Mungkin banyak orang yang masih mengandalkan obat untuk menjaga kesehatan dan menyembuhkan diri dari sakit. Sakit sedikit saja langsung berangkat ke warung atau apotik untuk membeli obat. Coba kalau pas berkunjung ke desa-desa, warung mana yang tidak menyediakan obat atau antibiotik? Antibiotik mulai dari Tetracyclin, Amoxicilyn, sampai Ciprofloxacin mudah sekali ditemui. Yang lucu ada orang sakit kepala datang ke warung beli Tetracyclin. Kalau di desa saya bisa dibilang Tetracyclin adalah panasea atau obat segala penyakit. Sakit apapun selalu Tetracyclin yang dicari-cari bahkan ayam pun kalau sakit juga dikasih antibiotik jenis ini. Kasarnya Tetracyclin datang penyakit pun hilang. Semua itu tak lepas dari mudahnya memperoleh obat-obatan resep di apotek secara bebas. Warung-warung mendapatkan obat-obatan resep dari apotek-apotek ini. Hanya obat-obatan golongan psikotropika atau psikotik saja yang sangat ketat alias memang benar-benar tidak bisa dibeli tanpa resep. Saya juga tidak tahu siapa yang membuat kesalahan paling dulu. Apotek tidak mungkin menjual obat bebas doang karena toh kalau obat bebas tidak perlu ijin mendirikan apotek yang harus ada apotekernya. Cukup ijin toko obat. Masalahnya adalah di sekitar apotek kadang tidak ada dokter yang mau meresepkan obat ke apotek. Contoh di pusat kota kecamatan saya cuma ada 2 dokter yang praktek. Satu di puskesmas dan satunya di klinik. Dokter puskesmas jika memberikan resep tentu pasien akan menebus obat di apotek dalam puskesmas karena memang sudah 1 paket rawat jalan. Begitu juga jika pasien berobat ke klinik maka mereka akan mengambil obatnya di apotek klinik bersangkutan karena sudah 1 paket harga dengan biaya periksa dokter. Jadilah apotek-apotek itu tidak pernah atau jarang mendapat resep padahal stok obat resep mereka harus terjual atau akan kadaluarsa jika dibiarkan menumpuk. Di pusat kota kecamatan saya aja ada 6 apotek yang beroperasi tidak termasuk apotek di klinik dan puskesmas. Di sisi dokter menyetok obat sendiri juga memudahkan pasien mendapatkan obat secara cepat tanpa perlu repot-repot antri ke apotek. Belum lagi ada seorang dokter yang bercerita kepada saya jika dia mengeluhkan pihak apotek yang sering mengganti obat pasien tanpa konfirmasi ke dokter dulu dan tak jarang obat yang diberikan pasien tidak seperti yang dimaksudkan dokter. Ada teman dokter yang juga mengeluh jika sekarang kebanyakan calon pasien lebih suka berkonsultasi dengan para petugas apotek tentang masalah kesehatan mereka ketimbang dengan dokter. Salah seorang teman dokter pernah berpura-pura datang sebagai orang biasa ke sebuah apotek yang terkenal ramai dan di sana mendapatkan banyak orang yang berkonsultasi masalah kesehatan dengan petugas apotek yang notabene cuma lulusan SMA. Sebenarnya bukan kompetensi lulusan SMA atau farmasi untuk mendiagnose penyakit pasien karena itu adalah wewenang dan kompetensi dokter. Ya akibatnya sering salah obat dan salah diagnosa. Pernah saya saat membeli obat di apotek tiba-tiba menyelonong seseorang datang “Mbak, ada obat buat suara habis?†Saya agak heran, suara habis itu kan cuma gejalanya saja tapi penyakitnya apa hanya dokter yang tahu. Kenapa dia tidak ke dokter saja tetapi kok malah berkonsultasi dengan petugas apotek? Kalau tidak punya duit buat periksa bukankah Puskesmas sudah gratis sekarang? Beberapa minggu lalu juga anak saya terkena gatal-gatal hingga kulitnya melepuh. Saya sarankan istri supaya datang periksa ke puskesmas saja karena di sana nanti pasti akan diperiksa dokter. Istri saya rupanya malas pergi ke puskesmas dan lebih memilih berangkat membeli obat salep ke apotek. Oleh petugasnya diberi obat salep untuk Herpes. Saya juga tidah paham apa itu Herpes. Setelah dioleskan selama 3 hari ternyata tidak berkurang penyakit anak saya malah tambah parah. Ya akhirnya sore-sore pergi periksa ke klinik dan oleh dokternya dikatakan jika obatnya salah. Anak saya tidak terkena Herpes. Kemudian saya diberi obat salep yang berbeda dan hasilnya dalam 2 hari aplikasi, sembuhlah penyakit kulit anak saya.
Begitu juga dengan periksa lab yang ditawarkan oleh apotek-apotek itu seharusnya perlu dikaji ulang karena mereka tidak memiliki petugas analis kesehatan. Untuk analisis lab seharusnya dilakukan oleh lab kesehatan yang legal. Padahal untuk analisis terkadang si pasien perlu berpuasa dulu (misal cek kolesterol atau kadar gula) tetapi saya melihat para pasien yang memeriksakan diri di apotek tidak pernah disuruh berpuasa dulu. Saya pikir pasti ada tujuannya supaya berpuasa dulu yang mungkin salah satunya berhubungan dengan akurasi hasil pemeriksaan.  Mungkin hanya pemeriksaan sederhana seperti kadar gula atau kolesterol sesaat yang dilakukan oleh apotek tetapi lantas bagaimana dengan jaminan akurasi pemeriksaannya? Apakah sudah terstandarisasi sesuai dengan aturan dunia kesehatan atau pemerintah? Saya tidak tahu persis karena saya sendiri tidak pernah memeriksakan gula atau kolesterol ke apotek, tetapi selalu ke lab kesehatan berijin. Saya pernah mendengar seorang perawat tidak menganjurkan pemeriksaan lab di apotik karena kurang akurat hasilnya. Bahkan dulu pernah ada seorang dokter di sini yang hanya mau merujuk pemeriksaan ke lab tertentu karena beberapa lab lainnya kurang akurat. Saya hanya memakai logika jika setiap petugas kesehatan atau fasilitas kesehatan memiliki kompetensi atau domainnya masing-masing dan bukannya saling merebut domain yang lain karena ujung-ujungnya pasien yang akan dirugikan. Persis seperti kata teman saya yang dokter itu dulu  “setiap nakes di sini sekarang kayak rebutan nasiâ€. Waktu dia mengucapkan kalimat itu beberapa tahun lalu saya tidak paham apa maksudnya namun sekarang saya tahu betul jika di lapangan seperti inilah keadaannya. Saya pikir kejadian itu hanyalah sebuah puncak gunung es tetapi sama sekali tidak ada tindakan apapun dari pihak yang berwenang sampai detik ini padahal korban akibat salah penggunaan obat, salah diagnosa, salah perawatan, dll terus berjatuhan.
Ya benar mungkin hanya warung nasi saja yang tidak menyediakan obat. Jadi mengkonsumsi obat oleh masyarakat sudah menjadi budaya yang tidak terpisahkan. Bahkan banyak yang sudah sampai pada taraf penggunaan obat yang berlebihan dan penyalahgunaan obat. Penggunaan narkoba adalah salah satu contoh penyalahgunaan obat. Obat-obat seperti morfin adalah obat-obatan yang dulu pernah dipakai di dunia kedokteran. Meski sekarang para produsen narkoba dan pengedarnya terus ditangkapi tetapi saya melihat mati satu tumbuh 1000. Bisnis haram dengan perputaran uang yang fantastis siapa yang tidak tergiur untuk menjadi produsen atau pengedarnya? Akan tetapi meski peredaran narkoba terus dihambat namun para pecandunya selalu mencari “barang-barang substitusi†yang bisa memuaskan kecanduan mereka. Contoh beberapa waktu lalu ada merek lem tertentu yang baunya bisa memiliki sifat psikotropika. Kemudian Dextrometorphane tunggal yang dulu sempat merupakan obat batuk bebas tetapi karena banyak disalahgunakan kemudian sekarang mulai banyak dibatasi peredarannya. Kalaupun ada biasanya sudah merupakan kombinasi dengan bahan-bahan aktif lain. Saya pernah terkena batuk kering dan biasanya mudah mendapatkan Dextro ini namun tahun lalu mendadak petugas apotek langganan saya mengatakan jika sekarang Dextro tunggal sudah tidak dijual lagi. Akan tetapi toh yang namanya sudah kecanduan tetap saja nekad meski Dextro tunggal sudah tidak ada. Akhirnya Dextro yang sudah berupa kombinasi dengan bahan-bahan aktif lainnya pun diembat juga. Saya sering melihat banyak sekali sachet bekas obat batuk yang mengandung Dextro ini berserakan di pinggir jalan pagi-pagi. Saya hanya bisa berkata dalam hati “pasti tadi malam ada yang barusan ‘pesta’ di siniâ€. Beberapa waktu lalu booming berita miras oplosan. Yah mungkin analogi dengan itulah. Orang kalau sudah kecanduan pasti akan mengkonsumsi apapun tanpa mempedulikan apakah yang dikonsumsinya itu berbahaya atau tidak bagi tubuh dan jiwanya. Tidak peduli miras oplosan terbuat dari campuran spiritus, minyak tanah, atau solar sekalipun yang terpenting nafsu kecanduan bisa terpuaskan.
Banyak masyarakat menggunakan obat tidak sebagai mestinya. Paklik saya sebut saja pak G sudah meninggal 6 tahun lalu karena hampir tiap hari mengkonsumsi tablet Es*pul*h. Paklik saya ini memang pekerja berat. Tiap hari menebang bambu di hutan dan dijual di rumah. Saya pernah mencoba sendiri tablet ini saat dulu masih kuliah dan memang bikin badan segar dan tidak mengantuk meski begadang sampai pagi. Kandungan efedrin dalam obat itulah yang membuat sensasi segar padahal ada yang bilang jika efedrin ini merupakan bahan baku ineks. Sebenarnya jika melihat indikasinya obat ini ditujukan untuk meredakan gejala flu dan tidak bisa dikonsumsi dalam jangka panjang. Mungkin paklik saya itu sudah “kecanduan†sehingga kalau tidak minum obat itu badannya terasa loyo. Oleh sebab itu tidak peduli dengan resikonya, dia konsumsi obat itu terus menerus.
Contoh lain saudara saya pak GY. Senada dengan almarhum paklik G, juga suka mengkonsumsi obat-obatan untuk menambah semangat kerja. Resepnya biasanya terdiri dari 2 butir M*xagr*p + 2 bungkus puyer *8 + 1Â tablet pil K*ta. Pak GY pernah bilang sesudah minum ramuan itu badannya akan terasa hangat dan keringat mengucur deras selanjutnya badan akan segar bugar untuk melanjutkan aktivitas tidak peduli seberat apapun juga. Istrinya sering mengingatkan agar jangan ugal-ugalan kalau minum obat. Sampai saat ini saya lihat pak GY memang tidak pernah sakit. Saya tidak tahu apakah meskipun tidak pernah sakit tetapi badannya tetap sehat? Karena saya berpendapat tidak pernah sakit belum tentu sehat. Contoh nenek saya hingga meninggal dulu tidak pernah mengeluh sakit sekalipun tetapi kalau diajak memeriksakan diri ke perawat saat diukur tensinya selalu menunjukkan angka 160 yang berarti sebenarnya beliau mengidap hipertensi. Bapak saya juga termasuk orang yang jarang sakit tetapi dulu pernah diperiksa tensi darahnya cukup tinggi (hipertensi) tetapi gaya hidupnya masih saja selalu merokok dan rutin makan makanan berlemak tinggi sampai sekarang.
Yang cukup tragis adalah kisah mbah M (tetangga saya) yang terjadi sekitar 1 tahun lalu. Suatu hari tiba-tiba mbah Min merasakan sesak napas. Oleh anggota keluarganya yang lain dikira mbah M terkena serangan asma. Jadilah salah satu anggota keluarganya berangkat ke warung membeli obat N*pac*n. Obat ini adalah obat yang sangat terkenal untuk sesak napas di desa saya. Pokoknya kalau ada orang terkena sesak napas pasti langsung dibelikan obat ini. Sehabis minum obat ini mbah M bukannya sembuh tetapi makin sesak dan akhirnya meninggal dunia. Saya tidak melakukan otopsi terhadap mbah M ini tetapi saya hanya menduga itu akibat kesalahan pemberian obat. Dokter di klinik saya pernah mengatakan kepada saya jika obat asma diberikan kepada orang yang sedang tidak menderita asma maka akan menimbulkan jantung berdebar. Dugaan saya mbah M ini sebenarnya sedang terkena serangan jantung  mendadak (mungkin infark myocardia?) dan kalau diberikan obat yang akan membuat jantung berdebar kira-kira apa yang akan terjadi? Bisa dibilang obat asma itu sama saja dengan telah mempercepat kematiannya. Itu sebatas dugaan saya. Mungkin kesalahan orang-orang memahami bahwa sesak napas itu tidak selalu identik dengan serangan asma dan bisa jadi merupakan serangan jantung yang harus dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat secepatnya.
Kejadian-kejadian lucu dan salah kaprah di kalangan masyarakat dalam penggunaan obat seperti menggunakan obat cacing untuk mengobati batuk bahkan sebagai pengganti hemodialisa (cuci darah). Ada tetangga, seorang ibu yang sudah lama menderita diabetes kronis dan sudah merusak ginjal sehingga dalam 1 minggu harus cuci darah 3x. Berhubung RS jauh ibu ini memilih cara instan meminum obat cacing yang menurutnya bisa sebagai pengganti hemodialisa di RS. Saya tidak tahu ibu itu mendapatkan cara itu darimana atau dari siapa tapi saya merasa cara itu aneh dan tidak logis saja. Masak sebegitu dahsyatnya sih obat cacing sampai bisa menggantikan hemodialisa? Padahal mesin hemodialisa tidaklah murah dan biaya operasionalnya juga mahal lantas kenapa harus diciptakan segala? Bukankah permasalahan cuci darah cukup diselesaikan dengan meminum obat cacing yang harganya murah dan mudah didapatkan? Ada juga malah yang menggunakan obat sakit kepala B*dr*x untuk mengempukkan daging saat dimasak padahal sebenarnya ada cara lain yang lebih mudah dan aman misal dengan menggunakan parutan nanas atau daun pepaya.
Obat ibarat pedang bermata dua. Jika digunakan dengan tepat dan bijaksana maka akan bisa menyembuhkan tetapi jika dipakai sembarangan tanpa petunjuk seperti yang tercantum dalam kemasan atau nasehat dokter maka bencanalah yang akan dituai. Setiap individu juga merespon secara berbeda jika menggunakan obat yang sama. Contoh jika saya meminum obat flu berbahan aktif Triprolidin maka efek sampingnya adalah mengantuk seharian tetapi jika yang meminum istri saya maka jantungnya akan berdebar-debar sehingga malah tidak bisa tidur. Lalu bagaimana dengan obat-obatan herbal? Selama ini selalu didengung-dengungkan jika obat-obatan herbal selalu lebih aman tetapi ternyata meski aman bukan berarti bisa diminum banyak-banyak atau dalam jangka panjang. Dulu waktu saya masih kecil saya ingat heboh daun kompring yang katanya bisa mengobati segala macam penyakit. Di majalah-majalah langsung booming orang jualan daun kompring tetapi beberapa tahun kemudian saya melihat popularitas daun kompring meredup. Belakangan ini baru saya tahu jika daun kompring bisa menyebabkan kerusakan hati. Yang populer sekarang dan banyak dicari orang adalah sambiloto untuk menurunkan kadar gula dalam darah. Dari sebuah buku tanaman obat keluarga yang ditulis oleh seorang dokter jika sambiloto ini dikonsumsi dalam jangka panjang bisa menyebabkan kemandulan baik pria maupun wanita. Kesimpulannya meskipun itu obat herbal atau tanaman herbal tetapi tidak berarti bisa dikonsumsi sembarangan juga.Â