Antara Aku dan Plimbi
Diunggah ke Youtube oleh All of These Videos
Meski Redaksi Plimbi tidak mengatakan kapan tanggal tepatnya hari ulang tahun plimbidotcom (katanya sih bulan Mei) dan meski tidak ada kewajiban merayakan ulang tahun, lewat kesempatan ini, aku ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Plimbi yang telah menemaniku selama kurang lebih 3.600 jam.
Banyak sekali manfaat yang aku dapatkan dan semuanya tak ternilai dengan uang (meski Plimbi juga ngasih uang, hehe), seperti pengalaman, ilmu, dan wawasan.
Cita-citaku menjadi penulis akhirnya kesampaian, meski masih berstatus penulis abal-abal, bruakakak.
Selamat ulang tahun Plimbi, semoga sukses selalu, thanks for everything!
Bagi yang ingin melihat tampilan Plimbi setahun yang lalu dapat mengunjungi tautan berikut: Plimbi @WayBackMachineBaca juga catatan kegiatan peng'kepo'an saya terhadap Plimbi berikut:
- 5 Hal yang Tidak Penting dan Tidak Perlu Diketahui tentang Plimbi
- Selamat Tinggal Xiaomi Redmi 2
- Kilas Balik dan Harapan untuk Plimbi
- 2 Alasan Mengapa Tidak Menulis di Plimbi
Antara Aku dan Film Indonesia
Saat itu aku masih berumur 5 tahun dan sudah fasih baca tulis. Aku sedang menatap spanduk besar yang bertuliskan "Satria Bergitar" di depan bioskop Kartika, bioskop terbesar yang ada di kotaku saat itu, dari sadel belakang sepeda yang dikayuh Bapakku.
Aku sudah familiar dengan nama Rhoma Irama dan Rica Rachim pada spanduk itu, lagu-lagunya sering diputar di radio kami. Sesampainya di rumah, aku menceritakan apa yang barusan ku lihat kepada Ibuku. Beliau menggeleng.
Sebelumnya kami bertiga, Aku, Bapakku, dan Ibuku, sering pergi ke bioskop.
Aku bisa mengingat akting Datuk Maringgih yang diperankan HIM Damsyik sampai sekarang, seakan-akan aku baru menontonnya kemarin, hingga wajah-wajah seperti Benyamin S., Rano Karno, Sopan Sofyan, dan film-film lain yang bernafaskan Nasionalisme (My Dad’s favorite movies).
Beberapa film dengan tema Perjoeangan ini bahkan menjadi tontonan wajib pada masa itu, seperti "Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI" dan "Serangan Fajar" yang disutradarai Arifin C. Noer, serta film "Janur Kuning" yang disutradarai Alam Rengga Surawidjaja. Karena dianggap mengandung manipulasi sejarah, ketiga-tiganya sudah tidak wajib tonton lagi sekarang.
Hingga suatu hari, kami menonton film laga. Meski kebanyakannya aku sering tertidur di pangkuan Bapakku ketika pemutaran film berlangsung, waktu itu kami bertiga melihat adegan 'entah apa' yang memaksa Bapakku menutup wajahku dengan tangannya.
Jika mengingat kejadian itu, aku mengambil kesimpulan bahwa, “Kamu bisa menutup matamu dari pandangan ke layar lebar, menutup telingamu dari suara-suara yang terdengar, namun rasa penasaran untuk mengetahui apa yang ditutup-tutupi itu selalu saja lebih besarâ€
Bapakku melepas peci hitamnya ketika kami meninggalkan gedung bioskop, wajahnya merah.
Pertengahan tahun 90an bioskop Kartika mengalami kebangkrutan, gedung itu ditutup selamanya menyusul bioskop-bioskop lain yang telah lebih dulu gulung tikar, sampai sekarang.
Pita-pita film yang diputar di bioskop ataupun layar tancap sudah digantikan oleh Kaset, Televisi, dan Laser Disc. Jika bukan karena besarnya marah dan malu Bapakku saat kami menonton film dengan adegan ‘entah apa’ itu, mungkin aku sudah terlupa bahwa kota kami pernah punya bioskop.
Entah bagaimana awalnya, distribusi perangkat elektronik menjadi booming di desa kami. Hampir setiap rumah mampu membeli televisi, kecuali kami. Menyusul kemudian alat pemutar VCD yang lebih ringkas dan kecil telah dijual dengan harga yang terjangkau pula. Film Hongkong dan India merajalela.
Lagipula, mengapa aku harus peduli dengan film layar lebar?
Anak miskin yang tidak gaul sepertiku akan lebih memilih untuk duduk di sudut-sudut perpustakaan ketimbang nongkrong gaul bareng teman-teman (apalagi pacar) di café atau bioskop. Lagipula bioskopnya juga tidak ada.
Di perpustakaan aku berkenalan dengan Asma Nadia, Habiburrahman, Dewi Lestari, dan Andrea Hirata. Membaca "Laskar Pelangi", aku merasakan nostalgia bersama bioskop dalam arti yang sebenarnya. Bahwa aku pernah mengalami masa-masa itu, membaca novelnya adalah mengalami ribuan De Javu.
Andrea Hirata menginspirasiku untuk menulis.
Di perpustakaan pula akhirnya aku menonton pemutaran film “Laskar Pelangi†melalui proyektor, itupun bukan sebagai tamu undangan alias penonton gelap, karena pemutarannya ditujukan untuk anak SD.
Ku pikir saat itu, pesan moral “Laskar Pelangi†lebih mengena jika ditonton pemuda sepertiku, tapi tampaknya anak-anak juga terhibur menontonnya, mereka harusnya tahu bahwa mereka adalah anak-anak yang beruntung bisa mengenyam pendidikan yang ditunjang dengan sarana dan prasarana yang sangat memadai.
Ku pikir kemudian, kisah yang dialami Laskar Pelangi terjadi merata di Indonesia, Andrea hanya mengangkat satu cerita, seharusnya aku juga punya ceritaku, aku mulai menulis.
Ternyata menulis itu tidak cocok untuk pemalas sepertiku. Aku menyerah. Aku lebih suka membaca yang sudah jadi, tinggal menikmati. Aku yakin, membaca hari ini adalah untuk menulis di masa depan. Suatu saat aku akan jadi penulis, bisikku dalam hati.
Kemudian teknologi membuat banyak lompatan dalam waktu singkat, terutama di bidang komunikasi dan informasi. Semuanya menjadi nirkabel, semuanya cukup dalam genggaman, baik pekerjaan, pelajaran, bahkan hiburan. Waktu bergerak sangat cepat di sekelilingku, sedangkan aku hanya diam terpaku pada tempatku.
Manusia menjadi semakin asing satu sama lain, perlahan-lahan robot dan mesin menggantikan pekerjaan dan fungsi manusia. Jangan-jangan manusia masa depan tidak butuh sosialisasi lagi.
Ternyata aku salah, sehebat apapun teknologi, tidak dapat menggantikan kehangatan emosi dan hati. Manusia punya jiwa dan perasaan, berpacaran dengan hobi dan gadget ternyata adalah hubungan semu.
Demam Film Indonesia kemudian mewabah di kotaku.
Wawasan sempitku tentang Film Indonesia yang hanya sebatas "Jaka Sembung", "Nyi Blorong", "Tarsan Kota", "Maju Kena Mundur Kena", "Begadang", hingga "Catatan Si Boy", akhirnya sedikit bertambah meski tidak tertular demamnya.
Demam ini membawa kabar gembira: Sebuah bioskop dibangun kembali dan sekarang sudah beroperasi di kota kelahiranku. Sayangnya, di tempat tinggalku sekarang (Muara Teweh) belum ada bioskop.
Suatu hari, Plimbi mengadakan event menulis tentang Film Indonesia...
Antara Aku dan Event Menulis untuk Menyambut Hari Film Nasional di Plimbi
Aku begitu antusias ketika Plimbi mengumumkan rencana event menulis pada Plimbi Release 2 Maret 2016 yang lalu dan akhirnya direalisasikan pada Plimbi Release 25 Maret 2016 yang ternyata mengambil tema Film Indonesia untuk menyambut Hari Film Nasional di Indonesia.
Salah satu author favoritku, mas Wan sebagai penulis paling produktif di Plimbi langsung memposkan artikelnya (Rekam Jejak Film Tanah Air) sehari kemudian.
Merasa tidak mau kalah, aku langsung menulis tentang Film Indonesia juga, namun hingga batas akhir event, tulisanku tak kunjung selesai. Beruntung, periode Event Menulis Diperpanjang hingga 8 Mei 2016.
Ada banyak alasan kenapa pada akhirnya aku tidak juga menulis tentang Film Indonesia, bukan karena malas loh, tetapi karena tidak kompeten! Ya, alasan yang aneh, ditambah seribu satu alasan lain, di antaranya takut jelek, takut kalah, takut gagal, takut dikritik, dan macam-macam ketakutan lain, padahal apa yang ku takutkan itu belum terjadi!
Intinya, aku terlalu pengecut untuk memposkan tulisan tentang bidang yang tidak aku kuasai.
Akhirnya aku memutuskan untuk membaca saja dan mendorong JL agar mau ikut berpartisipasi hingga 2 artikelnya tentang Film Indonesia selesai ditulis dan diposkan, ku akui, mentalnya jauh lebih baik dari mental kerikilku.
Hingga artikel ini aku poskan, 5 Mei 2016, ada 44 artikel dengan tag Hari Film Nasional yang sudah masuk ke Plimbi, yang terakhir adalah "Magic Hour - Satu Cinta untuk Selamanya" oleh Belinda Mufidah. (Daftar selengkapnya dapat mengunjungi tautan berikut: #HariFilmNasional)
Semuanya bagus-bagus, aku sudah membaca semuanya, bahkan ada yang hingga berulang kali!
Artikel Terbaik?
Semuanya adalah yang terbaik, namun berdasarkan ide dan cara penyampaian, aku menjagokan 10 artikel berikut:
- Konflik yang tak Fokus dalam Film Bulan Terbelah di Langit Amerika oleh Siti
- Surat dari Praha, Renungan dalam Sebait Nada oleh Zahid Paningrome
- Dicari Film Ramah Keluarga untuk Masyarakat Indonesia oleh Dini Nuris Nuraini
- Momentum Apresiasi Film Nasional Melalui Surat Cinta untuk Kartini oleh Yesi Hendriani Supartoyo
- Seburuk Itukah Kualitas Film Indonesia oleh Arsha Culinary
- Kepincangan Surat Cinta untuk Kartini oleh Nurul Ulu Wachdiyyah
- Kelatahan Mengekor Sebuah Film oleh sri mulyani fadiar
- Hanya Menunggu Waktu Sejarah Bangsa Indonesia akan Sirna oleh Nana
- Filosofi Kopi dan Sederet Keganjilan tak Filosofis oleh Halim Bahriz
- Review Film 3 (Alif Lam Mim) oleh Arya Janson Medianta
O iya, ini bukan prediksi juara, tetapi hanya opini subjektif aku (boro-boro mau memberikan prediksi, nulis artikel tentang Film Indonesia aja kagak, bruakak). Ada banyak syarat dan ketentuan untuk jadi pemenang, misalnya keaslian, keunikan, dan kualitas tulisan. Tentu saja yang paling berhak menentukan adalah juri.
Kalaupun dipaksa untuk taruhan, aku megang artikel Karena Inilah Kita Harus Bangga dengan Film Indonesia oleh Burhanudin Nuban sebagai artikel terfavorit, hitsnya sudah lebih 20K! Ayo yang mau pasang taruhan silahkan pasang di kolom komentar, hahaha.
Tapi Plimbers dan Jombloers jangan khawatir, apapun bisa terjadi dalam tiga hari, tetap semangat, masih ada cukup waktu untuk mengkoreksi, memperbaiki, bahkan membuat kembali artikelmu!
Mari mendorong Film Indonesia ke arah yang lebih baik dengan cara tetap berkarya, terus mengembangkan ide dan mempublikasikannya, mencintai karya dalam negeri, dan hentikan pembajakan!
Happy Birthday, Plimbi!