama dengan beberapa anak buahnya yang belum tertangkap.

”Selamat morning, Ser Steven...!” dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat minim, Tigor menyalami Mr. Steven. Logat Bataknya tetap terdengar kental.  

”Ya, ya... mo'ning Mr. Tigor! Apa kaba’?!” Mr. Steven yang sudah kenal dengan Tigor, maklum dengan bahasa planet Tigor dan membalas uluran tangan Tigor. Ia sebenarnya bisa berbahasa Indonesia, meskipun patah-patah.

”Hahaha!!, Baik, baik!, Ser Steven sendiri good-good only kan?” Tigor tertawa keras, tangannya menepuk pundak Steven, sok akrab. Yang ditepuk tersenyum salah tingkah, begitu mendengar bahasa gado-gado lawan bicaranya yang sangat kacau dan berantakan itu.    

”Ya, ya...! Mr. Fendy-nya mana?”

Tigor berhenti tertawa begitu Steven menyebut nama Boss-nya, wajahnya langsung berubah serius. ”Jadi begini, Ser. Hari ini Boss-ku tidak bisa come-come kemari, biasalah, bizzy(39) sekali dia! Jadi aku yang disuruhnya kemari, mewakili dia, begitu!” Tigor mencoba meyakinkan Steven. Ia mendekatkan wajahnya yang sangar ke telinga Steven dan memelankan suaranya meskipun tetap saja terdengar keras.

”Tapi, Mr. Fendy kok tidak bilang dulu sama saya?”

”Itulah dia! Saking bizzy-nya dia, sampai tidak sempat lagi hubungi Mister kan?! Karena itu dia suruh aku kemari, aku kan orang kepercayaannya pak Fendi!, masak Ser Steven dont belip(40) me sih?!,” Tigor menepuk dada Steven, mulutnya tersenyum lebar.

(39)  bizzy : busy, sibuk ; (40) belip : believe, percaya

”Hmmm...,” Steven berpikir sebentar, ”...Ok then, kalau begitu mana anak-anaknya?”

”Hahaha...!!, Ser Steven ini rupanya tak ada basa-basinya ya?!” Tigor tertawa mengejek.

“Ini langsung aku bawa perwakilannya, yang lain ada di mobil itu! Choky, sini kau!” Tigor memanggil Choky yang sedang digandeng Limbong. Limbong menarik paksa tangan Choky begitu Choky berkeras tidak mau mengikuti kemauan Tigor. Limbong jadi ikut-ikutan maju sambil menyeret Choky yang keras kepala.

Steven yang melihat reaksi Choky, datang mendekati Choky, ia jongkok dan bermaksud membelai rambut Choky yang mulai panjang karena sudah lama tidak dicukur. Choky memundurkan langkahnya ke belakang, ia tidak suka dibelai oleh orang asing yang tidak dikenalnya. Steven hanya bisa tersenyum kecut melihat ulah Choky, ia maklum.

Tigor mulai tidak sabaran, ”Anak yang satu ini memang tukang melawan, ser. Tapi begini sajalah Mister, biar nggak usah bertele-tele, you kasih saja uangnya sekarang pada saya, and you boleh bawa anak-anak ini semua, bagaimana, cocok kam rasa?”  

Steven bangkit berdiri, ia menatap Tigor tajam. "Baiklah, tapi saya mau lihat semua anak-anaknya dulu."

”Deal!!” Tigor langsung berteriak setuju lalu menyalami Steven.

Steven menyuruh anak buahnya yang bernama Diego untuk memeriksa ke dalam mobil Panther milik Tigor yang berisi anak-anak kecil tak berdosa. Setelah ia menghitung jumlah anak-anak tersebut, Diego menganggukkan kepalanya ke arah Steven tanda sudah cocok dengan kesepakatan.

Steven pun memberi tanda pada Diego untuk tetap di tempat. Kemudian ia menyuruh anak buahnya yang lain, Richard untuk memberikan tas koper yang sebelumnya berada di dalam mobil untuk diberikan kepadanya. Lalu Steven menyerahkannya pada Tigor, ”Ini uangnya, Mr. Tigo',” kini tas itu sudah berpindah tangan.

Wajah Tigor terlihat sumringah. Ia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, rasanya ingin berteriak saja meluapkan kegembiraannya, untungnya ia masih bisa menahan diri. Ia membuka tas itu kemudian menyuruh anak buahnya yang bernama Silaen menghitung uangnya. Steven membiarkan Tigor melakukan itu. Setelah selesai, Steven memberi tanda pada Tigor untuk menyerahkan Choky kepada dirinya dan memberikan tanda juga ke Diego untuk menyuruh anak-anak yang lain keluar dari mobil Tigor dan pindah ke mobil mereka.

Tigor menanggapi dan memberi tanda pada Limbong untuk mengantarkan Choky kepada Steven. Limbong memegang erat tangan Choky lalu membawanya pada Steven. Choky berusaha melawan, ia mengeraskan kakinya. Akibatnya kakinya jadi terseret-seret. Choky  mulai  menangis.

Dengan susah payah Limbong berhasil membawa Choky ke tangan Steven. Choky terus menangis tersedu-sedu tak berdaya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis dan menyeka air matanya yang berlinang. Perasaan Choky benar-benar tak keruan.

Tigor mendatangi Steven dan menyalaminya sekali lagi sebelum minggat jauh-jauh. ”Seperti biasa, senang berbisnis dengan kau ser Steven. Hahahaha!!!” Tigor tertawa lebar, Steven mengangguk senang.

Saat itulah polisi datang meringkus..., ”JANGAN BERGERAK!! KALIAN TELAH DIKEPUNG!!”

***

 

Polisi bergerak cepat mengepung komplotan Tigor dan Steven, terjadilah keributan di tempat.

”****SAT!! POLISI!!”Tigor terkejut bukan main begitu melihat polisi di depan matanya.

Komplotan Steven juga terkejut begitu mengetahui bisnis rahasia mereka bisa diketahui polisi lokal. Steven tidak mau ambil resiko, ia menyuruh anak buahnya menembak sambil melindungi dirinya, ”SHOOT!!” teriaknya keras.

Terjadilah tembakan dua arah. Steven yang dilindungi oleh anak buahnya berlari berlindung di balik mobil, sementara para anak buahnya menembak ke arah para polisi yang ternyata berjumlah cukup banyak. Hati Steven ciut, ia berlari sambil memegang Choky erat.

Tigor memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur. Ia berlindung dibalik tembakan anak buah Steven dan anak buahnya yang juga ikut menembak. Ia berlari menuju mobilnya sambil membekap erat tas koper di dadanya dan berteriak,  ”Parlin! Lindungi aku!”

”DOORR!!, DOORR!!, DOORR!!,” suara tembakan kini terdengar silih berganti dari tiga arah. Tigor berhasil sembunyi di balik mobil mewahnya dengan susah payah bersama Parlin dan Limbong. Ia bermaksud untuk masuk ke dalam mobil, tapi dilarang Parlin, ”Jangan tulang!, nanti dulu!, nanti tulang kena tembak!” Tigorpun mengurungkan niatnya, sambil terus membekap koper hitam itu di dadanya.

”Tziiing!!, Tziing!!” suara peluru dari anak buah polisi Bambang menembus dan bersarang di pintu mobil Tigor yang di sebelah kanan, disusul peluru berikutnya yang memecahkan kaca mobil bagian samping, ”PRAANGG!!”

”MOTOR(41)KUUU!!” Tigor berteriak spontan begitu mengetahui mobil sedan Toyota Altis miliknya kini hancur lebur diberondongi timah panas dari polisi.

(41) Motor : mobil

”PSSSTTT!!!”, giliran ban belakang mobil  Tigor yang kempes kena tembakan.

Parlin mencoba membalas serangan polisi, ia berdiri dan memberanikan diri untuk menembak, ia sempat menembak dua kali sebelum akhirnya kena tembak. ”ADDUUHH!!”, peluru itu tepat mengenai jantungnya. ”BRRUUKK!!” Parlin langsung ambruk. ”PARLIIIN!!”, Tigor berteriak histeris.

Parlin memegangi dadanya yang terkena tembakan, tangannya bersimbah darah. Tigor lalu mendekati Parlin yang sekarat sambil tangannya tak mau sedikitpun melepaskan koper dari dadanya.

”Parlin, jangan mati dulu kau! Tahan ya!!” Tigor mencoba membesarkan hati Parlin yang ternyata masih keponakannya. Tak heran Tigor meneteskan air matanya begitu melihat Parlin yang tak lama kemudian menghembuskan  nafas terakhirnya, ”TIDAAAK!!!”, sekujur tubuh Tigor kini lemas tak berdaya. Ia tak berkutik

Tigor sadar kalau sebentar lagi ia pasti tertangkap polisi. Ia masih sempat melihat beberapa polisi  yang  sudah  berlari  mendekat ke arah persembunyian mereka. Silaen dan anak buahnya yang lain masih mencoba bertahan sebelum akhirnya tak berdaya melihat jumlah polisi yang tak seimbang telah berhasil mengepung mereka. Mereka pun angkat tangan menyerah.

Hanya dalam tempo beberapa menit setelah Silaen mengangkat tangan tanda menyerah, Tigor dan anak buahnya yang masih hidup berhasil diringkus.

***

 

”Shiitt!!” Steven mengumpat begitu mengetahui polisi lokal berhasil membongkar kedok mereka. Ia berlari menuju ke belakang mobilnya mencari perlindungan. Tangannya memegang tangan Choky erat.

”Cover me Richard!!” ia berteriak pada Richard untuk melindungi dia dan Choky. Akhirnya mereka berhasil sembunyi di belakang mobil mereka.

”How did they know we here?” Steven bingung tak habis pikir, ia tak percaya kalau sepak terjangnya yang terkenal licin di dunia internasional justru berhasil terendus oleh polisi di Sumatera Utara.

Richard tak bisa menjawab, ia hanya diam saja sambil matanya terfokus pada para polisi yang sudah mendekat dan mencoba mengepung mereka. Terjadi adu tembakan yang sengit.

Sayang seribu sayang bagi polisi, senjata lawan yang cukup canggih dan modern tak bisa mereka tandingi dengan senjata sederhana milik kepolisian. Para polisi langsung ciut nyalinya begitu melihat senjata lawan yang canggih-canggih dan mutakhir itu. Senjata mereka bisa langsung membidik dengan tepat tempat persembunyian para polisi meskipun mereka tak terlihat. Senjatanya juga bisa menembak dengan tepat meskipun jarak yang ditembak cukup jauh.

Para polisi jadi tak berani mengepung seperti yang sedang dilakukan oleh kawannya yang lain begitu mencoba meringkus komplotan Tigor. Kelemahan tersebut berhasil dibaca lawan. Dengan membabi buta, anak buah Steven balik menyerang para polisi, kini mereka berada di atas angin begitu melihat polisi kewalahan.

Bambang yang memimpin pengepungan terhadap Steven dan komplotannya terpaksa harus menggunakan taktik lain. Mereka membagi jadi dua kelompok, kelompok yang satu mencoba  memancing  komplotan untuk  terus menembak, sementara kelompok yang satu lagi mencoba mengepung lawan dengan bersembunyi mendekati posisi lawan.

Melihat situasi yang menguntungkan itu, mencoba masuk ke dalam mobil dan bermaksud kabur. Ia memberi kode kepada anak buahnya yang bersembunyi di balik mobil yang lain agar melindungi dirinya sementara ia kabur meninggalkan lokasi. Anak buahnya menurut  saja

”Get in the car!!” Steven memaksa Choky masuk ke jok belakang mobil sedan Toyota Alphard miliknya, lalu memanggil Richard dan Diego ikut bersamanya, ”Richard!, Diego!, come with me!!”.

Choky duduk di belakang bersama Steven, Richard dan Diego duduk di depan. Diego yang mengemudikan mobil Steven langsung tancap gas,  kini Alphard yang mereka tumpangi berhasil kabur, disusul mobil mereka yang lain. Bambang dan beberapa anak buahnya berlari mengejar dan menembaki mereka dari belakang, ”DOORR!!, DOORR!!, namun sayang tak berhasil.

”Siaaall!!” Bambang kecolongan. Tapi ia tak kehilangan akal. Ia langsung menghubungi satuan polisi yang lain yang sudah berjaga-jaga dekat lokasi, tapi tidak ikut pengepungan, untuk mengejar komplotan yang berhasil kabur.

Mobil Steven keluar dari jalan pelabuhan menuju jalan raya. Mobil polisi yang sedang bersembunyi berhasil mengetahui identitas mobil berdasarkan informasi Bambang lalu dengan sigap mengejar mereka dari belakang. Satu per satu mobil polisi dari tempat yang berbeda keluar dari persembunyian mereka. Pengejaran berlangsung seru dan mendebarkan.

Richard melihat mobil polisi yang mengejar mereka dan langsung menembak berulang kali tanpa ampun. Terjadilah kejar-kejaran dan tembak-tembakan seru di jalan raya dan jalan tol di Belawan yang tidak bisa dihindari lagi...

***

 

Ringgo melihat komplotan Steven berlari meninggalkan lokasi. Ringgo dan Kayla sedang berada di dalam mobil polisi yang ia tumpangi bersama dengan Siregar dan Edwin serta seorang lagi. Mereka bersembunyi di tempat yang agak jauh dari lokasi. Begitu mobil Alphard milik Steven melewati persembunyian mereka, dengan sigap mereka mengejar sasaran.

Siregar berhasil mengikuti mobil Steven dengan cepat, Richard langsung menembaki mereka tanpa ampun begitu melihat mobil polisi yang berhasil mendekati mereka.

”DORR!!, DORR!!, DORR!!” Richard memberondong mobil polisi yang dikemudikan Siregar dengan membabi buta.

”TZIINGG!!”, ”PRAANGG!!!”, TZIING!!”, ”POK!, POK!, POK!”, suara peluru berseliweran, disusul  kaca  mobil  bagian  samping  milik  polisi yang pecah terkena peluru Richard, lalu kap dan badan mobil bagian samping yang langsung peot begitu tertembus peluru nyasar.

”TIARAAP!!” Siregar spontan berteriak, semua yang ada di dalam mobil tiarap melindungi diri. Kayla berteriak panik, ”AAAKKHH!!”

Edwin membalas tembakan Richard, ”PRAANGG!!” pelurunya membuat bolong kaca samping sebelah kiri, tempat dimana Choky berada. Steven dan Choky spontan menunduk agar tidak kena tembak. Choky menangis kencang, tembakan demi tembakan yang beruntun dan saling berbalasan benar-benar menorehkan bekas yang sangat dalam bagi perkembangan psikologis Choky ke depan, ia trauma berat.

Kayla sepintas melihat Choky yang sedang menangis di dalam mobil, ia pun menjerit keras memanggil nama anaknya, ”CHOKYY!!, CHOKYY!!”, berharap Choky dapat melihat dirinya.

”MAMAAA...!!!” Choky mendengar suara Kayla yang berteriak memanggil dirinya. Ia bermaksud menyembulkan kepalanya namun dicegah Steven. Ia membenamkan kepala Choky agar terus menunduk sambil mengumpat, ”Don’t do that, you stupid kid!”

Steven ikut turun tangan. Ia memecahkan kaca belakang mobil kesayangannya lalu membalas serangan Edwin dengan membidikkan pistolnya ke kepala Siregar, ”DOORR!!!”

Siregar berhasil menjauhkan mobilnya dari mobil Steven ke arah kiri begitu melihat bidikan pistol Steven yang mengincar kepalanya, ”TCCIITTT!!!”, suara ban mobil yang bergesekan dengan aspal jalan menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga. ”TZIINGG!!”

Siregar berhasil mengelakkan peluru Steven yang akibatnya mengenai spion bagian kanan mobilnya. ”PFUUHH!!”, Siregar lega. Jika seandainya ia tidak melihat bidikan Steven sedetik saja, sudah bisa dipastikan ia jadi almarhum saat ini juga.

Edwin membalas serangan lawan. Beberapa tembakan Edwin dan rekannya Irfan berhasil mengenai kaca dan pintu belakang mobil Steven, ”TZIINGG!!”, ”POK!!, POK!!”.

Kehebatan Diego dan Siregar mengemudikan mobil dengan kencang sambil zig-zag di jalan raya benar-benar diuji saat ini. Karena masih pagi, jalan raya di sekitar itu masih plong dan tidak banyak dilalui kendaraan umum. Meski begitu adegan kejar-kejaran yang terjadi mengejutkan masyarakat awam yang melihat di sekitar itu.  

Sementara itu belakang mereka, rombongan mobil polisi yang dikomandoi Bambang ikut menyusul dan mengejar mobil komplotan yang lain. Posisi mobil komplotan itu agak jauh berada di belakang mobil Siregar. Salah satu anak buah Steven yang bernama Erick lebih dulu menyerang mereka, sebelum mereka balas.

”PRAANGG!!!”, tembakan beruntun polisi memecahkan kaca belakang mobil Ford milik komplotan. Salah seorang anak buah komplotan rubuh terkena peluru nyasar. Erick yang marah membalas tembakan polisi dengan membabi buta.

”TZIINGG!!”, ”PRAANGG!!!”, TZIING!!”, ”POK!, POK!, POK!”, TZIINGG!!, JDAAR!!”, kembali terdengar suara peluru yang berbalas pantun dengan bunyi badan mobil yang tertembus peluru, begitu juga dengan kaca dan ban yang pecah akibat terkena tembakan yang saling berseliweran.

Di depan mereka, Ringgo dan Kayla menundukkan kepalanya dan berlindung di lantai jok mobil belakang. Ringgo menutupi kepala Kayla dengan badannya sambil terus menunduk. Sementara Edwin yang berada di jok depan, dan Irfan yang berada di jok tengah tak henti-hentinya menembaki musuh sambil menunduk begitu selesai menembak. Untuk mengecoh lawan, Irfan mengambil posisi menembak dari arah kanan, sejajar dengan Siregar yang menyetir sambil ikut juga menembak. Ia mengeluarkan kepalanya dari jendela samping, berdiri dan menembaki lawan beruntun.

Saat yang dinantikan Siregar tiba, ia mendapatkan kesempatan mendekati mobil Steven begitu Diego lengah dan sempat mengurangi kecepatannya akibat harus melewati lobang jalan yang besar di depannya. Siregar menabrakkan mobilnya ke samping mobil Steven dengan cepat, akibatnya terjadi benturan keras dan dahsyat pada sisi mobil, ”BRRUAAKK!!”.

Diego tidak mampu mengimbangi dentuman dahsyat dari mobil polisi yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, akibatnya mobil yang dia kemudikan  oleng. Kepala Richard yang duduk di depan terantuk ke dashboard mobil, ia pusing sempoyongan. Steven lebih naas lagi, kepalanya terantuk kaca mobil di sampingnya, sedangkan badannya tertimpa badan Choky yang menimpanya dari samping. ”UUGGHH!!!”, meskipun anak kecil, namun akibat tubrukan yang cepat dan keras itu, tak urung membuat badannya kesakitan.

Diego berusaha mengontrol laju mobilnya begitu mobil sempat oleng. Dengan sekali gas, kini mobilnya menembus kencang menuju jalan tol dan berhasil melewati mobil Siregar yang kalah canggih, namun Siregar tak mau kalah, ia pun balas meng-gas hingga pol mobilnya sambil terus memepet mobil lawan.

Tanpa peduli lagi dengan sekitar, mobil Steven melaju kencang menyalip dan menabrak beberapa mobil yang sedang mau antri mengambil tiket masuk ke jalan tol. Diego mengambil jalan antrian yang kosong kemudian tanpa ba-bi-bu langsung menyelonong masuk begitu saja tanpa antri lagi. Tindakan Diego diikuti oleh kawannya, Erick dkk yang terus mengekor di belakangnya. Mau tak mau Bambang dan Siregar melakukan hal yang sama. Insiden yang cepat itu menggegerkan para pengguna jalan tol yang kaget dan tak menduga ada kejadian kebut-kebutan di jalan tol di pagi hari.

Dasar orang Medan, begitu mengetahui hal tersebut, beberapa pengendara bukannya memelankan dan meminggirkan mobilnya ke jalur lambat, justru ada beberapa mobil yang pantang disalip dan malah semakin mempercepat mobilnya tak mau kalah dan ikut-ikutan mengejar dari belakang. Ck, ck, ck!!.

Kejar-kejaran disertai tembakan terus berlangsung. Senjata lawan yang lebih canggih cukup merepotkan polisi memberikan perlawanan, ditambah lagi, mobil Ford milik lawan berhasil menyusul dan menembaki mereka dari belakang. Mereka mulai kewalahan. Siregar sadar, ia melihat situasi yang mulai tidak menguntungkan di pihaknya. Ia pun berteriak pada Irfan yang berada di jok tengah untuk memberikan Ringgo satu senjata cadangan untuk menembak, padahal seumur-umur, Ringgo belum pernah menembak.

”Lae(42), kau berikan dulu senjata kita pada lae Ringgo itu. Biar dia juga punya senjata untuk membantu kita!!”

Ringgo dan Kayla kaget. Kayla menggelengkan kepalanya pada Ringgo tanda tak setuju begitu mendengar ucapan Siregar. Ringgo tak kuasa menolak, sedetik kemudian pistol itu sudah berada di tangannya. Ia hanya bisa terperangah.

”Anggap saja kayak main perang-perangan waktu SD dulu, lae. Arahkan ke lawan, lalu tarik pelatuknya!” Irfan menjawab dengan enteng.

Mata Kayla melotot galak ke arah Ringgo begitu mendengar jawaban yang gampangan itu. Perang-perangan?, memangnya nyawa orang mainan apa?, protes Kayla dalam hati.

”Atau pegang sajalah buat jaga-jaga, tak usah digunakan kalau tak bisa!” Irfan langsung meralat ucapannya begitu melihat wajah Ringgo yang melongo bingung seperti sapi ompong.

Ringgo terpaksa menuruti kemauan polisi meskipun ia sendiri belum pernah melakukannya. Dengan nekat, ia mengarahkan pistol yang  dipegangnya dan menembak musuh dari kaca belakang mobil yang sudah pecah. Irfan ikut membantu Ringgo, ”DOORR!!, DOORR!!, DOORR!!” 

(42) Lae : abang, saudara laki-laki dalam bahasa batak

 

Pengejaran yang mendebarkan masih terus berlangsung...,

Bambang melihat kejadian berat sebelah yang menimpa Siregar dkk di depan. Ia langsung menginstruksikan kepada anak buahnya yang lain untuk membantu dia mengepung mobil Ford di depannya agar membuyarkan konsentrasi mereka yang sedang menyerang Siregar dkk.   

”Tepu!, kita kepung dulu bandit bule yang di depanku ini, maju kau!!” lewat radio panggil, Bambang memerintahkan anak buahnya yang bermarga Sitepu untuk membantu dia mengepung Ford.

”Baik, pakk!!, ganti!!”, Sitepu dkk langsung tancap gas melewati mobil Bambang di depannya dan mendekati mobil musuh.

Erick melihat dua buah mobil polisi yang dalam posisi sejajar sedang mengejar dan mendekati mobilnya. Ia langsung tahu rencana polisi yang bermaksud mengepung mereka.

”AAARRGHH!!!”, sambil berteriak, tanpa ba-bi-bu ia nekat mengeluarkan dirinya setengah badan dari balik jendela dan dengan senjata laras panjang di tangan langsung menembaki dua mobil milik polisi yang sudah berada di belakangnya, ”DOORR!!, DOORR!!”

Dari mobil Sitepu, salah seorang polisi bernama Indra membalas serangan Erick, bersamaan dengan yang seorang lagi bernama Syamsul yang membalas dari mobil Bambang, mereka dengan kompak bergantian menembak ke arah Erick. Erick kewalahan, ia meminta bantuan kawannya untuk menolong dia, ”Brad!!, Mike!!, help me!, shoot them!!” Kini konsentrasi Erick dkk terbagi. Mereka yang berjumlah 5 orang dalam satu mobil, harus menembak tiga mobil polisi. Satu mobil polisi di depan mereka, dan dua lagi di belakang. Siasat Bambang berhasil.

Bambang menyuruh anak buahnya yang bermarga Aritonang merapatkan mobil dan jika bisa menubruk mobil lawan keras ke arah kiri, tujuannya agar mobil lawan dapat keluar badan jalan, sehingga dengan mudah dapat ditangkap. Ia pun menginstruksikan agar Sitepu bisa melewati mobil lawan, tujuannya agar lawan dapat diatur laju kecepatan mobilnya, sehingga tak berkutik.

Dengan kencang, Sitepu tancap gas mencoba mendahului mobil Erick, begitu kawannya Aritonang berhasil menabrak bemper belakang mobil Ford dengan keras, “BBRRUUUKK!!!”.

Ketika Cinta Bicara (When Love Talks) Chapter 12

Ilustrasi gambar diambil dari google

 

Tony yang menyupir kehilangan konsentrasi akibat tumbukan keras yang menghantam mobilnya, laju kecepatan mobilnya otomatis berkurang. Sitepu mengambil kesempatan emas itu. Sambil dilindungi tiga temannya yang lain yang satu mobil, ia meng-gas mobilnya pol hingga  melewati mobil lawan. Ketiga temannya menembaki mobil Ford tanpa ampun, mereka tidak memberikan kesempatan sedikitpun bagi lawan untuk membuat perlawanan. Dari belakang, Syamsul dan Bambang ikut membantu memberondong Ford dengan peluru, “DOORRR!!, DOORRR!!, DOORRR!!”

Erick dan kawan-kawan benar-benar tak berkutik. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berlindung di balik mobil. Kecanggihan pistolnya tidak sanggup mengalahkan taktik polisi yang sudah mengepungnya. Ia hanya bisa menyuruh Tony untuk terus melajukan mobilnya kencang, agar polisi tidak sampai menyalip mereka.

Dengan sekuat tenaga, Sitepu berhasil melewati mobil musuh. Dalam hitungan detik, ia membanting setirnya ke kiri. ”BRRAAAKK!!!”, tubrukan dahsyat dan cepat mengenai bemper belakang Ford sebelah kanan, akibatnya mobil musuh hilang keseimbangan.

Tony tidak dapat lagi mengontrol laju mobilnya akibat tubrukan yang keras itu. Mobilnya dengan cepat tersorong ke kiri dan hampir menabrak pohon-pohon sekitar di pinggir jalan tol.  Meski demikian, Tony ngotot mempertahankan mobilnya agar tidak sampai berhenti. Akibatnya badan mobil bagian samping kiri menyerempet pohon-pohon besar di jalan itu. ”CRREEETTT!!!” bunyi serempetan panjang yang terdengar akibat gesekan hebat antara badan mobil dan badan pohon-pohon besar yang berderet panjang tidak terhindar lagi.

Tony terus melajukan kendaraannya sementara kawannya, Mike yang berada di belakangnya berhasil mengeluarkan kepalanya dan menembak mobil Sitepu yang masih menyerempet badan mobil mereka yang di sebelah kanan, ”DOORRR!I!”, ”AADDUUUHHH!!!” tembakan Mike melukai pundak kiri Indra, Sitepu terpaksa mengurangi kecepatan mobil menghindari tambakan Mike berikutnya.

Saat itulah mobil Bambang yang dikemudikan Aritonang menabrak mobil Ford dari belakang, ”BBRAAKK!!!”, tumbukan tersebut rupanya mendorong mobil ke pinggir badan jalan menuju ke jalan layang. ”BRREEGGHH!!!”, Sitepu memepetkan kembali mobilnya, akibatnya mobil lawan yang sudah dipinggir semakin terseret ke pinggir jembatan.

Tony sudah tidak dapat lagi mengontrol mobilnya, tabrakan keras antar mobil dengan pagar jembatan mengakibatkan pagar hancur, membuat mobil kehilangan keseimbangan dan bahkan terbang dari jembatan jalan tol jatuh ke bawah mencium jalan tol yang di bawahnya, ”GDEBUUUMMM!!!”

Tanpa menunggu sedetik lagi mobil menghujam tanah dan langsung meledak, ”BLLAAARRR!!!”

***

 

Kayla sempat terkena pecahan kaca. Wajahnya yang cantik dan mulus terpaksa harus terluka oleh goresan dari butiran-butiran kaca yang berterbangan akibat tembak-tembakan seru masih yang berlangsung. Aliran darah mengalir di dahinya, namun Kayla tak peduli, ia lebih khawatir akan keselamatan Choky.

Saat ini Choky masih bersembunyi sambil duduk menunduk di lantai jok belakang mobil Steven. Tanpa disadari Steven dan Choky, malaikat bersayap sebenarnya berada di samping Choky dan sedang melingkupi Choky dengan tubuh dan sayapnya. Choky memang tidak melihat dan tidak menyadari hal itu, tapi ia mulai merasa tenang dan tidak merasa takut lagi meskipun kejar-kejaran masih berlangsung.

Steven heran begitu tidak lagi mendengar teriakan Choky yang semula begitu panik dan ketakutan. Ia semakin heran begitu melihat wajah Choky yang tiba-tiba berubah 180 derajat dari wajah yang semula stress menjadi tenang hanya dalam beberapa menit saja.

Tanpa sengaja Steven melihat peluru nyasar yang menuju begitu dekat ke tubuh Choky. Menurutnya, peluru itu seharusnya menembus dan bersarang di tangan Choky, namun apa yang dilihat justru mengejutkan dirinya. Peluru tersebut terlempar dan menjauhi tubuh Choky, seperti ada yang menepis peluru tersebut menjauhi Choky dan jatuh ke lantai mobil.

Steven yang tidak bisa melihat malaikat penolong Choky ini tidak mengetahui kalau sayap malaikat itulah yang menepis peluru nyasar itu menjauhi Choky. Ia jugalah yang membuat Choky mendadak tenang dan damai  padahal  tembakan  masih  terus  berlangsung. Kini Choky dalam dekapan malaikat penolongnya, sebut saja namanya Angel. ”Tenang Choky!!, kamu aman dalam dekapanku!!”

Kejar-kejaran yang dibarengi baku tembak masih terus berlangsung di jalan tol. Diego mencoba mengecoh mobil polisi dengan zig-zag melewati mobil-mobil lain yang lalu lalang di jalan tersebut. Siregar tak mau kalah, ia terus menempel ketat di belakang mobil Steven, alhasil banyak kendaraan umum yang jadi korban serempetan dan tubrukan dari mobil mereka.

Kini mobil lawan sedang menuju keluar dari jalan tol. Siregar menyadari hal itu. Apabila mobil Steven berhasil keluar dan menuju jalan raya bisa menyulitkan mereka mengejar dan tentu akan semakin banyak menimbulkan korban.

”JDAAARR!!!” Tembakan Edwin akhirnya mengenai ban belakang mobil Alphard, mengakhiri usaha Diego berzig-zag ria di jalan tol.

”CIIITT!!”, Alphard pun oleng dan kehilangan keseimbangan. ”SCRREEETTT!!!”, terdengar bunyi gesekan ban dengan aspal jalan. Laju mobil otomatis berkurang.

Diego hilang konsentrasi begitu tembakan Edwin berhasil mengenai ban belakang mobilnya. Richard yang berada di samping kiri Diego semula berusaha membalas tembakan Edwin dan mengincar dahi Edwin, tapi akibat hentakan yang tiba-tiba membuat ia tidak bisa fokus. Tubuh Richard terhempas ke atas, kepalanya membentur langit-langit mobil, ”BBUUUKKK!!!”

Saat itulah Edwin menggunakan kesempatan emas begitu Siregar berhasil menyejajarkan mobil mereka dengan mobil lawan dengan menembak Diego tepat dijidatnya, ”JDOOR!!!”, sebuah peluru menghujam jidat Diego. Diego mati di tempat seketika.

Mobil Steven semakin hilang keseimbangan. Richard berusaha menggantikan posisi Diego, ia membuang mayat Diego di tengah jalan dan mencoba mengontrol laju mobil yang sudah hilang kendali. Sayang seribu sayang, usaha Richard sia-sia. Mobil mereka menabrak truk besar yang berjalan di depan mereka. Richard tak bisa lagi menghindarinya. Richard dan Steven berbarengan berteriak panik, ”AAAARRGGHH!!!” Tubrukan dahsyat itu menghempas mobil mereka dan sukses menabrak mobil-mobil lain di sekitarnya serta jatuh terjungkal berkali-kali, ”GBRRAAAKK!!!”

Siregar spontan mengurangi laju mobilnya begitu melihat lawan di depannya tidak dapat mengontrol mobilnya lagi. Ia tertegun begitu melihat mobil musuhnya yang jatuh terjungkal hebat. Kayla terpana sebelum akhirnya berteriak histeris, ”TIIDDAAAKKK!!!”

Kayla langsung pucat pasi begitu melihat adegan tabrakan yang dia lihat di depan matanya, ia teringat Choky berada di dalam mobil itu. Ia berteriak keras memanggil anaknya, ”CHOOKYYY!”. Air matanya langsung mengalir deras, ia menutupi bibir manisnya sambil menangis terisak-isak. Ringgo ikut berteriak memanggil Choky dan langsung memeluk Kayla dari samping.

Kayla masih sempat melihat mobil itu terjungkal berkali-kali sebelum akhirnya berhenti sendiri dalam keadaan terbalik.

”NOOOOO!!!”, 

 

BERSAMBUNG

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel