Balada Pengusiran

7 Jun 2016 22:47 7248 Hits 0 Comments
Cerpen: Balada Pengusiran

            Rencanaku tidur siang gagal gara-gara seseorang mengetuk pintu kos. Ketika kubuka pintu ternyata Ayu, temanku. Aku terkejut heran. Ayu membawa tas canvas besar yang mungkin berisi pakaian-pakaiannya. Ia berhamburan masuk ke kamar kosku dan membenamkan wajahnya ke bantal di atas kasurku. Tasnya dibiarkan menyesaki pintu kosku.

            “Ada apa, Yu?” tanyaku.

            Ayu tak menanggapi pertanyaanku. Ia malah menangis.

            “Sudah dapat kos?” tanyaku selanjutnya.

            “Belum,” jawabnya, masih menangis.

            Tiga hari ini, Ayu memang tidak punya kos. Untuk sementara ia numpang di kosnya Novi, salah seorang teman kami. Sebelumnya, Ayu ngontrak denganku dan tiga teman kami lainnya. Tapi, karena uang yang terkumpul tidak mencukupi untuk memperpanjang kontrakan, kami memilih berpisah dan masing-masing ngekos bulanan. Semuanya dapet kos, kecuali Ayu.

            “Novi mengusirku,” katanya.

            “Setega itu Novi?” tanyaku tak percaya.

            Setahuku, Ayu dan Novi cukup akrab. Aku heran kalau Novi benar-benar mengusir Ayu.

            “Gara-gara aku ikut Jena,” jawabnya.

            Jena juga akrab dengan Ayu, begitupun Jena dengan Novi. Yang kutangkap dari pertemanan mereka, Novi yang paling dewasa di antara ketiganya. Novi selalu menjadi tempat bertumpu Ayu dan Jena untuk masalah-masalahnya. Pengecualian untuk Ayu, pada Novi ia tidak curhat masalahnya yang paling pribadi. Kalau Jena, semua masalahnya ia telanjangi di depan Novi.

            “Bukankah kalian baik-baik saja selama ini?”

            “Memang baik. Karena masalah yang kukira sepele, aku diusir Novi dari kosnya. Semua barang-barang yang kutitipkan padanya dilempari. Termasuk gitar yang menjadikan aku dan Novi berteman erat.”

            “Apa masalahnya?” tanyaku.

            “Nasi pecel!” jawabnya keras.

            Ayu tidak lagi membenamkan wajahnya ke bantal, ia duduk dengan kaki mengantung di kasur kosku. Ayu mengusap air matanya.

            Ayu dan Novi penggemar nasi pecel. Mereka sering membelinya di pinggir jalan raya tak jauh dari kontrakan kami dulu, menjelang siang. Di tempat itu nasi pecel favorit mereka.

Aku mengernyitkan dahi tak mengerti sekaligus menahan geli.

“Nasi pecel?”

“Iya. Kurangngajar Novi!” Masih menangis.

            “Sudahlah, Yu, jangan menangis.”

            “Enak saja. Hatiku sakit, tau!” Tangisnya meledak.   “Tega! Tega! Tega Novi!”

            Ayu membenamkan lagi wajahnya ke bantal. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghadapinya dalam kondisi begitu.

            “Bagaimana masalahnya?” tanyaku setelah lama aku terdiam.

            “Jam sepuluh tadi Novi mengajakku beli nasi pecel. Saat itu sudah ada Jane menjemputku untuk nongkrong. Aku mau diajak nongkrong dan aku iyakan ajakan Novi.” Ayu terengah-engah menceritakannya sambil lalu melepaskan bantal dari wajah.

            Aku ngambil air dari dispencer di pojokan kos dan memberikan padanya. Ia meminumnya sekali teguk.

“Kamu sanggupi keduanya berarti?” tanyaku.

“Iya. Kukira Jane mau aku ajak beli nasi pecel sebelum nongkrong. Tapi Jane tidak mau, katanya sudah makan. Jane mendesakku untuk berangkat nongkrong. Novi juga mendesakku agar aku mandi, biar segera berangkat beli nasi pecel. Aku mandi setelah Novi mandi. Setelah mandi Jane merajuk terus menerus untuk berangkat. Karena desakan Jane itu, akhirnya aku bilang ke Novi baik-baik bahwa aku tidak akan ikut beli nasi pecel, tapi aku ikut Jane. Novi diam saja. Aku hampiri dia di dalam kamarnya dan kucandai agar jangan diam. Ketika aku hendak berangkat dengan Jena, Novi memanggilku dari kamar kos. ‘Mau ikut aku atau tidak?’ tanyanya setelah kuhampiri dia. Aku pikir itu bertanya biasa ya aku jawab aku ikut Jane. Nah, saat aku jawab itulah Novi melempari barang-barangku dan dia bilang, ‘aku tidak suka dengan orang plin-plan!’ aku terima barang-barangku yang dilempari Novi dengan diam lalu pergi dengan Jena dan aku bilang padanya untuk mampir ke loundry. Di jalan tadi, aku bilang ke Jane tidak jadi ke loundry. Aku bilang ke kosmu saja.. Aku tidak kuat nahan sakit hatiku.”

Ayu tangisnya tumpah. Aku biarkan ia dalam keadaan begitu. Kupikir aku sudah cukup mengerti apa masalahnya.

            Aku pindahkan tas ayu Ayu dari pintu ke depan lemari di pinggir kasur. Di luar pintu, ternyata ada gitar bersandar. Gitar itu yang dimaksud Ayu, yang membuatnya semakin bersahabat erat dengan Novi.

            “Gitar itu, tadi hampir saja pecah kalau tidak segera aku menangkapnya,” kata Ayu tiba-tiba saat aku membawa gitar itu masuk ke dalam kos.

            “Jane ke mana?” tanyaku, sekenanya.

            “Dia di luar sekarang!”

“Jane tidak kamu ajak ke sini? Jane tahu kamu diusir?”

“Aku bilang cuma sebentar ke sini. Jane tidak tahu aku diusir.”

            “Bagaimana bisa?”

            “Iya, bisa! Jane di luar kamar dan Novi di dalam kamarnya melempari barang-barangku. Aku di pintu kamarnya, menangkapi barang-barangku yang dilempar.”

             “Benar Jena tidak melihat kamu diusir?”

            “Tidak. Lagi pula Jena selalu sibuk dengan ponselnya!”

            “Sudahlah, Yu, jangan marah begitu. Mungkin Novi punya masalah,” kataku menghibur Ayu.

            Ayu tak menanggapi apa yang kukatakan. Ia bangkit berdiri dari kasur dan membuka jaketnya.

            “Hatiku panas!” katanya. “Pinjami aku beha. Punyaku kotor semua!” lanjutnya, ketus.

            Ayu melepas kaosnya dan dilemparkan begitu saja. Sepertinya, Ayu menumpahkan kekesalannya lewat gerakan melepas pakaian.

            Beha-nya dilepaskan dan dilempar.

            “Itu punya Novi. Tak sudi aku!” gerutunya.

            Kuambilkan beha-ku di dalam lemari dan memberikannya pada Ayu yang segera ia pakai. Punggung Ayu berkeringat.

            Tanpa diminta Ayu, aku arahkan kipas ke tubuhnya. Seketika, angin menerpa wajah Ayu. Ia nampak lebih tenang. Pakaian yang tadi dilepaskan, kini dipasang kembali. Beha yang katanya milik Novi dibiarkan tergeletak di pojokan kasur.

            “Kurangngajar betul Novi,” katanya sambil berdiri. Ia melangkah menuju cermin dan mematut diri. Air matanya ia hapus. Lalu ia mengambil minyak wangi dari dalam tasnya dan menyemprotkan ke leher, ketiak, dan pakaiannya. Kembali, ia menghapus air matanya.

            “Kamu mau ke mana?” tanyaku, nyangka Ayu akan pergi.

            “Nongkrong. Aku ditunggu Jane di luar,” jawab Ayu dan segera ia keluar dari kos.

            Ponselku berdering di atas lemari. Kulihat. Ada pesan dari Novi. Ajakan untuk nongkrong.

            “Tunggu, Yu. Aku juga ke sana, aku mandi dulu.”

            “Nyusul saja. Jane nanti merajuk,” katanya dan Ayu berjalan terburu-buru di koridor kos lalu keluar dari pagar kompleks kos-kosanku.

***

            Selesai mandi aku berangkat. Sesampainya di tempat nongkrong,    dari tempat parkir, aku lihat Novi dan teman-temannya berkumpul. Ayu berada di bangku yang berbeda, tapi masih berdekatan dengan Novi. Jena semeja dengan Novi. Ayu, sepertinya diam saja. Jena tertawa-tawa, ngakak sambil berponsel. Itu kebiasaan buruknya.

            Aku duduk di bangku kosong dekat Ayu setelah selesai memesan minuman di kasir. Aku heran melihat Novi sedang menunduk yang segera kuketahui ia sedang makan nasi pecel bungkus.

            “Ayu sudah dapet kos?” Yusi, salah satu teman nongkrong kami, bertanya ke Ayu.

            “Katanya Basirah pindah, diganti Ayu aja kenapa?” Jane berpendapat. Basirah, teman kami juga, ngekos satu kompleks dengan Novi.

            “Nggak tau Ayu. Mau apa nggak.” Novi pelan-pelan berbicara sambil makan. Mulutnya sedikit belepotan kacang. Itu kebiasaan buruknya. Tidak tahu makan di mana, dan makan apa, selalu akan begitu.

            “Walaupun pindah, tapi katanya untuk tempat barang-barang,” tanggap Ayu. Gelagat bicaranya kurang nyaman. Serak.

            “Kamu sakit, Yu? suaramu serak begitu.” Yusi bertanya heran.

            Novi menghentikan makannya tiba-tiba. Ia mengambil tissu dan menghapus belepotan kacangnya. Tentu saja, aku tahu kenapa suara Ayu serak dan aku juga tahu kenapa Novi menghentikan makannya.

***

            Sebenarnya, Ayu berpembawaan pendiam. Lebih tepatnya, Ayu selalu menyimpan beberapa rahasianya. Ia sangat jarang berbicara panjang ketika kami berkumpul. Bahkan saat kami masih ngontrak, ia hanya berbicara tentang dirinya yang bersifat umum saja. Misalnya tentang hobi, makanan kesukaan, atau tentang warna yang disukainya, itu pun sekedarnya saja. Pendek kata, Ayu lebih banyak jadi pendengar dari pada berbicara untuk urusan curhat. Meskipun Ayu banyak berbicara dengan Novi, namun yang dibicarakan Ayu soal yang ringan-ringan saja (sekali lagi kukatakan, tidak terlampau paling pribadi).

            Makanya aku sedikit heran ketika tadi Ayu datang ke kosku tiba-tiba ngelunjak. Biasanya kalau Ayu punya masalah yang sekiranya perlu bantuan, ia akan memendamnya dulu beberapa hari, lalu membicarakannya pelan-pelan, tidak grusa-grusu, denganku. Untuk masalah yang sangat pribadi, aku selalu menjadi tumpuan Ayu. Pertemanan Ayu dan aku terjalin sudah lama, lebih lama dari pada Ayu dengan Novi. Selain itu—juga selain Ayu dan aku pernah satu kontrakan—, kami juga kuliah satu jurusan di Jurusan Sejarah. Aku berkesimpulan, pasti perbuatan Novi membuat Ayu sangat sakit hati sehingga ia tidak bisa memendamnya.

            Pembawaannya itu berbeda jauh dengan Jane, yang selalu banyak bicara dan tertawa. Hal-hal yang tidak penting, orang-orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan kami, dan apa pun yang mungkin bersarang di otak Jane, semuanya ia keluarkan dari mulutnya. Sampai aku sendiri, bosannya setengah mati mendengarkan.

            Kadang aku bertanya-tanya dalam hati, apa Ayu tidak bosan dengan tabiat Jane itu? Jane dan Ayu sering bersama. Bahkan dalam hal nongkrong yang kami lakukan setiap hari di sebuah kafe kecil tak jauh dari kampus—tempat kami nongkrong saat ini—, Jane selalu menjemput Ayu ke kontrakan ketika kami masih ngontrak. Sering ketika aku nyusul ke tempat nongkrong, kudapati Jane tengah berbusa-busa berbicara dan tertawa, dan Ayu terlihat seperti menyimaknya dengan seksama—juga selalu nampak Ayu tersenyum dipaksakan untuk menghargai Jane. Yang perlu digaris bawahi dari Jane, setiap ia mengomentari masalah-masalah yang terjadi, baik itu masalah dari masing-masing kami atau masalah yang sama sekali tak berhubungan dengan kami—misalnya masalah negara—Jane selalu menggurui dan memberi saran.

            Seperti masalah Ayu yang belum punya kos, menggurui dan memberi saran adalah tugasnya. Dan, saat-saat kami berkumpul, seperti saat sekarang ini, itu waktu yang tepat baginya melaksanakan tugas yang membuat kami—terutama aku—bosan setengah mati.

            “Kalau kamu ganti tempatnya Basirah kan enak, Yu. Kamu bisa dekat dengan Novi dan kalian bisa lebih serius menyiapkan diri untuk ikut idol-idolan itu lho. Aku juga lebih dekat jemput kamu untuk nongkrong,” kata Jane. “Kalau Basirah memang masih make kamarnya, kamu terus saja di tempat Novi dulu sampai salah satu dari kamar di sana kosong. Yang penting kamu dan Novi terus bersama, biar kalian konsentrasi ngasah musik,” lanjutnya.

            Aku tahu pasti, Ayu dan Novi bermusik sekedar hobi saja. Tidak untuk ikut audisi idol. Kulihat, Ayu dan Novi sama-sama diam. Ayu dalam posisi menunduk. Harusnya Ayu tidak ikut nongkrong, setidaknya hari ini, batinku. Tapi begitulah Ayu. Dalam kondisi bermasalah dengan Novi sekalipun, ia tetat nongkrong. Pasti juga karena Jane yang merajuk memaksa Ayu ikut nongkrong.

            Teman-teman yang lain masih belum tahu insiden penguriran Ayu oleh Novi. Aku menduga, Ayu berada di sini untuk menutupi itu. Karena sudah tiga hari ini Ayu numpang di kosnya Novi, maka Ayu—mungkin—mencitrakan diri tak ada masalah dengan Novi di depan teman-teman. Kecuali di depanku tentunya.

            “Hitung-hitung kamu dapet tempat gratisan kalau di Novi, Yu. Kalian juga akan lebih sering beli nasi pecel, ha-ha-ha,” kata Jane. “Bagaimana menurutmu, Fai?” Jane minta pendapatku.

            Aku hanya mengangkat alis. Kulihat Ayu memain-mainkan kukunya. Novi matanya mendelik ke Jane. Tatapannya seperti akan marah.

            “Kenapa kamu, Nov?” Yusi tiba-tiba berdiri dan cepat memijit leher Novi. Novi muntah. Dari mulutnya keluar nasi pecel yang beberapa waktu lalu dimakannya.

            “Syukurin.” Ayu berkata pelan, nyaris tanpa suara. Kurasa hanya aku yang mendengar Ayu berkata.

***

Tags

About The Author

RACHEM McADAMS 26
Novice

RACHEM McADAMS

penyuka prosa & kucing | sesekali menulis cerpen & novelette
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel