Mengulik Sejarah dari Persepsi Film Nasional

6 May 2016 22:01 4720 Hits 2 Comments
Kalau  merasa belajar sejarah itu ngejelimet, mungkin nonton film adalah solusinya

Sebenarnya film Indonesia  yang berlatar sejarah bukan hal yang baru.  Sejak saya masih SD dulu pun sudah banyak film nasional dengan bumbu tentang perjuangan yang ditayangkan di tv. Biasanya,  kalau tidak pada tanggal 17 Agustus setiap tahun, tanggal 30 September adalah agenda rutin untuk jadwal tayang  film nasional tentang perjuangan dan semacamnya. Khusus untuk tanggal 30 september  ini  adalah harinya Amoroso Katamsi yang memerankan almarhum letjen Soeharto di film G30 S-PKI.

Semakin ke sini , kualitas film  Indonesia mengalami banyak kemajuan. Bukan saja dari segi kuantitas tapi juga kualitas, termasuk  film dengan genre sejarah  ini. Menurut saya, film dengan tema seperti ini adalah cara yang asik mencerna pelajaran sejarah yang identik dengan sesuatu yang garing dan bikin ngantuk. Hayo, iya, ga?  Gimana ga sebel coba. Biasanya kita harus menghafalkan kronologis sejarah yang  sering tertukar  dan detil dari isi perjanjian  yang ngejelimet juga.  Hafal mungkin ya, tapi kalau disuruh menjelaskan pasti muter-muter ga jales. :D Apalagi  minat baca di Indonesia ini masih lemah dibanding antusias  penonton yang rela mengantri tiket nonton. Kalau  untuk menamatkan satu buku novel perlu waktu 1-3 hari untuk begadang, nonton film cukup membutuhkan waktu 2 jam saja.  Lebih praktis, meski tidak semua detil dari buku bisa divisualisasikan. Kenyataannya memang begitu.

Selama satu tahun terakhir (rentang  tahun 2015-2016), ada sejumlah film besutan sutradara Indonesia yang mengangkat tokoh sejarah Indonesia. Sebut saja  film Jenderal Soedirman, Guru Bangsa Tjokroaminoto dan Surat Cinta Untuk Kartini. Semuanya juga tahu,  mereka  ini tokoh pahlawan nasional, tapi masih sedikit yang mengenal mereka lebih dekat dan perjalanan sejarahnya.  Yang menarik dari ketiga tokoh ini adalah  Tjokroaminoto dan Soedirman yang ternyata punya  cerita yang beririsan. Sama-sama bersinggungan dengan Soekarno, salah satu  founding fathernya Indonesia.

Bagi Tjokroaminoto, Soekarno adalah muridnya, dan bagi Soedirman, Soekarno  adalah pimpinannya dalam hirarki militer pemerintah Indonesia.  Soedirman tidak memercayai  jalan diplomasi dan lebih memilih  bergerilya melawan penjajah Belanda daripada harus menuruti  tarik ulur  yang dilakukan Belanda ketika kehabisan akal.  Lebih mudah menganalisa sejarah dengan cara menonton ketimbang  harus mengunyah materi pelajaran sejarah yang tumpang tindih dengan pelajaran lainnya. Hari ini ingat, mungkin besok sudah lupa.

sumber  gambar: www.iberita.com

Alur  cerita yang menarik dari film  biasanya akan membangkitkan rasa ingin tahu untuk mengulik lebih jauh tentang cerita  yang diangkat dalam sebuah film. Misalnya saja film  produksi Hollywood,Pearl Harbour  dengan latar perang dunia kedua yang melibatkan Amerika dan Jepang. Setelah menonton  film kita akan googling mencari informasi  yang kita comot dari film. Membedakan mana yang riil dan mana yang sisipan fiksi. Kalau film ini bisa menghipnotis kita yang bukan orang Amerika, kenapa sih kita sendiri masih minim apresiasi dengan sejarah sendiri?

Itu juga yang saya amati ketika menyaksikan ketiga film ini (Jenderal Soedirman, Guru Bangsa Tjokroaminoto dan Surat Cinta Untuk Kartini). Daripada  pusing menghafal tangal lahir dan kapan meninggal ketiga tokoh tadi, kan jauh lebih bermakna mengetahui esensi perjuangan mereka.  Tjokroaminoto misalnya. Awalnya saya cuma mengingat beliau ini nama pahlawan yang diabadikan jadi nama jalan. Tapi  bagaimana  perjuangannya denga organisasi Sarikat Islam baru saya pahami di sini. Begitu juga dengan ketiga muridnya, Soekarno, Semaoen dan Kartosoewirjo, memori saya tentang mereka seperti direfresh lagi.  Dulu guru sejarah waktu saya di SMP atau SMA  mungkin pernah bercerita, tapi jujur saja saya beneran lupa kalau tidak mau ngaku baru ngeh sekarang. Duh, maafkan :)

Begitu juga dengan kisah Soedirman.  Yang saya ingat beliau cuma jagonya taktik gerilya. Tapi ternyata setelah menonton film ini saya jadi lebih ngeh kalau ternyata perjanjian Roem - Royen itu  ngehe banget karena merugikan kita bangsa Indonesia. Saya juga diingatkan lagi  soal keterlibatan  pemerintah Amerika Serikat  dengan bantuan Marshall Plannya yang disalahgunakan oleh Belanda untuk mendanai perang.  Berkat kecerdikan Soedirman di tengah kondisi tubuhnya yang ringkih  tapi tetap menyulitkan itu sukses membuat pasukan kompeni jadi  frustasi hanya untuk melumpuhkan seorang pejuang seperti beliau.  Itu digambarkan ketika dua orang Beanda berdebat hebat sampai kemudian salahs atunya curhat betapa  perang yang harus dijalaninya membuat dirinya stress.

Tapi, tidak semua Belanda menyebalkan dengan usahanya untuk menjajah Indonesia  selama mungkin. Kita ambil contohnya saja dari kisah Kartini. Selain korespondensinya dengan orang-orang Belanda, apresiasi yang sama didapatkan oleh Kartini di tanah air dari orang Belanda yang bersinggungan dengannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau mau terus menjajah Indonesia,  wanita tidak boleh  mengenyam bangku sekolah.Tidak boleh pinter. Padahal dalam agama Islam, ibu adalah madarasah bagi anak-anaknya. Seorang ibu yang cerdas mestinya akan menghasilkan anak-anak yang cerdas, bahkan bisa melampaui kecerdasan orang-orang sebelumnya.

Terlepas dari sejumlah suara sumbang yang mempertanyakan Kartini  yang dicap dekat dengan Belanda,  banyak yang lupa  kalau banyak wanita Indonesia  yang bisa sekolah tinggi dan menikmati kemerdekaan (meski sampai sekarang belum semuanya  bisa menikmati) seperti saat ini adalah buah emansipasi dari Kartini  yang ingin kaumnya mendapat hak belajar yang sama. 

Terlepas dari bumbu  fiksi yang diselipkan dalam setiap film seperti  tokoh Bagong dan Stela di film guru Bangsa Tjokroaminoto,  Karsani di film Soedirman, yang memimpikan Indonesia 70 tahun setelah  masa kehidupannya atau Sarwadi tukang pos  yang jatuh cinta pada Kartini tapi tidak kesampaian, mestinya kita mengapreasiasi  para sineas Indonesia untuk lebih mudah mengenal dan mencerna sejarah kita sendiri.

Saya tidak menutup mata kalau akting sebagian aktor atau aktris pemeran film yang masih nanggung, kurang cocok, atau hal lainnya masih jauh dari ekspektasi. Namun beberapa nama sudah membuktikan kesungguhannya. Siapa sih yang meragukan kesungguhan akting seorang Chicco Jerikho, Lukman Sardi, Mathias Muchus  atau Si ganteng maut Reza Rahadian. Enggak ada, kan?

Ngomongin soal film dengan latar sejarah,  enggak semuanya juga film Indonesia jeblok di layar XXI. Masih ingat, kan akting memukan Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari di film  Habibie dan Ainun?  Film ini cukup lama  wara-wiri di layar bioskop Indonesia. Tidak sedikit  yang dibuat baper dan gagal move on dari film ini. IMHO, ini salah satu indikasi kesuksesan sebuah film. Meski lebih condong ke arah biografi, film yang kental dengan kisah cinta ini  membuat kita lebih mengenal sedikit banyak tentang mantan Presiden ketiga Indonesia ini yang cuma terkenal dengan otak encernya tapi juga punya integritas dan nasionalismenya  yang tinggi. Ketika ada yang temehek-mehek dengan film ini mungkin dulunya ada yang termasuk  tidak setuju atau malah tidak suka BJ Habibie diangkat menjadi pengganti Soeharto sebagai Presiden Indonesia ke-3. 

Kalau bukan kita sendiri yang mengapreasi film nasional, ya jangan salahkan kalau film Indonesia  banyak yang turun layar dalam hitungan minggu.   Ayolah,  kita buat film Indonesia lainnya bisa menghirup  nafas lebih panjang seperti Ada Apa Dengan Cinta  yang sampai segitunya  orang-orang rela menunggu seperti Cinta yang menanti Rangga 14 tahun.  Meski hanya tokoh rekaan, harapan cameo seperti Stela (Tjokroaminoto), Sarwadi (SCUK) , atau Karsani (Soedirman) adalah gambaran mimpi  orang tua kita puluhan tahun  lalu.

Jadi, jangan bilang lagi belajar sejarah  itu membosankan.  Kalau tidak tahan menekuri ratusan lembar buku, tidak susah kan menyisihkan paling lama 120 menit untuk menonton film Indonesia dengan tema sejarah?

sumber gambar cover (film Soedirman): www.indonesianfilmcenter.com

gambar film Guru Bangsa Tjokroaminoto diambil dari: www.iberita.com

 

About The Author

efi fitriyyah 14
Novice

efi fitriyyah

Blogger Bandung. Bukan seorang movie freak tapi kalau menemukan film yang keren dari teknik, konten atau pesan akan jatuh cinta dibuatnya
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From efi fitriyyah