Cerpen: Titik Akhir

19 Apr 2016 19:15 5910 Hits 0 Comments
Cerpen

Pernahkah kamu bertemu dengan seorang wanita yang membuatmu berpikir keras bagaimana caranya untuk bisa hidup bersamanya, sampai akhir hidupmu? Membuatmu menerjang semua prahara yang pernah kau ciptakan, semua aturan hidup yang kau buat sendiri dan kau patuhi sendiri, hingga akhirnya kau harus melanggar aturan yang kau buat sendiri karena wanita itu. Wanita yang mengubah cara pandangmu terhadap kaum yang sensitive terhadap rasa. Wanita yang membuatmu tak memperdulikan statusmu sekarang, yang membuat seluruh tipe wanita idamanmu runtuh hanya karena kalimat yang keluar dari bibirnya “Eh, aku boleh tanya sesuatu gak?” atau “Eh, besok minggu kamu sibuk gak?”

Malam tak ubahnya menjadi tempat bekumpulnya ketidaksadaran manusia, mereka yang pulang kerja langsung pergi mandi lalu tidur. Mereka yang berangkat kerja malam hari menganggap malam seperti pagi yang cerah dan segar. Atau mereka para pengangguran banyak uang yang mengubah malam menjadi situasi paling hedon. Ke bar, karaoke, mall, membeli sepatu dr. martens yang harganya bisa membuatmu mengeluarkan kalimat kotor, kickers atau clarks.
-----
Tanpa ampun, dia tampak anggun dengan brokat putih yang dipakai. Matanya menyapu seluruh ruangan, dia sedang mencari seseorang yang sudah lama dia tunggu, dia menungguku. Menunggu. Pipinya memerah melihatku menyalami pria yang berdiri di sampingnya dengan Tuxedo hitam. Basa-basi ampun aku tersenyum simpul menjawab pertnyaan pria itu “Kapan nyusul nikah”. Aku menyalaminya tanpa mengeluarkan kalimat apapun, hanya tersenyum, bukan karena antrean tamu yang ingin bersalaman menumpuk. Tapi, karena kenangan yang tak seharusnya di lihat lagi.

Matanya masih sama, sentuhan tanganya juga, halus. Sialan, aku rindu wanita ini. Harusnya aku yang berdiri di sampinya sekarang. Bersanding manis—membuat orang-orang merasa iri karena melihat pasangan ideal yang sedang bahagia, hal yang lebih membahagiakan dari apapun, menikah. Dia masih memandangiku, tersenyum ketika aku menghabiskan satu jus jeruk. Pipinya memerah, aku tersenyum, gesture tubuhnya lucu. Menerima tamu lalu menatapku, menerima salaman—menatapku, terus begitu.
-----
Malam adalah situasi tak menentukan bagiku, kadang menyedihkan kadang mengharukan kadang membahagiakan. Aku selalu suka malam. Situasi dimana aku bisa melihat gugusan bintang terbentang dari selatan ke utara. Melihat bulan yang menguning lembut, sinarnya membuatku ketagihan. Aku berharap hanya ada malam, tanpa pagi, siang apalagi sore. Tidak untuk malam itu. Malam saat aku menjadi orang asing baginya. Entah, kesalahan apa yang sudah aku perbuat hingga dia berkata seperti itu. Tidakkah kau mengerti aku hanya ingin merasakan hatiku dikoyak-koyak sepi, merasakan kesendirian lalu kamu datang mengajakku berbicara walau hanya lewat private chat.

Aku rindu dibuat kalang-kabut olehmu, ketika tiba-tiba kamu cerita panjang, aku membacanya dengan tingkah kegirangan, pesanmu selalu membuatku mati rasa. Ada kekosongan yang terisi. Aku seperti menjadi pria paling berguna saat itu, dapat membuatmu mengeluarkan seluruh kegelisahanmu, yang aku tahu tidak ada orang yang bisa kau ceritakan selain aku. Ini malam terakhirku mendengar suaramu yang pernah kamu kirim lewat voice note, aku masih menyimpannya. Malam dalam balutan kain kafan. Aku mati. Sialan, hidup tanpa nafas (lagi).
-----
Dia mengedipkan mata ke arahku. Mata yang lebih indah dari gugusan pantai di Gibraltar, pantai pasir putih, penuh gelisah. Aku gelisah melihatmu duduk bersanding di pelaminan dengan pria lain. Aku merindukan malam itu, malam ketika kamu mengecup keningku. Lalu, berkata: dengarlah detak jantungku, suara yang akan terus kamu dengar setiap malam di atas ranjang, kamar kita berdua. Kamu berjanji akan selalu di sampingku, bersamaku dengan seorang anak yang ku gendong dan kamu menggodanya untuk tertawa, anak lelaki kita. Superhero impian kita. Kita menikah. Aku ada di pernikahanmu. Tapi bukan menjadi pendampingmu, aku hanya tamu. Tamu yang berharap kesisaan.
-----
Seketika semua jadi tanpa arti, deretan kata di kertas itu terhapus—menghilang tak berjejak. Rangkaian kata dan konsonan indah jadi abu yang berterbangan tanpa arah. Percuma saja merengek, aku yang menghapusnya. Aku gagal mencintaimu, aku takut dan kamu tahu. Sialan, wanita macam apa kamu ini. Ingatkah kamu ketika kamu bertanya “Cinta itu apa” jawabanku aneh, berputar-putar tak jelas, tanpa arah. Kesengajaan yang di sengaja aku hanya ingin bilang bahwa: Cinta itu kamu, aku sulit mengatakan itu, rasanya ada yang menahanku. Aku takut sensitifitasmu keluar. Cinta hanya trik, benar. Karena aku takut jatuh cinta. Jatuh cinta membuatku lupa siapa aku. Aku gagal menutupinya—gagal membangun tembok tinggi. Kamu berhasil meretakkannya—runtuh berantakann. Sialan, wanita macam apa kamu ini.
-----
Sudah? Inikah titik akhir perjalananku? Melihat dia menikahi orang lain? Titik akhir macam apa ini. Rasanya ingin aku membumihanguskan tempat ini membuat pria itu mati lalu membawa wanitaku pergi. Jauh. Benar, ini titik akhirku, aku pulang dengan kepala yang tertunduk, lesu—berharap malaikat pencabut nyawa datang, mengambil nyawaku. Langkahku terhenti ketika seseorang menarikku dari belakang “Mau kemana? Acara belum selesai” wanita itu dengan girangnya mengajakku masuk (lagi), seenaknya sendiri. “Tidakkah kau melihat, ada orang gila yang datang ke acaramu. Gila karena cintanya jatuh ke tangan orang lain” gumamku dalam hati. Aku menahan tarikkannya.

“Aku mau pulang, bi. Nggak ada gunanya juga aku di sini. Kamu mau bunuh aku?”.

“Kamu ngomong apaan sih? Ngaco deh”.

“Bi” aku melepaskantanganku darinya “Kamu sudah menikah, aku nggak mau mati sia-sia disini melihatmu bersanding dengan mantan pacarmu yang kamu bilang orang paling freak di dunia”.

“Ngomong apa sih?”.

“Sekarang dia suamimu. Aku? Aku apa?!” bentakku keras.

“Pak-pak, permisi boleh saya lewat, bapak menghalangi jalan tamu yang lain. Ditempat ramai gini jangan sampai bengong pak” seorang tamu mengingatkanku. Sial, aku rindu.
-----
Aku takut ini jadi titik akhirku, aku takut rindu datang lagi menggangguku. Aku rindu melihatnya membenarkan ujung kerudung hitamnya, aku rindu ketika obrolanku tak didengarkan karena dia terus saja melihat handphonenya, menunggu pesan dari kekasihnya. Aku rindu ketika dia bersemangat menceritakan pengalamannya bereksperimen, menulis, membaca, bercerita untuk bisa membangun sebuah sekolahan, menjadi penulis hebat, menyumbangkan semua gajinya untuk anak yatim, travelling keluar negeri, bercerita betapa sumpeknya dia berada di negara ini. Aku hanya bisa menasehatinya untuk berkeliling Indonesia dulu baru ke luar negeri.

Aku ini siapa? Bukan siapa-siapa hanya seseorang yang tak sengaja dia temukan untuk jadi teman ngobrol dikala kekasih jauh dan tak memberi kabar. Bodohnya aku, aku menghancurkannya. Aku terlanjur dibuatnya penasaran. Rasa yang ingin aku jauhi selama hidupku, penasaran. Cinta tumbuh dari rasa penasaran dan aku takut jatuh cinta, apalagi denganya. Sialnya dia tahu, tapi dia diam, dia nggak mau menyakiti orang yang jatuh cinta denganya, karena dia gak bisa bales apa-apa.. Oh hello, bi. Kamu nggak perlu bales apa-apa, aku juga gak berharap kamu membalasnya. Aku menikmati masa-masa ini. Masa dimana perasaanku fluktuatif, naik-turun. Kadang bahagia, kadang gak bahagia dikoyak-koyak, terkoyak, terhempas, bangkit lagi.
-----
Aku pergi, aku sakit melihat dia bersanding dengan pria lain, aku pulang. Merebahkan diriku. Aku…. Butuh penulis untuk melanjutkan kisahku.

“Stop, ini titik akhirku, biarkan aku tidur, selamanya. Jangan bangunkan aku, penulis sakit. Aku ingin melihatnya bahagia dari Surga. Bagaimana denganmu penulis sakit?”.

“Sepertimu, aku menyerah. Aku tak butuh apa-apa lagi”.

“Kamu sudah gila, kepedulianmu dimentahkan, tidakkah kau sakit”.

“Aku sudah sakit, sejak awal, Lepas dari orang yang membuatmu jatuh hati bukan alasan untuk berhenti peduli”.

“Lalu kamu mau apa?”

“Kamu?” aku balik tanya.

“Ini titik akhirku, aku ingin tidur selama mungkin, melihatnya bahagia dari surga”.

“Aneh, surga bukan tempat bagi orang yang tidak bisa melupakan masa lalunya”.

“Biar, lalu apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”.

“Berhenti jatuh cinta, aku sudah menemukan titik akhirku. Aku akan berdiri di sisi luar dinding yang mengakar tinggi, menunggunya meruntuhkan dindingnya sendiri”.

“Oke, aku akan pergi duluan. Aku takut melihat penyakit yang terus menggerogoti otakmu, kau sakit. Berhentilah berharap & menghayal. Penyakit di otakmu itu nyata—ada”.

“Aku ingin jadi titik akhirnya, meskipun dia telah menemukan titik akhir yang lain, tanpa koma tanpa spasi tanpa titik dua”.

“Kamu sudah tahu siapa kekasihnya?”.

“Sudah, sejak awal. Bahkan aku pernah bertemu. Senyumnya manis. Tapi, sayang pria itu hanya membuatnya berputar-putar pada masa lalunya”.

“Ah, kau iri kan? Kau ingin jadi kekasihnya kan?”.
“Tidak”.

“Lalu?”.

“Dia titik akhirku”.

“Apa itu titik akhir?”.

“Kamu tahu, bahkan kamu punya. Masing-masing orang punya satu”.

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel