Cerpen: Senja Pertama

14 Apr 2016 10:35 3219 Hits 1 Comments
Senja Pertama
Air laut di Pantai Selatan mulai surut, karang-karang yang diselimuti lumut mulai menguning diterpa matahari sore, senja di Pantai Selatan adalah senja terbaik untuk semua pasangan kekasih yang serius menjalin kasih ataupun yang hanya bermain-main dengan alasan untuk semangat belajar. Pantai Selatan masih ramai hingga senja terakhir tutup usia, mereka yang bermain-main saling berciuman, lainnya menatap risih melihat mereka yang berciuman di muka umum. Diantara pasangan yang duduk di pasir pantai selatan ada seorang perempuan yang duduk di atas sebongkah batu, menatap senja yang telah berakhir. Tetapi cahaya di garis pantai masih belum sepenuhnya gelap, menguning—oranye gelap yang semakin lama mulai pudar lalu hilang. Ditangannya tergenggam setangkai bunga yang layu, seperti menggambarkan perasaannya saat itu.
------
Di satu kedai kopi, seorang barista masih meneriakkan nama-nama pemesan kopi. Satu per satu mengambil pesannanya. Seorang pria yang duduk paling dekat dengan meja kasir memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Di memegang sebuah pensil yang tak lagi panjang, ukurannya pas menyentuh lengkuk jemari antar telunjuk dan ibunya. Menggambarkan suasana kedai kopi yang semakin senja semakin ramai. Pria itu tak suka suasana ramai. Gambaran pensilnya mulai berantakan, garis-garis tak beraturan tergambar jelas—tebal diatas gambaran yang tadinya rapih dan jelas. “Kedai yang dipenuhi orang-orang sakit” dituliskannya judul itu di bagian atas kertas gambar. Lalu di pindah jauh dari meja kasir. Duduk di depan lukisan yang menggambarkan sejarah pemilik kedai kopi itu. Matanya menatap serius, lalu berhenti pada satu titik. Titik dimana kopi tumpah di tanah-tanah kering. Pria itu mengernyitkan dahi, bertanya pada diri sendiri “Apa yang sedang aku lihat, lukisan ini berantakan sekali” lalu pria itu pindah tempat duduk, lagi.
------
Si perempuan kutu buku masih betah duduk di bangku perpustakaan kota yang berdecit. Bangku kayu yang warnanya mulai memudar. Bangku kayu tanpa sandaran. Aneh, tak biasanya perpustakaan mempunyai kursi yang tak punya sandaran. Si perempuan kutu buku tak memperdulikannya. Dia datang ke perpustakaan kota untuk membaca buku bukan untuk mengurusi kursi kayu yang tak punya sandaran. Sudah hampir tiga jam perempuan kutu buku itu membaca novel Han d’islande karya Victor Hugo. Ada stabillo warna kuning di dekatnya. Hal yang membuatnya lama menyelesaikan novel itu. Menggaris kata dengan stabillo. Kata apapun yang membuatnya enggan meneruskan membaca sebelum menandainya dengan stabillo kuning. Si kutu buku lupa, itu bukan bukunya. Senja hampir datang, dua jam lagi perpustakaan kota menutup diri. Hujan turun sangat deras. Si kutu buku sedikit terganggu, suara hujan yang jatuh keras di atap perpustakaan menimbulkan suara tak beraturan. Senja tak janji untuk datang—hujan telah mendahuluinya.
------
Di sudut kota seorang lelaki dengan gitar lamanya menyanyikan lagu untuk menghibur orang-orang yang lelah pulang kerja. “Senja tak akan datang lagi, hujan kini telah turun, aku menunggumu di sudut kota. Bertanya apa kau mencintaiku” nyanyiannya membuat beberapa orang memberikannya uang receh pada tas gitar yang sengaja dia siapkan untuk mewadahi uang. Intro lagu itu sangat lama, orang-orang bergerombol melihat permainan gitarnya. Kaki yang menghentak halus ke tanah membuat topi koboinya bergetar. Intro telah selesai dia mengulangi lirik yang tadi dia nyanyikan. “Senja tak akan datang lagi, hujan kini telah turun, aku menunggumu di sudut kota. Bertanya apa kau mencintaiku” berulang-ulang hingga orang-orang bubar dengan senyum yang mengambang. Antara senang dan merasa aneh dengan lelaki yang hanya punya empat kalimat dalam lagunya. Lelaki itu selesai bernyanyi. Mengucapkan terimaksih dengan sedikit berpidato karena orang-orang telah bersedia mendengarkan dia bernyanyi, tak ada satu orang pun disekitarnya, dia mengucapkan terimakasih sekali lagi, mengemasi gitarnya lalu pergi tepat ketika hujan mulai turun. “Senja tak datang lagi” gumamnya dalam hati.
------
Kebosanan itu mengerikan, banyak pasangan suami-istri yang cerai hanya karena bosan, bosan lama menikah tapi tak kunjung mendapatkan anak, bosan karena setiap kali bercinta tak ada gaya baru yang dipraktekan. Banyak sepasang kekasih berpisah karena bosan, bosan dengan tingkah kekanak-kanakan, bosan karena tak kunjung dapat kepastian hubungan, bosan karena si pria tak kunjung melamar, bosan karena setelah sekian lama pacaran si pria tak kunjung mendapatkan ciuman dan pelukan dari kekasihnya.
 
Setelah mereka berpisah, mereka menghadapi satu keadaan yang lebih mengerikan dari kebosanan, namanya kesendirian. Penderitaan manusia yang paling pedih. Hati manusia memang lebih rumit dari rasi bintang yang ada di alam semesta. Hati manusia dalah Rigel, bintang paling terang dalam gugusan rasi orion. Rigel selalu menampakkan dirinya dengan terang benderang—sama dengan Hati. Sangat jelas sebagai suatu tempat, dimana para manusia merasa. Meskipun sebenarnya manusia hanya akan merasakan bahwa hati itu ada, ketika mereka merasa kepedihan yang mendalam.
 
Seperti venus yang dianggap planet, padahal sebenarnya dia adalah bintang karena sinarnya yang paling terang diantara planet-planet dalam tata surya. Hati sering dianggap pengacau suatu hubungan, karena dari sanalah semua perasaan muncul. Kepedihan, kebosanan, amarah, kegembiraan. Perempuan dengan bunga digenggamannya melewati senja pertamanya dengan mulus, tidak dengan hatinya yang murung, sakit merasakan kepedihan yang mendalam. Perempuan kutu buku dan pria di kedai kopi tak memperdulikan senja pertamanya hari itu. Mereka sibuk dengan kesenangannya masing-masing, padahal ada hal yang lebih indah, yang sudah mereka lewatkan. Si lelaki dengan gitarnya tak pernah mendapatkan senja pertamanya, dia sedih—menciptakan lagu penolak senja.
 
Aku bertanya pada perempuan yang menggenggam bunga layu ditangannya.
”Kenapa kamu murung sedangkan kamu sudah melihat senja yang menyombongkan keindahannya”
 
“Aku tidak butuh senja, aku benci senja. Senja membuatku berpisah dengannya, aku butuh hujan. Hujan yang dapat memekarkan bunga ini, Dia berjanji untuk kembali padaku jika bunga ini tetap mekar dengan indah. Bukan layu”.
 
“Lalu, kenapa kamu masih di sini? Pantai adalah tempat dimana kamu dapat dengan mudah menemukan senja”.
 
“Aku menunggu air laut surut dan mengembalikan dia untukku. Aku menunggunya”.
 
Aku tahu satu hal yang tidak bisa dilakukan senja untuk perempuan itu. Mengembalikan kekasihnya yang pergi karena laut. Laut kejam. Tapi, senja tidak.
------
Aku bertanya pada pria di kedai kopi itu. “Ada apa dengan lukisanmu? Berantakan sekali”.
 
“Aku membenci suasana ramai. Lukisanku selalu jadi berantakan ketika suasana berubah jadi ramai”.
 
“Tapi, bukankah dunia ini selalu ramai? Disesaki orang-orang dengan kepentingannya masing-masing? Kuburan saja ramai dengan para peziarah?”.
 
“Aku ingin sendiri, keramaian merenggut dia dariku”.
 
“Aku tahu tempat dimana kamu bisa sendiri dan menemukan apa yang kamu cari”.
 
“Dimana?”.
 
“Di Laut, lalu singgahlah sejenak pada sebuah pantai dengan perempuan yang menggenggam bunga dan duduk di sebongkah batu”.
 
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”.
 
“Lukislah senja dengan perempuan yang sedang menggenggam bunganya sebagai tokoh dalam lukisanmu. Kamu harus mencari senja pertamamu untuk menemukan yang kamu cari”.
 
Kini aku tahu satu hal, kesendirian tidak menenangkan jiwa manusia. Kesendirian justru membuat kepedihan yang mendalam dan kepedihan adalah penyakit yang merusak hati. Harusnya tidak ada satu manusia pun yang menginginkan kesendirian. Karena, pasti ada yang mengharapkanmu di tempat lain. Jangan biarkan hatimu rusak karena egomu. Kesendirian bukanlah jawaban atas semua pertanyaanmu.
------
Aku bertanya pada perempuan si kutu buku. “Kenapa kamu masih membaca, sedangkan kamu terganggu oleh suara hujan?”
.
“Aku suka hujan, meskipun aku terganggu olehnya ketika aku membaca buku”.
 
“Tidakkah kamu menyukai senja?”.
 
“Aku lelah menunggu senja. Senja selalu membohongiku. Dia selalu berganti hujan yang deras dengan badai yang sesekali diajaknya”.
 
“Aku tahu tempat dimana kamu bisa menemukan Senja pertamamu dengan mudah”.
 
“Dimana?”.
 
“Di sudut kota, kamu akan menemukan senja dengan mudah ketika kamu bertemu seorang pria yang menyanyikan lagu tentang senja”.
 
“Lalu, apa yang harus aku lakukan disana?”.
 
“Kamu cukup berdiri di depannya, memberikannya uang receh lalu ikutlah bernyanyi, bersamanya. Senja pertamamu akan mendekatimu”.
 
Aku tidak belajar apa-apa dari perempuan si kutu buku. Tak ada yang kurang dari perempuan yang kutu buku. Aku hanya mengajarinya satu hal. Tidak perlu menunggu—menunggu adalah situasi paling ambigu. Kamu hanya akan dikecewakan olehnya. Jadi, mulailah mencari Senja pertamamu.
------
Lalu aku bertanya pada lelaki yang membawa gitar. “Mau kemana kamu?”.
 
“Pulang, aku tak pernah menemukan senja pertamaku disana”.
 
“Aku bisa membantumu, untuk menemukan senja pertamamu”.
 
“Dengan cara apa?”.
 
“Kembalilah, ke tempatmu tadi. Di sudut kota”.
 
“Lalu, apa yang harus aku lakukan”.
 
“Nyanyikan lagu senjamu lagi. Tersenyumlah ketika seorang perempuan mengikutimu bernyanyi. Dekati dia, bernyanyilah bersamanya”.
 
Aku megetahui satu hal dari lelaki dengan gitar itu. Tidak perlu menunggu lama untuk menemukan senja pertama, hanya butuh untuk bersabar lebih lama lagi. Hanya orang-orang yang mampu bersabar yang dapat menemukan Senja pertamanya dengan mudah.
 
Tapi ada satu orang yang belum aku tanyai. Seseorang yang selalu terlambat menemui senja, seseorang yang selalu datang saat gelap sudah tidak lagi mengintip. Seseorang yang menganggap hujan adalah penghapus senja. Seseorang yang mempertemukan lelaki bergitar dengan perempuan kutu buku. Seseorang yang mempertemukan lelaki di kedai kopi itu dengan perempuan yang menggenggam bunganya. Aku bertanya. Sudahkah aku menemukan Senja pertamaku?
 
 
 
Tags

About The Author

Zahid Paningrome 37
Ordinary

Zahid Paningrome

Creative Writer
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel