Menunggu di gerbang sekolah

8 May 2016 08:44 3239 Hits 0 Comments
Cerpen

Gerbang sekolah terbuka untukku, untukmu, untuk kita. Semua orang yang mengatasnamakan dirinya pelajar, melewatinya hampir setiap hari. Gerbang sekolahpun diperlakukan terhormat, selalu ada orang yang menjaganya. Bahkan lebih dari satu orang. Gerbang sekolah adalah awal. Awal ketika kita bertemu, saling menatap dan akhirnya menetap. Aku ingat tiga tahun lalu, ketika kita masih sama-sama diperlakukan tidak adil oleh kakak kelas yang belakangan kita sebut kampret. 

Gerbang sekolah yang terbuka menjadi pertanda bahwa hiruk-pikuk sekolah akan dimulai dan berakhir. Aku selalu menunggumu di gerbang sekolah pada dua waktu. Pagi dan sore hari, menunggumu yang menunggangi sepeda di pagi hari. Menunggumu untuk bisa pulang ke rumah di sore hari, menolak jemputan yang diutus ibu. Aku selalu suka berada di boncengan sepedamu. Kamu sangat baik, memberinya bantalan supaya pantatku tidak terasa sakit.

Aku suka senyummu kala pagi, senyum yang menyungging membuatku tertawa dan tidak terpaksa, tatapan nakalmu masih terus membekas hingga kini. Aku tahu meski kita tidak pernah dalam satu ikatan hingga kini. Tapi, aku menikmatinya, seperti rasa nyaman ketika aku memelukmu, berpegangan ketika kamu mengayuh sepeda lebih kencang dan melewati beberapa mobil. Aku tidak lupa, yang selalu membuatmu geli karena keningku yang selalu menyentuh punggungmu ketika kita berboncengan.

Kita tidak lupa saat hujan turun selepas pulang sekolah, masih diatas sepeda hitammu kita diterpa hujan yang sama, menikmati setiap tetesnya bersama debar jantung yang terus memacu ketegangan diantara kita. Ketika seragamku basah oleh hujan, juga air mataku. Air mata yang tidak menginginkanmu pergi, perpisahan yang harus terjadi selalu membuatku mengutuk diriku sendiri. Kenapa tuhan menciptakan perpisahan, jika sebuah pertemuan bisa membuat kita saling mengasihi penuh tulus.

Ingatanku masih sama tentangmu, ketika kamu selalu mengajakku berbicara diatas sepeda hitammu. Membicarakan jam pelajaran yang membuat lelah dan penat. Bosan yang kadang mampir tanpa permisi karena guru yang tidak becus mengajar. Dan membicarakan gosip kedekatan teman sendiri. Aku senang, ketika kamu tidak pernah membahas soal kita, meskipun awalnya aku merasa menjadi orang yang paling tidak beruntung di sekolah. 

Kamu selalu meyakinkanku dengan senyum dan kata-kata manismu yang aku yakin keluar tulus dari hati. Jika sepasang kekasih yang saling mencinta saja bisa saling menyakiti dan patah hati, lalu kenapa cinta menyatukan mereka. Cinta yang seperti itu bukanlah cinta, itu nafsu yang berkamuflase. Kita sama-sama tahu bahwa cinta adalah anugerah terindah yang dipunyai setiap manusia. Cinta adalah yang abadi sejak kita lahir hingga mati.

Belakangan aku sadar, kamu memberikan cintamu untukku tanpa memaksaku untuk memberikan cintaku padamu. Aku selalu kalah soal konsep mencintai. Bagiku cinta adalah saling memberi. Tapi kamu selalu bilang bahwa cinta perihal memberi tanpa kalimat saling. Soal cinta kita tidak boleh pamrih. Orangtua kita mencintai dengan tulus, memberi apa yang mereka punya, tanpa mengharapkan imbalan. Lalu apakah soal cinta kita harus saling memberi, jika pada akhirnya kita menarik pemberian kita.

Aku mencintaimu sebatas nafas, yang tidak bisa kamu lihat namun bisa dirasakan. Jangan terlalu dekat, karena itu akan membuatku tidak bisa merasakan hembusan nafasmu. Aku yang selalu penuh dengan peluh keringat di keningku selalu kamu tertawai. Kamu bilang bahwa aku grogi bertemu kamu. Aku hanya bisa tertawa, mencubit perut buncitmu dan mengatakan “kamu benar” dalam hati.

Masa akhir sekolah telah membuat kita was-was. Ketakutan akan perpisahan terasa di debar jantungku dan bola matamu. Tiga tahun bersamamu, membuatku membenci perpisahan. Meski tak ada kata yang dapat mencegah perpisahan kita untuk tidak datang. Tapi percayalah, perpisahan adalah cara tuhan menguji seberapa besar cinta kita. Seperti kutub negatif dan positif magnet yang dijauhkan, mereka akan bertemu lagi pada akhirnya. Mereka saling menemukan.

Menunggumu di gerbang sekolah akan menjadi aktivitas yang paling aku rindui. Menerjang hujan bersamamu menjadi ingatan ketika hujan menerpa jendela kamarku. Sekolah akan menjadi pelabuhan terakhir sebelum kapal kita berangkat dan berpisah. Jalur perjalanan yang kita pilih memang berbeda, tapi percayalah, kita masih bisa saling menatap dari dek kapal. Melambaikan tangan dan saling mengirimkan rindu juga sentuhan lewat angin yang selalu memberikan kabar baik bagi para nelayan.

Hari ini, ketika perpisahan mengingatkanku dan benar-benar terjadi. Aku memilih berdiri di gerbang sekolah. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpa wajahku. Menatap lalu-lalang kendaraan. Tentu saja, menunggumu dengan Kebaya yang terasa tidak nyaman di tubuh. Kenapa sekolah menciptakan acara yang sebenarnya dapat membuat masing-masing dari kita merasa kehilangan. 

Aku benci, tidak bisa mengungkapkan perasaanku di perpisahan yang dekat dan tampak nyata. Aku benci, tidak mendapat apa-apa ketika kita berpisah. Aku benci, tidak bisa mendengar suaramu lagi. Aku benci, tidak bisa melihat senyum yang mengugurkan kegelisahanku setiap pagi. Aku benci melihatmu bahagia tanpaku. Aku benci diriku yang tidak bisa menghilangkan bayangmu di pikiranku.

Aku masih menunggumu yang tidak kunjung datang menemuiku di gerbang sekolah. Aku bertanya pada diriku: Apakah perpisahan sudah benar-benar terjadi? Aku masih belum percaya, kematian telah merenggutmu dariku.

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel