Aku melihat senyum yang tak biasanya dari Anggi. Hari ini senyumnya tampak kurang, seperti dipaksakan. Tak biasanya Anggi seperti itu. Setahuku dia selalu tersenyum lepas setiap bersamaku. Senyum yang tak pernah dibuat-buat. Hari ini dia menikah, memakai gaun berwarna putih yang membuatnya tampak anggun. Dia menikah dengan kakak kandungku, Anggi tidak bisa menolak perjodohan dari orangtuanya, Anggi perempuan alim, sangat penurut, menolak bukan cara hidupnya, apalagi menolak keinginan orangtuanya. Saat itu aku mulai membenci kakakku.
Anggi tidak mencintainya, dia hanya mencintaiku dalam hidupnya. Anggi berjanji dalam hidupnya hanya aku yang dia inginkan untuk menjadi pasangan hidupnya, selamanya. Sebelum pernikahan ini berlangsung, Anggi berjanji untuk selalu menyempatkan diri datang ke apartemenku seminggu sekali tiap akhir pekan. Melakukan hal yang biasa kami lakukan. Menyetubuhi masing-masing, mencium aroma tubuh Anggi adalah hobiku. Bagai opium yang membuat ketagihan.
Aku datang sendirian di pernikahan Anggi, tak ada satu orang-pun yang pantas mendampingiku selain Anggi. Gadisku, yang kini malang. Menikahi seorang pria yang belum paham soal dirinya. Makanan kesukaannya, penulis favoritnya, hingga bintang film porno yang selalu aku tonton bersama Anggi di apartemenku. Makanan dan minuman di tempat ini jadi hambar, mungkin karena aku sambil melihat Anggi dan pria brengsek itu menerima jabat tangan dari para tamu. Sesekali Anggi menatapku lalu tersenyum juga mengedipkan mata. Senyum dan kedipan mata khas setiap kami bertemu.
Kamar mandi adalah tempat favorit kami, aku suka melihat Anggi sempoyongan meladeni permainanku. Desahannya ketika aku mulai menciumnya dari leher hingga dadanya adalah musik yang paling aku suka. Musik yang lebih indah dari musik Karya Mozart ataupun Bethoven. Aku suka mencium lehernya. Anggi lebih suka ketika kami saling berpagut lidah. Dia sering menggigit lidahku dengan ganas hingga pernah lidahku berdarah dibuatnya.
Gedung pernikahanya tampak mulai ramai. Dihiasi desain yang mayoritas berwarna biru langit dan putih, warna kesukaan kakakku. Pria brengsek yang beruntung menikahi Anggi. Dia tidak pernah tahu hubunganku dengan Anggi sepeti apa. Dia tak mengerti hubunganku dengan Anggi, karena hubunganku dengan Anggi bagaikan tembok besar yang tertutup. Tak ada yang tahu, kami merahasiakannya dengan sangat rapi. Dunia seutuhnya milik kita berdua.
Aku masih menikmati Sirup rasa jambu yang disediakan di meja bundar. Menatap antrian panjang untuk berjabat tangan. Mayoritas adalah teman-teman kakakku dari klub moge. Mereka orang-orang yang tak tahu tempat dan style. Mereka memakai celana dan jaket kulit hitam dengan rambut gondrong yang terurai dalam pernikahan mewah dengan dresscode putih. Sungguh Aneh. Aku menunggu gerombolan klub moge itu pergi sebelum aku mengampiri Anggi untuk memberinya selamat, atau lebih tepatnya turut berduka. Hiburan musik saxophone yang membentuk alunan musik Hello Dolly! Dari Louis Armstrong menambah kesan iba di raut wajah Anggi, juga denganku. Aku ogah-ogahan karena aku harus basa-basi ketika bersalman dengan kakakku. Hal yang paling tak aku sukai. Basa-basi.
Orang dari klub moge mulai habis berjabat tangan, mereka menyerbu makanan-makanan yang disediakan. Kakiku bergerak menuju panggung pernikahan, tempat Anggi berdiri sejak satu jam yang lalu. Anggi terus menatapku sejak aku meninggalkan meja bundar, tempat sirup jambu dihidangkan. Tatapannya manis seperti biasanya, trenyuh aku dibuatnya. Kakakku juga tersenyum menyapaku ketika aku hampir sampai di tempatnya berdiri. Dia menanyai kabarku, basa-basi yang tak menarik. Bukan ini yang aku inginkan. Anggi tertawa kecil melihat tingkahku yang kaku. Aku sampai di depan Anggi, kakakku menyambut kawan lamanya yang mengantri dibelakangku. Anggi tersenyum, menatapku, belum juga melepaskan tangannya dari tanganku.
“Kenapa?†Tanyaku tersenyum.
“Aku merindukanmu sayang, hari ini kamu tampak lebih cantik dengan gaun iniâ€. Anggi mencium pipiku, lalu berbisik, “Kamar mandi ada di dekat pintu keluar, tunggu aku disanaâ€.
Â
Â
Â