Di sini artikelnya saya buat menjadi 2 bagian supaya tidak terlalu panjang.
1. Saya ditolak oleh RS saat masuk lewat UGD
Ini adalah permasalahan yang paling sering terjadi dan laksana mimpi buruk bagi para peserta JKN. Apalagi kalau ketahuan wartawan sudah pasti keesokan harinya akan muncul headline gede-gede di surat kabar atau TV bahwa RS ini atau itu telah menolak pasien JKN + bumbu-bumbunya yang membuat beritanya terasa makin "sedap". Apakah saya pernah ditolak RS saat masuk lewat UGD? Tentu saja pernah tetapi saya merasakan pengalaman itu tidak seburuk yang saya kira. Seperti yang pernah saya tulis pada artikel sebelumnya jika saat mengantar anak saya ke sebuah UGD RSUD oleh dokter jaganya dikatakan jika penyakit anak saya tidak masuk kriteria gawat darurat sehingga tidak perlu dirawat inap. Anak saya tetap diperiksa dan diberi resep (menebus dengan uang sendiri) kemudian disarankan untuk datang kembali keesokan harinya ke poli anak pada jam kerja (rawat jalan). Jadi buat para peserta JKN yang telah ditolak oleh RS lewat UGD saya yakin pasti akan dikasih solusi. Tidak mungkin dokter jaganya akan menelantarkan begitu saja orang sakit. Paling tidak pasti dikasih resep untuk dibeli sendiri.
untuk kriteria gawat darurat sudah ada aturan tersendiri dari pihak BPJS misal untuk demam baru bisa dikategorikan gawat darurat jika suhunya melebihi 40C. Masalahnya terkadang saat di rumah diukur suhunya di atas 40C tetapi begitu sampai di UGD justru turun di bawah 40C. Bagi pasien terkadang memang sulit menentukan apakah penyakitnya termasuk gawat atau tidak karena hanya dokter yang memiliki otoritas penuh untuk menentukannya.
OK mungkin ada yang masih ngotot tetap pengen dirawat inap. Jangan kuatir, langit masih belum runtuh. Jika demikian anda bisa cari RS lain. Siapa tahu beruntung? Seperti pengalaman saya sendiri ketika anak saya ditolak di RS A saya kemudian coba masuk ke RS B dan ternyata di RS B bisa dirawat inap. Terkadang setiap dokter memiliki standar yang berbeda dalam memeriksa pasiennya. Tidak ada salahnya mencoba? Siapa tahu kan?
2. Surat rujukan saya ditolak oleh RS
Kemungkinan terbesar adalah penyakit si pasien masih masuk dalam 144 penyakit yang harus tuntas di faskes I. lho kalau harus tuntas di faskes I mengapa bisa sampai keluar surat rujukan ke RS? Banyak penyebabnya. Pertama bisa saja si pasien memaksa dokter untuk membuatkan surat rujukan. Dokter tetap akan memberikan surat rujukan tetapi dengan embel-embel APS (atas permintaan sendiri) yang otomatis tidak akan dijamin oleh BPJS. Saya pernah membaca ada dokter Puskesmas yang dipaksa oleh seorang pasien memberikan surat rujukan padahal penyakitnya hanyalah scabies. Kedua bisa saja karena power si pasien. Pernah suatu pagi saat saya antri di Puskesmas ada seorang berseragam tentara memaksa dokter membuatkan surat rujukan. Perawat di samping dokter kelihatan kesal sekali dengan ulah si pasien itu sehingga dia dengan setengah berteriak kepada dokternya kasih aja dok suratnya ntar diterima atau enggak itu urusan RS!
Kasus lain mungkin ada salah format penulisan dalam surat rujukan seperti yang pernah saya alami (sudah saya tulis dalam artikel sebelumnya). Kalau ini terjadi mutlak karena kesalahan dari pihak faskes 1-nya. Kesalahan format penulisan meski sepele bisa membuat gagalnya klaim RS ke BPJS. Solusi terbaik masalah ini hanyalah kita kembali ke faskes I untuk memperbaikinya. Akan tetapi untuk saat ini surat rujukan sudah dikeluarkan secara online sehingga resiko kesalahan format penulisan kecil terjadi.
Kemungkinan lain dokter spesialis di RS tersebut tidak mau menerima pasien BPJS. Jadi meski sebuah RS menyatakan bekerja sama dengan BPJS namun tidak semua dokter di dalamnya bersedia menerima pasien JKN (biasanya RS swasta). Contoh di RS BS di tempat saya memiliki 3 dokter kandungan tetapi hanya 1 dokter yang mau menerima pasien JKN. Jadwal praktek dokter yang mau menerima pasien JKN hanya Sabtu pagi (untuk rawat jalan) sehingga kalau ada pasien JKN yang bawa surat rujukan di hari selain Sabtu maka sudah pasti akan ditolak. Oleh sebab itu ada baiknya telepon dulu untuk memastikan jadwal dokternya.
3. Saya memiliki penyakit yang termasuk dalam 144 penyakit yang harus tuntas di faskes I tetapi bolak balik berobat mengapa tidak sembuh-sembuh? Mengapa dokternya tidak merujuk saja ke RS atau dokter spesialis?
Bagaimana pun dokter selalu ingin memberikan yang terbaik untuk pasiennya sehingga tidak perlu bolak balik ke faskes I tetapi dokter juga harus bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku. Tidak bisa dokter main rujuk kalau penyakit pasien masih kategori dalam 144 penyakit itu. kalaupun dirujuk juga nanti akan ditolak oleh RS. Serba salah memang. Apalagi ada aturan (kalau tidak salah) pembatasan jumlah pasien yang dirujuk maksimal 10% dari total jumlah pasien/hari. Saya sendiri juga pernah mengalaminya. Penyakit yang paling sering menyerang saya adalah tukak lambung. Akhir tahun kemarin saya sampai bolak-balik 3x ke Puskesmas namun penyakit seperti tidak berkurang. Tukak lambung sebenarnya mudah disembuhkan tetapi banyak faktor juga yang membuatnya jadi sering kambuh atau sukar disembuhkan. Pada kasus saya dokter sempat mengatakan ada kemungkinan stress sehingga produksi asam lambung tak terkendali. Dokter bertanya apakah saya sering terbangun dini hari dan kemudian susah tidur kembali. Saya jawab kadang-kadang memang demikian. Saya sendiri tidak tahu apakah itu stress atau bukan. Penyakit bisa muncul tak jarang disebabkan oleh kondisi kejiwaan. Oleh dokter saya diberi Valium supaya mudah tidur. Sampai akhirnya karena tidak betah saya berinisiatif langsung ke RS pemerontah periksa rawat jalan menggunakan umum. Oleh dokter interna saya diberi resep yang kemudian harus saya tebus sendiri. Mungkin ada yang bertanya periksa rawat jalan pakai umum kan mahal? Saya ke RS pemerintah dimana tarif periksa pasien rawat jalan umum hanya Rp 13 ribu. Murah sekali kan? Coba bayangkan kalau saya periksa ke dokter spesialis praktek pribadi minimal Rp 100 ribu belum termasuk obatnya. Memang tidak bisa konsul lama-lama karena pasiennya banyak sekali tetapi bagi saya itu bukan soal. Yang terpenting dokter sudah bekerja dengan baik meskipun secepat kilat dan bagi saya itu sudah cukup. Yang penting saya bisa sembuh. Soal obat saya siasati dengan menggunakan obat generik yang paling murah. Caranya sesudah mendapatkan resep saya datangi apotik sambil diskusi kira-kira ada atau tidak versi generiknya yang termurah. Kalau tidak ada versi generiknya saya tebus hanya ½ atau sesuai dengan kemampuan kantong saya kecuali antibiotik memang harus ditebus semuanya. Dengan demikian saya bisa berhemat banyak sekali. Dulu kalau ke dokter spesialis selalu menghabiskan obat ratusan ribu rupiah tiap kali tebus obat tetapi sekarang hanya puluhan ribu sudah cukup.
4. Obat-obatan dalam Fornas (Formularium Nasional) adalah obat-obat yang tidak manjur
Sebagian besar obat dalam Fornas memang obat generik dan sudah lama banyak orang memiliki keyakinan bahwa obat generik = jelek. Maklum harganya yang sangat murah membuat orang lantas berpikir bahwa murah itu jelek. Kalau saya sih tidak terlalu mafhum dengan obat-obat branded. Saya pernah buktikan sendiri saat batuk minum Ambroxol yang merupakan obat generik harganya hanya Rp 1500/lembar bisa sembuh tuh. Lain waktu saat batuk saya coba cari Ambroxol lagi apotek pas kebetulan lagi kosong. Oleh petugasnya disarankan beli Epe*ol. Harganya Rp 10 ribu atau lebih 6x dari Ambroxol. Bahan aktifnya padahal juga Ambroxol. Saya minum hingga habis juga tetap tidak sembuh.
Banyak orang berpikiran bahwa obat adalah satu-satunya jalan menuju kesembuhan dan jadilah orang terlalu bergantung dengan obat. Padahal banyak faktor yang menentukan sembuh tidaknya seseorang selain obat misal jenis-jenis makanan yang memicu timbulnya penyakit. Contoh ada tetangga saya penderita hipertensi kronis sudah rutin mengkonsumsi obat hipertensi tetapi masih juga sering kumat penyakitnya. Gimana enggak kumat kalau badan masih gemuk, merokok, makan makanan berlemak dan asin setiap hari, serta malas olahraga + stress melulu? Begitu juga cara mengkonsumsi obat perlu diperhatikan apakah sebaiknya sebelum atau sesudah makan, interaksi obat dengan makanan, interaksi antar obat, dan banyak lagi lainnya. Contoh obat-obatan golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) tidak boleh digerus karena akan mengurangi kemampuan khasiatnya.
Yang tak kalah pentingnya adalah keyakinan diri pasien untuk sembuh. Kalau keyakinan itu tidak ada maka mau dikasih obat model apapun juga tidak bakalan sembuh. Ada seorang teman saya yang berprofesi dokter pernah saat kuliah bertanya mengapa seorang pasien bisa sembuh ke dukun padahal sebelumnya sudah ke dokter tetapi tidak sembuh-sembuh? Profesornya menjelaskan ada kemungkinan rasa percaya pasien yang tinggi terhadap si dukun telah menimbulkan ledakan imunitas yang membuat penyakitnya sembuh.
Salah seorang kenalan saya (masih muda) sudah 1 tahun ini hanya bisa terbaring di ranjang setelah terkena serangan stroke. Padahal saat terserang stroke sudah langsung dibawa ke RS terbaik dan mendapatkan obat-obatan terbaik (umum) namun keinginan untuk sembuh kecil sehingga tidak kunjung sembuh sampai kini.