Ada seseorang yang mengatakan bahwa dia "Tau apa yang sedang diperbuat". Ini kelanjutan dari beberapa kisahnya yang membuatku ingin menanyainya langsung, aku selalu terlambat menanyainya. Terakhir aku melihatnya duduk disebuah kursi berwarna biru di taman kota, tempat biasa yang membuatnya dapat ditemukan dengan mudah, ketika aku bertanya "dimana dia?".
Aku tahu masalahnya, seperti orang lain. masalah klasik yang dialami remaja saat ini, tapi masalahnya lebih rumit, terkesan tidak pernah ditemukan ujungnya. Aku terlanjur penasaran dengan orang itu. senyumnya terlihat terlalu bohong, dia seorang pria bukan wanita. Perlu dicatat, aku bukan Homo. Aku hanya mempunyai firasat yang sampai saat ini masih menggantung di ujung otakku. Menggantung seperti jeruk yang siap dipetik.
Aku menemuinya, di tempat yang sama seperti hari-hari kemarin.
"Sendirian aja mas dari kemarin?" pertanyaan awalku untuk berbasa-basi tidak berhasil, dia tidak menjawabnya, hanya menengok ke arahku dan memsang wajah tak peduli. Dia nampak cemas memegang handphonenya di tangan kirinya, seperti menunggu pesan masuk. Wajahnya berkeringat.
"Kali ini aku benar-benar habis, benar-benar ditinggalkan" dia memulai pembicaraan dengan nada terputus-putus.
"Maksudmu?" aku bertanya bingung, menatap layar handphonenya yang masih dipegang erat.
"Pencarianku benar-benar terhenti" dia tidak menatapku.
"apa yang terhenti?, bisnis?, keluarga?. kau kehilangan?"Â
"Kehilangan sesuatu yang selama ini aku perjuangkan...." jawabnnya tersendat.
"Apa yang kau perjuangkan?, bisnis? keluarga? atau... perempuan itu?" aku mulai tahu apa maksudnya, firasat!.
"Perempuan itu, memilih meninggalkanku disaat aku mulai percaya"
"Tunggu sebentar, berhari-hari kau disini hanya untuk merenungkan hal ini?"
"bukan hanya itu, aku menunggunya disini"
"Kenapa di taman ini? kenapa harus dibangku ini?"
"Tempat pertamaku bertemu denganya, tempat biasa kita menghabiskan waktu" dia masih saja tidak menatapku.
"Apa yang membuatnya meninggalkanmu?"
"Dia bilang, dia ingin situasi seperti dulu, situasi dimana aku dan dia, tak saling tau dan tak saling kenal"
"Kenapa dia bisa mengatakan hal itu?"
"Aku biasa melakukan hal ini"
"Maksudmu? melakukan apa?"Â
"Aku sangat dekat denganya dari awal bertemu, dimanapun aku berada aku selalu mengabarinya, begitu juga dengan dia. tapi 3 bulan terkahir ini aku sengaja tidak melakukan hal seperti itu" dia mengangkat kepalanya, membasuh air matanyan, kembali menatap tanah.
"Untuk apa kau lakukan itu?"
"Aku mengujinya"
"Menguji? untuk apa?"
"Aku tidak ingin nasibku denganya seperti orang-orang lain, aku ingin buku yang sedang kita baca berdua, kita mulai dan diakhiri bersama. Aku menguji seberapa pantas dia untukku, seberapa serius dan setianya dia. seperti sebuah buku sebelum layak di jual, dibeli lalu dibaca, buku harus melalui masa editing, setting, layout lalu membenahi kosa kata yang salah. Buku yang layak dicetak dan dibacapun harus sesuai ketentuan yang diajukan penerbit."
"Aku paham, kau ingin membuatnya seperti yang kau inginkan?,. Tapi, bukankah lebih mudah jika kau mencari seseorang yang sudah seperti maumu?" aku bertanya serius.
"Aku bukan tipe orang yang seperti itu, ibarat kau menulis lalu ingin kau terbitkan, pastinya kau lebih mudah mengedit tulisanmu sendiri, daripada harus susah payah meniru tulisan penulis lain."
"kau melakukan hal ini, pada semua wanita yang penah dekat denganmu?"
"iya, semuanya. Semata demi jalinan yang aku buat tidak seremeh jalinan yang dibuat oleh orang lain, aku meyakini satu hal apapun yang didapatkan dengan mudah, pasti juga akan mudah hilang"
"Kau tidak menjelaskan apa maksudmu ke orang-orang yang pernah dekat denganmu?"
"Sama sekali tidak."
"kenapa?"
"Ini ujian, hanya orang bodoh yang memberikan jawaban dari pertanyaan yang dia buat sendiri" wajahnya memerah.
"Lalu, kapan kau akan memberitahu?"
"Sampai buku yang harusnya dibaca sampai selesai bersamaku laku terjual dan dibaca bersama orang lain. Ini tahun baru harusnya aku mengakhiri permainanku hari ini, dan menyatakan hal yang dia inginkan dari dulu" dia menuliskan sesuatu di handphonenya.
Aku bertanya-tanya, baru kali ini aku menemukan manusia serumit ini. Dia rela jatuh-bangun untuk sebuah jalinan, yang dia percayai harus dibangun dengan serius untuk mendapatkan akhir yang bahagia. Lebih gilanya lagi dia sengaja melakukan hal ini. Filosofi buku yang dia katakan membuatku berpikir dua kali, apakah benar, manusia tidak pernah berpikir dua kali dalam urusan menjalin rasa?
"Sekarang apa yang ingin kau lakukan?"
"Aku ingin menyadarkan seseorang dengan ilusi yang dibuatnya. Ilusi yang justru akan membuatnya terus terpuruk"
"Ilusi? Siapa yang kau maksud?" aku bertanya penasaran
"Seseorang yang mengetahui, masalahku. Seseorang yang penasaran kenapa aku selalu duduk dikursi taman ini. Seseorang yang tahu bahwa senyumku adalah senyum bohong. Seseorang yang punya Firasat sangat kuat dibanding orang lain"
"Ha? kau seperti membicarakan aku dari sudut pandang yang berbeda?"Â
"Memang!" ujung bibirnya terlhat tersenyum, wajahnya masih menatap ke tanah.
"Siapa kau sebenarnya?"
dia menatapku, tersenyum, berdiri dan berkata:
"Harusnya kau tahu siapa aku,bukankah firasatmu sangat kuat?" dia pergi meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan.
Handphoneku berbunyi, aku mengambil Handphone yang berada di saku kiri celanaku. Ada satu pesan yang tidak aku ketahui siapa pengirimnya.
"Selamat, kini kau tahu seperti apa dirimu sebenarnya" aku bingung, pria itu menghilang setelah aku membaca habis pesan itu.
Cerpen: Doppelganger
Cerpen