Monolog Kelam Hidup Nay

19 Apr 2016 23:05 3933 Hits 2 Comments
Sampai saat ini, banyak perempuan masih berada dalam ketertindasan. Meski menanggung banyak luka oleh stigma, tindak kekerasan, dan pelecehan, toh perempuan masih tetap bertahan. Hidup sekenanya, sebisanya. Semangat hidup ini yang kadang luput dari perhatian publik. Film Nay garapan Djenar Maesa Ayu mencoba menangkap realitas kelam itu dan menyajikannya sebagai ruang permenungan, kritik, dan sekaligus doa.

Di dunia yang condong pada sistem patriarkal ini, kesetaraan jender perempuan dan laki-laki menjadi berjarak. Berbagai tindakan, stigma, dan cara pandang yang merendahkan perempuan seolah diwariskan dari generasi ke generasi. Penindasan kaum perempuan mudah ditemui di berbagai penjuru dunia. Perempuan dipandang hanya sebatas budak seks, sebagai benda yang bisa dipermainkan dan ditukarkan oleh laki-laki.

Di Arab misalnya, sebelum Islam datang, perempuan berada dalam hierarki di bawah laki-laki. Bayi perempuan bahkan halal darahnya untuk dibunuh. Di dalam epos cerita India, kita mudah mendapati hadiah sayembara adalah perempuan, bukan laki-laki. Seolah perempuan pada zaman itu sejenis benda layaknya emas dan perhiasan, sehingga bisa dipertukarkan. Memasuki era modernisme, nasib perempuan pun tak kunjung membaik. Melalui pengekangan atas hak-hak pendidikan, politik, profesi, dan aspek lainnya, perempuan dibatasi dalam tembok besar keterbelakangan.

Tak heran jika pada setiap masa, selalu muncul tokoh yang memperjuangkan perempuan. Di abad ke-18, muncul nama Mary Wollstonecraft. Kemudian di abad ke-19 ada nama Virginia Wolf, dan abad ke-20, Simone de Beauvoir. Dua nama pertama pada akhirnya tak kuat lagi melawan. Pada tali gantungan, Wollstonecraft dan Wolf memasrahkan nyawa mereka ditikam maut. Beauvoir sedikit lebih beruntung, meski seumur hidup harus ditekan oleh stigma “wanita binal” karena hidup tanpa ikatan pernikahan dengan Jean Paul Sartre. Di Indonesia, pada masa kolonial, nama Raden Ajeng Kartini, Roehana Koeddoes, Arti Purbani muncul sebagai pendobrak tatanan budaya patriarkal. Melalui semangat emansipasinya, kini nasib perempuan Indonesia bisa lebih baik.

Namun, apakah semua perjuangan itu sudah selesai? Jika indikator keberhasilan perjuangan perempuan sebatas akses pada pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial, bisa dikatakan sudah berhasil. Namun jika ditilik lebih mendalam, tindakan dan stigma itu masih mengakar, menjalar dalam ruang-ruang sosial yang lebih kecil, di balik tembok rumah-rumah dalam lingkungan sosial masyarakat. Di sini, Djenar Maesa Ayu hadir sebagai salah satu perempuan yang mencoba memunculkan realitas itu ke permukaan. Melalui film Nay (2015), Djenar memaparkan bagaimana penindasan perempuan belum selesai. Masih banyak perempuan yang mengalami diskriminasi fisik dan psikis. Tokoh Nay mencoba mewakili realitas dan penderitaan perempuan yang terkadang lepas dari perhatian.

Melalui penggalangan dana di situs crowdfounding wujudkan.com, film Nay berhasil diproduksi. Film berdurasi sekitar 80 menit ini mengambil seting di dalam mobil. Hanya ada satu tokoh yang tampak, yakni Nay. Selebihnya, jalan cerita diisi oleh percakapan via ponsel dengan tokoh lain dan sesekali dengan halusinasi Nay.

Di dalam mobil itulah, Nay mementaskan drama kehidupannya yang getir. Nay terjebak dalam ruang waktu yang tak bisa diputar ulang atau mengintip sedetik saja kejadian yang akan datang. Setelah pemeriksaan di rumah sakit, Nay mengetahui jika janin yang dikandungnya sudah berumur 14 minggu. Nay lantas menghubungi pacarnya, Ben untuk meminta pertimbangan. Sayang, Ben tidak bisa mengambil sikap. Dalam ketidakpastian itu, produser yang menawarinya main film memberikan kepastian bahwa Nay terpilih menjadi pemeran utama. Tentu Nay sangat senang mendengar hal itu, sekaligus kembali bingung saat mengetahui kehamilannya.

Nay terjebak dalam dua pilihan, antara menggugurkan kandungan atau menjadi ibu tanpa kehadiran seorang ayah. Di momen ini, Nay mengenang masa lalu guna menimbang jawaban untuk masa depan. Masa lalu yang buruk adalah awal dari masa depan yang lebih buruk. Nay hidup dalam kondisi yang tak sempurna. Sebagai seorang anak, ia butuh sosok ayah. Namun ayahnya telah meninggal dan yang tersisa hanya ibu. Dalam sosok ibu, Nay tak menemukan keibuan karena sikap kasar dan egois sang ibu. Tak berhenti sampai di situ, Nay justru menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh pacar ibunya. Tak ada yang tersisa di hidup Nay selain penderitaan. Waktu tak bisa diulang. Ia tumbuh membawa luka, hidup menyandang cela.

Di film ini, Djenar mewakili penderitaan kaumnya melalui tokoh Nay. Dalam banyak kasus, kehidupan rumah tangga yang berantakan adalah awal sesuatu yang buruk. Tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang marak terjadi, bahkan dilakukan oleh keluarga yang harusnya melindungi adalah kenyataan yang tidak serius ditanggapi aparat pemerintah. Sekadar berita dan berakhir sebatas komoditi. Bergaung di acara televisi, lantas diperbincangkan di kedai kopi, dan berhenti sebagai laporan di meja polisi. Hukum pun tak juga melindungi. Kekerasan dan pelecehan seksual, terutama pada perempuan sampai saat ini masih terus terjadi.

Seturut data yang dirilis Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Di tahun 2015, kekerasan terhadap perempuan naik 9 persen menjadi 321.752 kasus dari tahun 2014 sebanyak 293.220. Sedang di tahun 2013, jumlahnya tercatat sebanyak 279.688 kasus. 

Kasus kekerasan terhadap perempuan didominasi oleh kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal sebanyak 68 persen, dan kekerasan yang terjadi dalam komunitas sebanyak 30 persen. Sisanya adalah intimidasi dan stigma seperti tes keperawanan polisi, larangan adopsi, dan kasus pekerja imigran. Korbannya bervariasi mulai dari ibu rumah tangga, anak-anak, remaja hingga yang sudah lanjut usia. 

Erich Fromm, seorang psikolog humanisme bertesis, “Jika kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik dihalangi, energi yang terhalang itu akan mengalami proses perubahan menjadi energi destruktif.” Fromm percaya bahwa setiap anak akan tumbuh menjadi baik jika dibantu dengan baik pula oleh keluarga. Jika justru yang terjadi sebaliknya, masalah itu akan berlanjut hingga dewasa. Kritik Djenar pada kondisi sosial dan tegaknya hukum mendapat penekanan khusus di sini. Kondisi tak pernah berubah selama tindak kekerasan dan pelecehan seksual tetap terjadi. Kerusakan fisik masih bisa disembuhkan, tapi tidak untuk luka psikis. Perempuan membawa serta luka psikis itu dalam etape waktu selanjutnya, bahkan diwariskan.

Sayang, pemerintah seolah tutup mata. Hukuman maksimal sesuai dengan undang-undang yang telah ditetapkan jarang sekali dilakukan. Kita bisa tengok kisah miris korban perempuan bernama YF yang diperkosa empat petugas di halte transjakarta Harmoni, Jakarta Pusat. Perjuangannya menghadapi diskriminasi sosial di pengadilan yang dilakukan oleh hakim tak cukup mendapat ruang perhatian. YF harus berjuang sendirian menghadapi stigma dan kekerasan simbolik di dunia yang patriarki ini. 

Kasus terbaru yang sedang disoroti dan dikawal adalah kekerasan seksual yang diterima Yuyun. Bocah berusia 14 tahun dari Desa Kasie Kasubun, Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu itu bernasib tragis setelah 14 pemuda memperkosa dan membunuhnya. Dari hasil persidangan, hukuman maksimal kepada para pelaku baru dijatuhkan dalam kasus ini. Sebelum-sebelumnya, banyak kasus sekadar selesai dengan cara-cara yang tak taat hukum. Hukum pun seolah tak bisa membentengi korban. Ini dibuktikan dengan banyaknya kasus kekerasan yang terus bertambah dari tahun ke tahun. 

Meski dibawakan dengan konsep monolog dalam rentang waktu yang cukup lama, film ini tetap mampu menenggelamkan penikmatnya dalam pusara cerita. Sha Ine Febriyanti sebagai pemeran tokoh Nay dengan baik membawakan setiap perbincangan dalam alur cerita. Ekspresi tawa, sedih, tangis, kecewa juga umpatan-umpatan kasar menjadi bumbu yang bertebaran di film ini. Monolog dalam film ini memang sederhana, tapi sangat hidup.

Namun, kelemahan dari film ini yang sangat vital. Film ini memuat pesan besar namun hanya disebar di beberapa bioskop tertentu saja. Di Jakarta, tak semua bioskop disambangi film ini, pun juga kota-kota lain. Tercatat hanya bioskop kecil yang memutar film ini di beberapa kota besar. Selebihnya, komunitas-komunitas yang menggelar pemutaran film Nay. Alhasil, gaung film ini pun tak terlalu besar. Artinya pesan-pesan yang ingin disampaikan Djenar tidak mampu menyentuh ke seluruh masyarakat. Padahal film ini bisa menjadi pengingat masyarakat dan pemerintah untuk lebih memperhatikan kehidupan perempuan. Bisa jadi, kekurangan penyebarluasan itu karena kendala pendanaan. Para pengiklan tentu tak cukup gila untuk berani mempertaruhkan uangnya demi kepentingan pencerdasan masyarakat. Brand film ini kalau jauh dari film-film yang mengangkat tema roman picisan atau cinta-cinta berbau agama yang latah dan sekadar mengisi ceruk pasar yang besar.

Di luar itu semua, film ini wajib ditonton sebagai sebuah refleksi kehidupan. Sampai saat ini, banyak perempuan masih berada dalam ketertindasan. Meski menanggung banyak luka oleh stigma, tindak kekerasan, dan pelecehan, toh perempuan masih tetap bertahan. Hidup sekenanya, sebisanya. Semangat hidup ini yang kadang luput dari perhatian publik.

Ah, senandung puisi Derai-derai Cemara Chairil Anwar lirih melantun: hidup hanya menunda kekalahan/  dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah. Ya, perempuan-perempuan itu bertahan menunda kekalahan. Sebelum pasrah pada tali gantungan, tak kuasa melawan keras gelombang. Karena hidup bukan untuk mencari penghentian namun untuk melakukan perjalanan. 

About The Author

M Irkham Abdussalam 14
Novice

M Irkham Abdussalam

Esais | Penulis | Fotografer | Pembaca | Pemilik www.portalkonseling.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel

From M Irkham Abdussalam