Ketika Cinta Bicara (When Love Talks) Chapter 7

19 Apr 2016 12:29 7934 Hits 3 Comments
Nina memelankan laju mobilnya saat hendak berbelok ke kiri. Saat itulah tanpa disengaja, ia melihat seorang lelaki yang dikenalnya sedang mengendarai kereta butut lewat di depan mobilnya. Nina terperangah. Itu kan bapaknya Choky?, batin Nina. Mau kemana dia? Nina penasaran. Tanpa basa-basi, Nina pun memutuskan untuk mengikuti kereta Tumpal dari belakang. Agar tidak curiga, Nina membuntuti Tumpal agak jauh sambil konsentrasi memperhatikan kereta Tumpal agar tidak hilang dari pandangan.

 

Baca sebelumnya : http://www.plimbi.com/article/164143/ketika-cinta-bicara-when-love-talks-chapter-6

 

Nina mempercepat langkahnya. Ia sudah tidak sabar. Dengan sigap ia menaiki tangga elevator satu persatu. Matanya menatap lurus ke depan. Nafasnya memburu. Tangan kanannya memegang tas mahal bermerek. Seperti tidak peduli dengan keadaan sekitar, ia menerobos dan melewati tiap kerumunan orang-orang yang sedang lalu lalang.

Suasana plaza sedang ramai. Maklum, ada perang diskon. Tak heran, sudah jauh-jauh hari Nina mempersiapkan diri. Untuk yang satu ini, ia memang tidak pernah absen.

Setelah melewati anak tangga demi anak tangga elevator, sampailah ia ke tempat yang dituju. Tanpa membuang waktu, ia langsung berburu dan mengambil tas plastik yang sudah tersedia. Semua pakaian bermerek yang dijual murah langsung ia masukkan dalam tasnya, mulai dari baju, celana panjang, baju terusan sampai bra. Tidak ada yang terlewatkan. Seperti tak kenal lelah, ia pun menyusuri tempat demi tempat. Tak lupa ia akan mencoba terlebih dahulu jika ia mendapatkan barang yang disukainya meskipun tidak diskon.

Tak lama kemudian matanya melihat sebuah baju terusan tanpa lengan berwarna ungu muda yang sudah diidam-idamkan sejak lama. Seminggu yang lalu harganya belum diskon. Dengan membabi buta ia langsung mengecek harga, dan alangkah terkejutnya ia ketika saat ini harga baju itu sudah diskon.

“Aiiiihhh!!” Ia memekik senang. Tanpa berlama-lama, ia langsung mengambilnya dan tidak berniat sedikitpun mencobanya. Ia sudah yakin bajunya pasti pas di badannya. Ia pun menelepon Kayla.

“Tuuuttt.” Terdengar suara telepon masuk.

“Halooo….?” Nina memulai percakapan, namun tidak ada yang menyahut. Ia menghubungi sekali lagi.

“Tuuuttt.”

“Ya, Nin…?” Terdengar suara Kayla. Ia menjawab dengan malas. Saat ini Kayla sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya yang sempat terbengkalai. Ia sedang tidak ingin diganggu.

“Kayla honey!, look what I got?!” Mendengar suara Kayla, Nina langsung berteriak senang.

“Ninaaa, apaan sih… I’m bussy right now, please call me letter?” Kayla tak tertarik. Ia pun memohon.

“Waait, wait. Oke, Ai cuma mau kasih tau, kalau baju terusan yang kita incar, sekarang sedang diskon. Iiiihhh, I’m so happy, you know?”

Tuh kan, bener. Pasti deh info yang nggak penting, Kayla merepet dalam hati sambil memonyongkan mulutnya ke gagang telepon kantornya. “Ya, so?”

“Kayla, itu kan baju favorit lo juga. You mau nitip nggak?” 

“Nanti aja lah Nin. Gue beli sendiri. Gue lagi sibuk banget nih selesaikan pekerjaan gue yang sempat terbengkalai. Mana besok gue harus ke kantor polisi lagi.” Kayla membela diri.

”Ohh, I see. Ya udah nggak papa. Mungkin lain kali. But, if you change your mind, call me ok? Aku masih agak lama kok di sini.” Nina pun maklum.

“Sori ya Nin.”

“It’s oke. By the way, besok mau ditemenin?”

“Hmmm…” Kayla berpikir sebentar, “Nggak usah lah Nin, I’ll  do it my self.”

“You sure?”

“Yes. Thanks ya. Beside, selama ini kamu kan sudah sangat membantu aku, Nin.”

“Don’t worry about that. Gue ikhlas kok, Kay. Ya sudah if you want to do it yourself. Kalau ada apa-apa, beritahu ya?”

“Oke, bye honey!”

“Bye!”

Klik!.

Mereka pun kembali sibuk dengan urusannya masing-masing.

 

Satu jam setengah sudah Nina berada di mall tersebut. Ia melirik jamnya, kemudian memutuskan untuk kembali ke kantornya. Yup right, demi diskon Nina sampai rela mencuri waktu kerjanya dan mengorbankan waktu istirahat kantornya demi memuaskan nafsu belanjanya yang sudah stadium empat dan tak mungkin lagi bisa disembuhkan. Kebiasaannya ini sudah dilakoni sejak lama, dan Bossnya sendiri sudah tahu tentang kebiasaan anak buahnya yang tidak tahu diri ini. Namun, kepintaran Nina “menjilat” atasannya yang “mata keranjang” itu membuat Bossnya tidak berdaya dan membiarkan Nina bebas menjalankan hobinya itu.

Kini Nina sudah keluar dari area parkir dan bersiap-siap hendak menuju ke kantornya. Hatinya begitu ceria. Barang-barang yang sudah ditunggu-tunggu lama akhirnya menjadi miliknya. Perasaan itulah yang membuat Nina ketagihan. Rasanya bagai candu yang tak tergantikan.

Nina melajukan mobilnya sambil bernyanyi riang. Dari radio kesayangannya ia ikut menyanyikan lagu favoritnya yang kebetulan sedang diputar.

“Bila memang harus berpisah, aku akan tetap setia…”  Nina menyanyikan lagu itu dengan centilnya. Tangannya yang sebelah kiri memegang setir sementara tangan kanannya mengusap-usap rambutnya dan pipinya yang halus mulus sambil terus bernyanyi.

Layaknya penyanyi sungguhan, Nina pun mengepalkan tangan kanannya seolah-olah sedang memegang mike lalu bernyanyi dengan keras. “Tak bisa kuteruskan, dunia kita berbeda…” Tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang melongo dan memandang takjub dirinya, ia terus melakukan “aksi”nya itu.

Nina memelankan laju mobilnya saat hendak berbelok ke kiri. Saat itulah tanpa disengaja, ia melihat seorang lelaki yang dikenalnya sedang mengendarai kereta butut lewat di depan mobilnya. Nina terperangah. Itu kan bapaknya Choky?, batin Nina. Mau kemana dia? Nina penasaran. Tanpa basa-basi, Nina pun memutuskan untuk mengikuti kereta Tumpal dari belakang. Agar tidak curiga, Nina membuntuti Tumpal agak jauh sambil konsentrasi memperhatikan kereta Tumpal agar tidak hilang dari pandangan.

Setelah susah payah melalui jalan yang berkelok dan sempit, Tumpal menghentikan keretanya dan menuju ke sebuah rumah petak berlantai dua berwarna coklat krem. Dari jauh, Nina pun menghentikan mobilnya. Tumpal memasuki motornya ke pekarangan rumah dan mematikan mesin motor tersebut, lalu mengetuk pintu rumah itu.

Nina masih penasaran dengan apa yang dilihatnya. Masih di dalam mobil, ia menurunkan sedikit kaca jendela mobilnya, menaikkan kacamata hitam ke kepalanya lalu melihat ke sebuah rumah berlantai dua dan memperhatikannya dengan seksama. Waduh, apa lagi ini?, pikir Nina cemas.

***

 

Hari mulai beranjak petang. Setelah hampir empat jam memberikan keterangan di kantor polisi, Kayla bergegas pulang. Ia sangat lelah sekali.

Selama berada di kantor polisi, Kayla mengungkapkan secara detil peristiwa yang telah dialaminya, mulai dari bertemu dengan anak angkatnya Choky sampai peristiwa penculikan dirinya di sebuah plaza. Dari keterangan Kayla, polisi memutuskan untuk segera meringkus komplotan Tigor cs yang memang sudah menjadi incaran polisi sejak lama. Sementara itu Tumpal, papanya Choky masih bisa bernafas lega. Kayla meminta polisi agar tidak menahannya, selain itu untuk saat ini polisi sendiri belum memiliki cukup bukti mengenai keterlibatan Tumpal dengan Tigor cs.

Kayla berjalan lunglai. Ia menyeret kakinya menuju tempat parkir. Meski ia kini telah bebas dari penculikan, tapi ia masih merasa khawatir andai peristiwa itu terulang kembali. Bukan mustahil terjadi mengingat komplotan Tigor cs masih bebas berkeliaran.

Kayla telah sampai di depan pintu mobilnya, yang pernah menjadi saksi bisu peristiwa penculikan dirinya tersebut. Saat itu, hp-nya berdering, memperdengarkan ringtone kesayangan-nya. Di layar, muncul nama Nina, sahabatnya.

“Ya, Nin.” Kayla langsung menyahut.

“Kay, bagaimana hasilnya?” Nina membalas penasaran.

“Ya, begitulah. Aku sudah ceritakan semuanya. Polisi akan segera turun tangan menangkap komplotan Tigor cs. Sekarang ini mereka pasti sedang sembunyi.”

“Lalu, papanya Choky?”

“Polisi belum menemukan keterlibatan papanya Choky dengan Tigor cs, Nin. Jadi untuk sementara ini ia masih bebas. Selain itu, aku juga meminta polisi untuk tidak menahannya seandainya ia tertangkap. Kasihan Choky.” Kayla masuk dan men-starter mobilnya sambil ponselnya ia tempelkan di telinga kanannya yang telah dijepit dengan pundaknya.

“I see. Ya, itu sih terserah elo, Kay. Jika itu memang yang terbaik menurut lo...” Nina mengamini sambil mengangguk-angguk. Kayla tidak menjawab.

“By the way, Kay…” Nina melanjutkan. “Semalam waktu di jalan, gue berpapasan dengan papanya Choky. Gue lihat dia  pergi ke suatu tempat. Gue ikutin saja dia.”

“Terus…” Giliran Kayla yang penasaran, ia memegang ponselnya.

“Dia pergi ke sebuah rumah kumuh berlantai dua. Gue nggak tau itu rumah siapa, tapi gue lihat seorang perempuan gendut membukakan pintu. Dia masuk, and then… i don’t know what happen next.” Nina mengangkat pundaknya.

“Berapa lama dia di sana ?” Kayla masih penasaran. Informasi Nina kali ini benar-benar menarik perhatiannya. Di sana, Nina tersenyum.

“I don’t know Kayla. Ada setengah jam lebih gue tunggu di mobil. Karena gue nggak bisa lagi menunggu terlalu lama, terpaksa gue tinggalin.”

“Kamu masih ingat kan di mana rumahnya?”

“Sure. Gue udah catat alamatnya. Lagian gue tahu daerahnya kok. Memangnya lo mau kesana?”

“Maybe, we’ll see.”

“Oo, begitu ya. Jadi sekarang, apa rencana lo selanjutnya?”

“I don’t know yet, Nina. Yang pasti saat ini aku harus lebih berhati-hati lagi. Jangan sampai terulang kedua kali.”

“Apa nggak sebaiknya lo ambil cuti dulu, Kay? Just to refresh your mind?” Nina memberi saran.

“That’s what I think, Nin. Mungkin sebaiknya begitu, setelah aku selesaikan dulu urusan kantorku yang sempat terbengkalai…” Kayla mengganti posisi ponselnya ke sebelah kiri telinganya. Telinga kanannya sudah terasa panas. Ia pun melanjutkan.

“Saat ini jalani dulu apa adanya. Paling-paling besok aku bersiap-siap nengok Choky. Besok kan Sabtu.”

“Yah, OK then. Salam deh buat Choky. I missed him sooo much.” MMMUUAAHH!!!” Nina menciumi gagang telepon rumah kontrakannya.

“Gombaal!!” Kayla mengejek sambil tertawa. Nina pun ikut tertawa.

“Oke deh, nanti kusampaikan sama Choky.” Kayla melanjutkan.

“Take care, honey!” Nina.

“You too, honey! Thanks ya, bye.” Kayla.

“Bye!” Nina.

Mereka pun menyudahi percakapan mereka.

 

Waktu semakin sore, Kayla melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, ia ingin segera tiba di rumah. Gerimis hujan ikut menemani perjalanan pulang Kayla yang semakin lama semakin deras, namun itu tidak menyurutkan niat Kayla untuk mengurangi laju kecepatan mobilnya. Ia ingin segalanya dapat segera berakhir. Dalam perjalanan pulang, Whatsapp dari Ringgo masuk.

“Kayla, bagaimana di kantor polisi tadi? Lancar? Tidak ada masalah, kan? Apa hasilnya?” Demikian rentetan pertanyaan dari Ringgo. Kayla tersenyum lebar saat membaca WA dari pacarnya. Ia pun memarkirkan mobilnya, kemudian segera membalas pertanyaan Ringgo. Setelah selesai, Kayla mematikan ponsel pintarnya. Ia menghidupkan mobilnya kembali dan melajukan kendaraannya.

Masih dalam perjalanan pulang, ia memikirkan kembali apa yang telah diceritakan Nina. Apalagi yang akan direncanakan oleh bapaknya Choky, ya? What happen next? Kayla bertanya-tanya sendiri dalam hati tanpa bisa menebaknya dengan benar.

***

 

Malam ini hujan turun dengan lebatnya. Derai hujan yang deras disertai dengan bunyi guntur yang menggelegar, membuat Choky terbangun dari tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 21.40.

“Ma…, Mama…”Choky memanggil Kayla sambil mengusap-usap matanya. Tak ada yang menjawab. 

“Hoooaaahhh…” Ia menguap. “Maa…” Ia memanggil sekali lagi, juga tidak terdengar jawaban.

Choky memutuskan untuk turun dari tempat tidur dan mencari mamanya. Sambil sesekali menguap, ia terus mencari mamanya.

“Mamaaaa…!!” Kali ini Choky memanggil mamanya agak keras.

“Ya sayaang…, mama di sini!” Terdengar suara manis Kayla. Kayla sedang duduk manis di sofa ruang keluarga rumahnya. Dirinya sedang asyik melihat foto-foto yang baru saja dicucinya dan memasukkannya ke dalam sebuah album.

“Mama sedang apa?” Choky mendekati Kayla.

“Mama lagi susun foto-foto waktu kita liburan ke Berastagi. Lihat deh, cantik kan?” Kayla menunjukkan foto dirinya dan Choky yang sedang berdua menunggang kuda di sebuah tempat wisata yang terkenal di Berastagi, Gundaling. Gambar itu difoto oleh Ringgo, sebulan sebelum peristiwa penculikan Kayla.

Choky tersenyum, ia lalu melihat foto-fotonya yang lain. Kayla lalu menunjukkan salah satu foto dirinya dengan Nina yang sedang bergaya centil sambil memonyongkan bibirnya. Foto itu dipotret oleh Choky.

“Nah…, ini foto yang kamu potret. Lucu kan?” Choky pun tertawa senang. “Kamu memang hebat!” Kayla memuji Choky sambil mencium keningnya. Kini Choky duduk manja di samping Kayla.

Hujan yang lebat tidak menyurutkan keceriaan mereka setelah melihat foto-foto tersebut. Liburan yang menyenangkan. Ingin rasanya Choky bisa kembali lagi ke sana, ia rindu untuk selalu liburan bersama dengan mamanya. 

“Kapan kita bisa kesana lagi, ma?” tanya Choky.

“Kapan ya? Mmmm… besok?” Kayla bergurau.

“Besok? Asyiikk!! Aku mau naik kuda lagi!!” Choky tepuk tangan. Ia mengira Kayla serius.

“Week…! Maunya!!” Kayla mengejek.

“Aaahh, mama gitu!” Choky ngambek. Mulut bagian bawahnya sengaja ia dorong ke depan.

“He…he…he…!! Besok nggak bisa dong!, malamnya mama kan harus pulang!” tangkis Kayla tersenyum sambil tangannya menunjuk kening anak angkatnya itu.

 “Jadi kapan dong ma?” Choky cemberut. Tangannya memegang lengan Kayla dan menarik-nariknya dengan manja.

“Nanti saja pas liburan sekolah. Mau ya?” pinta Kayla.

“Yaahh, masih lama dong…!”. Choky.

“Kaciiaan deh kamu…! Hi...hi…hi…!!” Kayla tertawa puas.

“Choky sekolah dulu ya. Nanti kalau sudah saatnya mama bilangin deh…” Kayla membujuk. Dengan berat hati, Choky mengangguk tanda setuju.

“Ma, Kapan Choky pulang ke Medan?. Choky ingin tinggal sama mama di Medan, ma…” Pertanyaan tadi mengejutkan Kayla. Kayla sempat terdiam sesaat.

“Nggak bisa dong sayang, kamu kan masih sekolah di sini...” Kayla membelai rambut Choky lembut.

“Kenapa sih ma, aku nggak sekolah di Medan aja, seperti dulu...?” Pertanyaan Choky semakin membingungkan Kayla. Ia ingin menceritakan yang sebenarnya, tapi Choky pasti belum bisa mengerti.

“Sekolah di sini lebih bagus. Waktu mama kecil, mama kan sekolah di sini…” Kayla membual. Ia berdiri lalu meletakkan album foto yang sudah selesai dilihat dan meletakkannya di rak khusus untuk menyimpan album foto. Setelah itu ia kembali duduk di samping Choky.

“Choky sekolah di sini saja ya. Di sini kan lebih tenang…” Kayla memegang kedua tangan mungil Choky dengan erat. Ia mencoba membujuk Choky.

“Di sini sepi ma…”

“Di sini kan ada Marihot dan Moses, teman akrab kamu. Kamu kan bisa main sama mereka…”

“Iyaa… tapi di sini kan nggak ada mama. Aku kan ingin dekat terus sama mama, bukan hari Sabtu dan Minggu saja…”  Choky  memberi alasan.

Kayla tercekat. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Tambah  pintar  saja  ini  anak,  pikirnya  dalam  hati.

 “Iya deh, kalau kamu naik kelas nanti. Kamu boleh tinggal sama mama lagi di Medan.” Kayla menyerah. Ia mengiyakan.

“Tahun depan dong?”

Kayla mengangguk. Choky menarik napas sambil memukul jidatnya pelan. Kayla tersenyum geli. Ia menggelitiki tubuh Choky gemas. Choky tertawa.

"Oya, hampir lupa. Mama punya hadiah untuk kamu loh. Mau nggaak?" Kayla tersenyum menggoda.

"Mau ma, mau!! asyiikkk, mana ma?" Choky berteriak kegirangan. Sambil penasaran, ia celingak celinguk ke kiri dan ke kanan, mencari hadiah yang masih disembunyikan Kayla.

"Sebentar ya, tapi close your eyes dulu" Kayla menggoda sambil telunjuknya menyentuh mata Choky. Choky otomatis memejamkan mata sambil tersenyum lebar. "Cepet ya ma... Choky udah gak sabar nih.."

Kayla segera berdiri dan mengambil hadiahnya,

"Eitts, jangan ngintip ya.." Kayla memainkan telunjuk kirinya sambil tangan kanannya yang sudah memegang hadiah masih disembunyikan dibalik badannya.

Karena ketahuan ngintip, Choky langsung menutup matanya dengan kedua tangannya sambil tersenyum lebar, hatinya berbunga-bunga.

"Oke, sudaahhh..." Kayla berbisik sambil menyerahkan hadiahnya ke pangkuan Choky yang saat itu sedang duduk bersila. Tanpa menunggu aba-aba berikutnya, Choky langsung membuka matanya. Sedetik kemudian, ia langsung menyobek kertas kado bergambar mobil-mobilan dengan ganasnya. Ia sudah tak sabar, jantungnya berdegup kencang. Tanpa menunggu waktu lama, Choky berteriak kegirangan "Woww, sepatu Ben10!!"  

Kayla tertawa senang melihat tingkah polos Choky yang begitu antusias melihat kado sepatu bergambar tokoh kartun kesayangannya. Setelah ia memakainya, Choky langsung berlari mengelilingi ruang tamu dan ruang makan. Ia begitu bahagia. Tak lama mereka pun berpelukan.

"Makasih ya Ma, Choky senang sekali.." Tak lupa Choky berterima kasih sambil terus memeluk Mamanya.

"Sama-sama, sayang... Peluk kenceeeng!!" Kayla mendekap Choky erat. 

 “Oke deh, tidur yuk! Mama sudah ngantuk nih…” Kayla mengajak Choky tidur.

“Choky belum ngantuk. Choky baru tidur…”

“Kamu sih, tidurnya kepagian. Jadinya susah tidur kan. Ya sudah kamu nonton TV saja di kamar mama sambil jaga mama bobok…” Kayla berdiri lalu menarik tangan Choky yang masih memakai sepatu barunya dan mereka pun menuju ke kamar Kayla.

***

 

Pagi hari, pukul 07.20 WIB…

“Good morning, Kayla. How are you this morning?” Terdengar suara bass Ringgo dari handphone Kayla. Kayla tersenyum senang.

“I’m fine. How’s yours? Feeling better?” Kayla tertawa renyah.

“Yah, begitulah. Got better everyday. Masih ada sakit sedikit sih, but it’s okey.” Ringgo.

“Thanks God.” Kayla.

“So, what’re you doing right now?” Ringgo.

“As usual. Make some breakfast for me and Choky. You want some?” Kayla bercanda.

“Ha? You’re kidding, right?. Hahaha…” Ringgo tertawa.

“Ya, I’m kidding. Hahaha…” Kayla ikut tertawa.

“So, any news from police?” Kayla melanjutkan. Ia menempelkan head set handphone di telinganya, setelah itu tangannya mengoleskan mentega ke roti Choky. Sementara Choky sedang bersama uwaknya mandi pagi.

“Ya. Choky’s father got arrested yesterday.”

“Really? You sure?” Kayla terkejut.

“Positive. Pak Bambang told me last night. Ia tertangkap saat sedang di rumah seorang wanita.”

“Di rumah seorang wanita....??” tiba-tiba Kayla teringat pembicaraan dengan Nina kemarin, ”...berarti benar dong dengan yang diceritakan Nina!!” teriak Kayla.

“Ha?? Nina?? Maksudmu??” gantian Ringgo yang terkejut heran.

“Kemarin Nina cerita kalau dia melihat Tumpal di tengah jalan, lalu ia membuntuti Tumpal ke sebuah rumah. Katanya ia melihat seorang wanita gendut membukakan pintu dan menyuruh Tumpal masuk…” Kayla menjelaskan panjang lebar, tangannya otomatis menghentikan kegiatan mengoles mentega.

“Precisely! Memang wanita gendut, tepatnya Tumpal ditangkap di rumah seorang DU-KUN!” Ringgo melambatkan dan membesarkan intonasi suaranya saat mengucapkan kalimat “dukun”. Ia yakin Kayla pasti akan bertambah kaget.

“Dukun??? Ya ampuuun!!! You kidding??” Dugaan Ringgo benar. Kayla semakin kaget bercampur heran. Ia terpana mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ringgo. Tangannya masih berhenti mengolesi mentega ke roti Choky.

“No, I’m not kidding! Polisi sendiri yang bilang ke abang. Berarti polisi menangkap Tumpal setelah Nina pulang!” Ringgo mengambil kesimpulan.

”Mau apa lagi dia, bang?”

”Itu yang abang tidak tahu persis. Mungkin saja ia ingin menanyakan sama dukun itu di mana Choky berada. Menurutmu?” Ringgo balik bertanya. Saat ini Ringgo sedang bermalas-malasan di tempat tidur. Ia mengganti posisi Hp-nya ke sebelah kiri telinganya. Telinga kanannya mulai terasa panas.

”It might be...” Kayla mengangguk-anggukkan kepalanya. Sehelai rambut yang didekat telinga kanannya jatuh terurai begitu ia menganggukkan kepalanya. Sedetik kemudian ia menyisipkan kembali rambutnya ke telinga kanannya.

"Now, he’s in jail, for sure.” Ringgo melanjutkan.

“Lalu bagaimana dengan kak Tiur, istrinya, bang?” Kayla teringat dengan ibu kandung Choky sambil tangannya melanjutkan kembali kegiatan mengolesi mentega, lalu menaburinya dengan coklat dan mengambil roti yang lain.

“Abang tidak tahu, dek. Tapi pasti shock berat kalau sampai ia tahu jika suaminya di penjara.”

“Kasihan. Padahal aku sudah minta sama pak Bambang untuk tidak perlu menangkap Tumpal, loh bang.” Kayla mulai gelisah. Ia tiba-tiba merasa sangat bersalah. Perasaannya seolah-olah menuduh bahwa dirinyalah penyebab masalah ini.

“Yah sudahlah, dek. Tidak usah kamu pikirkan. Habis mau bagaimana lagi?” Ringgo merasakan kegelisahan Kayla dari desahan nafasnya.

Hening sesaat.

“So, what about Tigor?” Kayla mengalihkan pembicaraan.

“He’s still escape. It looks like someone covering him.” Intonasi suara Ringgo tiba-tiba meninggi begitu mendengar kata “Tigor”. Rasanya ingin sekali dirinya sendiri yang meringkus komplotan penjahat brengsek yang sudah melukai kakinya itu.

“Mungkin juga…” Belum selesai Kayla bicara, Choky memanggil Kayla, “Mama…” Choky menyapa ramah. 

“Just a minute, honey...” Kayla menghentikan sebentar percakapannya dengan Ringgo, meletakkan headset-nya di meja, lalu menjawab sapaan anak angkatnya, “Halo sayang! Wah, gantengnya anak mama. Rapi kali hari ini!”

“Iya. Mama lupa ya. Kita kan mau jalan-jalan.” Choky duduk di sebelah Kayla.

“Hohoho…! Mama nggak lupa kok. Mama kan siapkan roti kamu dulu. Ini dia roti kamu…” Kayla mengambil roti yang sudah diolesi dengan coklat dan mentega lalu meletakkannya di atas piring yang sudah disiapkan. Ia berdiri kemudian meletakkan piring tersebut dihadapan Choky.

Seperti sudah terlatih, Choky mengambil garpu dan pisau roti yang sudah tersedia disamping piringnya dan bersiap-siap hendak memotong roti  kesukaannya.

“Sebentar ya sayang, Mama ada telepon dari Om Ringgo...,” Kayla mengambil lagi head set handphonenya lalu menempelkannya kembali ke telinganya, sementara tangannya kembali sibuk mengolesi roti dengan mentega.

“Sorry bang. Itu tadi Choky.” Kayla melanjutkan percakapannya yang sempat terpotong.

“Ya ngggak apa-apa.” Ringgo mahfum.

“So sampai dimana kita tadi bang? Tentang Tigor ya?” Kayla menerka.

“Yaa... Sayangnya dia masih lolos. Mudah-mudahan bisa segera tertangkap.” Ringgo menjawab dengan malas.

“Mudah-mudahan ya, bang.” Kayla memotong-motong roti coklat kemudian memakannya.

“O iya, bagaimana keadaan Choky, baik-baik saja kan?” Ringgo mengganti obyek pembicaraan. Ia masih berada di tempat tidur bermalas-malasan.

“Mmmm… Ia lagi bahagia sekarang, semalaman ia pakai sepatu baru yang kuhadiahkan kemarin..” Kayla menjawab berbisik sambil mengunyah makanan.

“Mama lupa ya, kalau makan tidak boleh bicara.” Tiba-tiba Choky nyelutuk sambil tangannya memotong-motong roti lalu dengan tenang memakannya.

Kayla kaget. “See, Dia protes. Like he knew we‘re talking about him.” 

“What did he say?”

“Kalau makan tidak boleh bicara…” Kayla masih berbisik sambil memegang smartphone yang kini menempel di bibirnya.

“HAHAHAHA…!!!” Ringgo tertawa keras.

”Benar juga. Kan kamu yang ajarin.Ya, ya, ya. Baiklah kalau begitu, nanti abang telepon kamu lagi. See you next. Bye, honey!” Ringgo pun menyudahi pembicaraannya.

“Bye.”

Klik!. 

 

Kayla menatap Choky sambil tersenyum, sementara Choky masih asyik menikmati rotinya. Ia bangga dengan Choky, semakin hari Choky semakin bertambah cerdas. Namun seiring dengan itu, Kayla juga merasa khawatir. Ya, khawatir akan masa depan Choky. Bagaimana jika Choky besar nanti?. Bagaimana jika ia tidak dapat terus menjaga Choky? Bagaimana jika…? Aakh, sudahlah, Kayla menepisnya. Ia pun menghabiskan sarapannya, dan bersiap-siap bersama Choky pergi jalan-jalan.

***

 

Pada suatu malam di sebuah pub …

Hingar bingar musik diskotik membahana di salah satu pub malam terkenal di pusat kota Medan. Saat itu Disc Jockey sedang memutar lagu terkenal yang popular dibawakan Major Lazer feat. DJ Snake - Lean On. Gemerlap lampu disko yang temaram menambah eksotik suasana. Semakin malam, para pengunjung yang haus hiburan malam semakin banyak berdatangan. Ruangan pun mulai terasa pengap. Terlihat pengunjung yang duduk sambil ngobrol dengan teman atau pasangannya, ada juga yang meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti dentuman musik yang menghentak. Cukup membangkitkan adrenalin orang yang mendengar.

Di salah satu sudut, dua orang pria sedang terlibat percakapan serius.

“Kali ini usaha kita tidak boleh gagal. Kau dengar kan, Her??” Seorang pria gendut bermata sipit dan berkaca mata berbicara serius. Suaranya melengking berusaha mengalahkan hentakan musik yang sudah lebih dulu membahana. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Tenang, kawan! Pastilah rencana kita tidak boleh gagal. Kalau tidak, bisa “mati” kita…” Seorang pria lainnya menjawab tak kalah lantang namun terlihat santai. Bertubuh kurus dan berkumis tipis, serta terlihat kerutan-kerutan di wajahnya menandakan pria ini sudah berumur. Ia mengambil sebotol bir hitam yang sebelumnya telah dipesan, menuangkannya ke dalam gelas, lalu meneguknya. Saat ini mereka sedang duduk di salah satu sofa di sudut ruangan paling pojok.

“Kapan rencana Boss dijalankan?” pria berkaca mata ini kembali bertanya sambil matanya tak berhenti melihat-lihat para pengunjung yang lalu lalang di depan wajah mereka.

“Mungkin beberapa hari lagi. Kita tunggu sampai “tenang” dulu, baru kita “mainkan”, begitu kata Boss!” jawab pria yang dipanggil “Her” ini santai sambil meneguk kembali minumannya.

“Aahh, kemarin juga bilang begitu, nyatanya shit!!” Pria berkaca mata ini mulai mengumpat. “Lu tau kan, sekarang si brewok masih diincar polisi. Belum lagi si pembuat masalah ikut tertangkap juga. Pening jadinya!” Ia menggerutu. Her terdiam.

“Kalau sampai gagal lagi, gue nggak tahu lagi lah…” Pria ini masih merepet kesal. Tiba-tiba matanya tertuju ke salah seorang pengunjung wanita bertubuh sexy dengan balutan kaos T-shirt ketat warna putih tanpa lengan yang sedang meliukkan tubuhnya sambil menari-nari mendekap pasangannya mengikuti irama lagu yang menggema. Jantungnya mulai berdegup kencang.

“Kali ini nggak mungkin gagal lagi, Rud. Semua sudah dipersiapkan. Polisi, pengadilan, bereess!! Mereka bersedia tutup mulut!” Her berteriak keras. Wajahnya tersenyum lebar menandakan keyakinan yang tinggi, berharap temannya puas dengan jawabannya.

“Sudah dikirim uangnya?” Si pria yang ternyata dipanggil Rud ini berusaha meyakinkan kawannya sambil matanya tak lepas dari pandangan si wanita sexy bersama pasangannya yang mulai menari “hot”.

Her memandang Rud yang matanya tak bergeser sedikitpun memandang yang lain selain si wanita sexy berbaju putih itu. Ia pun ikut-ikutan terpana melihat “goyangan panas” itu. “Sudah…” jawabnya mendesah sambil menelan ludah.

Tak lama berselang dua orang wanita cantik dan sexy tanpa sungkan datang menghampiri dan membuyarkan konsentrasi mereka yang sedang menikmati tontonan gratis itu. Dengan manjanya mereka bergelayutan di masing-masing lengan dua pria ini yang langsung menyambut mereka dengan senyuman yang sumringah.

“Mas Herman kemana aja sih, kok nggak pernah kemari lagi? Sudah lupa ya?” salah satu dari mereka yang bertubuh paling tinggi menegur Her atau Herman sambil membelai wajah Herman dengan lembut dan menggoda.

“Halo Sussi sayang… Akh, nggak, nggak lupa kok. Cuma lagi sibuk aja nih…” Dengan senyuman mesum Herman membalas sentuhan si wanita jangkung yang bernama Sussi ini dengan langsung memegang pinggang Sussi dengan dua tangannya, lalu sedetik kemudian meremas pantat Sussi mesra dengan tangan kanannya. Sussi membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu, ia justru tertawa nakal. “Aaahhh, bisaa aja…”

Sementara itu Rud tidak banyak bicara. Ia hanya tersenyum kecil saat ditegur oleh teman Sussi yang juga langsung datang menghampiri dirinya dan bergelayut manja di tangannya yang gemuk karena lemak itu.

“Hai Ako Rudi, kok suntuk sih mukanya? Lagi pusing ya? Nggak mikirin aku kan? Hihihihihi….” Teman Sussi yang bernama Mince ini tak kalah hotnya mengganggu Rud atau Rudi. Mince mengambil rokok yang dipegang Rudi, menghisapnya, lalu membuangnya ke dalam asbak. Ia mengusap-usapkan tangan kanannya ke dada Rudi dengan lembut. Rudi diam saja. Ia hanya tersenyum menatap Mince dengan tajam.

“Ya sudah, kalau lagi suntuk, Mince bisa kok bikin Ako bergairah lagi. Mau kan?” Mince mencoba merayu Rudi. Tangannya masih mengusap-usap dada Rudi kemudian mengetuk-ketukkan jemarinya yang halus mulus ke dada Rudi dengan genit.

“Tapi sebentar lagi ya. Wa masih ada urusan dulu nih…” Rudi merespon dengan berbisik di telinga Mince mesra. Mince mengangguk.

Rudi menengok ke arah kawannya Herman yang mulai menunjukkan nafsu birahinya yang sudah meletup-letup.

“Her, ingat ya, bilang sama anak buah lu, lakukan dengan smooth, jangan terburu-buru. Jika belum memungkinkan, jangan dulu. Itu juga pesan Boss!!” Rudi berusaha memastikan. Ia menepuk pundak Herman yang membelakangi dirinya.

“Siiipp!!!. Beresss!!!” Herman menjawab tanpa berniat sedikitpun membalikkan wajahnya ke arah Rudi.

Tanpa sepengetahuan Herman, Rudi pun beringsut meninggalkan kawannya berdua dengan Sussi, sementara ia sendiri bersama Mince melanjutkan malam indah mereka hanya berdua di hotel langganan mereka…

 

BERSAMBUNG

 

 

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel