Ketika Cinta Bicara (When Love Talks) Chapter 9

16 May 2016 17:01 8277 Hits 2 Comments

Choky membuka matanya perlahan. Kelopak matanya terasa berat dibuka. Samar-samar ia melihat keadaan sekitarnya. Gelap dan berbayang-bayang. Ia masih belum menyadari kalau ia kini berada di tempat yang tidak dikenalnya. ”Ma....maa...” Choky berteriak pelan. Suaranya nyaris tak terdengar. ”Mama...” ia memanggil mamanya sekali lagi, tapi tidak terdengar jawaban.

Tak lama Choky pun tersadar, ia sudah tidak berada lagi di kamar Kayla. Ia mulai ketakutan. Sesak menyelimuti tubuhnya dan  bergemuruh di dadanya, seperti mau meledak. Tubuhnya mendadak kaku. Ia mencoba membuka suaranya sekali lagi, tapi mulutnya tercekat. 

 

 

Baca sebelumnya : http://www.plimbi.com/article/164489/ketika-cinta-bicara-when-love-talks-chapter-8

 

”Kayla..., kamu yakin kalau Choky benar-benar diculik?” setengah mengantuk Nina menjawab telepon Kayla. Suaranya terdengar berat dan kelopak matanya masih tertutup. Ia masih belum percaya dengan berita yang baru saja didengarnya langsung dari Kayla.

”Niin, beneraan!! Ngapain gue bohong?! Please, kamu harus ikut temenin aku ke Siantar! Aku jemput ya!!” teriak Kayla mencoba meyakinkan karibnya.

”Sekarang??” Nina mendelikkan matanya. Kalimat Kayla yang terakhir berhasil mengusir kantuknya.

”Ya sekarang dong! Masa’ tahun depan?!” protes Kayla. Dia sudah tidak sabar lagi ingin segera berangkat.

”Whaatt?!”  Nina terkejut. Sontak ia bangun dari tidurnya. ”Sekarang masih jam dua pagi, Kayla?! Are you lost your mind?”  Ia melihat jam wekernya.

”I know!, but now, you have to come with me, please?!”  Kayla memohon.

Nina tidak menjawab. Kali ini berat bagi Nina untuk menjawab ya, tapi ia juga tidak berani menjawab tidak.

”Gue jemput lo sekarang, ya?! Kita bertiga dengan bang Ringgo!” Kayla seperti tidak peduli dengan persetujuan Nina. Ia yakin Nina pasti mau menolongnya.

Nina tidak berdaya menolak ajakan Kayla. Lagi-lagi Nina yang terpaksa mengalah. ”Mmmm...” Nina menggigit bibir bagian bawah tanda terpaksa, ”...bang Ringgo ikut juga?”

”Iyaa!! Thanks ya Nin!!”

***

 

Kayla, Ringgo dan Nina kini sudah berada dalam perjalanan menuju Siantar. Ringgo melajukan mobil Kayla seperti orang kesetanan, sementara Nina tidak berhenti merepet. Saat ini mereka sudah berada di kota Lubuk Pakam.

”Duuh Kayla! Since Choky tinggal sama kamu, adaaaa saja masalah!. Perasaan dulu hidup kita nggak seribet ini, deh?!” Nina mengomel kesal.

”Gue juga nggak ngerti Nin. Tapi gue juga nggak bisa tinggal diam. Gue nggak mau terjadi apa-apa dengan Choky...” Kayla membela diri.

”Padahal lo tahu kan Kay, hari ini gue banyaak banget kerjaan di kantor...!” Nina membual. Siapa pun bahkan Kayla juga tahu kalau Nina tidak mungkin punya banyak kerjaan di kantornya. Tapi Kayla tidak berdaya melawan.

”Sorry Nin, nggak papa ya hari ini lo jadi nggak masuk kantor..!” Kayla mulai merasa tidak enak. Ia jadi serba salah.

”Mau bagaimana lagi? Terpaksa deh gue tunda besok!!” bentak Nina. Mendadak Nina jadi bengis. Kayla pun terdiam. Suasana sunyi beberapa saat.

Sebenarnya Nina pantas kesal. Seharusnya hari ini ia bersama dengan teman-teman kantornya akan menghadiri peresmian butik milik atasannya di sebuah plaza sekaligus shopping dan cuci mata. Gara-gara Kayla, terpaksa ia harus menguburkan niatnya itu.

”Bik Suti nggak apa-apa Kay?” Ringgo mengalihkan pembicaraan.

”Katanya nggak apa-apa, bang. Lukanya di bagian tengkuk sudah diperban Dewi, tetangga kami yang masih sekolah perawat. Dia baik-baik saja sekarang.” Kayla menjawab pelan. Suaranya hampir tidak terdengar. Ia cukup tertekan dengan kejadian ini.

”Syukurlah.” Ringgo mengamini. Ia ikut merasakan tekanan yang dialami Kayla. Nina pun jadi ikut-ikutan tak enak. Ia menyesal sempat memarahi Kayla barusan.

”Nggak ada barang-barang yang hilang?” Ringgo masih bertanya. Ia penasaran.

”Nggak, bang. Tidak ada satupun barang-barang yang dicuri...”

”Jadi cuma Choky aja yang nggak ada?”

”I-iya bang...” Kayla mulai menjawab dengan terbata-bata.

”Apa mungkin Tigor cs yang menculik Choky, bang?” Kayla balik bertanya.

”Itu yang kita belum tahu. Tapi kejadian ini sudah ku lapor sama pak Bambang. Dia nanti yang akan hubungi polisi di Siantar untuk melacaknya.” Ringgo memberikan jawaban yang menenangkan. Sesaat Kayla merasa tenang. Namun itu tidak berlangsung lama.

”Duh, bagaimana keadaan Choky ya sekarang? Kasihan sekali dia. Masih kecil tapi sudah harus alami hal seperti ini.” Kayla kembali gelisah. ”Seandainya aku selalu bersamanya, pasti tidak akan begini kejadiannya...” sesal Kayla.  Tak terasa air matanya mengalir.

”Kay, sorry ya, gue jadi gak enak marahi kamu tadi. Sebenarnya gue juga turut sedih dan kasihan dengan Choky. Gue cuma nggak nyangka aja kok jadinya bisa seperti ini.” Nina jadi menyesal. Ingin rasanya memeluk Kayla.

Kayla tersenyum begitu mendengar penyesalan Nina. Ia menghapus air matanya.

”Kita juga sama-sama nggak mengharapkan kejadian seperti ini, Nin.” Ringgo ikut menimpali.

”Ya sudah nggak apa-apa kok, Nin. At least kamu kan ada di sini sekarang sama aku. Jadi aku nggak perlu sendirian menghadapinya.” Kayla menoleh ke belakang. Ia tersenyum memandang Nina. Nina ikut tersenyum.

”Yahh, mudah-mudahan Choky baik-baik saja, ya Kay...” Nina memajukan tubuhnya ke depan lalu tangannya membelai dengan lembut lengan sebelah kanan Kayla. Kayla menyambutnya dengan membelai jemari Nina.

”Semoga...”

Mobil mereka melaju kencang membelah angin. Bulan purnama bersinar terang menyinari langit yang kelam, seolah-olah dengan sinarnya turut serta membantu mengantar mereka sampai ke tujuan...

***

 

Di tempat lain pada waktu yang sama...

Choky membuka matanya perlahan. Kelopak matanya terasa berat dibuka. Samar-samar ia melihat keadaan sekitarnya. Gelap dan berbayang-bayang. Ia masih belum menyadari kalau ia kini berada di tempat yang tidak dikenalnya.

”Ma....maa...” Choky berteriak pelan. Suaranya nyaris tak terdengar. ”Mama...” ia memanggil mamanya sekali lagi, tapi tidak terdengar jawaban.

Tak lama Choky pun tersadar, ia sudah tidak berada lagi di kamar Kayla. Ia mulai ketakutan. Sesak menyelimuti tubuhnya dan  bergemuruh di dadanya, seperti mau meledak. Tubuhnya mendadak kaku. Ia mencoba membuka suaranya sekali lagi, tapi mulutnya tercekat.

Air mata ketakutan mulai mengalir deras. Ia pun menggerakkan tubuhnya sekali lagi, mencoba untuk bangkit. Dengan susah payah ia akhirnya berhasil berdiri dari tempat tidur berkasur tipis dan bau. 

"Huhuhu..." Choky menangis sambil berjalan menuju ke pintu. Ia mendobrak pintu yang terkunci berkali-kali sambil berteriak memanggil Mama-nya dan pembantunya Suti. Usahanya sia-sia. Ia mencoba berulang-ulang tapi pintu tetap terkunci rapat. Tidak ada satupun orang yang menolongnya membukakan pintu. Menyadari usahanya gagal, Choky pun terduduk lemas sambil menangis sesunggukan. Sungguh peristiwa yang menakutkan bagi Choky secara ia masih berumur lima tahun. 

Setelah sepuluh menit berlalu, tangisan Choky mulai mereda. Tenaga dan air matanya terkuras habis. Ia mulai terbiasa dengan gelapnya ruangan. Choky bangkit berdiri sambil tangannya meraba-raba dinding dekat pintu bermaksud menghidupkan lampu. Ruangan akhirnya bersinar terang. 

Choky mulai tenang meski dadanya masih terasa sesak akibat menangis keras. Sesekali masih sesunggukan, ia berjalan gontai menuju ke kasur semula lalu membiarkan tubuhnya rebah disitu. Hanya kasur yang tipis dan bau inilah yang menjadi teman sementara Choky mengusir sepi dan dinginnya malam. 

***

 

Pukul 05.05 WIB...

”Tiinn!, tiiinnn!!!” Ringgo membunyikan klakson mobil cukup keras. Kayla dan Nina dengan sigap langsung turun dari mobil dan berteriak memanggil nama Suti. ”Suttiii!!!, Suttiii!!!” mereka berteriak dan menggedor pintu gerbang dengan kompak.

Seorang gadis belia dengan tergesa-gesa keluar dari rumah dan membuka gerbang rumah Kayla yang digembok.

”Dewi! Thanks ya sudah mau temenin Suti di rumah. Sutinya baik-baik saja, kan?” Kayla tersenyum lebar begitu melihat Dewi, tetangganya dekat rumah yang sudah meluangkan waktunya untuk menjaga dan merawat Suti.

”Mbok Suti baik-baik saja, kak. Dia lagi tidur sekarang...,” sahut Dewi sambil membuka gembok dan mendorong pintu gerbang ke samping. Ringgo bersiap-siap memasukkan mobil ke carport rumah Kayla.

”Suti nggak geger otak kan, Dew?” Kayla masih cemas dengan keadaan Suti. Ia merasa bertanggung jawab akan keselamatan pembantunya. Bersama Dewi dan Nina, mereka bergegas masuk.

”Mudah-mudahan sih tidak ya, kak. Aku sudah periksa bagian tengkuknya, memang ada luka kecil di dekat lehernya, tapi sudah ku obati dan ku perban.”

”Syukurlah. Duh, bagaimana jadinya kalau nggak ada kamu, Dew. Makasih sekali lagi ya!” Kayla memeluk tubuh Dewi dari samping sambil terus berjalan menuju ke kamar Suti. Dewi tersenyum simpul.

Ringgo menutup pintu gerbang sambil memeriksa kondisi gerbang, kemudian berjalan mengitari halaman rumah sampai akhirnya memeriksa pintu depan rumah yang dicongkel. Ini pasti pekerjaan orang ahli, batin Ringgo sambil meraba bekas congkelan. Setelah mengamati beberapa detik, ia memutuskan masuk ke dalam rumah. Ketika ia akan masuk ke dalam, seorang ibu berteriak memanggil dirinya sambil menggedor pintu gerbang.

”Naakk!, nak Ringgo! Sinii!! Ini ibu, buka pintunya nak!”

Ringgo menoleh kaget. Dengan perasaan heran bercampur was-was, perlahan ia mendekat.

”I-ibu Imah?” tebak Ringgo ragu-ragu. Ia mengeryitkan dahinya, lupa-lupa ingat dengan wajah ibu ini.

”Iya, Ringgo. Ini ibu Imah. Sudah lupa ya? Ibu kan tetangganya Kayla. Itu rumah ibu...” ibu itu menunjuk ke sebuah rumah sebelah kanan di depan rumah Kayla.

”Oh, iya. Nggak, nggak lupa kok. Cuma karena masih gelap, jadi nggak nampak...” Ringgo tersenyum, dengan cekatan ia mendorong pintu gerbang.

”Nak Ringgo pasti heran kan saya datang pagi-pagi begini. Ada sesuatu yang harus saya sampaikan pada kalian. Mana nak Kayla?” ibu Imah memegang tangan Ringgo penuh makna, ia mengerti dengan keheranan yang terpancar jelas di wajah Ringgo.

”Dia ada di dalam bu. Ayo masuk dulu.” Ringgo mempersilahkan tamunya masuk. Ia memang bertanya-tanya dalam hati tentang maksud kedatangan ibu Imah pagi-pagi buta begini.

Sesampainya di dalam dan setelah bertemu dengan Kayla, ia pun menceritakan maksud kedatangannya dengan mendetil. Saat ini mereka sudah berada di sofa ruang tengah.

”Begini nak Kayla, saya langsung saja ya. Ehem..., tadi saya lihat Choky bersama dengan orang lain...,” ibu Imah berbicara dengan hati-hati, ia menggantungkan kalimatnya yang terakhir, mengira respon Kayla dan teman-temannya bakalan kaget begitu mendengar berita ini.

Kayla, Ringgo dan Nina justru terdiam, mereka tidak mengucapkan sepatah katapun selain menunggu kelanjutan cerita ibu Imah. Karena tidak ada tanggapan apa-apa, ibu Imah memutuskan memulai ceritanya dari awal.

”Awalnya saya terbangun karena bermaksud hendak ke dapur mengambil minum. Begitu saya hendak kembali lagi ke kamar, tiba-tiba seperti ada sesuatu, saya tidak tahu sesuatu itu apa, yang menarik diri saya ke ruang tamu dan melihat ke jendela ruang tamu...,” ibu Imah menarik nafas panjang. Setelah itu melanjutkan ceritanya.

”... lalu saya lihat dari jendela ruang tamu, mobil panther usang berhenti dekat rumah pak Ginting, tetangga depan rumah saya. Perasaan pak Ginting tidak punya mobil butut seperti itu, pikir saya waktu itu. Lalu saya amati lagi, ada seorang laki-laki yang keluar dari mobil menuju ke rumah kalian. Ia masuk dengan mudahnya lewat pintu gerbang. Saya pikir itu mungkin teman kamu Kayla, meskipun saya heran juga kok bertamu malam-malam dan setahu saya kamu kan jarang ada di rumah...” Ibu Imah menelan ludah, kerongkongannya kering. Ia mengambil air putih hangat yang sudah disediakan Dewi untuk dirinya dan meminumnya.

Ringgo mendelikkan matanya begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan tetangga kawan akrab ibunya Kayla itu. Saat ini posisi Ringgo berdiri bersender ke dinding dengan tangan saling melipat di dadanya. Matanya bagaikan elang yang tajam memperhatikan mangsanya. Ia begitu serius mendengar cerita yang ia dengar. Sesekali tangan kanannya membelai bulu-bulu halus yang tumbuh lebat di dagunya. Sementara itu Kayla duduk di samping Ringgo, kedua paha kakinya memangku kedua tangannya, sambil meremas-remas jemari tangannya yang halus tanda serius mendengar pembicaraan ibu Imah. Sedangkan Nina duduk berselonjor di sofa panjang di samping ibu Imah, sambil tangannya memeluk bantal yang diapit di dadanya. Ibu Imah sendiri duduk sambil tangannya memegang gelas dan sesekali meminumnya begitu kerongkongannya mulai kering.

”...setelah itu saya tidak bisa lagi melihat dengan jelas karena pandangan saya terhalang dengan pohon mangga depan rumah kalian...” ibu Imah memperbaiki duduknya. Pantatnya terasa panas.

”Sepintas memang seperti tidak ada apa-apa. Tidak ada gerak-gerik yang mencurigakan, kayak tamu aja yang bertandang ke rumah kalian, karena itu saya memutuskan kembali ke kamar. Tapi entah mengapa seperti ada seseorang yang memegang kepala saya untuk tetap terus melihat ke jendela dan mengamati mereka. Badan saya seperti terpaku, nak... tidak bisa kemana-mana.” ibu Imah menjelaskan pengalamannya spiritualnya dengan berapi-api.

”Agak lama juga tidak terjadi apa-apa. Sampai akhirnya saya melihat dua orang keluar dari pagar rumah. Yang seorang menggendong Choky, yang seorang lagi berjalan di belakang sambil melihat kiri kanan jalan. Disitulah saya mulai curiga...,” ibu Imah kembali menyeruput air putihnya yang sudah tinggal sedikit. Dewi yang sejak tadi ikut duduk dan mendengar cerita ibu Imah, dengan sigap menuju ke dapur mengambil teko.

”... lalu tanpa buang-buang waktu saya ambil kunci rumah, saya buka pintu rumah kemudian saya memberanikan diri memanggil mereka. Saya mau tanya kenapa mereka bawa Choky malam-malam keluar. Mereka kaget begitu melihat saya. Saat itulah mereka langsung tancap gas dan kabur!” ibu Imah sukses mengakhiri cerita panjangnya.

Ringgo, Kayla dan Nina speechless begitu mendengar cerita ibu Imah. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau Choky benar-benar diculik. Kayla mendadak lemas, sekujur tubuhnya keringat dingin, wajahnya pucat pasi. Ia menghenyakkan kepalanya bersender ke sofa, matanya berkunang-kunang seperti mau pingsan. Ia begitu terpukul mendengar berita ini, rasanya seperti mimpi. Ringgo yang berada di samping kanan Kayla menyadari hal itu. Dengan ekor matanya ia melihat sepintas saat Kayla menghenyakkan kepalanya dengan keras ke senderan sofa. Ia dengan sigap langsung memegang lengan Kayla yang putih mulus.

”Kayla!! Kamu nggak apa-apa?” Ringgo memegang jidat Kayla. Terlihat jelas wajah Kayla yang begitu pucat dan lemas. Ringgo mulai panik.

Melihat Kayla yang pucat dan lemas, sontak Nina meletakkan bantal sofa yang sejak awal dia dekap di dadanya, lalu berjalan terburu-buru mendekati kawan karibnya itu. Ia jadi ikut-ikutan panik.

”Aduuhh Kayla!, you allright??” Nina mengambil gelas Kayla yang masih penuh terisi air lalu mendekatkan ke bibir Kayla. Kayla meminumnya sedikit. 

Melihat Kayla terduduk lemas, ibu Imah jadi tidak enak hati. Ia hanya bisa duduk terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata. Ia sudah menyadari sejak semula sebelum akhirnya memutuskan menceritakan ini semua pada Kayla. Ia sudah kenal Kayla sejak kecil. Sifatnya sangat sensitif. Namun dilain pihak, ia harus menceritakan sejujurnya pada Kayla meskipun resikonya jadi seperti ini.

”Y-ya... aku ng-nggak papa koq...” Kayla menjawab lemas. Ia mencoba tersenyum.

”You’re not allright, Kayla. Kamu capek. Kamu istirahat dulu ya? Biar abang yang urus ini semua!” bujuk Ringgo. Ia memijat dahi Kayla lembut. Terasa sekali urat-urat yang keras dan kaku menonjol di dahi kepala Kayla.

”Iya Kayla. You need some rest. Aku antar ke kamar, mau ya?” Nina memegang tangan Kayla, telapak tangannya basah karena keringat dingin. Kayla mengangguk lemah.

Sejurus kemudian terlihat Ringgo memapah Kayla yang masih terlihat lemas menuju ke kamarnya. Tangan kanan Ringgo memegang pinggang Kayla, sedangkan tangan kiri Kayla mengalungi leher Ringgo. Tangan kiri Ringgo memegang tangan kiri Kayla untuk menopang agar tidak terjatuh akibat terlalu lemas. Semetara Nina berjalan di samping kanan Kayla sambil tangannya memegang tangan kanan Kayla dan terus mengusap-usap jemari Kayla dengan lembut. Dewi ikut berjalan di belakang mereka. Ibu Imah hanya bisa berdiri menyaksikan kejadian yang tidak enak ini di depan matanya.

Setelah beberapa menit dalam kamar, Ringgo menemui ibu Imah. Nina dan Dewi tetap berada di kamar menemani Kayla.

”Gimana Kayla, nak Ringgo? Sudah nggak lemas lagi kan?”

Ringgo tersenyum. ”Nggak papa koq bu. Hanya shock saja. Sudah enakan sekarang.” Ringgo duduk di samping ibu Imah.

”Ada lagi yang ingin ditanyakan nak Ringgo?” ibu Imah seperti tahu maksud Ringgo.

”Begini ibu Imah, sebelumnya kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada ibu karena sudah mau repot-repot meluangkan waktunya menceritakan ini semua pada kami. Penjelasan ibu sangat penting untuk memberikan keterangan pada polisi mengenai kasus ini. Jika ibu diminta menjadi saksi, ibu bersedia kan?”

”Tentu nak Ringgo. Jangan khawatir. Saya bersedia,” angguk ibu Imah sambil memegang tangan Ringgo. Ringgo tersenyum lebar. 

”Oya nak Ringgo. Saya masih ingat kok ciri-ciri orang yang menculik Choky, terutama sopirnya. Rambutnya gondrong, badannya tinggi seperti nak Ringgo, tapi agak kurusan. Trus, hidungnya pesek, berkumis tipis, pakai topi dan pakai jaket hitam yang ada tulisannya. Kalau nggak salah tulisannya ”Warrior”, gitu.” Ibu Imah menjelaskan dengan lancar.

”... tapi kalau yang menggendong Choky tidak terlalu jelas, soalnya terhalang mobil. Tingginya kayaknya sih nggak jauh beda,  badannya tegap, rambutnya cepak... ya, ya, rambutnya cepak. Tapi cuma itu yang saya tahu, nak Ringgo.”

”Wah, itu juga sudah sangat berarti bagi kami, bu.” Ringgo tak berhenti tersenyum. Ia senang karena sudah ada titik terang. 

”Oh ya. Saya juga hapal nomor BK-nya. Ini sudah saya catat.” dengan bangganya ibu Imah memberikan secarik kertas bertuliskan nomor kendaraan milik mobil yang menculik Choky. Ringgo menerimanya dengan sumringah, lalu dengan spontan memeluk ibu ini.

”Akhh, nak Ringgo...” ibu Imah sempat kaget ketika Ringgo memeluk tubuhnya. Wajahnya memerah malu tak menyangka akan dipeluk ”berondong” ganteng macam Ringgo. Ia pun mencubit Ringgo genit. Ringgo ikut-ikutan kaget begitu menyadari perbuatannya yang spontan ini. Rona mukanya pun berubah merah. Meskipun begitu, hatinya senang. Ia yakin masalah ini pasti akan menemui jalan keluar, dan Choky akan kembali ke pangkuan mereka.

 

Suara ayam berkokok menyadarkan mereka, jika hari sudah pagi. Matahari mulai bersinar. Ibu Imah beranjak dari duduknya mendatangi Kayla mohon pamit. Bersama Dewi, ibu Imah keluar meninggalkan kediaman Kayla. Ringgo, Kayla dan Nina mengantar mereka sampai ke depan. Tak lupa mereka mengucapkan terima kasih yang terakhir kali.

Kayla sudah terlihat segar. Ia pun sedikit demi sedikit mulai tegar menerima kenyataan ini. Meskipun ia kehilangan Choky sekarang, tapi ia yakin ini untuk sementara saja. Suatu saat ia pasti akan bertemu dengan Choky, yang sudah ia anggap sebagai anak kandungnya. Ia percaya pasti ada hikmah dibalik semua ini.

Ringgo memeluk Kayla dari belakang. Sentuhan lembut Ringgo menenangkan hati Kayla. Tersungging senyum di wajah Kayla yang cantik. Ia membelai lembut tangan Ringgo. Bersama bang Ringgo, aku pasti bisa menemukan Choky, batin Kayla yakin. Ia percaya bahwa Ringgo dan sahabatnya Nina pasti akan bersedia membantunya. ”Choky, i’ll find you,” desis Kayla pelan.

***

 

Mentari pagi malu-malu menampakkan wajahnya. Sinarnya bersembunyi dibalik awan-awan putih yang berarak di angkasa. Kali ini pagi tidak akan seperti biasanya. Suasana mendung menghiasi langit biru. Awan-awan ini sebentar lagi akan memuntahkan pelurunya menghujam bumi.

Choky tidak bisa tidur. Wajahnya menyiratkan kelelahan. Meskipun berulang kali berusaha memejamkan matanya, ia tak jua tertidur.

“Hatchi!!!” ia bersin. Peristiwa semalam membuat tubuhnya lemah. Ia sudah menyadari dirinya diculik, namun hingga detik ini belum mengetahui siapa yang sudah membawanya kemari. “Hatchii!!” Ia bersin lagi. Hawa dingin memasuki ruangan tempat Choky berada. Pelan tapi pasti peluru-peluru air yang dimuntahkan oleh barisan awan putih menghujam bumi dengan derasnya, menambah dingin suasana. Choky pun tidur meringkuk di tempat tidur beralaskan kasur tipis yang sudah busuk dan bau. Kedua tangannya yang kedinginan memegang kedua kakinya erat, berharap panas di tubuhnya dapat mengusir dingin yang mulai menusuk tulangnya.

Terdengar suara orang membuka pintu. “Sreett…!!” pintu terbuka. Choky memejamkan matanya berpura-pura tertidur. Ia mempertajam insting pendengarannya.

“Lihat, anak itu masih ngorok. Malas juga rupanya!” bisik seorang lelaki bersuara berat dan serak begitu melihat diri Choky.

“Baguslah, jadi kita tak perlu repot-repot ngurusnya!” balas laki-laki lain bersuara lebih nyaring mengomentari kawannya.

Laki-laki bersuara berat itu mendekati Choky. Tanpa bersuara ia mengangkat tubuh Choky dan menggendong Choky di pundaknya. Choky mencium bau rokok yang begitu kental tercium di pakaian laki-laki ini. Bau nafasnya bahkan lebih parah lagi, bau rokok yang bercampur dengan bau alcohol. Mmmpphh!! kayak bau comberan!, pekik Choky dalam hati.

Choky berusaha tenang. Ia menahan dirinya untuk tidak bereaksi sedikitpun. Matanya dia usahakan untuk selalu terpejam. Ia ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Detik demi detik berlalu. Choky memberanikan diri membuka matanya. Perlahan-lahan ia membuka kelopak matanya. Tanpa menggerakkan kepalanya ia melihat keadaan di belakang pundak si bapak bau ini. Posisi Choky cukup menguntungkan dirinya bisa melihat dengan leluasa ruangan kamar yang akan ditinggalkannya itu. Untungnya yang seorang lagi tidak berada di belakang bapak ini. Otak Choky langsung merekam semua yang dia lihat, ia yakin hal itu akan berguna baginya suatu saat.

Sekarang ia sudah berjalan menjauh dari kamar tempat ia semula berada. Kiri kanan yang dia lihat hanya kamar dan kamar. Banyak sekali kamarnya!, pikir Choky. Dia melihat masing-masing pintu kamar memiliki nomor pintu yang berurutan, layaknya berada di hotel. Apakah aku ada di hotel?, batin Choky heran. Choky teringat sewaktu ia pernah menginap di sebuah hotel di Berastagi saat berlibur dengan mamanya, om Ringgo dan tante Ninin.

Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke bawah. Kini ia sedang menuruni tangga. Sekelebat orang berjalan melewati belakang pundak bapak ini begitu sampai di lantai bawah. Dengan refleks, Choky memejamkan matanya lagi.   

“Ini anak yang dicari-cari itu?” Bikin susah saja kau!” Orang ini merepet begitu melihat Choky. Suara seorang perempuan terdengar keluar dari mulut orang ini. Hawa rokok ikut menyembul keluar dari mulutnya. Meskipun tidak melihat, Choky mencium bau rokok yang menyengat itu. Bau itu hampir saja membuat dia bersin. Ups, untung saja tidak!

Choky sampai di ruangan yang luas. Bapak yang menggendong dirinya menghentikan langkah kakinya. Sedetik kemudian, tangannya yang kasar menurunkan dirinya di atas sebuah sofa kulit berwarna hitam mengkilat. Choky dibaringkan dalam posisi tidur telentang. Ia terus memejamkan matanya.

“Ini BOSS! Anaknya…” si laki-laki bersuara nyaring dan cempreng memulai percakapan. Ia tampak berbicara dengan seorang lagi yang sudah sejak tadi berada di ruangan itu.

“Yakin kau dia orangnya?” Orang yang dipanggil Boss balas menjawab. Suaranya berat tapi berwibawa. Tidak seperti bapak yang menggendong Choky, yang bersuara berat tapi fals.

“Pastilah Boss! Nggak mungkin kami salah! Anak ini yang kita cari!” dengan semangat, si bapak bau yang menggendong Choky membela temannya.

“Oke kalau begitu. Sekarang kalian boleh keluar. Tinggalkan kami berdua di sini.” Boss ini mempersilahkan anak buahnya keluar.

Dengan insting pendengaran Choky yang tajam, ia mendengar suara orang-orang yang berjalan keluar satu persatu dan menutup pintu ruangan. Tak lama kemudian ia mendengar lagi suara orang mengunci pintu. Ia memang belum mengetahui secara pasti apa yang terjadi, tapi ia yakin jika sekarang hanya tinggal ia berdua dengan bapak yang dipanggil Boss itu. Perlahan terdengar nafas yang semakin mendekat. Bau wangi yang melekat di tubuh si Boss menusuk tajam di hidung Choky. Ia sepertinya pernah mencium bau wangi ini, begitu familiar. Kayaknya om Ringgo pernah memakai parfum ini deh, komentar Choky dalam hati.

Giliran indera perasa Choky yang diuji. Pipinya merasakan sentuhan kasar tangan yang membelai-belai. Choky masih terus memejamkan matanya. Ia masih membutuhkan waktu yang tepat untuk membuka mata bulatnya itu.

Bunyi Hp berdering membuyarkan sepi. Orang itu meninggalkan Choky dan menuju ke meja kerjanya, mengangkat Hp-nya dan berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti Choky.

Choky membuka sebelah matanya. Tampak didepannya seorang bapak berbadan tambun sedang duduk di kursi kerjanya membelakangi dirinya menghadap ke jendela ruangan. Beberapa detik kemudian bapak itu berdiri lalu dengan cepat meninggalkan meja kerjanya dan berjalan menuju pintu sambil terus berbicara. Sekelebat Choky melihat rupa bapak itu. Bermata sipit, hidung besar seperti buah jambu yang dibelah, kepala botak, pendek gemuk dan memakai jam tangan berwarna emas di sebelah kanannya. Ia membuka pintu lalu keluar meninggalkan Choky sendirian di ruangannya.

Kini hanya Choky yang berada di ruangan itu. Setelah menunggu suasana aman, Choky pun bangun. Ia duduk di sofa sambil matanya memandang dengan tajam sekelilingnya. Ia merekam dengan detil apa yang dilihatnya saat ini. Ruangan kantor, desis Choky pelan. Matanya terus menyelidik seluruh ruangan sampai akhirnya bertumpu pada satu pigura yang terpasang di dinding tepat di sebelah kanan. Pigura itu satu-satunya pigura yang menampilkan foto keluarga sang pemilik ruangan, selebihnya lukisan-lukisan dan pernak-pernik lainnya. Dari jauh, tampak wajah si bapak gendut berfoto bersama istri dan seorang anak perempuan yang usianya sedikit lebih tua dari dirinya. Choky bermaksud untuk melihat lebih dekat, namun signal pendengarannya menangkap suara yang berjalan mendekat.

”Tok, tok, tok...!,” suara langkah kaki terdengar semakin jelas. Refleks, Choky membaringkan dirinya lagi berpura-pura tidur seperti sebelumnya.

”Sreeett!!” daun pintu berderik. Sekelebat bayangan masuk ke dalam ruangan kamar, lalu berjalan mendekati Choky.

***

 

Kondisi mbok Suti sudah semakin membaik. Kayla baru saja memasak bubur ayam untuknya. Ia menyeruput makanan kesukaannya dengan lahap. Kayla duduk di samping Suti sambil memandang dengan tersenyum.

”Gimana, bubur ayamku? Enak nggak?”

”Mmmm..., enaak kak...” jawab Suti malu-malu. Tangannya tidak berhenti menyuapi bubur ke mulutnya.

”Yang banyak makannya ya, Ti...” Kayla tersenyum lebar. Ia senang melihat kondisi kesehatan pembantunya yang sudah pulih.

”Ya, kak.” Suti mengangguk. 

Tak lama Ringgo masuk ke dalam kamar menemui mereka berdua. Raut mukanya berbinar-binar. Ia baru saja dihubungi seseorang.

”Kay...,” Kayla menoleh. ”...barusan pak Bambang hubungi abang. Katanya ia sudah contact Polres Siantar. Sebentar lagi mereka akan datang menemui kita.”

”Oh, good! Bagus itu!” pekik Kayla.

”Ya, mereka bilang akan segera melacaknya. Mereka juga butuh bantuan kita untuk ikut melacaknya.”

”Syukurlah! Semoga Choky bisa segera ketemu ya, bang!” Kayla melonjak kegirangan. Ia memeluk Ringgo. Ringgo kelabakan tidak menyangka akan dipeluk Kayla, tapi sedetik kemudian ia balas merangkul kekasihnya itu.

 

Barisan burung gereja berkicau riang bergantian. Mereka seolah-olah ikut bersuka cita mendengar tawa renyah Kayla yang ceria berkumandang.

***

 

Seorang laki-laki buncit dan brewokan turun dari mobil sedan keluaran terbaru. Ia tak lain adalah Tigor. Dengan mantap dan penuh keyakinan, ia keluar dari mobil menuju ke dalam rumah bertemu dengan seseorang yang sudah menunggunya sejak tadi. Orang itu tak lain adalah Efendi atau Fendi, bapak bermata sipit yang meninggalkan Choky sendirian dalam ruangannya. Fendi baru saja menutup handphonenya mengakhiri pembicaraan dengan seseorang.

”Tigor, kamu tepat waktu. Anak itu ada di dalam sekarang! Kamu boleh temui anak itu!” Ia menyambut dingin Tigor.

Tigor membalasnya dengan senyum kecut. ”Oke!” sahutnya singkat tanpa menoleh sedikitpun ke arah Fendi.

Tigor berjalan menuruni tangga dan menuju ke ruangan Fendi lalu dengan cekatan membuka pintu yang tidak terkunci itu. Tigor melihat Choky yang sedang tidur di sofa kemudian berjalan mendekat dan duduk di samping Choky. Setelah lama memandang wajah Choky, ia berujar :

”Aku tahu kau tidak tidur, nak. Sudahlah!, tak usah kau pura-pura!” Tigor tersenyum, lalu merogoh kantongnya, mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.

Choky bingung, dengan terpaksa ia membuka matanya. Ia heran begitu melihat Tigor. Ia mengira akan melihat bapak mata sipit yang sebelumnya bersama dia di ruangan ini.

Tigor menengok Choky begitu Choky membuka matanya. Mereka saling bertatapan.

”Kau masih ingat aku, Ucok?” sapa Tigor lembut. Tigor dan Choky memang pernah bertemu, tepatnya tiga tahun yang lalu saat Choky masih berumur dua tahun dan masih bersama kedua orang tuanya.

Choky hanya memandang tanpa berkata sedikitpun. Ia memang tidak terlalu ingat dengan wajah orang yang di dekatnya ini, namun ia menangkap aura yang gelap. Sesuatu yang buruk akan terjadi jika dirinya berada di dekat orang ini.

”Aku tulang(18)-mu, tulang Tigor! Masih ingat kau?” Tigor mencoba menyegarkan kembali ingatan Choky. Tatapan matanya yang tajam bagai mata elang tidak lagi memandang Choky. Wajahnya tegak lurus menatap jendela ruangan. Tigor menyenderkan badannya ke sofa dan mengangkat kedua kakinya ke atas meja, lalu menghisap rokoknya dan mulai bercerita.

(18) tulang : paman

”Dulu aku yang gendong kau waktu kau sakit. Aku juga yang tebus obatmu. Waktu itu kau hampir mati karena kurang gizi...” kalimat sadis terakhir yang diucapkan Tigor cukup menusuk hati Choky. Choky tidak menjawab sama sekali, ia hanya terdiam seperti patung.

Kembali Tigor menatap Choky, ”Aku kawan baik bapakmu, nak. Kau tak usah sungkan.” Ia membelai wajah Choky sambil tersenyum. Kumis tebalnya ikut terangkat.

Melihat Choky sama sekali tidak bereaksi, Tigor bangkit dari sofa lalu berjalan menuju ke sebuah lukisan besar yang terpajang di dinding sebelah kanan. Lukisan itu bergambar dua belas ikan koi yang sedang berebut makanan dan membentuk angka delapan. Bagi masyarakat keturunan Tionghoa, angka delapan menyiratkan kesuburan dan kekayaan yang terus menerus dan tidak terputus. Tigor memandangi lukisan itu sambil mulutnya menghisap rokok di tangannya.

Fendi menyusul masuk ke dalam ruangan. Ia melihat Tigor yang sedang memandang lukisannya dan Choky yang sedang duduk terdiam di sofa. Ia tersenyum dan berjalan mendekati Choky. Choky melihat Fendi berjalan mendekati dirinya. Wajahnya langsung berubah ketakutan. Ia tidak suka ada orang asing yang sok ramah pada dirinya. Fendi sadar begitu melihat raut muka Choky yang menyiratkan ketakutan. ”Jangan takut, wa tidak akan menyakitimu. Oke?” Fendi berusaha menyakinkan dengan memegang lembut tangan Choky, Choky menepisnya.

Tigor melihat dari jauh aksi yang dilakukan Choky. Ia mengulum mulutnya menahan senyum, lalu berjalan mendekati Choky, ”Jangan gitu kau, Cok. Ini kawan bapakmu juga. Kasih salam!” Tigor mencolek pundak Choky memaksa memberi salam untuk Fendi. Choky bersikeras menolak mengulurkan tangannya. Fendi hanya bisa tersenyum kecut.

”Ya sudah, tidak apa-apa! Jangan dipaksa.” Fendi mengalah, berjalan menjauhi Choky menuju ke meja kerjanya.

Kembali Tigor duduk di samping Choky, dan giliran Tigor yang dijauhi Choky. Tigor kesal tapi berusaha tenang, ”Sudahlah, nak. Tak guna kau menghindar. Tenang saja, kami tidak akan jahat padamu.” Tigor masih sempat menepuk pundak Choky pelan.

”Kau tidak rindu bapakmu, Cok?” Tigor membuyarkan ketakutan Choky untuk sementara. Ia menatap Tigor lekat yang sedang asyik mengganti rokoknya dengan batang rokok yang baru. 

”Sebentar lagi kita akan bertemu bapakmu. Ku harap kau tidak melawan lagi.” Tigor melihat Choky yang sedang memalingkan wajahnya ke arah pintu.

”Kenapa kau?” Tigor bertanya heran. Ia memegang dagu Choky lalu perlahan mengarahkan wajah Choky tepat di hadapannya. Choky menurut saja sambil matanya melihat ke bawah, tidak berani memandang Tigor. Tanpa diduga Tigor, Choky mengangguk pelan.

”Bagus! Begitu dong! Itu baru anak pandai!” Tigor berteriak senang. Ia mengacungkan jempolnya ke arah Choky yang terus menunduk.

Tigor bangkit berdiri lalu menuju ke meja kerja Fendi. Dari jauh Tigor dan Fendi sedang serius membicarakan sesuatu. Sekilas ia mendengar namanya disebut. Sejurus kemudian, Tigor dan Fendi kembali datang mendekati dirinya.

”Kita ketemu bapakmu sekarang! Yok!” Tigor mengulurkan tangannya berharap Choky mau memegang tangannya. Dengan ragu-ragu dan terpaksa ia pun menyambut uluran tangan Tigor.

Tigor bahagia begitu Choky menyambut uluran tangannya. Mereka berjalan meninggalkan ruangan kantor Fendi. Fendi ikut menyusul di belakang.

Mereka berjalan menaiki anak tangga dan bersiap-siap  hendak keluar. Ia memperhatikan secara detil sambil otaknya terus merekam apa yang dilihatnya. Choky sendiri sebenarnya tidak begitu senang jika harus ikut dengan orang yang tidak begitu dikenalnya. Apalagi jika orang itu seperti Tigor. Seperti ada hawa panas jika berada dekat Tigor. Rohnya seperti menolak. Choky pun tak kuasa melawan. Ia hanya bisa berdoa tak henti-hentinya melawan ketakutannya. 

Tigor menuntunnya hingga ke halaman rumah menuju mobil mewahnya, membuka pintu dan menyilahkan Choky masuk. Semula Choky ragu, namun setelah dibujuk Tigor, ia pun masuk. Tak berapa lama Fendi pun ikut masuk ke dalam mobil dan bersiap-siap meluncur ke suatu tempat. Choky masih sempat memperhatikan rumah yang sebenarnya lebih mirip rumah penampungan dari pada rumah tinggal.

 

Sementara itu seorang ibu muda sedang memperhatikan gerak-gerik Tigor cs dari balik pohon rindang agak jauh dari situ. Ia memperhatikan dengan seksama apalagi yang akan dilakukan komplotan itu selanjutnya. Tampak dari jauh ia melihat Tigor yang akan masuk ke dalam mobilnya sambil tangannya menggandeng tangan seorang anak laki-laki dan menuntunnya masuk ke dalam mobil, disusul Fendi. Tak lama kemudian mobil bergerak keluar dari pagar dan meninggalkan lokasi.

Ibu itu pun menitikkan air matanya...

***

 

Ibu itu terduduk lemas di bawah pohon. Kakinya sudah tidak kuat lagi menahan tubuhnya berdiri tegak. Pemandangan yang baru saja ia lihat begitu menyayat hatinya. Air matanya tak kunjung berhenti mengalir deras. Sambil sesunggukan, ia menyapu air mata yang mengalir di pipinya kemudian menangis lagi. Untuk pertama kalinya ia melihat putra kesayangannya setelah lama tidak pernah bertemu.

Ya, ia adalah Tiur, ibuk Ucok alias Choky. Tiur jugalah yang memberitahukan kepada komplotan Tigor dimana Choky berada. Tiur terpaksa melakukannya demi mendapatkan uang untuk keperluan sehari-hari dan demi membayar hutang-hutang suaminya yang sudah menumpuk sementara suaminya di penjara..

“Whuuu...hu..huuu..!” ratap Tiur, “ma...af-kan mamak, naak!! Huuu...!!” Tiur meratap.

Ia begitu sedih dan kecewa. Melihat anak laki-laki satu-satunya bersama dengan penjahat buronan polisi tentu bukanlah hal yang diharapkan oleh semua ibu di dunia ini terhadap anaknya, termasuk Tiur. Namun semua itu terpaksa harus ia lakukan. Sebab ia sudah tidak punya uang lagi untuk membayar hutang-hutang suaminya yang sudah menumpuk. Kerabatnya sudah banyak yang meneror dia untuk segera membayar hutangnya, sementara pekerjaannya sebagai tukang cuci dari rumah ke rumah tentu tidak mungkin cukup untuk melunasi semua hutang itu, sementara untuk kebutuhan sehari-haripun tidak cukup, apalagi ternyata saat ini ia pun sedang mengandung.

Tigor juga berjanji akan menebus suaminya dari penjara, tentunya dengan syarat, Tiur harus memberitahukan di mana Choky berada. Tiur terpaksa memberikan alamat rumah Kayla yang di Siantar kepada Benni, anak buah Tigor. Bersama Benni, Herman yang adalah anak buah Fendi ikut membantu. Mereka berdualah yang dilihat ibu Imah saat sedang menjalankan aksi tersebut.

“Hhuuu...!” ia masih menangisi kepergian Choky yang sudah berlalu. Ia pun merasa telah menjadi ibu yang gagal terhadap kedua anaknya. Anaknya yang pertama pun tidak lagi diketahui kemana rimbanya, sementara anak keduanya terpaksa harus ia biarkan di tangan penjahat tanpa bisa berbuat apa-apa.

Matanya mulai terasa pedas. Rasanya percuma juga menangisi sesuatu yang sudah terjadi. Tiur pun mencoba menenangkan dirinya. Perlahan, air matanya mulai berhenti mengalir. Ia pun melamun membayangkan kembali wajah anaknya. Ujung matanya masih sempat melihat wajah anaknya untuk terakhir kali. Wajah Choky yang putih dan pipinya yang tembem. Tubuhnya pun bertambah tinggi dan montok. Oh! Ia begitu tampan, puji Tiur dalam hati. Ternyata ia berada di tangan yang tepat! Mauliate, nak Kayla!. Ia tersenyum. Matanya masih terlihat merah.

Tiba-tiba ia terkesiap dan berhenti dari lamunannya. Wajah Choky yang lucu dan menggemaskan seolah-olah telah menggugurkan selaput kebodohan yang selama ini membutakan matanya. Kebaikan Kayla yang tulus dan ikhlas membantu dirinya pun ikut menyadarkan dia dari perbuatan bodohnya selama ini sebagai orang tua.

“Oh, tidak!, Tiur memukul jidatnya. “Ya Tuhan! Bodohnya aku! Mengapa aku tega berbuat ini pada anakku sendiri?!” Tiur memukul jidatnya sekali lagi.

“Untuk apa aku melakukan ini? Lebih bagus aku mati!!” Tiur bicara sendiri. Ia memukul-mukul tanah sambil berteriak menyesal sejadi-jadinya.

Dengan tiba-tiba ia bangkit berdiri dan tanpa dikomando langsung berlari mengejar mobil Tigor yang sudah sedari tadi hilang ditelan bumi. Ia berharap mungkin masih bisa bertemu anaknya dan merampas buah hatinya itu dari tangan Tigor. Ia berlari kencang sambil berteriak menangis memanggil nama anaknya. Ia tidak peduli lagi dengan orang-orang yang heran melihat dirinya berteriak dan berlari tanpa tujuan. Sayangnya semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur. Ia tidak mungkin lagi bertemu anaknya.

“Tiidaaaaakk!!!” Tiur berteriak keras. Ia berhenti berlari. Kedua kakinya yang sudah sejak tadi lemas tidak kuat lagi menahan tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal. Ia pun tersungkur dan pingsan.

Orang-orang berkerumun mendekati Tiur. Seorang tukang becak dan seorang pemuda yang sedang melintas di sekitar itu berinisiatif memapah tubuh Tiur yang pingsan di tengah jalan dan membaringkannya ke tepi jalan. Mereka saling bertanya satu sama lain apa yang sedang terjadi, tanpa mereka sendiri tahu.

 

BERSAMBUNG

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel