Bandung, Sebuah Ingatan Masa Silam

5 Jun 2016 22:02 4195 Hits 6 Comments

Doel Sumbang, Angkot, dan Gadis (bukan) Kuntilanak

Saat itu, pertengahan Oktober 2013, dari Jakarta ke Bandung, kami berenam tiba sore hari di halaman Horison, salah satu hotel di sepanjang jalan Pelajar Pejuang. Bandung menjadi tujuan kami setelah mengikuti sebuah acara di Jakarta.

Di Bandung, seperti biasa, saya membawa mental pemabuk-super sejak dalam kandungan ibu. Di antara enam orang itu, satu-satunya orang yang suka mabuk hanyalah saya. Pantas kiranya saya disebut the only one tukang mabuk. Tukang mabuk dalam perjalanan. Mabuk perjalanan yang sudah default dalam diri saya.

Ada pun scene daripada adegan mabuk itu adalah sebagai berikut:

"Dari dalam sebuah mobil, seorang laki-laki ringsek baru saja mandi muntahannya sendiri. Ia keluar dari mobil dan muntahannya masih berlanjut hingga membanjiri empat atau lima paving halaman hotel Horison. Si laki-laki membatin: andai naik dokar, pasti aku selamat dari godaan jin pemabuk. Laki-laki lain dalam diri si laki-laki juga membatin: dasar kampungan!"

Selesai mabuk, saya naik kembali ke mobil dan mobil keluar dari Horison meninggalkan satu orang yang akan bermalam di hotel itu (di Horison, orang ini janjian dengan salah seorang teman kami yang terlebih dahulu tiba di Bandung dan pada malamnya teman kami itu akan mengadakan syukuran pernikahannya di Dago, Bandung bagian utara). Sedangkan kami berlima, akan bermalam di hotel lain tak jauh dari Horison. Kurang lebih tiga ratus meter di sisi kanan Horison, sebuah hotel—yang tak terlihat hotel jika hotel baru dikatakan hotel kalau mentereng macam Horison—akan menjadi tempat kami bermalam di Bandung (saya lupa apa nama hotel ini).

Di undakan pertama teras hotel setelah kami tiba, angin Bandung lewat. Di kasir hotel, seorang gadis tersenyum ramah. Senyum si gadis semanis senyum Rachel McAdams, saudari jauh saya, jauh-uh-uh (saya dan Rachel McAdams sama-sama keturunan nabi: Nabi Adam, ha-hay). Begitu si gadis menyapa, saya lupa bahwa lima menit sebelumnya, lidah saya nyaris meloncat karena mabuk yang dubilah bikin malu saja.

Tiba di kamar hotel, kami—atau tepatnya saya sendiri—langsung tidur dengan suasana mabuk memeluk erat. Tiga atau empat jam kemudian kami tiba di sebuah kafe di Dago, mengikuti acara syukuran pernikahan salah seorang teman kami itu (saya masih mabuk di Dago. Jadinya, sulit menceritakan keindahan Dago karena saya terlalu berkubang dengan mabuk. Padahal, Dago itu sangat ciamik, duh-duh). Satu jam lebih di sana sebelum kemudian kami kembali di hotel.

Pada pagi harinya, saya dan salah seorang rombangan kami menyetop angkot di jalan depan hotel dan tepat saat kami duduk di angkot, saat itulah saya merasa menemukan Bandung sebagaimana yang saya imajinasikan. Bandung masuk ke dalam telinga, berdiam diri di dalam kepala, dan saya dibuat terlena. Saya jadi lupa caranya mabuk. Suara Doel Sumbang mengisi seantero angkot.

"Doel Sumbang!" ujar saya, seolah-olah menemukan Doel Sumbang tengah berdiri gagah di depan saya.

 

Doel Sumbang, Angkot, dan Gadis (bukan) Kuntilanak

Bolehlah kiranya pemerintah melarang orang-orang Bandung mendengarkan lagu-lagu The Bealtes; tak mengapa juga aparat menyiris semua smartphone, personal computer, maupun alat pemutar musik lainnya milik rakyat Bandung dan menghapus semua lagu-lagu Taylor Swift atau lagu-lagu Lady Gaga di dalamnya. Hal sama boleh pula: lagu-lagu Kangen Band (gik-gik-gik). Melarang lagu-lagu semacam itu barangkali tak berpengaruh apa-apa terhadap telinga orang-orang Bandung.

Tetapi jangan coba-coba lakukan hal demikian terhadap lagu-lagu Doel Sumbang. Itu hanya akan membuat Bandung terasa bukan Bandung. Bandung akan terasa sumbang tanpa nomor-nomor cantik dari Doel Sumbang. Bukan begitu, Aak? Bukan begitu, Neng?

Tentunya frase-frase ini sangatlah subjektif. Tapi begitulah saya menduga setelah di dalam angkot, Doel Sumbang mengudarakan tembang-tembangnya. Tak pernah saya menduga, angkot di Bandung akan se-Doel Sumbang itu. Meskipun saya selalu memutar lagu-lagu Doel Sumbang dan banyak berteman dengan orang-orang Bandung (dan orang Sunda di luar Bandung) selama studi di Jogjakarta 14 semester, mereka tak pernah bercerita pada saya tentang sebegitu menyenangkannya naik angkot di sana dengan ditemani Doel Sumbang. Barangkali mereka adalah bagian dari skenario Tuhan Seru Sekalian Alam, agar saya dapat "bertemu" dengan Doel Sumbang di angkot tanpa harus memiliki informasi sebelumnya. Pendeknya, skenario untuk sebuah kejutan.

Begitulah. Kami turun dari angkot entah di mana bersamaan dengan Doel Sumbang yang berkata: "Pacaran aja sama kuda," ujarnya, mengakhiri nomor Blak-blakan.

Berikutnya, kami berjalan mengikuti ke mana kaki membawa. Pepohonan rindang menaungi. Sepanjang jalan, mata kami dimanjakan kuliner khas Bandung yang membuat lidah tak mau diam: Batagor, Siomay, dan Cimol (tentu saja selain ketiganya banyak lagi makanan yang lain). Ketiga makanan ini telah menyandera lidah saya sejak saya menginjakkan kaki di Jogja pada 2007 (di Jogja, kuliner khas Bandung ini sangat populer dan gampang ditemui).

"Ayuk coba bakso bandung," kata teman saya, menunjuk sebuah gerobak bertuliskan bakso bandung.

Usai makan bakso tanpa saling berbicara, kami berdua berjalan dan ternyata di luar dugaan, jalan yang kami lalui menuju ke jalan raya di seberang hotel tempat kami nginap. Sesampainya di terotoar seberang hotel, kami memutuskan untuk ngopi di sebuah warung kecil di bawah pohon kersen. Belum lagi kopi dihidangkan, teman saya menaikkan dagunya semacam memberi isyarat agar saya menoleh. Teman saya berkata: "Kek, sumpah ngocernang," ucap teman saya bagai terkejut (Kek: semacam panggilan Bung dalam Bahasa Madura. Ngocernang: Bahasa Madura untuk menyebut wanita yang terlampau amat sangat cantik).

Saya menoleh ke kiri, sesuai arahan teman saya. Beberapa meter di depan saya, seorang gadis tengah memetik buah kersen. Gadis itu memakai t-shirt warna kuning dan jins biru dongker. Rambut si gadis lurus, hitam legam, dan terlihat kuat seperti surai kuda. Entah bagaimana keadannya, usai kersen didapatkan, gadis itu menoleh ke saya. Mata kami bertemu (wow, seperti film-film FTV dong, hi-hi). Mata saya tersedot oleh matanya. Mata si gadis lembut dan mematikan. Sepasang alisnya menyabit dan sedikit tebal. Bibir si gadis seperti baru saja mengecup buah delima (alis si gadis membuat saya yakin bahwa dia orang Bandung, atau paling tidak orang Sunda di luar Bandung. Karena di dunia ini tidak ada wanita yang memiliki alis seelok gadis-gadis Bandung/Sunda, hmm).

Saya bahkan tak percaya dengan apa yang saya lihat. Saya tidak yakin bahwa gadis itu dari jenis manusia. Tepat saat gadis itu mengalihkan pandangannya pada kersen beberapa detik kemudian, tanpa buang waktu saya menatap sepasang kakinya, khawatir kalau-kalau kaki si gadis tak menyentuh tanah atau kakinya berbentuk kaki kuda (gadis cantik dengan kaki semacam itu tak lain adalah kuntilanak, ikkkhhh.. ngeri, Mang..). Sepasang kaki si gadis saya lihat normal dan memiliki pergelangan ramping. Kuku-kukunya merah oleh cat kuku dan itu menambah kesan eksotik pada sepasang kakinya yang disanggah high heels. Tak diragukan lagi, si gadis adalah manusia. Bukan kuntilanak.. hi-hi.

Pada titik itu, andai Ridwan Kamil yang saat itu baru dilantik sebagai Walikota Bandung pada bulan sebelumnya mendatangi saya dan mengatakan bahwa saya dapat mencium punggung tangan si gadis saat itu juga dan besoknya saya akan disambar petir, maka saya akan setuju. Amat sangat terlampu setuju. Sungguh!

Tags

About The Author

RACHEM McADAMS 26
Novice

RACHEM McADAMS

penyuka prosa & kucing | sesekali menulis cerpen & novelette
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel