Jangan Ada Hari Kartini!

19 Apr 2016 18:14 3706 Hits 2 Comments
Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, symbol wanita pejuang emansipasi wanita di Indonesia. Waktu SD kita sering menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini, karena melalui Kartini kesadaran para perempuan Indonesia bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara.

Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, symbol wanita pejuang emansipasi wanita di Indonesia. Waktu SD kita sering menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini, karena melalui Kartini kesadaran para perempuan Indonesia bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara.

Perempuan di Indonesia bukan warga kelas dua, mereka setara dengan para pria. Bahkan jika merujuk hadits Nabi, Perempuan justeru lebih mulia dibanding pria, karena ialah yang melahirkan para pria. Belakangan juga muncul sebuah adagium jika kesuksesan laki-laki disebabkan oleh support dan doa para isterinya. Hingga muncul anekdot biar lebih sukses maka harus didoakan oleh banyak isteri (alias poligami). Anekdot yang terlalu berlebihan.

Hingga saat ini hari Kartini masih diperingati. Ini sebuah penghargaan yang pantas dari rakyat Indonesia.

Namun tahukah, jika emansipasi yang didengung-dengungkan oleh RA. Kartini tidak koheren dan berkorespondensi dengan kehidupan pribadinya. Walaupun suaranya bisa menembus ke luar bahkan ke Eropa, Kartini tidak mampu menolak nasibnya untuk dijadikan sebagai isteri kedua Bupati Jepara saat itu. Bukankah ini sebuah ironi keberanian, berani berteriak tapi tidak berani menolak.

Bagi saya, menjadikan Kartini sebagai momentum peringatan sangat tidak tepat bahkan cenderung salah kaprah. Negara telah melakukan pelecehan terhadap perempuan di Indonesia yang memiliki karakteristik pejuang dan pemberani.

Kenapa demikian?

Bukankah di Indonesia banyak tokoh perempuan yang betul-betul berani melawan nasibnya, bahkan bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk negara sekalipun. Sosok Cut Nyak Dien yang meninggal di Sumedang adalah tokoh pejuang pemberani hingga rela diasingkan. Setelah ditingal suaminya ia berjuang memimpin rakyat untuk mengusir penjajah. Ada juga Cut Mutia yang sama-sama dari Aceh. Ada juga Keumala Hayati yang mampu membunuh hingga ratusan penjajah saat di Medan tempur.

Bukan hanya mereka, tapi juga ada tokoh lain seperti Rasuna Said yang dipenjara pada masa penjajahan Belanda karena melakukan protes ketidakadilan. Ada juga Maria Maramis yang mendirikan organisasi Percintaan Ibu kepada Anak Turunannya dan memperjuangkan pendidikan dan kesehatan kaum ibu pada akhir abad ke 19. Maramis juga memperjuangkan hak wanita agar mendapatkan hak suara pada masanya.

Dari Maluku ada Marta Christna Tiahahu yang mengangkat senjata langsung dalam perang melawan Belanda membantu ayahnya yang merupakan pembantu Kapitan Pattimura. Ada juga Nyi Ageng Serang Pemimpin daerah Serang, beliau memimpin pasukan dari tandu, membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda selama 3 tahun.

Dari Bandung juga ada Raden Dewi Sartika seorang Tokoh perintis pendidikan kaum wanita dengan mendirikan Sakola Istri pada tahun 1904. Bakat dalam cara Dewi Sartika memberi pelajaran kepada para masyarakat terutama kaum perempuan di sekitar lingkungan tempat tinggalnya, telah menjadikan semangat dan cita-cita untuk terus berupaya agar anak-anak dan kaum perempuan pribumi bisa mendapat kesempatan memperoleh ilmu pengetahuan.

Dan tentu saja masih banyak pejuang wanita lain yang tidak kalah berani baik dari pemikiran ataupun kiprahnya di masyarakat yang memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat seperti Opu Daeng Risadju ataupun Walidah Ahmad Dahlan ataupun pejuang wanita daerah lainnya yang berkiprah untuk daerahnya.

Namun kenapa hanya Kartini? Bukanlah lebih pas jika hari Kartini dengan tanggal kelahirannya diganti dengan hari Perempuan atau hari wanita Indonesia sehingga para pejuang wanita lain pun ikut terlibat sebagai bagian dari wanita pejuang dibandingkan dengan hari Kartini. Apalagi keberaniannya cenderung semu. Kartini juga hanya meninggalkan karya buku saja sebagai surat-suratnya yang dikirimkan ke luar Indonesia. Sementara seperti Dewi Sartika meninggalkan jejak pendidikan yang sampai sekarang sekolahnya tetap ada. Sakola Kautaman Isteri.

Belum lagi isteri-isteri para pejuang yang ikut memperjuangkan dan mensupport suaminya dalam merebut kemerdekaan dan membangun Indonesia seperti Ibu Inggit atau Fatmawati. Wajar jika pemikiran ini tercetus.

Setujukah jika hari Kartini diganti dengan Hari Perempuan/ Wanita Indonesia?

Tags

About The Author

Joko Kalasan 38
Ordinary

Joko Kalasan

Blogger tanpa Gelar. Akun ini diperuntukan bersenang-senang dengan tulisan, tulisan apapun yang lewat dalam pikiran. Saya tuliskan.
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel