Kartsen

26 May 2016 09:13 4522 Hits 1 Comments
Cerpen

Bulan yang kuning bundar itu tetap tak sempurna. Selalu ada noda hitam di setiap lekuknya, bukti bahwa bulanpun tak sempurna meski banyak yang mencintainya tanpa sebab. Isya yang baru saja selesai menyisahkan aroma wangi khas para ustad. Seorang pemulung yang bertubuh kecil, sibuk merogoh tong sampah. Ratih melihat pemandangan itu dari Balkon lantai dua rumahnya.

Bertemu cinta pertama meski hanya melalui dunia maya, rasanya seperti balon yang terus menerus diisi udara. Malam ini Ratih merasakannya, jantungnya berdegup kencang, ketika pesan dari Alfa menggagalkannya untuk tidur nyenyak di kasur empuk dengan sprai putih bermotif mawar. Satu pesan yang dikirim Alfa malam itu membawa Ratih pada kenangan sepuluh tahun yang lalu, masa-masa terakhir di SMA, saat Alfa memberitahunya, bahwa dia akan pindah ke Jakarta. Melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia. Mengambil jurusan arsitektur. Alfa akan mampir ke Semarang, menggunakan kereta dari Jakarta. Ratih menawarkan untuk menjemput Alfa sesampainya di Stasiun Tawang. Alfa mengiyakan tawaran Ratih.

------

Pukul dua pagi, Kereta yang membawa Alfa berangkat dari Jakarta. Perjalanan Alfa yang memakan waktu enam jam lebih, membuat Ratih tidak bisa tidur nyenyak. Ada rindu yang menggantung di langit-langit kamar. Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Malam itu menjadi candu yang merebahkan rindu. Bertemu cinta pertama tak pernah semudah itu.

Sabtu pagi pukul sembilan, Honda Jazz silver milik Ratih sudah terparkir di halaman Stasiun Tawang. Teriakkan para porter dan sopir taksi yang menawarkan taksinya terdengar hingga telinga Ratih. Pemandangan biasa yang ada di Stasiun Tawang. Salah satu stasiun tertua di Indonesia. Stasiun yang menjadi saksi bisu kejayaan Belanda di Semarang.

Ruang tunggu stasiun tampak lengang, hanya ada beberapa orang yang sibuk menatap layar ponselnya. Seekor merpati yang terbang rendah menyita perhatian Ratih, membuatnya terus menatap hingga merpati hilang dari tatapannya. Fashion yang berubah setiap enam bulan sekali, tidak mempengaruhi gaya berpakaian Ratih pagi itu, jeans biru muda dan blus putih serta sepatu kets membuat Ratih tampak cantik. Rambut pirangnya yang dikuncir membuat leher putihnya yang mulus terlihat, membuat beberapa porter meliriknya sesekali.

Setengah jam menunggu, musik Gambang Semarang yang menandakan kedatangan kereta terdengar. Kereta yang membawa Alfa tiba tepat waktu. Ratih bangkit berdiri dan menuju pintu keluar stasiun. Matanya sigap mencari Alfa diantara keramaian. Ratih yakin, bisa mengenali wajah Alfa, meski sudah sepuluh tahun tidak bertemu. Diantara sopir taksi dan tukang ojek yang menawarkan tumpangan pada penumpang yang baru saja tiba, Ratih melihat seorang pria dengan rambut cepak menatapnya. Seorang pria yang terlihat necis dengan celana pendek cokelat yang berkantong di sisi kanan dan kirinya. Seorang pria dengan kaos hitam bergambar The Beatles, band kesukaan Alfa. Tidak salah lagi.

“Alfa?” Senyum Ratih bertanya.

“Ratih ya?” Alfa melepas earphone dari telinganya.

“Aku hampir nggak ngenalin. Untung kamu pakai The Beatles,” Ratih menunjuk kaus yang dipakai Alfa.

“Masih cantik aja kamu, Tih,” Alfa terkekeh, memeluk Ratih lembut, persis seperti sepasang kekasih yang baru bertemu.

“Bisa aja kamu, Fa. Jadi, mampir ke Semarang ada urusan apa?” Tanya Ratih setelah melepas pelukan Alfa.

“Mau jemput orang, nanti jam satu berangkat lagi ke Malang.” Alfa dan Ratih berjalan beriringan, meninggalkan pintu keluar stasiun, menuju mobil Ratih.

“Oh gitu, ada urusan apa di Malang?” Tanya Ratih.

“Biasa, urusan pekerjaan.”

“Wah, sukses ya kamu sekarang,” Ratih menekan tombol pada kunci mobilnya, membuat lampu mobilnya menyala dan berbunyi.

“Loh, kita naik mobil?” Tanya Alfa.

“Iya… Kenapa?” Tanya Ratih bingung.

“Nggak usah. Kita jalan-jalan aja ke Kota Lama, kangen juga aku, udah sepuluh tahun nggak ke Semarang.”

“Oh gitu, beneran nih? Lama loh, nunggu sampai jam dua belas,” Ratih meyakinkan Alfa.

“Bener, aku titip tasku aja di mobilmu. Bisa kan?” Tanya Alfa.

“Bisa dong, Sini tasmu,” Ratih membuka pintu mobilnya, meletakkan tas Alfa di kursi belakang.

“Mau kemana kita?” Tanya Ratih tepat setelah pintu mobilnya ditutup.

“Sarapan?”

Semasa SMA Ratih adalah gadis paling cantik di sekolahnya. Seorang wanita dengan IQ diatas rata-rata. Pemimpin redaksi majalah dinding yang terbit setiap kamis di sekolahnya. Ratih mencintai dunia kepenulisan, Ratih menulis ulasan tentang buku dan film pada salah satu kolom di mading sekolahnya. Pengalamannya di SMA itu membuatnya menjadi salah satu wartawan surat kabar terkenal di Semarang. Pekerjaannya hingga kini sejak lulus kuliah di Universitas Diponegoro.

Menjadi wartawan adalah cita-cita Ratih sejak lama. Ratih bukan main dalam pelajaran bahasa di sekolahnya dulu. Kehebatannya menulis puisi membuat gurunya terkesima. Baginya puisi adalah pembangkit jiwa. Menulis puisi berarti membangkitkan jiwa-jiwa yang rapuh dan usang. Puisinya dengan judul “Perempuan dalam payung” berhasil memenangkan sayembara penulisan puisi tingkat provinsi saat dia masih duduk di kelas satu. Sejak saat itulah kepala sekolah menjadikannya sebagai pemimpin redaksi majalah dinding. Puisi tentang sepasang kekasih yang berada dalam satu payung ketika hujan mengepung.

Pertemuan Ratih dengan Alfa bermula saat masa orientasi siswa. Ratih dan Alfa berada dalam satu kelompok. Di akhir masa orientasi siswa setiap kelompok wajib menampilkan pentas di panggung utama, semacam inagurasi yang memang selalu diadakan setiap tahun. Ratih menawarkan diri untuk membaca puisi. Alfa yang pandai memetik gitar mengajukan diri untuk mengiringi Ratih membaca puisi. Saat itu Ratih membawakan puisi karangannya sendiri berjudul “Malam bersamamu”. Malunya Alfa yang meneteskan air mata setelah Ratih selesai membaca puisi, membuat gitarnya basah oleh air mata. Riuh tepuk tangan dari penonton memancarkan senyum di bibir keduanya. Ratih menggandeng Alfa saat berjalan turun dari panggung, menempelkan kepalanya di bahu Alfa yang lebar, lalu mengucapkan terimakasih. Jantung Alfa berdegup kencang, dahinya basah oleh keringat.

“Mau makan apa?” Tanya Ratih.

“Aku lagi ngidam mie goreng nih, ada nggak ya jam segini?” Alfa mengelus perutnya, menatap Ratih.

“Mie Goreng? Hmm… Oh ada! Tapi mie goring kaki lima, gerobakan gitu,” Ratih memegang dagunya, mencoba mengingat.

“Boleh,” Jawab Alfa dengan antusias.

“Yaudah ayo, biasanya jam segini ada di sekitar Taman Srigunting,” Ajak Ratih, berjalan mendahului Alfa.

Saat turun dari panggung, Ratih merasakan lengan Alfa yang dingin dan melihat dahinya yang penuh peluh keringat. Ratih tersenyum menatap Alfa yang mengusap wajahnya—menghilangkan sisa-sisa air mata di pelipisnya. Saat itu juga, Alfa memberanikan diri untuk berkenalan, Ratih menyambutnya dengan antusias, jabat tangan Ratih terasa kuat dan mantap. Air muka Alfa berubah drastis, ada senyum yang merekah, setengah matanya yang tertutup menjadi kesan bagi Ratih, kesan yang tidak bisa dilupakan hingga kini.

Setelah perkenalan itu. Ratih dan Alfa bagai sepasang kekasih yang tidak terlepaskan. Setiap pagi Alfa selalu menjemput Ratih dengan sepeda tua pemberian ayahnya. Memboncengkan Ratih adalah kesenangan bagi Alfa. Di atas sepeda, Ratih selalu membacakan puisi untuk Alfa. Berbeda dengan Ratih, Alfa tidak terlalu paham soal Sastra, Alfa hanya senang mendengar suara Ratih ketika kata demi kata yang diucapkan Ratih bisa membuatnya merinding.

Alfa pintar menggambar dan melukis. Sesekali melukis siluet wajah Ratih di bawah pohon mangga depan rumahnya selepas pulang sekolah. Di kamarnya penuh dengan kertas-kertas dengan gambar dan lukisan berbagai macam. Gambar gedung dengan arsitektur mewah dan klasik lebih banyak menghiasi dinding kamarnya.

“Nah, itu, ada kan,” Ratih menunjuk pedagang mie goreng jawa yang memakai topi caping beranyam bambu, tidak jauh dari Taman Srigunting. Alfa melihatnya, mengaggetkan Ratih dengan bergegegas berlari menuju gerobak cokelat yang warnanya telah pudar itu. Ratih menyusul Alfa, berteriak minta ditunggu.

“Pak, satu porsi ya,” Kata Alfa mengacungkan telunjuknya. Nafas Alfa sedikit terengah-engah selepas lari. Setelahnya, Ratih menampar punggung Alfa lalu memegang perutnya. Mengeluh keusilan Alfa yang belum saja hilang sejak SMA. Nafasnya memburu, lebih sesak ketimbang Alfa.

“Saya juga satu porsi, Pak,” Kata Ratih setelah mengatur nafasnya.

Pedagang mie itu tertawa melihat Alfa dan Ratih, membuat capingnya bergetar. Salah satu pedagang mie yang masih menggunakan tungku dan arang untuk memasak. Setelah bertanya pada Alfa dan Ratih perihal pedas atau tidaknya mie, pedagang itu langsung menyiapkan segala sesuatunya, mengambil kipas beranyam bambu yang diletakkan di atap gerobak, mengipas arang dengan cepat, lalu mengambil wajan yang digantungkan di bagian belakang gerobak, tempat dimana pedagang itu terbiasa mendorong gerobaknya.

Ratih dan Alfa beriringan mencari tempat duduk yang ada di Taman Srigunting. Belum banyak pengunjung pagi itu, hanya ada beberapa muda-mudi yang berfoto dengan latar Gereja Blenduk dan beberapa pedagang yang berjejer. Eksotisme bangunan tua langsung memanjakan Alfa dan Ratih yang duduk bersebelahan menunggu mienya datang. Gereja Blenduk yang putih bersih dengan atap warna merah yang masih bertahan sejak dulu, gedung tua Jiwasraya di depannya dan gedung Marabunta di sisi selatan. Rimbunnya pepohonan membuat suasana menjadi sejuk dan udara terasa segar.

“Nggak banyak berubah ya,” Kata Alfa dengan mata yang masih menyapu seluruh tempat.

“Iya… Ingat nggak, terakhir kita kesini?” Tanya Ratih.

“Ingetlah, yang kamu nangis dengar aku mau pindah ke Jakarta, kan?” Alfa terkekeh menggoda.

“Ih ngarang, siapa yang nangis,” Bantah Ratih, memukul bahu Alfa yang lebar.

“Ih emang iya,” Alfa menjulurkan lidahnya, meledek Ratih yang pipinya memerah.

Alfa dan Ratih bernostalgia, bercerita banyak hal, sembari menyantap mie yang tidak memakan banyak waktu untuk bisa sampai di tangan mereka. Sepuluh tahun tidak mengubah mereka, tidak juga mengubah perasaan Ratih pada Alfa yang mendekam lama—terpelihara dengan baik. Alfa dan Ratih masih terlihat sangat dekat, kehangatan diantara mereka berdua tampak jelas lewat senyum yang merekah dan tawa yang akrab.

Ciuman pertama antara Alfa dan Ratih terjadi saat SMA. Saat malam pentas seni peringatan ulang tahun sekolah. Alfa menarik tangan Ratih yang berdiri—berkumpul bersama teman-temannya menonton bintang tamu yang didatangkan. Alfa mengajak Ratih menjauhi kerumunan, membawanya di sudut lorong sekolah. Ciuman itu terjadi begitu cepat dan sangat lembut. Dahi mereka penuh dengan peluh keringat, tatapan mereka tampak berbeda, seperti tatapan sepasang kekasih yang dimabuk cinta.

“Jadi gimana kuliah jurusan Arsitektur?” Tanya Ratih diakhir sendok mienya.

“Asik kok, Kenapa?” Kata Alfa sembari mengunyah mienya.

“Cuma tanya aja.”

“Kalo kamu gimana? Jadi wartawan, terkenal, namamu tercantum di koran,” Alfa meletakkan piring mie yang telah habis, disampingnya.

“Yah, ini passionku, aku beruntung bisa jadi wartawan,” Kata Ratih menatap Alfa.

“Tapi bukan wartawan yang bisa dibayar kan?” Alfa terkekeh.

“Ya enggaklah, wartawan professional aku nih,” Ratih memukul bahu Alfa.

Alfa bercerita soal keindahan arsitektur di Kota Semarang, kota yang membuatnya tidak ingin singgah karena deretan bangunan tua khas arsitektur Belanda yang masih terjaga dengan baik. Matanya tidak pernah berpaling dari detail-detail indah yang terpampang di setiap bangunan. Bercerita tentang para arsitek yang berkarya di Semarang. Alfa mengidolakan Thomas Kartsen, orang dibalik pembangunan tiga pasar besar di Semarang. Johar, Jatingaleh dan Randusari. Dan berdirinya Rumah Sakit Elizabeth.

“Kenapa kamu mengidolakan Kartsen?” Tanya Ratih

“Sederhana, Tih. Dia arsitek Belanda yang pro-kemerdekaan. Disaat banyak arsitek Belanda yang tidak mengambil sikap itu. Kartsen teguh pada pendiriannya, hingga dia bercita-cita untuk wafat di Indonesia. Yah, meskipun dia wafat secara tragis.”

“Tragis??”

“Iya, tragis. Dia ditangkap tentara Jepang tahun empat dua, Tiga tahun ditahan di Kamp Interniran Cimahi. Akhirnya mati disiksa tahun empat lima.”

Karsten menikahi darah asli Jawa, Soembinah Mangunredjo dan mempunyai empat anak, Regina, Simon, Joris, Barta. Kartsen, putra seorang profesor Filsafat. Ibunya seorang kelahiran Jawa Tengah. Kartsen lulus tahun 1908, mendapat gelar Arsitek dari Technische Hoogeschool, Sekolah Teknik di Delft, Belanda.

“Tahu nggak Ratih. Kartsen itu orang yang suka mengkritik banyak arsitek Belanda sebelum dia, loh.”

“Mengkritik?? Kenapa??” Tanya Ratih.

“Kartsen mengkrtik para arsitek Belanda yang punya konsep menaruh Eropa di Jawa… Itu terbukti dengan adanya bangunan-bangunan khas Eropa di setiap kota di Indonesia.”

“Memangnya, Kartsen punya konsep apa soal arsitektur?” Ratih bertanya penasaran, menatap Alfa yang masih memandang lagit-langit sembari bercerita.

“Bagi Karsten, Jawa ya, Jawa, bukan Belanda. Karsten menganggap kota sebagai suatu organisme hidup yang terus bertumbuh. Kota harus punya taman dan ruang terbuka hijau. Seperti Srigunting ini. Pemikiran Kartsen itu, jadi sebab munculnya gaya arsitektur Indisch. Yang populer dimasa pra-kemerdekaan.”

“Oh gitu… Aku baru tahu sejarah itu. Memang apalagi karya Kartsen selain Pasar Johar, Jatingaleh, Randu, Rumah Sakit Elizabeth.”

“Itu… Gedung Asuransi Jiwasraya,” Alfa menunjuk gedung yang berada tepat di depan Gereja Blenduk. “Kamu tahu Taman Diponegoro?? Dekatnya Rumah Sakt Elizabeth??” Tanya Alfa.

“Tahu-tahu,” Ratih mengangguk cepat.

“Nah, itu juga salah satu taman terbuka hijau karya Kartsen.”

Ratih terus menatap Alfa dengan kerinduan yang memuncak. Alfa yang sedang berkelakar masih canggung dan malu-malu melihat Ratih yang menatapnya. Setelah dua jam hanya duduk dan membicarakan banyak hal. Akhirnya mata mereka saling menatap dengan air muka yang menahan rindu. Sesekali Ratih menggigit bibirnya, Alfa menahan diri untuk tidak mencium Ratih. Tapi, apa yang ditahan Alfa runtuh dengan sergapan Ratih yang tiba-tiba mengecup bibirnya. Alfa membalasnya. Alfa dan Ratih saling berpelukan setelah kecupan singkat yang entah untuk apa. Senyum Ratih merekah. Tapi Alfa, tampak aneh. Menyentuh bibir dengan jari-jarinya

Hampir pukul dua belas. Teriknya siang terasa hingga kulit Ratih yang putih mulus. Alfa bersiap untuk kereta selanjutnya menuju Malang, Ratih mengikuti Alfa dengan wajah pasi menahan kecanggungan dianatara mereka. Tanpa sadar perjalanan dari taman itu ke Stasiun Alfa menggandeng Ratih. Mengelus punggung tangan Ratih dengan ibu jarinya. Ratih yang tidak lebih tinggi dari Alfa, menatapnya, hidung mancung Alfa tampak mengacung.

Setengah jam sebelum kereta berangkat. Alfa yang menunggu seseorang di depan pintu masuk, terus melihat arlojinya. Ratih masih menemani Alfa sembari membuka pembicaraan. Alfa meminta maaf. Kecupan yang harusnya tidak terjadi diantara mereka, telah membuat Ratih merasa terbuka lagi. Perasaan Ratih membuncah. Seperti jaring laba-laba yang menua, yang tersentuh tapi tidak hancur.

Lima belas menit menunggu. Taksi biru berhenti tepat di depan Ratih dan Alfa. Ratih melihat Alfa yang tersenyum, melambaikan tangan pada seorang anak. Seorang anak berumur lima tahun langsung berlari menuju Alfa—memeluknya. Kening Ratih mengkerut ketika melihat seorang wanita dengan terusan hitam tanpa lengan yang turun dari taksi. Rambutnya yang pendek—boobs, matanya yang berkilau dan kulit yang langsat, berjalan menuju ke arahnya. Alfa menyalaminya lalu wanita itu mencium kedua pipi Alfa.

“Kenalin, Tih. Ini Anna,” Kata Alfa menatap Ratih yang bingung

“Ratih,” Ratih menyalami wanita itu.

“Anna… Anna Kartsen.”

“Nava, ayo salim sama tante Ratih,” Kata Alfa. Nava menyalami Ratih malu-malu, mencium punggung tangannya.

“Anakku,” Senyum Alfa menatap Ratih.

Kening Ratih mengkerut, penuh dengan peluh keringat. Jantungnya berdegup kencang terlihat dari dadanya yang bergetar. Tampak kentara.

“Aku duluan ya, Tih.” Alfa menyalami Ratih—berlalu, Masuk setelah Nava memanggil namanya. 

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 38
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel