Cerpen: Dongeng dari Keukenhouf

19 Apr 2016 08:29 3561 Hits 0 Comments
Cerpen

Seekor merpati terbang melintasi Taman Bunga Keukenhof ketika mataku tertumbuk pada seekor kelinci berwarna putih yang mondar-mandir didepanku, menghalangiku untuk melihat jajaran bunga warna-warni yang tertata rapi dan membentuk pola lingkaran yang bercabang. Tak biasanya merpati terbang melintasi Keukenhof yang terletak diantara kota Hillegom dan Lisse. Situasi ini langka, apalagi Keukenhof hanya dibuka setahun sekali pada minggu terakhir bulan Maret hingga pertengahan bulan Mei. Keukenhof bagai magnet untukku, aku seperti dibangunkan oleh malaikat. Tarikan itu membawaku hingga ke Duin en Bollenstreek. Daerah sejuk dan tenang yang mengelilingi Keukenhof. Orang-orang berkeliling mengitari jalan setapak sejauh 15 kilometer untuk melihat lebih dari tujuh juta bunga Tulip, Daffodil dan Hyacints tapi tidak denganku, aku memilih duduk di bangku kayu berwarna putih dekat kumpulan tulip berwarna putih. Merpati itu masih saja terbang diatasku berputar-putar seperti orang yang mabuk. Seperti ada pesan yang hendak ia sampaikan. Kelinci putih itu juga masih terus mondar-mandir didepanku membuat kesan nyaman jadi sedikit hilang. Tema taman Keukenhof tahun ini adalah United Kingdom – Land of Great Gardens. Kombinasi bunga-bunga yang membentuk mosaik Big Ben dan Tower Bridge khas London tempat yang juga ingin aku kunjungi selain Amsterdam.

Fashion memang berubah setiap enam bulan sekali, tapi ada satu hal yang tetap sama: AKU, gadis beralis hitam dan berkumis tipis dengan sejuta mimpi untuk mengubah dunia dari Eropa. Tempat yang membuatku jatuh cinta dengan kultur dan budayanya, Aku jatuh cinta pada mereka yang hidup tenang dan tidak terduga. Diam dalam balutan kain putih yang bersih, sangat bersih. Hidup tanpa dosa karena tak pernah sekalipun mengurusi hidup orang lain. Stabil atau mungkin Stagnan. Siang ini aku menemukan keanehan di langit Keukenhof, seperti ada garis horizontal lurus yang tak jelas dimana ujungnya aku melongo benar-benar tak percaya. Pria itu mengejarku, mengikutiku hingga sejauh ini. Jarak dari Manhatta ke Amsterdam sangat jauh butuh berjam-jam naik pesawat. Dia berdiri di Paviliun Oranje Nassau yang memamerkan koleksi beragam bunga tulip. Aku menutupi wajahku dengan guidebook yang aku bawa. Hampir tak percaya, aku meraih handphoneku untuk memastikan bahwa itu memang dia. Hanya satu dering sebelum dia mengambil handphonenya di saku kiri celana jeans warna biru dongker. Dahinya mengkerut, beberapa detik dia melihat layar handphonenya lalu memasukkan kembali ke saku kirinya. Aku  menelponya dengan nomor yang tidak dia kenal, hanya untuk memastikan.

Merpati dan kelinci itu semakin gila dengan gerak-geriknya saat pria itu berjalan menuju kearahku, membawa bunga tulip berwarna putih ditangan kanannya. Terakhir aku bertemunya di Tropea Beach, Italia. Bercerita bahwa dia telah menceraikan istrinya untukku, matanya berbinar “Akhirnya aku menemukan orang yang benar-benar kucintai” katanya. Setalah kejadian itu, aku hidup denganya selama tujuh tahun lalu putus. Sesudah itu aku hampir tak pernah bertemu dia, meskipun dia sering menuliskan surat yang tak pernah aku balas. Pernah dia menulis surat bahwa dia putus dengan salah seorang pacarnya di hari Valentine, dia memutuskan pacarnya hanya karena gaun yang dipakai tidak dia sukai. Lalu pria itu menamparnya, mengusirnya, memaki. Dia bilang, dia masih mengingatku dan masih mencintaiku.

Aku tergoda untuk menjelaskan pemahamanku tentang cinta. Tapi batal, tidak ada gunanya membahas hal itu dengan pria yang tak pernah mengerti esensi dari berjuang atas nama cinta. Yang dia tahu hanya Cinta = Sayang. Padahal cinta lebih dari dua kata itu. Aku mengamatinya baik-baik seperti seorang ilmuwan yang mengamati kuman di bawah mikroskop. Tiba-tiba ia menangkap mataku yang tak sempat mengelak. Memoriku bekerja keras mengaduk tumpukan imaji dalam kepala. Bukan karena pria itu . Tapi karena Laki-laki yang mencintaiku dalam diam, dalam bias tak menentu, mengorbankan wanita demi orang yang dia cinta. AKU.

Dia menghampiriku. Apakah dia tak tahu? Bahwa aku adalah wanita yang pernah menjalin rasa denganya selama tujuh tahun?. Dia membuatku gemas, sebal. Dia tak takut mati, dia menggodaku. Aku tak bisa mengelak. Pembual. Merpati dan kelinci itu tiba-tiba menghilang, menjauhiku. Merpati terbang bersama merpati lainnya. Kelinci itu bersembunyi diantara bunga-bunga di Keukenhof. Dia benar-benar tak mengingatku lagi, aku bersyukur. Wajahnya mesum, seperti pria yang baru saja selesai memperkosa wanita di toilet umum, baju dan rambutnya berantakan. Meski matanya berbinar. Mata seorang pembual.

Dia mengambil batang rokok di saku bajunya, menyalakan korek kayu yang terus saja mati akibat angin dingin di Keukenhof. Sebatang rokok terselip di bibirnya, menatapku seolah minta izin. Aku mengangguk tanpa pikir lalu pergi. Aku tak suka asap rokok.

Diantara bunga-bunga

Aku merenung

Menunggu pria yang menangis dalam diam

Pria yang aku anggap tukang bohong

 

…………………….

Laki-laki itu memukul meja kuat-kuat, mukanya merah padam, suaranya penuh rasa amarah. Dia membenci dirinya sendiri. Pengakuan terlarang terlanjur keluar dari bibirnya. Wanita yang ada di Keukenhof penyebabnya. Dia memandangi dinding kamar yang mulai samar-samar matanya diselimuti air mata yang bertahan dalam angan berselimut lara. Meski sekarang semua sudah terlanjur laki-laki itu meyakini bahwa wanita di Keukenhof itu menghidupkan jiwanya. Menghidupkan semua perasaan yang terlalu lama mengendap. Laki-laki itu menangis, membasuh lukanya dengan air mengalir. Otak laki-laki itu beku dia baru saja menerima kenyataan yang tak sejalan dengan semua aturannya. Laranya tak berbalas, kesendiriannya menjadi bumerang, meski dia tak mengharap balasan dan pengakuan. Dia merasa nyaman karena sudah mengungkapkan pengakuan yang terlalu lama dia tanam di hatinya yang paling dalam. Laki-laki itu paham Penyesalan adalah Hak Sang Waktu. Wanita itu kini mengetahui sangat jelas Keukenhof adalah tempat yang cocok untuk menjauh dari laki-laki gila yang membawanya di situasi yang tak menentu. Wanita itu menunggunya di Keukenhof, taman bunga terbesar di dunia. Menembus waktu yang tak lagi bergerak. Laki-laki itu ingin terus memandangi matanya, senyumnya, auranya yang mampu membuatnya berpikir dua kali untuk pergi dan mencintai wanita lain. Laki-laki itu sekarang penuh luka, malang. Yang bisa dia lakukan hanya menghidupkan Wanita itu di setiap tulisannya. Laki-laki aneh yang menggilai perjuangan. Wanita aneh dengan sejuta kegilaannya terhadap Eropa dan Keuknhof. Dapatkah tuhan menyatukan mereka? Sepasang manusia yang tak saling mencari namun saling menemukan. Indah sekali bagai hamparan bunga di Keukenhof.

 

 

 

Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel