Bersama Gita, Mengunyah Makna

6 May 2016 02:31 3419 Hits 2 Comments

Judul               : Makan Malam Bersama Gita Gutawa

Penulis            : Mia

Penerbit           : Muda Indonesia

Cetakan I         : April 2016

Tebal Buku       : iv + 132 halaman, 5 cm x 20 cm

Malam menjadi waktu yang pas untuk bercengkrama. Dimensi waktu yang dicipta untuk menjadi penyeimbang siang. Malam sebagai ruang berkontemplasi, sedang siang adalah kerja ragawi. Sebagian besar kebudayaan memanfaatkan malam untuk bersosialisasi, kongkow dalam bahasa kini.

Maka tak jarang kita melihat malam dihabiskan untuk berkumpul. Entah dengan kawan, kekasih, orang terdekat, sampai orang yang baru dikenal. Malam sebagai waktu lengang lebih banyak diisi oleh aktivitas ringan, seperti bercakap-cakap. Tak jarang obrolan santai berteman kopi atau teh berujung pada penemuan inspirasi dan kontemplasi diri. Setidaknya itu pula yang bisa ditangkap dalam buku Makan Malam Bersama Gita Gutawa garapan Mia.

Sehimpun cerita yang disandingkan bersama sebelas gita dalam album The Next Chapter milik Gita Gutawa. Pembaca akan diajak untuk menjelajahi setiap cerita yang merupakan kisah di balik lantunan lirik lagu. Buku ini adalah kombinasi dua bentuk: lagu dan cerpen. Membaca buku ini mengingatkan kita pada buku yang sama milik Dee Lestari berjudul Rectoverso.

Menyusuri setiap cerita, satu persatu percakapan dan alur cerita menggiring pembaca pada pemaknaan. Dalam cerpen pertama yang dijadikan judul buku ini, Makan Malam Bersama Gita Gutawa, kita akan berjumpa dengan obrolan dua manusia tentang nasib kehidupan anak-anak di negeri ini. Kehidupan anak-anak direnggut oleh kepentingan ekonomi melalui usaha industri yang terus-menerus memproduksi lagu-lagu dewasa. Alhasil, kita dengan mudah menemukan anak-anak justru fasih melantunkan lagu dewasa yang tidak sesuai umur. Secara psikologis, itu berbahaya bagi perkembangan afektif dan emosionalnya.

“Anak-anak sudah kehilangan masa kanak-kanaknya. Mereka terlalu cepat dewasa. Lagu-lagu dewasa lebih laku terjual dan mudah dikonsumsi anak-anak. Anak-anak kehilangan lagu-lagunya, kehilangan dongeng, kehilangan kehidupannya, dan mereka hidup tapi sebenarnya mati.” (hal. 8)

Tokoh “Aku” dan Gita memiliki gambaran keresahan yang sama. Makan malam itu diisi oleh pembahasan tentang krisis sosial kehidupan anak-anak yang ditaburi banyak teori ahli. Tak lupa ditemani oleh rinai hujan di luar dan kehangatan secangkir teh di rumah besar.

Dalam cerita kedua berjudul Bila Masih Cinta, lontaran kritik terhadap kota dan kehidupannya dapat ditangkap jelas. Tokoh “Aku” bermuram durja karena ditinggal laki-laki yang dicintainya ke luar negeri. Berbeda dengan gaya penulisan yang realis di cerita pertama, di sini sedikit memasukkan unsur imajinasi. Tokoh Aku digambarkan sanggup bertemu peri cinta yang tinggal di balik awan. Namun di malam itu, ketika tokoh aku butuh kejelasan apakah laki-laki itu mencintainya atau tidak, langit justru hitam. Tanpa bintang dan bulan, awan di atas kota tidak kelihatan. Sulit bertemu peri jika awan saja tidak kelihatan. Di sini, dengan begitu vulgar, tokoh “aku” mempertanyakan kesadaran kota memaknai adanya kehidupan alam. Ah, orang-orang kota tak pernah peduli bulan dan bintang ada atau tidak. Mereka sudah tenggelam dalam dunianya. Bulan dan bintang sudah mereka ciptakan sendiri dengan uang dan kemewahan. Sial. (hal. 22)

Lagu Rumahku yang begitu populer dibawakan oleh Gita Gutawa pasca kembali ke Indonesia juga tak kalah menarik dibawakan dalam cerita. Makna rumah dibentangkan jelas melalui perjalanan hidup Ahmad Munif, seorang bocah korban tsunami yang kehilangan rumahnya, juga keluarganya. Seperti lagu Rumahku, cerita ini begitu dalam. Baik lagu maupun cerita itu menggambarkan satu makna yang sama tentang pentingnya rumah, baik bagi Gita Gutawa maupun bagi tokoh dalam cerita. Pembaca akan mendapati pemaknaan atas rumah, yang kini banyak dilupakan oleh para pemiliknya.

Rumah yang dibangun setelah tsunami bagiku adalah sebuah kekalahan yang paling menyedihkan. Rumah yang dibangun itu tidak akan sama lagi. Itu memang berwujud rumah, tapi itu bukan lagi rumah. Pondasi pembangun rumah itu hanya pasir dan batu tanpa jalinan kekeluargaan. Dinding yang menutupinya itu hanya bata dan semen tanpa kasih sayang. Tiangnya hanya berupa kayu rapuh tanpa kehangatan dan senyuman. Dan atap itu hanya sebatas genting tanpa kehadiran sebuah perlindungan. Apa yang hilang dari rumah itu tidak bisa digantikan, maka aku menolak diam di sini. Mengubur kenangan masa lalu bukan pilihanku. Aku harus mencari sendiri dan membangun rumahku. Rumah yang dibangun dengan pondasi kekeluargaan, berdinding kasih sayang, bertiang kehangatan dan senyuman, serta beratap perlindungan. (hal. 60)

Selain tiga cerita di atas, masih terdapat delapan cerita yang bisa dimaknai. Rangkaian Kata yang berkisah tentang seorang laki-laki yang suka mempermainkan wanita pun mendapatkan sentuhan yang lebih hidup. Dalam cerita ini, penulis seakan membantai teori geno-teks milik Roland Barthes. Meski bermuatan filsafat namun alur cerita tetap ringan untuk dinikmati.

Yang menjadi menarik adalah ketika sang penulis memodifikasi cerpen milik Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Sepotong Senja Untuk Pacarku. Dalam buku ini, cerpen tersebut dimodifikasi dengan banyak merubah seting ruang, waktu, adegan, dan tokoh serta memberi judul Sepotong Fajar Untuk Gita. Namun konsep dasar cerita itu tetaplah dipertahankan sama seperti karya aslinya milik Seno Gumira, yakni menggambarkan cara pengungkapan cinta yang mendalam melalui aksi heroik, bukan dengan kata-kata yang sudah kehilangan makna.

Sehimpun cerita, sebelas gita menyuguhkan satu wacana penting tentang pemaknaan. Manusia pasti menjadi tua, tapi belum tentu dewasa. Melalui pemaknaan itu, manusia diajak untuk menjadi dewasa dalam hal apapun. Termasuk saat melihat krisis kehidupan anak-anak sekarang, tentang rumah, cinta, atau kehidupan kota yang acuh. Membaca buku ini seolah seperti melewati malam dengan santai. Sambil ditemani suguhan cerita dan alunan lagu-lagu Gita Gutawa, kita diajak untuk mengunyah makna.

 

Judul               : Makan Malam Bersama Gita Gutawa

Penulis            : Mia

Penerbit           : Muda Indonesia

Cetakan I         : April 2016

Tebal Buku       : iv + 132 halaman, 5 cm x 20 cm

Tags Biografi

About The Author

Zarah Amala 13
Novice

Zarah Amala

Fotografer | Penulis | Peminat sastra
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From Zarah Amala