JADI?

21 May 2016 08:16 3434 Hits 1 Comments
Cerpen

“Jadi, setelah ini apa?” Tanya Gamma.

“Setelah sekian lama, Cuma itu pertanyaanmu?” Jawab Vega.

“Ya, tentu. Memangnya apalagi yang bisa aku tanya?”

“Gamma, ayolah. Jangan begini terus,” Vega memegang tangan Gamma.

“Perempuan… Memang nggak bisa bedain mana beneran suka, mana penasaran,” Gamma melepas genggaman Vega.

“Gamma, jangan gitulah,” Vega memohon.

“Aku udah sekuat tenaga membuka hatiku lagi, buatmu… Tapi, belakangan aku sadar, tuhan nggak mau berbagi tempat denganmu.”

“Gamma…” Keluh Vega

“Apa?” Gamma menatap Vega.

“Mustahil buat kita,” Jari-jari tangan Vega beradu.

“Kita sama-sama tahu, nggak ada yang mustahil kan di dunia ini,” Gamma menyentuh lembut jari-jari Vega.

“Iya, tapi yang ini beda, kamu harusnya ngerti.”

“Apa yang beda? Aku nggak pernah ngerti jalan pikiranmu. Bertahun-tahun, Veg. Akhirnya?? Kamu malah nggak hargai aku buat ambil keputusan itu.”

“Bukan cuma aku yang bikin keputusan itu, Gamma.”

“I know.”

“You, still my love,” Vega menatap Gamma.

“No, ini nggak adil, setelah ini, bakal berapa lama lagi hatiku tertutup untuk siapapun, menunggu lagi buat dibuka. Sampai kapan lagi, Veg.” Mata Gamma berkaca.

Hari itu, satu hati terpaksa ditutup lagi. Melihat gelap yang tak dilihat siapa-siapa. Kehancuran bagi umat manusia hanya sebatas dada. Di dalamnya tumbuh semua rasa yang bisa menggetarkan seluruh organ, nadi, darah, saraf dan merusak otak, membelah tangis dari air yang tak basah. Manusia memang tak pernah mengerti bagaimana susahnya membuka hati yang pernah terluka, bahkan berkali-kali. Jadi apa yang perlu dibuat?

Hari itu, segala yang pernah terucap hanya jadi metafora yang mengambang di langit-langit malam, membangunkan angin yang lama terdiam, menggerakkan dingin yang lama panas. Semua kata hanya jadi baris tanpa makna, sepasang kekasih yang tak perlu menetap lagi tapi masih ingin menatap. Adakalanya hati dibuat untuk terus disakiti, membuatnya jadi tahan banting, bisa merasakan hal-hal kasar, namun tak bisa lagi merasakan kelembutan-kelembutan. Jadi, sendiri menjadi pilihan, karena rasa sudah tak bisa lagi merasa.

Hari itu, semua peluh keringat jatuh di kening malam, keanehan yang tak biasa terjadi. Malam yang selalu menawarkan dingin, terasa panas bagi jiwa-jiwa yang kehausan dikasihi, Malam-malam tak pernah sama lagi, mengubah sepasang kekasih jadi badai perang perasaan. Antara melepas atau mengikat. Mengingat yang tak bisa teringat, mengikat yang tak terikat, melepas yang tak terlepas. Jadi, apa? Kenapa?
Hari itu, tak ada malam singgah di matanya, mengubah semua kenangan jadi abu kematian sendiri, menyentuh inti yang sakit, merebut kembali yang diambil. Pikiran menjadi ladang perang. Berkecamuk sendiri. Kesakitan yang abadi benar-benar terjadi, telah berapa lama seonggok hati itu tertutup dan tak diketuk. Mendiami sisi kelam yang tak terang. Terkunci oleh perasaan sendiri. Jadi, siapa yang akan mengetuk lagi pintu itu?

Hari itu, dua bintang terang di langit malam berseteru, merebuat yang paling benar, yang paling tahu soal perasaan masing-masing. Vega, bintang paling terang di rasi Lyra, bintang paling terang ke lima di langit malam, bintang paling terang kedua di belahan langit utara. Gamma Orionis, bintang paling cerah ketiga di rasi orion, bintang paling cerah keduapuluhtujuh di langit malam. Jadi, cerita tentang apa ini?

“Pikiranmu melampaui batas, Gamma,” Kata Vega.

“Aku tak pernah punya batas, tak pernah ada batas perihal mencintai, Vega. Kamu perlu belajar soal itu.”

“Itu kesalahamu, Gamma. Selalu ada batas, kamu menganggapnya tak ada, karena kamu tak mau diatur.”

“Peraturan dibuat untuk dilanggar, kan?” Remeh Gamma.

“Itu kesalahan besarmu, lagi Gamma. Peraturan dibuat untuk dipatuhi, peraturan dibuat karena ada hal yang perlu diatur,” Jawab Vega.

“Well, itu menurutmu, Vega.”

“Cuma itu jawabanmu?” 

“Apalagi yang perlu aku jawab?” Tanya Gamma.

“Kamu nggak jago perihal perdebatan, jangan mengangkat isu yang nggak kamu kuasai, Gamma. Itu kesalahanmu.”

“Orion dan Lyra beda, Vega.”

“Jangan sombong, ada dua bintang yang lebih terang di rasimu, Gamma. Bahkan bintangmu tak lebih terang dariku. Kamu hanya bintang paling terang keduapuluh tujuh, aku ke lima di langit malam.”

“Tapi, aku bintang Bellatrix—Pejuang Wanita,” Kata Gamma.

“Aku sudah jatuh sebelum kamu perjuangkan, Gamma. Aku hanya bersinar satu miliar tahun saja, sepersepuluh dari kala hidup Matahari. Aku dua kali lebih masif dari Matahari dan memancarkan energi 50 kali lebih banyak. ”

“Tapi, aku cinta kamu,” Kata Gamma.

“Jadi, soal apa ini?” Tanya Vega.

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel