Malam itu langit terlihat ceria, seceria para remaja yang sedang melakukan malam Mingguan. Tiga laki-laki dengan status jomblo bermaksud ingin ikut merasakan kegembiraan di malam Minggu dengan sekadar melihat-lihat pemandangan kota dari ketinggian.
Tentunya tidak cuman bengong dengan kekosongan di meja, biar lebih seru dan tidak terlihat “keringâ€, ketiga remaja jomblo itu memanggil pelayan untuk meminta menu yang disajikan di resto hotel tersebut.  Tidak ada yang istimewa menu yang tertulis di dalam daftar menu, namun yang istimewa adalah nominal harga dari menu-menu tersebut.
Berhubung ketiga jomblo tidak termasuk golongan orang “beruangâ€,  jadi hanya mampu memesan dua cangkir kopi dengan varian yang berbeda. Sambil menunggu pesanan datang biar tidak jenuh, mata kiri dan kanan selalu “berkeliaran†melihat gadis-gadis yang sedang berkencan, kalau kencanya di hotel sudah pasti modal yang dikeluarkan tidak sedikit, perlu uang berlembar-lembar hanya untuk berkencan semalam. Padahal untuk mendapatkannya butuh waktu berbulan-bulan  untuk karyawan yang bergaji pas-pasan.
Sekitar sepuluh menit menunggu, akhirnya kopi yang sudah di idam-idamkan datang juga. Kaget dan terkesan tidak percaya dengan pesanan dua cangkir kopi yang diberikan pelayan kepada tiga jomblo tadi. Ketiga jomblo itu sebut saja  Cahyo, Ibnu dan Adin.
Cahyo yang sudah secara detil memilih menu yang akan dipesan ternyata masih saja merasa kecolongan. Bagaimana tidak coba, menurut Cahyo, kopi yang dipesannya itu sangat istimewa karena sesuai dengan tulisan di menu yang  menurutnya sangat istimewa, ternyata setelah disajikan, kopi yang pesannya tidak lebih dari kopi-kopi yang sering dibuatnya sendiri.
Kopi yang disajikan dengan cangkir berdiameter sekitar  dua belas centimeter dengan tinggi dua belas centimeter itu (setingi minyak angin ukuran sedang) sangat-sangat “mematikan†bagi Cahyo, karena kopi dengan porsi yang menurutnya sangat minimalis ini dibanderol dengan harga yang tidak masuk akal, delapan puluh ribu rupiah (Rp 80.0000) itupun masih kena pajak.Â
Padahal uang delapan puluh ribu kalau digunakan jajan di warung langganannya itu sudah bisa mengenyangkan perutnya selama kurang lebih 2 Minggu. Tapi itulah kehidupan, ada yang di atas ada yang di bawah, ada yang di dalam ada yang di luar, ada yang mahal ada yang murah.Â
“tapi mbok yao nek meh gawe rego larang iku yo sesuai karo barangeâ€Â  (tapi kalau memang mau membuar harga mahal ya yang sesuai dengan barangnya), kata Cahyo mencoba meluapkan emosinya.
Belum lagi kekecewaan si Ibnu yang sangat-sangat membara, Ibnu merasakan kekecawaan yang sangat-sangat mendalam. Sebagai konsumen, Ibnu merasa adanya permainan dalam meraup untung.
Beda lagi dengan si Adin, yang memang dari awal tidak punya uang, dia hanya bisa ikut merasakan kekecawaan kedua sahabatnya. Dan menganggap kejadian ini sebagai pelajaran yang perlu diingat dan tidak perlu terulang lagi.Â
Alhasil, maksud hati malam Minggu ingin mencari kesenangan malah mendapatkan kesengsaraan.  Mau tidak mau, malam Minggu yang digunakan para remaja bersenang-senang, hanya bisa dirasakan ketiga jomblo dengan kesengsaraan dan kekecewaan. Sudah sengsara gak bisa berkencan, ditambah sengsara dompetnya terkuras oleh kopi.Â
Peristiwa ini, bisa jadi pelajaran bagi semuanya, yang intinya jadilah diri sendiri, jangan mencoba menjadi orang lain. Orang lain bisa berkencan karena ada pasangan, orang lain bisa foya-foya karena punya uang. Jangan menjadi orang yang sok-sokan (suka gaya-gayaan) kalau tidak punya banyak modal, ujung-ujungnya nanti buat rugi diri sendiri.
Â