TERKADANG, sebuah film tidak hanya menjadi medium, tetapi juga dapat menjadi museum. Ada Apa Dengan Cinta 2 adalah museum bagi orang-orang yang menontonnya. Kita akan duduk, melipat satu kaki ke atas kaki lainnya, melihat layar, lalu menyaksikan kilatan-kilatan memori di masa lalu.
AADC 2 bukan hanya menyajikan film, tetapi juga nostalgia. Orang-orang yang tumbuh bersama AADC pertama, jelas ingin merasakan aura itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap manusia menyukai kenangan. Itulah kenapa banyak barang lelang berharga mahal, hanya karena kenangannya. Itulah kenapa orang-orang, begitu berambisi menonton Ada Apa Dengan Cinta 2. AADC 2 datang bukan membawa kenangan orang-orang terkenal. Bukan memberikan sejarah bagi para pembuatnya. AADC 2, mengantarkan kita, kepada kenangan masing-masing penonton.
Kita, seolah masuk ke ruangan yang berisi lemari-lemari kaca. Di dalamnya terdapat berbagai diri kita, beserta kenangan yang kita punya. Di lemari kaca paling depan terdapat kita yang duduk berjajar di tengah kedai kopi, bersama sahabat yang telah tumbuh dan sukses. Membicarakan soal ribetnya pekerjaan, dan beberapa teman lain yang akan menikah. Lalu, di lemari kaca selanjutnya, terdapat gambaran diri kita yang sedang duduk bersila di kasur. Salah satu teman yang kita paling percaya, memberikan tisu karena tidak tega melihat kita yang mengeluh soal kerjaan yang belum dapat-dapat. Lalu, lemari lain memperlihatkan kita dan sahabat ini membuat lingkaran. Menunduk, saling menguatkan, karena harus berpisah ke tempat kuliah yang berbeda. Hari itu pengumuman kelulusan sekolah. Dan kita merentangkan tangan, berjanji bahwa, setelah ini, kita dan sahabat ini, akan terus bersama. Tetap berkumpul sesibuk apapun nantinya. Lalu, kita melihat sebuah lemari kaca paling ujung. Kita melangkah pelan dan, entah kenapa gambaran di dalamnya terasa hangat. Tampak beberapa anak berseragam putih abu-abu yang berjalan beriringan, pergi ke kantin, bergosip tentang seseorang, yang, baru saja kamu taksir. Seseorang yang menyebalkan, tetapi, entah kenapa, malah terus kita ingat.
Ada Apa Dengan Cinta, adalah museum bagi kita. Ia mampu mengembalikan sejarah-sejarah yang kita bangun.
Terus terang, sebenarnya saya bukan generasi yang datang saat AADC pertama muncul. Saya masih berumur sembilan tahun waktu itu, dan cerita cinta anak SMA bukanlah tontonan yang pas buat saya. Bahkan, saya baru menonton Ada Apa Dengan Cinta belakangan ini. Saya adalah bagian dari ombak generasi baru yang muncul setelah AADC pertama. Sebegitu besarnya animo masyarakat soal film ini sehingga mampu menyatukan dua ombak generasi yang berbeda menjadi sebuah gelombang besar.
Seperti yang saya bilang, AADC adalah museum bagi masing-masing penonton. Ia tidak hanya menghadirkan sebuah cerita, tetapi juga sejarah setiap orang. Penonton generasi AADC pertama, ketika menonton AADC 2, mungkin akan melihat diri sendiri sambil membayangkan teman-teman dekatnya saat SMA. Lalu membayangkan jika mereka masih bersama-sama. Persahabatan geng cewek yang sering ngegosip, yang rusuh, yang, disela kesibukan masing-masing, masih menyempatkan untuk bertemu dan bermain bersama.
Tentang Karakter
sumber: showbiz.liputan6.com
Kita semua tahu bahwa senjata utama dari AADC adalah kekuatan karakter-karakternya. Mulai dari geng Cinta yang terdiri dari Cinta yang gengsian namun percaya diri, Karmen yang tomboy, Milly yang lugu, Maura yang centil. Serta Rangga yang tampak selalu gelisah dan misterius. Semuanya, berada dalam porsi yang pas. Karakter-karakter ini terlihat tumbuh sejak empat belas tahun lalu. Karmen yang tetap tomboy, kini mulai bisa berpikir dewasa karena sesuatu telah datang di hidupnya. Cinta yang tampil sebagai pemimpin juga membuka film ini dengan apik. Sayangnya, persahabatan keempat perempuan ini terasa kurang lepas. Untuk ukuran geng yang tetap bersama selama empat belas tahun, mereka terlihat kurang ‘terbuka’ satu sama lain. Atau mungkin, memang selama empat belas tahun mereka tidak selalu bersama?
Justru menurut saya, Milly adalah tokoh yang menjadi scene stealer di film ini. Setiap celetukan dan ekspresinya mampu membuat suasana berputar seratus delapan puluh derajat. Bahkan, hanya menempatkan dia yang sedang duduk dan makan es krim di dalam mobil, suasana bioskop sudah berubah menjadi manis dan siap untuk tertawa.
Tokoh Rangga juga berkembang menjadi sosok yang lebih dewasa. Dia yang pada AADC selalu egois dan cuek, di AADC 2 beranjak menjadi Rangga yang mulai memikirkan orang lain. Rangga, sudah merasa sadar, kalau ia harus menunjukkan usahanya dalam mengejar Cinta.
Sayangnya, di saat Rangga menyadari itu semua, hidup Cinta sudah berubah, tentu saja. Cinta sudah mengalami “faseâ€-nya sendiri selama empat belas tahun, atau, jika dihitung setelah putus dari Rangga, berarti sembilan tahun. Cinta sudah bekerja dan memiliki sebuah galeri seni. Hubungan asmara Cinta pun sedang baik-baiknya.
Meskipun demikian, apapun cerita yang mereka jalankan selama empat belas tahun, karakter mereka tetap terasa dekat. Karakter mereka seperti hidup di dunia kita selayaknya tokoh yang nyata. Mereka berdua seperti salah satu teman di SMA kita yang menjadi pasangan idaman. Seperti teman yang, ketika ingin melihatnya, tinggal mengintip ke kelas sebelah. Lalu kita semua lulus dan berpencar, dan tibalah di reunian ini. Tentu kita semua penasaran dengan nasib mereka. Dengan hidup mereka.
Dan, sama seperti AADC pertama, formula AADC 2 juga mirip: ia menyuguhkan gabungan antara karakter yang kuat dan tema cerita yang relatable. Kalau di AADC pertama kita diperlihatkan sisi geng cinta sebagai anak mading—yang mana menjadi ekstrakulikuler favorit anak cewek sekolah saya waktu itu, AADC 2 menghidangkan tema-tema cerita yang sangat anak muda. Formula AADC 2 adalah karakter yang kuat + travel + puisi yang dituang ke dalam kopi.
Tentang Puisi
sumber: www.solopos.com
Membicarakan AADC tentu saja tidak terlepas dari puisi-puisi yang ada di sana. AADC pertama telah mengubah konsep puisi yang identik dengan karya sastra lawas dan tua menjadi hal yang muda dan keren. Beberapa baitnya bahkan langsung menempel di kepala. Lalu bagaimana dengan AADC 2?
Sebagai seseorang yang tidak terlalu pandai berpuisi (apalagi mengikuti tren puisi), bait-bait yang ada dalam AADC 2 terasa sangat pas dan masuk ke dalam karakter Rangga. Seperti halnya Rangga, puisi-puisi yang ia buat juga berubah menjadi sedikit luwes dan tidak terlalu ‘kaku’. Aan Mansyur, sang pencipta puisi dapat dikatakan berhasil masuk ke dalam tokoh Rangga, hidup di dalamnya selama empat belas tahun, untuk kemudian membuat puisi-puisi yang sesuai.
Cara Rangga membacakan puisinya pun terasa dalam. Rasanya seperti ada lapisan-lapisan yang kita terima sewaktu mendengar Rangga membacakan puisi tersebut, mirip seperti lapisan-lapisan di kepalanya yang membuat Rangga selalu tampak resah.
Mengenai puisi ini, saya tidak bisa berpikir lebih jauh karena sewaktu keluar dari bioskop, pikiran saya diisi oleh suara-suara Rangga:
Lihat tanda tanya itu?
Jurang antara kebodohan dan keinginanku untuk memilikimu,
sekali lagi.
Tentang realitas yang menikam ketidakrealistisan
sumber: https://thefreakyteppy.com
Karakter, kehidupan, dan tema cerita yang relatable dengan kita sayangnya tidak diimbangi dengan logika cerita yang kuat. Meskipun, dengan premis yang sederhana tetap mampu membuat AADC 2 menjadi film yang dahsyat. Namun, sepertinya, dasar premis cerita ini dibuat hanya untuk menjawab pertanyaan orang-orang tentang ‘Bagaimana akhir hubungan Rangga dan Cinta?’ bukannya ingin memperlihatkan kehidupan mereka berdua secara utuh.
Sejak awal, saya (dan saya yakin penonton lain juga merasakannya) sudah dibingungkan dengan adegan adek tiri Rangga yang jauh-jauh datang ke New York demi memberikan kabar kalau Ibunya Rangga sangat rindu dan ingin sekali bertemu. Betul sekali, dengan teknologi yang sudah semaju sekarang, entah kenapa ia malah memilih pergi menemuinya secara langsung. Dan anehnya, Ibunya Rangga tidak ikut padahal dia yang rindu dan ingin bertemu. Tentu mungkin jadinya akan aneh kalau Ibunya datang ke New York lalu Rangga menolak untuk menemuinya. Kita akan jadi susah membedakan mana AADC 2 dan mana film Malin Kundang.
Logika-logika semacam inilah yang sayangnya masih terdapat di dalam film. Padahal, seperti yang saya bilang, selama logikanya masih terjaga dengan baik, cerita seremeh apapun akan tetap menjadi baik. Karena, well, di situ ada Rangga dan Cinta. Mungkin kalau Rangga dan Cinta bikin vlog sedang menyapu halaman, atau menyusun puisi-puisi, atau mengganti dispenser sekalipun, saya akan tetap menonton videonya.
Hal yang sedikit mengganggu saya juga adanya “kebetulan-kebetulan†yang, lagi-lagi sayangnya, menyebabkan terjadinya konflik utama cerita. Seolah kalau tidak ada kebetulan itu, cerita ini tidak akan terjadi. Mirip seperti FTV yang sangat kuat menjunjung tinggi asas “kebetulan†yang terjadi di dunia ini. Untungnya, dalam AADC 2 terdapat latar belakang yang membuat kebetulan ini bisa terjadi secara lebih alami.
Hal lain yang cukup menyedihkan bagi saya adalah bagian ending filmnya. Seperti yang saya katakan, bahwa sepertinya tujuan dibuatnya film ini untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana ending hubungan Rangga dan Cinta?†Alhasil, sang sutradara menjawabnya dengan mengakhiri kisah hidup Rangga dan Cinta, yang, secara dramatis, mirip dengan ending FTV yang sering kita tonton di televisi.
Dengan berakhirnya film ini, diiringi tepuk tangan penonton, dan beberapa mata yang berkaca-kaca, dan lampu-lampu bioskop yang menyala, kita menyaksikan akhir dari kehidupan sepasang kekasih. Tidak seperti AADC 1 yang memberikan dunia untuk mereka hidup, AADC 2 seakan tidak memperbolehkan mereka hidup “di dunianyaâ€. Rangga dan Cinta, telah dimasukkan ke dalam museum.
Dan kita, tidak akan lagi melihatnya tumbuh dan menua.
--
Trailer AADC 2: