Sebenarnya film Indonesia yang berlatar sejarah bukan hal yang baru. Sejak saya masih SD dulu pun sudah banyak film nasional dengan bumbu tentang perjuangan yang ditayangkan di tv. Biasanya, kalau tidak pada tanggal 17 Agustus setiap tahun, tanggal 30 September adalah agenda rutin untuk jadwal tayang film nasional tentang perjuangan dan semacamnya. Khusus untuk tanggal 30 september ini adalah harinya Amoroso Katamsi yang memerankan almarhum letjen Soeharto di film G30 S-PKI.
Semakin ke sini , kualitas film Indonesia mengalami banyak kemajuan. Bukan saja dari segi kuantitas tapi juga kualitas, termasuk film dengan genre sejarah ini. Menurut saya, film dengan tema seperti ini adalah cara yang asik mencerna pelajaran sejarah yang identik dengan sesuatu yang garing dan bikin ngantuk. Hayo, iya, ga? Gimana ga sebel coba. Biasanya kita harus menghafalkan kronologis sejarah yang sering tertukar dan detil dari isi perjanjian yang ngejelimet juga. Hafal mungkin ya, tapi kalau disuruh menjelaskan pasti muter-muter ga jales. :D Apalagi minat baca di Indonesia ini masih lemah dibanding antusias penonton yang rela mengantri tiket nonton. Kalau untuk menamatkan satu buku novel perlu waktu 1-3 hari untuk begadang, nonton film cukup membutuhkan waktu 2 jam saja. Lebih praktis, meski tidak semua detil dari buku bisa divisualisasikan. Kenyataannya memang begitu.
Selama satu tahun terakhir (rentang tahun 2015-2016), ada sejumlah film besutan sutradara Indonesia yang mengangkat tokoh sejarah Indonesia. Sebut saja film Jenderal Soedirman, Guru Bangsa Tjokroaminoto dan Surat Cinta Untuk Kartini. Semuanya juga tahu, mereka ini tokoh pahlawan nasional, tapi masih sedikit yang mengenal mereka lebih dekat dan perjalanan sejarahnya. Yang menarik dari ketiga tokoh ini adalah Tjokroaminoto dan Soedirman yang ternyata punya cerita yang beririsan. Sama-sama bersinggungan dengan Soekarno, salah satu founding fathernya Indonesia.
Bagi Tjokroaminoto, Soekarno adalah muridnya, dan bagi Soedirman, Soekarno adalah pimpinannya dalam hirarki militer pemerintah Indonesia. Soedirman tidak memercayai jalan diplomasi dan lebih memilih bergerilya melawan penjajah Belanda daripada harus menuruti tarik ulur yang dilakukan Belanda ketika kehabisan akal. Lebih mudah menganalisa sejarah dengan cara menonton ketimbang harus mengunyah materi pelajaran sejarah yang tumpang tindih dengan pelajaran lainnya. Hari ini ingat, mungkin besok sudah lupa.
Alur cerita yang menarik dari film biasanya akan membangkitkan rasa ingin tahu untuk mengulik lebih jauh tentang cerita yang diangkat dalam sebuah film. Misalnya saja film produksi Hollywood,Pearl Harbour dengan latar perang dunia kedua yang melibatkan Amerika dan Jepang. Setelah menonton film kita akan googling mencari informasi yang kita comot dari film. Membedakan mana yang riil dan mana yang sisipan fiksi. Kalau film ini bisa menghipnotis kita yang bukan orang Amerika, kenapa sih kita sendiri masih minim apresiasi dengan sejarah sendiri?
Itu juga yang saya amati ketika menyaksikan ketiga film ini (Jenderal Soedirman, Guru Bangsa Tjokroaminoto dan Surat Cinta Untuk Kartini). Daripada pusing menghafal tangal lahir dan kapan meninggal ketiga tokoh tadi, kan jauh lebih bermakna mengetahui esensi perjuangan mereka. Tjokroaminoto misalnya. Awalnya saya cuma mengingat beliau ini nama pahlawan yang diabadikan jadi nama jalan. Tapi bagaimana perjuangannya denga organisasi Sarikat Islam baru saya pahami di sini. Begitu juga dengan ketiga muridnya, Soekarno, Semaoen dan Kartosoewirjo, memori saya tentang mereka seperti direfresh lagi. Dulu guru sejarah waktu saya di SMP atau SMA mungkin pernah bercerita, tapi jujur saja saya beneran lupa kalau tidak mau ngaku baru ngeh sekarang. Duh, maafkan :)
Begitu juga dengan kisah Soedirman. Yang saya ingat beliau cuma jagonya taktik gerilya. Tapi ternyata setelah menonton film ini saya jadi lebih ngeh kalau ternyata perjanjian Roem - Royen itu ngehe banget karena merugikan kita bangsa Indonesia. Saya juga diingatkan lagi soal keterlibatan pemerintah Amerika Serikat dengan bantuan Marshall Plannya yang disalahgunakan oleh Belanda untuk mendanai perang. Berkat kecerdikan Soedirman di tengah kondisi tubuhnya yang ringkih tapi tetap menyulitkan itu sukses membuat pasukan kompeni jadi frustasi hanya untuk melumpuhkan seorang pejuang seperti beliau. Itu digambarkan ketika dua orang Beanda berdebat hebat sampai kemudian salahs atunya curhat betapa perang yang harus dijalaninya membuat dirinya stress.
Tapi, tidak semua Belanda menyebalkan dengan usahanya untuk menjajah Indonesia selama mungkin. Kita ambil contohnya saja dari kisah Kartini. Selain korespondensinya dengan orang-orang Belanda, apresiasi yang sama didapatkan oleh Kartini di tanah air dari orang Belanda yang bersinggungan dengannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau mau terus menjajah Indonesia, wanita tidak boleh mengenyam bangku sekolah.Tidak boleh pinter. Padahal dalam agama Islam, ibu adalah madarasah bagi anak-anaknya. Seorang ibu yang cerdas mestinya akan menghasilkan anak-anak yang cerdas, bahkan bisa melampaui kecerdasan orang-orang sebelumnya.
Terlepas dari sejumlah suara sumbang yang mempertanyakan Kartini yang dicap dekat dengan Belanda, banyak yang lupa kalau banyak wanita Indonesia yang bisa sekolah tinggi dan menikmati kemerdekaan (meski sampai sekarang belum semuanya bisa menikmati) seperti saat ini adalah buah emansipasi dari Kartini yang ingin kaumnya mendapat hak belajar yang sama.Â
Terlepas dari bumbu fiksi yang diselipkan dalam setiap film seperti tokoh Bagong dan Stela di film guru Bangsa Tjokroaminoto, Karsani di film Soedirman, yang memimpikan Indonesia 70 tahun setelah masa kehidupannya atau Sarwadi tukang pos yang jatuh cinta pada Kartini tapi tidak kesampaian, mestinya kita mengapreasiasi para sineas Indonesia untuk lebih mudah mengenal dan mencerna sejarah kita sendiri.
Saya tidak menutup mata kalau akting sebagian aktor atau aktris pemeran film yang masih nanggung, kurang cocok, atau hal lainnya masih jauh dari ekspektasi. Namun beberapa nama sudah membuktikan kesungguhannya. Siapa sih yang meragukan kesungguhan akting seorang Chicco Jerikho, Lukman Sardi, Mathias Muchus atau Si ganteng maut Reza Rahadian. Enggak ada, kan?
Ngomongin soal film dengan latar sejarah, enggak semuanya juga film Indonesia jeblok di layar XXI. Masih ingat, kan akting memukan Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari di film Habibie dan Ainun? Film ini cukup lama wara-wiri di layar bioskop Indonesia. Tidak sedikit yang dibuat baper dan gagal move on dari film ini. IMHO, ini salah satu indikasi kesuksesan sebuah film. Meski lebih condong ke arah biografi, film yang kental dengan kisah cinta ini membuat kita lebih mengenal sedikit banyak tentang mantan Presiden ketiga Indonesia ini yang cuma terkenal dengan otak encernya tapi juga punya integritas dan nasionalismenya yang tinggi. Ketika ada yang temehek-mehek dengan film ini mungkin dulunya ada yang termasuk tidak setuju atau malah tidak suka BJ Habibie diangkat menjadi pengganti Soeharto sebagai Presiden Indonesia ke-3.Â
Kalau bukan kita sendiri yang mengapreasi film nasional, ya jangan salahkan kalau film Indonesia banyak yang turun layar dalam hitungan minggu.  Ayolah, kita buat film Indonesia lainnya bisa menghirup nafas lebih panjang seperti Ada Apa Dengan Cinta yang sampai segitunya orang-orang rela menunggu seperti Cinta yang menanti Rangga 14 tahun. Meski hanya tokoh rekaan, harapan cameo seperti Stela (Tjokroaminoto), Sarwadi (SCUK) , atau Karsani (Soedirman) adalah gambaran mimpi orang tua kita puluhan tahun lalu.
Jadi, jangan bilang lagi belajar sejarah itu membosankan. Kalau tidak tahan menekuri ratusan lembar buku, tidak susah kan menyisihkan paling lama 120 menit untuk menonton film Indonesia dengan tema sejarah?
sumber gambar cover (film Soedirman): www.indonesianfilmcenter.com
gambar film Guru Bangsa Tjokroaminoto diambil dari: www.iberita.com
Â