Postcard Waerebo bab 4

23 May 2016 21:33 14533 Hits 316 Comments Approved by Plimbi
Kedatangan Ayu, San, Alex, Tom, Noel, dan Stefan, disambut dengan kejadian yang tak diduga sama sekali. Baru Ayu menyadari siapa Alex dan Tom. saling belajar dengan anak-anak tak ketinggaln ikut bermain di Bab 4.

POSTCARD WAEREBO

Bagi yang belum membaca bagian sebelumnya, silakan cek link berikut :

Postcard Waerebo Bab 1

Postcard Waerebo Bab 2

Postcard Waerebo Bab 3

Postcard Waerebo bab 4

 

BAB 4

Janur melengkung warna kuning menghias ujung gerbang rumah adat. Menandakan persiapan upacara Penti akan segera tiba. Di depan pintu gerbang utama, terbentang tanah lapang luas, serta rumput tampak rapi dan terawat. Tujuh rumah adat Wae Rebo beratap ijuk dari ujung atas hingga paling bawah, berada di tepian lapangan, berpagar  tujuh gunung kecil yang menyembul dibelakangnya. Gunung Ponto Nao, Rega, Ulu Waerebo, Golo Ponto, Hembel, Polo, dan Poco Tonggor Kiria. San masih menggandengku. Bukan itu saja, sesekali kulit tanganku bersinggungan dengan kulit tangan Noel yang juga berjalan disebelahku.

Tentu saja aku terus membatin setelah perjalanan yang kami lalui. Harapan dan keinginankua utk mendapatkan salah satu dari mereka seperti kucing sedang birahi.  Aku tinggal tetap menjadi apa adanya, tanpa harus membuat drama jadi-jadian.   

Hampir semua orang dewasa, meletakkan pekerjaannya, berbaris tak beraturan di sepanjang garis tengah lapangan, menyalami kami. Saling menyapa hangat, dan mengucapkan terimakasih telah datang ketempat mereka nan jauh. Juven, dan Frans berbicara akrab dengan sebagian masyarakat dengan bahasa Manggarai, sambil membibing rombongan kami menuju rumah adat utama, yaitu rumah Gendang, untuk bertemu tetua adat.

Seorang anak berumur sekitar sepuluh tahun, menyentuh jemariku dari belakang,

“Kakak yang akan belajar dengan kita, kah?” Tanya si anak perempuan disebelahku

“Betul sekali.. tapi kita harus kerumah gendang dulu, trus kakak mandi. Ini lumpur semua, so..!” Jawabku akrab.  Yang kemudian aku ketahui namanya Catarina. Alex dan Stefan memandangku bersamaan.

Postcard Waerebo bab 4

“You are great..” Kata Stefan. Aku tersenyum salah tingkah sekaligus jadi seperti blo’on, sampai aku menginjak kotoran sapi didepanku yang sudah kering. San tidak tahan untuk menahan tawa sekaligus bisa membaca pikiranku. Aku juga tak perlu mengelak untuk malu.

“Senyuman dan tai sapi…” Aku berkomentar sambil membersihkan sepatu ke rumput. San makin terbahak.

“Kadang, senyuman menggoda itu memang seperti kotoran sapi, so..!” Juven ikut berkomentar.

Siapapun tamu yang datang, apapun jabatannya, harus bertemu dengan tetua adat terlebih dahulu di Niang Gendang sebelum melakukan aktivitas. Sebuah simbol penghormatan diberikan oleh adat pada para tamu, tanpa membedakan ras, agama, keturunan, dan jabatan.

Rumah Gendang Maro, menjadi rumah adat utama, diyakini menjadi tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Tinggi bangunan ini sekitar 14 meter dan paling tinggi diantara enam rumah Niang lainnya. Di ujung atapnya ditancapkan Ngando, simbul kepala kerbau, hewan yang dianggap suci. Kepala kerbau menjadi penanda telah dilakukan korban sekaligus pengesahan rumah adat dan kekuatan budaya rumah ini. Berbentuk bulat, tinggi megah, kokoh, beratap ijuk, dan mengerucut. Disangga oleh banyak kayu kuat dengan model garpu bercabang dua. Semua sambungan diikat menggunakan tali yang juga berasal dari kayu kenti.

Hanya ada satu pintu di depan berbentuk oval. Di bagian depan rumah menyatu dengan pintu masuk, ada semacam teras yang tersusun dari beragam bentuk batu-batu berukuran sedang. Tertata rapi, setinggi pinggang orang dewasa, serta cukup luas. Menjadi tempat para tamu, maupun warga untuk sekedar duduk-duduk, berbincang, sekaligus mereguk udara segar. Duduk berjajar diatas teras batu melepas sepatu, aku merasakan ada kabut menyentuh kulitku. Hatiku meminta, agar desiran kabut  bisa menguak misteri debar jantungku sepanjang perjalananku disini.  

Postcard Waerebo bab 4

“Kakak capek kah?” Tanya Catarina

Aku mengelus rambut kumal anak perempuan itu, “Capek sedikit, tapi kakak senang setelah tiba disini. Kalian punya rumah bagus, dikeliling oleh gunung dan hutan.”  Jawabku

Tiba-tiba teriakan warga terdengar panic dan riuh dari salah satu rumah adat. Semua warga serta anak-anak langsung menuju rumah tersebut. “Ada apakah?” Tanyaku pada Catarina yang baru saja menyapaku.

“Ada mama Febrianus, berdarah banyak sejak tadi pagi, so. Mungkin adek bayinya mau keluar tapi susah..” Jawab Catarina polos. San langsung menyampaikan ke Tom, Noel, Alex, dan Stefan.

“Kita kesana! Ajak San sambil menarik tanganku.”  Kami bergegas menuju rumah tempat kerumunan warga bersama Catarina. 

“Kamu minta ijin, kita akan mengobati.”Aku jadi yang bengong melihat San. “Cepat! Alex dan Tom adalah dokter.” Sambung San. Aku langsung minta ijin pada warga, untuk lewat. Sambil jantungku berdebar ternyata Alex dan Tom adalah dokter.

“Kakak, bisa tolong kita?” Tanya seorang mama

“Teman saya dokter, mama. kita akan coba tolong.” Jawabku. Kerumunan masyarakat langsung memberi jalan pada kami.

“Bisa minta tolong sebagian menunggu diluar, agar kita bisa bekerja.” Kata San sopan pada warga.  Masyarakat sebagian beranjak keluar rumah.

“Tolong mama saya, kakak..” Kata Febrianus.

Postcard Waerebo bab 4

Alex dan Tom mulai bekerja setelah lebih dulu mencuci tangannya dengan tissue basah. Memakai sarung tangan dokter serta masker dan Mengeluarkan segala peralatan dokter darurat yang dibawa keduanya. Aku melihat darah yang banyak ditikar tempat mama Febrianus berbaring tak sadarkan diri. Diam tergolek dengan wajah pasi, Mama Febrianus tengah hamil tujuh bulan. Terjadi pendarahan hebat pada mama Febrianus sejak pagi. Tom dan Alex minta aku membantu menyadarkan mama Febrianus. Sementara ia memeriksa kandungan dan pada bagian yang menyangkut kewanitaan.

“A baby was pass away.” Kata Alex. Aku menarik nafas panjang. 

“She has to push outside.” Sambung Tom. Segera Aku berusaha membangunkan wanita didepanku ini, bahkan sedikit menampar pipinya. Setengah sadar mama Febrianus bangun. Aku paksa mama febrianus minum air putih dan kopi, agar tetap terjaga.

Aku menyampaikan apa yang dikatakan Tom dan Alex pada mama Febrianus. “Bayi mama sudah meninggal didalam, mama harus keluarkan bayi ini. Kita akan bantu, so!” Kataku berusaha tegar. Mama Febrianus hanya mengangguk pasrah.

Setelah Alex menyuntikkan sesuatu ke paha mama Febrianus, proses persalinanpun dimulai. Mama-mama sudah menyiapkan air panas. Aku memberi aba-aba pada mama Febrianus untuk menarik nafas mengejan, sesuai instruksi dari Tom dan Alex. Karena aku sendiri belum pernah melahirkan, tubuhku ikut berkeringat padahal udara dingin. Setelah dua puluh menit berjuang, aku menyaksikan bagaimana mama Febrianuspun berhasil mengeluarkan bayinya. Air mataku tak bisa ditahan lagi, ikut merasakan bagaimana mama Febrianus harus mengeluarkan bayi yang sudah meninggal.

Bayi yang sudah meninggal. Tak ada tangis, sebagian tubuh bayi laki-laki ini sudah berwarna biru. Setelah dibersihkan, sang papa langsung menggendong bayi untuk segera dikuburkan. Noel, Stefa, dan San, ikut membantu menguburkan sang bayi. Ada duka diwajah kedua orangtua ini. Tom dan Alex masih bekerja untuk mama Febrian. Setelah semua selesai, mama Febrianus dipindah tempat, ke tempat yang bersih. Kemudian seluruh warga bekerja bakti membersihkan rumah. Membakar tikar bekas darah, dan mengikuti segala instruksi dari Tom dan Alex. Hal yang sering terjadi pada wanita dipedalaman. Mungkin juga ini bukan hal istimewa bagi mereka. Wanita-wanita harus bekerja keras naik turun gunung membawa bawaan berat dalam kondisi hamil.

Kami berenam kembali duduk di depan rumah Gendang utama setelah semua selesa. Aku masih belum percaya dengan kejadian yang baru berlalu. 

“Are you ok?” Tanya Alex tenang sambil menepuk pundakku. “I know what you feel.” Sambung Alex lagi. Pakaian kami juga masih kotor oleh lumpur dan hujan. Aku masih lemas. Sementara masyarakat harus kembali pada persiapan upacara Penti. Berlima menatapku, tahu apa yang aku rasakan. Padahal pikiran nakalku juga tengah berpikir tentang gelar yang disandang oleh Alex dan Tom. Hal lumrah kalau aku juga ingn mendapatkan yang bagus-bagus.

“Kamu harus segera sama anak-anak.. jangan sedih…” San berpesan. Aku hanya mengangguk. San benar, aku harus segera berinteraksi dengan anak-anak lain yang sudah menunggu.

Postcard Waerebo bab 4

Tetua adat  sudah menunggu di dalam Niang Gendang Maro. Di kiri kanan menuju pintu masuk, dua buah alat musik gong berukuran besar dan kecil tergantung pada dinding kayu kokoh. Kami memberi salam hormat pada Pak, Rafael Niwang, Pak Rovinus Numpor, serta Pak Alex. Pak Rovinus menerima kedatangan kami, dan memberikan sedikit wejangan secara umum. Tak harus bisa bahasa mereka, namun mengerti dan menghargai maksud semua, sama artinya kita menjujung tinggi adat istiadat mereka.

Bagian dalam rumah cukup luas, berbentuk bulat, mengandung filosofis pola hidup manusia tidak harus diwarnai konflik. Hidup manusia lebih bermakna dengan ketulusan, kebulatan hati, dan keadilan. Itu sebabnya, musyawarah di Niang Gendang Maro, mengambil posisi melingkar. Dihuni oleh enam sampai tujuh keluarga, tak perlu ada rasa iri, dengki, atau sombong. Rumah utama ini menjadi pusat aturan adat sekaligus menjadi titik pertemuan masyarakat untuk berdiskusi, dan menyelesaikan segala permasalahan.

Bongkok, menjadi sebutan pada tiang utama, berada di bagian tengah rumah. Wujudnya berupa dua batang kayu disambung. Inilah Papa Ngando dan Ngando. Menjadi lambang perkawinan laki-laki dan perempuan. Rumah adat ini juga di topang oleh sembilan tiang utama, menggambarkan kehidupan janin dalam kandungan selama sembilan bulan. Di salah satu bagian tiang utama dalam rumah tepat di depan pintu masuk, tergantung alat musik seperti gendang, dan beragam ukuran gong. Alat-alat musik ini harus disimpan dirumah adat Gendang Maro dan hanya akan diturunkan pada saat ada upacara adat. Anak-anak sudah ramai menunggu dan menyapaku didepan rumah Gendang Maro. Mereka seperti tidak tahu atau sudah lupa dengan meninggalnya adek Febrianus. Febrianus sendiri juga sudah seperti biasa saja.

“Kakak kita antar mandi, lalu kita belajar, so!” Anak-anak sudah mengerubungiku. San otomatis langsung translate ke Alex, Tom, Noel, dan Stefan, setiap ada bahasa yang tidak mereka mengerti.

“Kalian juga pasti belum mandi, kan..?!” Tanyaku ganti pada anak-anak. Aku tidak tahu mereka sudah mandi atau belum. Aku hanya melihat wajah yang kucel, ingus rata dengan wajah, serta gigi yang belum bersih. Mereka menjawab riuh bersamaan sambil malu-malu dan tertawa.

“Belum…!” Jawab mereka jujur. “Kita mandi bersama di pancuran saja..” Teriak Catarina. San, Alex, Stefan, Tom, dan Noel, Sesekali mengambil gambar anak-anak dan pasti ada gambarku juga.

“Bolehh… siapa takut..?!” Jawabku. Anak-anak bersorak gembira. Mendadak sang kabut menutup semua pemandangan hutan dan bukit yang mengelilingi rumah Niang. Namun hanya berselang beberapa menit, halimun menghilang, merubah lukisan alam menjadi sangat artistik. Langit biru, rimba hijau dan gugusan bukit  menjadi background rumah adat. Keelokannya tak tertandingi.

“Semua harus gosok gigi, supaya giginya tidak rusak, mulutnya tidak bau, dan senyum kalian akan semakin manis, so!” Aku berorasi.

“Tapi kita tidak ada sikat gigi, kakak.. biasanya kita pakai ranting pohon buat gosok gigi,so..” Kata Makarius 9 tahun

“Aaahh… kalau begitu nanti kita sikat gigi pakai batangnya saja, so..!.” Jawabku. Anak-anak tertawa.

“Lalu sikatnya kita kita pakai apakah, kakak?” Tanya Catarina.

“Bagian sikatnya kita pakai gosok lantai, supaya lantainya bisa tersenyum manis..!” Jawabku menggoda anak-anak.

“Lebih baik kita yang senyum manis, so!” Teriak Catarina. “Jadi kita yang sikat gigi..!” Sambung Catarina lagi. Aku bisa merasakan perhatian kelima cowok disekitarku, walaupun lewat lensa camera mereka.

Anak-anak membantu mengangkat barang-barang kami, ke salah satu rumah adat. Tumpukan kardus yang dikirim Anom sudah berada di rumah yang kami tempati. Tak banyak aku menjelaskan pada San dan kelompoknya. 

Kami segera membagikan sikat gigi, pepsodent, dan sabun mandi. Tanpa diperintah, anak-anak yang besar segera membantu yang kecil berbaris rapi, sambil menggendong adiknya. Lalu bersama menuju sumber mata air yang tak jauh dari rumah Niang. Tawa anak-anak pedalaman, selalu bisa meruntuhkan semua yang memberatkan hatiku.  Alex dan Tom berada paling depan memimpin, sambil menari-nari menggendong anak kecil dipundaknya.

Melewati jalan setapak yang masih licin oleh sisa air hujan, tepat berada di kaki bukit. Anak-anak bernyanyi bergembira dengan bahasa Manggarai. Tak ketinggalan Juven dan Frans ikut bernyanyi dengan nada paling keras. Memberi keramaian pada rimba nyenyat.

Di celah bukit cukup lebar dan tertutup pepohonan, suara gemercik sumber mata air dari gunung mengalir sangat bening melewati bebatuan. Dialirkan menggunakan bambu panjang sekitar satu meter lebih sedikit, jadilah pancuran air gunung segar dan dingin. Melihat pancuran dengan air segar, San, Alex, Stefan, Tom, dan Noel, langsung melepas kaos mereka yang sudah kotor oleh lumpur,

“Eiitt… Stop..! You’ll go shower after me..” Kataku sambil melihat kearah dada mereka berlima satu-satu. Cukup menyilaukan, dan aku harus menarik nafas panjang.

“Oohh.. please…” Berlima memohon.

“No..!” Jawabku sambil senyum menggoda.

Anak-anak bergabung dalam sumber mata air yang biasa digunakan untuk mandi kaum hawa. Pancuran air untuk kaum adam memang terpisah lumayan jauh. Semua mandi dengan membasahi bajunya. Bocah-bocah hanya ingin bermain bersama. Tak segan kami berlima menggosok badan anak-anak yang masih berumur 4 tahun sambil bercanda. Tom juga membawa dua botol shampo besar untuk dipakai keramas ramai-ramai. Baju kami ikut kuyub oleh air pancuran.

Akupun langsung ikut duduk dibawah pancuran bersama anak-anak perempuan. Air segar mengucur diatas kepalaku, aku melepas kuncir rambutku.

“Wow!!” Spontan San, Tom, dan Alex memandangku.

“Ini masih bagian kepala, so..!” Aku memandang kearah San, Tom, dan Alex. Alex menatapku lalu melemparkan sabun kearahku, aku menangkapnya dengan tepat. Aku tak berani menebak arti tatapan Alex, karena aku masih menunggu tatapan dari San, Tom, Stefan, atau Noel.

Anak-anak ikut mencuci rambutku dengan shampoo. Sedangkan Maria tiada henti mencuci rambutnya bergantian antara sabun dan shampoo. “Hai Maria, sudah cukup kau cuci rambut, so!” Kataku sambil menggosok badanku dan tentu saja aku tidak melepas baju.

“Supaya kita tidak perlu lagi cuci rambut sampai satu bulan, so!” Jawab Maria santai. San tertawa mendengarnya.

“Trivon, gosok semua badan kau ! Jangan hanya ketek kau saja yang kena sabun!” Teriak San, melihat Trivon tak berhenti menggosok keteknya. Noel dan Stefan tertawa melihat ulah Trivon yang tiada

“San, kau lihat Febrianus! Gosok giginya nggak berhenti!” Aku berteriak kearah San. San malah menatapku dalam, cooiii. Jantungku berhenti tiga detik.

“Pasta gigi ini rasanya seperti gula-gula, so..!” Jawab Febrianus sambil mulutnya masih penuh busa pepsodent. “Lama sekali kakak San melihat Kakak Ayu, so..!” Sambung Febrianus sebelas tahun sambil tertawa. Ternyata, Febrianus lebih jeli melihat situasi San dan aku.

Tatanan kehidupan bermasyarakat diatur oleh adat, sesuai dengan nilai-nilai kehidupan, harus ditaati dan dijunjung tinggi. Jika ada pelanggaran, maka siapapun akan mendapatkan sangsi dari adat, berupa denda atau dikeluarkan dari kampung.

Aku dan anak-anak meninggalkan sumber mata air lebih dulu. Sedangkan Alex, San, Tom, Stefan, dan Noel, berlari kearah pancuran tempat mandi kaum Adam.

“Ganti baju hangat..udara cukup dingin, kamu jangan sakit..” Pesan San terkesan dalam sambil menatap kejantungku sebelum melesat ke pancuran kaum Adam. Aku seperti terbawa emosi dan suasana, lalu mengangguk. Karena meluapnya kalbuku, pikiranku kembali terpelanting kemana-mana, betisku pun ikut kesangkut pohon singkong yang kulewati, hampir saja aku jatuh ke tumpukan pupuk kandang warga. Anak-anak segera menarikku.

“Hati-hati, kakak!” Teriak Catarina

Kabut dan langit biru tiada henti saling bertukar tempat setiap saat. San, Alex, Noel, Tom, dan Stefan, baru saja ganti baju, ketika suara riuh anak-anak terdengar memanggil kami.

“Kakak minum madu dari kami dulu, biar sehat, so.” Kata Catarina. “Ini madu lebah ruang.” Sambung Catarina.

Kami pun masing-masing minum satu sendok madu lebah ruang yang dibawakan Catarina dan anak-anak.

“Yummy…!” Komentar Noel dan Stefan bersamaan.

“Hmmm… enak sekali.” Komentarku. “Lebahnya disimpan diruang manakah?” Tanyaku pada anak-anak.

“Diruang bawah tanah”  Jawab Maria. Aku masih bingung dengan penjelasan Maria.

Noel tiba-tiba iseng mengolesi pipiku dengan madu dari jarinya. Otomatis aku memegang jari Noel. “Better if the honey in my lips.” Kataku pada Noel. Seorang bapak yang ikut duduk diantara kami lalu berbicara.

“Khasiatnya madu ini bisa membuat stamina kuat, so. Apalagi kakak ayu pacarnya lima.” Sambung bapak. Aku dan San serta empat bule disekitarku sedikit tertawa. Mungkin bapak berpikir lima penyamun ini adalah suamiku.

 “Kalau sekarang hanya minum satu sendok, bagaiman aku sendiri kuat melayani kamu, so.” San berbisik ditelingaku dengan logat flores.

“Mungkin caranya tidak harus diminum pakai sendok. Coba letakkan dibagian tubuh yang paling menyenangkan, baru dicoba pakai jari.” Jawabku pelan. “Dua rasa akan tercipta antara leleran madu dan cinta.” Sambungku. San hampir saja tak bisa menahan tawa.

Madu yang diambil dari dalam tanah. Berbeda dengan madu yang ditemukan di pohon. Indukan madu ruang membuat sarangnya di bawah tanah, di hutan atau di lahan warga. Rumahnya lebahnya juga besar sekali. Dengan madu bisa mencapai tiga puluh kilo gram. Namun, untuk memanennya sendiri harus menunggu lebahnya bepergian. Karena itu dinamakan madu lebah ruang.

Kami pun segera keluar rumah sambil membawa buku dongeng untuk anak-anak. Riuh anak-anak langsung mengikuti kami, bahkan mereka yang tengah bermain bola pun langsung membubarkan diri, dan mengerubungi kami. Hampir semua anak berlari mengerubungiku. Ada yang memegangi bajuku, tangan, pinggang, bahkan ada yang minta gendong. Aku mengangkat tubuh Ester yang kecil dan menggendongnya.

San, menatapku dengan tatapan sama saat dipancuran. Angin dingin yang dibawa kabut menyibakkan rambutku yang tergerai. Tom berusaha menembus kerumunan anak-anak dari bawah, anak-anak malah riuh naik dipunggung Tom. Anak-anak mendorong Tom hingga berada disampingku. Tiba-tiba Tom mengangkat tubuhku bersama Ester dari belakang, menggoda anak-anak.

“Kalian mundur sedikit, so! Biar kakak Ayu bisa turun! Dan kita buat lingkaran nyanyi bersama!” Aku berbicara pada anak-anak. Anak-anak langsung berpindah haluan berdiri tenang membuat lingkaran besar.

“Aaawwwww…” San dan Stefan berucap spontan melihat sikap anak-anak. Aku masih menggendong Ester, lalu Tom menurunkan aku. Aku biarkan jiwa dan pikiranku berkelana seperti mega yang datang dan pergi. Semua menari dan menyanyi.

Wae Rebo senang.... Wae Rebo senang... Dimana mana hatiku senang...

Wae Rebo senang.... Wae Rebo senang... Dimana mana hatiku senang....

Tangan diputar-putar, kaki dihentak-hentak, pinggul di goyang-goyang.. Putar badan....

“Sambil berbaris kita menuju rumah Gendang, ya…” Teriak San sambil menari paling depan.

Kami membagikan buku dongeng pada anak-anak. Duduk diteras batu depan rumah Gendang, aku mulai membacakan kisah-kisah buku dongeng yang sudah dipegang anak. Membawa anak-anak didepanku berkeliling kepulauan Indonesia, mengenal budaya, suku, kekayaan alam. Aku sengaja mengemas dalam kisah seru, gembira, dan kadang duka. Kabut yang berlalu lalang, udara dingin, serta kondisi kalbuku yang tengah bercahaya, membuatku semakin menghayati cerita dan menyatu bersama pikiran anak-anak.

“Ludah komodo mengandung racun…?” Aku bertanya. Semua angkat tangan menyerbuku.

“Saliva….!!” Jawab anak serempak. Kali ini aku kehilangan keseimbangan dan jatuh. Anak-anak semakin riang. Tebakan berikutnya, sudah ada San dan Alex disebelah, sekedar menjagaku agar tak jatuh lagi.

Usai bercerita, kami membagikan buku mewarna untuk yang masih kecil, dan kertas gambar, pensil 2B serta pensil warna bagi yang diatas 10 tahun. Anak-anak bersemangat, bergembira, duduk beralas batu mereka mulai mewarnai gambar dan melukis bebas.

Frans Mudir (12) menggambar beberapa orang sedang memanggul dua rumah Niang menggunakan bambu panjang. Bagian atas rumah menancap bendera merah putih.

“Ini rumah Niang diangkat banyak orang, mau dibawa kemanakah?” Tanya San pada Frans

“Ini mau kita bawa pameran ke Jakarta, supaya semua orang tahu rumah kita.” Jawab Frans sambil terus menggambar. San hanya manggut-manggut. Tak perlu membayangkan bagaimana rumah itu digotong sampai Jakarta.

“Kok rumah Niangnya cuma lima?” Tanyaku pada Maria.

“Karena dua rumah Niang dibawa Frans ke Jakarta buat pameran, so!” Jawab Maria santai. Aku hanya memandang San sambil tersenyum 

Kami ikut menggambar bersama mereka, Alex lebih fokus menggambar wajahku yang lagi mendongeng. Anak-anak berekspresi dengan imajinasi apa adanya. Ketika usia sekolah tiba, anak-anak akan terpisah dari orangtua untuk bersekolah di Denge atau Dentor. Mereka dititipkan pada kerabat atau saudara. Pertemuan dengan orangtua biasanya dilakukan pada saat libur sekolah. Kadang orangtua mereka turun ke Denge, atau anak-anak akan pulang ke kampungnya. Menuntut ilmu dan belajar apa saja, sudah menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat disini.

“Alex, can i see your painting.” Aku bicara sama Alex

“Not finish yet, princess still moving around so I can’t focus.” Jawab Alex santai

“Who is she? Maria?” Tanya San jealous sekaligus ingin tahu lukisan Alex.

“Haha… I know what you mean..” Jawab Alex relax pada San.

Aku akan membawa gambar anak-anak ke Jakarta. Dengan latar belakang rumah Niang, kami mulai mencuri foto anak-anak satu persatu. Catarina berpose cantik sambil menggendong adiknya. Maria tersenyum manis duduk diatas batu sambil mencuci piring. Frans Mudir lincah berlari membawa kayu bakar membantu mama nya. Casianus tengah menggaruk pantatnya sambil membawa bola plastic.

“Kamu lihat Casianus habis garuk pantat, trus jarinya dibauin. Aroma yang nikmat.” Kata San

“Aroma pantat pada umumnya sama, tinggal mudah-mudahan pantat Casianus dicuci tiap hari.” Jawabku. San terbahak tak ter kendali.

Febianus duduk tercenung di depan rumah Gendang, Ester tiduran di teras batu depan rumah Gendang memandang kosong ke teman-temannya, Wilhelminus masih asik menghitung jumlah jarinya sambil berdiri di tengah lapangan karena soal hitungan yang aku berikan belum selesai, Trivon dan Makarius sedang unjuk kebolehan dalam permainan bola dengan gaya bak pemain profesional. Dan masih banyak foto anak-anak dengan beragam pose tanpa arahan gaya.

Ada yang mengganggu senang tentang hatiku, tentu saja berkaitan dengan San, Alex, Noel, Tom, dan Stefan. Tatapan mereka satu persatu membuatku ingin semakin dekat dengan mereka berlima. Berharap juga mendapatkan salah satu dari mereka. Sekaligus aku harus berkompromi dengan hal terburuk kalau berlima memang hanya ingin bersteman. Atau bahkan ini hanya sebuah pertemuan yang biasa dengan perjalanan. Dan selesai perjalanan semua akan usai. Entahlah.

***BERSAMBUNG***

About The Author

ugi agustono 37
Ordinary

ugi agustono

TENTANG PENULIS Nama : Ugi Agustono Lahir : Blitar, 29 Oktober 1967 Pengalaman : - Penulisan Naskah untuk Program Pendidikan SD, SMP & SMA - Penulisan Naskah untuk Sosialisasi Mahkamah Konstitusi - Penulis Novel ANAKLUH BERWAJAH BUMI yang diterbitkan oleh Gramedia – Kompas (2009) - Aktif di lembaga Internasional (2008 - sekarang) - Script writer movie (2010) - Script Writer and research documentary (2008 – sekarang) - Lane producer ANAKLUH movie (2010) - Guest Lecture (2010 – sekarang) - Novel Tenun Biru (2012) - Novel Konservasi Cendrawasih “Zeth Wonggor” untuk Unesco (2013) - Novel Lukisan Tanpa Bingkai (2014) - Novel Nataga The Little Dragon (2015) - Writer and Lane producer (sampai sekarang) Pengalaman lain : - Berkeliling pedalaman Indonesia dari pulau-ke pulau, mengajar anak-anak pedalaman. - Mempunyai sekolah bahasa inggris gratis untuk anak-anak dengan ekonomi tidak mampu.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel