Jepara, sebuah kota di pesisir pantai utara Jawa Tengah, tahun 1900. Sawardi mengontel tanpa alas kaki. Bersepeda ia keliling kota Jepara dan mengantar surat-surat. Tukang pos, demikian kita mengenal istilahnya sekarang.Â
Kisah bermula saat Sawardi mengantar surat ke kediaman Bupati Jepara, R. M Sosrodiningrat. Di sana lah ia melihat wanita berparas ayu, Raden Ajeng Kartini. Jatuh cinta pada pandangan pertama, Sawardi nekad mendekati puteri bupati Jepara tersebut.Â
Tahu bahwa status dirinya tak akan lebih dari sekadar teman, Sawardi berusaha memenuhi keinginan Kartini saja tanpa diminta. Sesederhana melihat Ndoro Ajeng -begitu sapaan Sawardi pada Kartini- bahagia, Sawardi punya hati pun berbunga-bunga.Â
Cerita dalam film Surat Cinta Untuk Kartini ini bergulir dari sudut pandang seorang tukang pos itu. Sawardi lah yang menjadi jantung di film SCUK. Tokoh utamanya.Â
Sawardi rela melakukan banyak hal untuk Kartini. Pria yang telah memilik satu anak itu mewujudkan sekolah yang Kartini damba. Mula-mula anaknya yang jadi murid Kartini, bertambah hari bertambah pula muridnya.Â
Konflik memuncak ketika pejabat-pejabat karesidenan melamar Kartini dan Sawardi mencegah Kartini menikah. Tanpa pengaruh dari duda beranak satu itu pun, Kartini tetap menampik lamaran pernikahan. Bukan saja karena si pelamar sudah memiliki istri, tapi juga karena Kartini bersikukuh ingin sekolah ke negeri Belanda saja. Namun keinginannya tak tercapai.Â
Kartini harus menikah. Di antara lazimnya kehidupan poligami pejabat di zaman tersebut, Kartini menolak keras pernikahan lebih dari satu istri. Poligami bukan satu-satunya yang jadi kegundahan Kartini. Pendidikan menjadi sumbu dari perjuangan Kartini mencapai kesetaraan dengan laki-laki.Â
Menolak poligami dan ingin bersekolah, pemikiran Kartini itu dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya. "Kartini itu nyeleneh", kata Mujur, sahabat Sawardi, mengingatkannya bahwa wanita yang ia taksir reputasinya tidak cukup baik.Â
Menyadari bahwa Kartini punya cita-cita yang berbeda dengan wanita (menak) kebanyakan, Sawardi tak berbalik hati. Sebaliknya ia terenyuh. Cintanya pada Kartini tertancap kuat. Di tengah kedekatan hubungan Sawardi dan Kartini, pria itu menulis surat untuk Ndoro Ajeng. Di sela keinginannya untuk menyampaikan surat tersebut, Sawardi melihat dan terlibat dalam konflik yang Kartini hadapi. Sawardi patah hati.
Â
Â
Kisah yang Hambar dan Dialog-dialog yang Visioner
Bagaimana rasanya menonton sebuah film tentang tokoh pahlawan wanita? Jelas saya bangga karena saya wanita juga. Namun kebanggaan itu tak muncul saat saya menonton film Surat Cinta Untuk Kartini. Nama Kartini yang tersemat dalam judul memberi bobot untuk film ini. Sayang hanya sebatas judulnya saja.Â
Kisah Kartini di film ini berbalut fiksi dengan sudut pandang seorang tukang pos. Tak ada hal-hal dalam film yang meninggalkan jejak mendalam untuk penonton, setidaknya untuk saya sendiri. Tidak ada yang istimewa. Fim SCUK gagal menggugah perasaan saya.Â
Adegan demi adegan di fim SCUK membosankan. Kartini adalah tokoh yang dekat dengan istilah 'pendidikan'. Namun, unsur edukasi di film ini terlalu amat sangat menggurui. Emosi yang berhamburan dari Sawardi maupun Kartini terasa hambar.Â
Meski Chicco berperan sebagai Sawardi dengan sebaik-baiknya, tapi naskah film garapan Vera Varidia terasa garing dan hampa. Hampir semua adegan dan dialognya tersurat, maka tak heran saya terkantuk-kantuk menahan mata terpejam di sepanjang filmnya.Â
Ditambah dialog-dialog yang terlalu visioner untuk tahun 1900. Misalnya kata 'pendidikan' yang berulang-ulang diucapkan Kartini, Sawardi, Ningrum, hingga Mujur. Bayangkan saja, kalimat yang terucap dari wanita menak sama berisinya dengan rakyat jelata yang tak bisa baca dan tulis. Saya kehilangan batas status sosial Kartini dan Ningrum di sini selain dari pakaian yang mereka kenakan saja.Â
Di tahun 1900 rasanya istilah 'baca dan tulis' lebih lekat dengan rakyat jelata dibanding istilah 'pendidikan'. Apalagi kalimat-kalimat macam 'sekolah jangan tinggi-tinggi, nanti susah jodoh'. Di tahun 1900 bukan kesadaran susah-jodoh yang jadi ketakutan. Rakyat dari kelas terbawah tidak merasa perlu bisa baca dan tulis karena status sosialnya tidak mengharuskan mereka baca dan tulis, aturan tak tertulisnya adalah hanya kaum menak lah yang boleh membaca dan menulis. Kartini dilarang sekolah bukan karena ketakutakan tak berjodoh, tapi karena aturannya ia harus menikah.Â
Untunglah satu hal yang sedikit saya sukai dari film ini justru ada di bagian akhirnya. Depresi Kartini di ujung film SCUK. Derai air mata memenuhi bagian akhir filmnya. Dari perjalanan menuju pernikahan Kartini dan pengajuan sekolahnya yang ditolak, saya mengamati perasaan Kartini terhadap dirinya sendiri. Tertekan dan tercabik-cabik batinnya ketika harus mengalah pada sesuatu yang ia benci: poligami.
Â
Karakter di Film Surat Cinta Untuk Kartini
Chicco Jerikho berperan sebagai Sawardi. Seperti biasa Chicco terlihat sangat serius menjalani karakter perannya. Meski aktingnya solid, saya mulai bosan padanya. Ini mau masuk bulan ke 5 di tahun 2016 dan film yang ia bintangi buat saya sudah terlalu banyak. Jenuh.Â
Chicco dan film-filmnya seperti kejar tayang ala sinetron dengan kualitas akting yang jauh lebih baik. Atau kita memang kekurangan aktor sebagus Chicco Jerikho? Ah tidak dipungkiri jika saya investor, produser, dan sutradara sebuah film dan Chicco yang menjadi bagian di dalamnya, saya memang terpuaskan. Bisa dicari di mana aktor-aktor terbaik negeri ini, sih? Masa Chicco lagi Chicco lagi. Seperti beberapa tahun lalu ketika Lukman Sardi merajai film-film terbaik negeri ini. Juga Reza Rahardian yang 'memonopoli' banyak karakter perfilman Indonesia.Â
Kembali ke film SCUK, berperan sebagai Sawardi, bentuk tubuh Chicco terlalu sehat. Badannya terlampau gagah dan berisi untuk menjadi tukang pos di tahun 1900. Tinggal ganti pakaiannya dengan beskap, Sawardi pantas memerankan karakter bangsawan.Â
Chicco lihai memainkan karakter Sawardi yang polos, baik hati, naif, dan tulus. Saat Sawardi bahagia, Chicco menerjemahkan perasaan itu dengan lihai. Waktu Sawardi larut dalam kesedihan, Chicco juga mempertontonkan aktingnya yang prima.Â
Proses Sawardi mencintai Kartini agak mengganggu, bagi saya proses itu tidaklah masuk akal.Â
Apa latar belakang Sawardi yang membuatnya makin menyukai Kartini ketika Sawardi tahu Kartini punya cita-cita membuat sekolah dan mengajar? Apa Sawardi suka membaca dan menulis juga seperti Kartini sampai-sampai ia merasakan ada kesamaan dengannya, hingga kepedulian Sawardi muncul?Â
Saya gagal menemukan logika munculnya cinta Sawardi yang begitu dalam untuk Kartini di film ini. Alhasil saya tidak merasakan chemistry cinta Sawardi pada Kartini. Akting Chicco-nya oke, namun logika ceritanya tak ada.Â
Rania Putri Sari sebagai Kartini. Kulitnya kuning langsat cenderung sawo matang, cocok memerankan gadis Jawa yang manis macam Kartini. Senyumnya legit dan wajahnya ayu sekali. Dan ya tentu saja Rania menjadi yang tercantik di antara semua pemeran wanita di film SCUK. Hahaha.Â
Agak menyedihkan sebenarnya. Film tentang pemikiran Kartini yang jelas-jelas mempedulikan kesetaraan wanita, tapi untuk menjadi Kartini di film ini secara fisik disediakan aktris dengan wajah terayu. Bahkan peran Sawardi di film SCUK yang sepanjang filmnya 'memayungi' Kartini malah mementahkan perjuangan Kartini itu sendiri.Â
Memerankan Kartini, Rania berbicara dengan artikulasi yang amat sangat jelas. Sewaktu Rania berucap, saya jadi ingat papan-papan huruf mesin tik, ditekan kuat-kuat untuk tercetak rupa hurufnya di kertas. Kaku dan keras.Â
Membayangkan Kartini dari buku yang saya baca, wanita ini pendiam dan tak banyak omong. Pemikir dan perenung. Orang yang menghabiskan waktunya menulis dan membaca, lalu sesekali bertemu orang. Di film SCUK Rania terlalu banyak mengumbar senyum dan tawa. Semacam puteri idaman pria dan wanita pujaan anak-anak yang mendamba sosok ibu. Sosok ideal tokoh protagonis. Tak ada cela. Oleh karenanya saya tak suka, karena Kartini bukanlah puteri salju. Kartini adalah putri bangsawan yang galau, ingin lari dari adat istiadat dan menginginkan kesetaraan yang sama dengan pria.Â
Tuduhan Kartini sebagai orang yang nyeleneh tak terceritakan dalam film ini. Seperti yang sudah saya tulis di atas, dialognya tersurat. 'Nyeleneh' Kartini tak diceritakan dalam kisah.Â
Tokoh-tokoh menghibur selalu disisipkan di samping tokoh utama. Begitu pun dengan hadirnya Mujur, kawan karib Sawardi. Begitu pasrahnya para penulis naskah kita sampai harus menyisipkan tokoh kocak macam karakter Mujur. Saya lebih menyukai film tanpa kehadiran tokoh-tokoh santai seperti Mujur. Tapi di film SCUK, Mujur yang diperankan Ence bagus memang membawa kemujuran karena emosi film jadi lebih berwarna. Lebih hidup!Â
Peran lainnya tak ada yang istimewa. Ningrum, anak Sawardi, berperan sewajarnya. Doni Damara sebagai Bupati Jepara juga hanya numpang lewat.Â
Film yang mengangkat sosok Kartini ini bukanlah yang pertama. Di tahun 1981, Syumandjaja pernah membuat film berjudul R.A Kartini. Tahun 2017, Dian Sastro dan Hanung Brahmantyo akan muncul dengan film tentang Kartini juga, poster-poster teasernya sesekali muncul di akun Instagram Dian Sastro yang saya follow.Â
Film dengan semangat yang serupa dengan Kartini dapat kita lihat pada Tiga Nafas Likas (2014) dan Sakola Rimba (2013). Namun SCUK bukan film yang bisa saya sandingkan dengan dua film tersebut karena Kartini di film SCUK bukan kisah utamanya. Jika saya boleh memilih, Sakola Rimba adalah film tentang perempuan dan pendidikan terbaik yang saya tonton.Â
SCUK hadir terpincang-pincang dibanding karya terdahulunya Azhar Kinoi Lubis, Blusukan Jakarta, yang jauh lebih bisa saya nikmati. Kekurangan itu bukan pada sutradaranya, tapi naskah filmnya. Saat karakter dalam film sudah berada tepat di tangan aktor dan aktrisnya, maka penulisan naskah adalah jantung filmnya. Sayang nyawa naskah film SCUK mengecewakan.
Literatur tentang Kartini terlebih dahulu memenuhi isi kepala saya sebelum saya mencerna filmnya. Oleh karena itu sedari awal menonton, saya sudah mewaspadai bahwa film ini mengisahkan romantisme fiktif yang menumpang kehidupan Kartini. Sesiap apapun saya mengosongkan hati sewaktu menyaksikan film SCUK, kekecewaan bermunculan di benak saya di sepanjang film.
Selain kegalauan Kartini menjelang pernikahannya, pemandangan kota tua dan wanita-wanita berkebaya di film ini sedikit menghibur saya. Film SCUK menyajikan kecantikan wanita (bangsawan) Jawa yang elegan dan sederhana. Jika Kartini muncul, saya senang melihat sepasang antingnya yang berirama dengan kebayanya. Jepara di masa lalu yang terlihat di fim SCUK juga enak dilihat.Â
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa film berdurasi 118 menit ini hanya tentang romansa, bukan film tentang perjuangan maupun film biografi. Sayang sekali, Surat Cinta Untuk Kartini lebih mirip film dalam rangka valentine dengan akhir cerita yang tragis. Film yang menghibur dan film yang kehilangan kedalaman maknanya akan Kartini.Â