Menuhakan "Status"

10 Apr 2016 16:07 2886 Hits 1 Comments
Mencari prestasi melalui kontroversi demi menaikkan rating televisi

 

 Walau badai menghadang / Ingatlah ku kan selalu setia menjagamu / Berdua kita lewati jalan yang berliku tajam. Lirik lagu yang membuat nyes hati yang tengah panas pasca gebetan beralih status menjadi calon pengantin orang. Ba’da lebaran bakal kondangan tanpa gandengan. Kemungkina tersebut bisa jadi kenyataan kalau tidak cepat-cepat move on. Kalaupun terpaksa harus “pede” saya bakal datang membawa anak kecil dan keponakan yang sepantaran biar dikira bawa “gandengan”.

Kesekian kalinya, saya harus menjadi singa padang rumput yang mencari secuil filosofi diri sendiri. Langkah-langkah sudah berbekas hingga malaikat mencatat dengan detail kemana saya melangkah, untuk apa serta berdasarkan niat yang baik atau tidak. Itu semua sebuah setting kehidupan yang rupa-rupa untuk menertibkan diri dari laku yang amoral serta ketidakmampuan peka terhadap masalah-masalah yang ada.

Baru-baru ini saya di curhati sama kawan lama yang mengemas cinta dengan kebiasaan-kebiasaan islami. Entah, petir dari mana yang membuat gosong hatinya tiba-tiba perjalanan cintanya tersandung hamparan restu untuk mencoba ke pelaminan.  Perjuangan selama 5 tahun, sirna karena “restu” yang berbelit-belit hingga reaksi irasional ditampakkan oleh wanita yang selama setengah windu ia sayangi. Sungguh berbeda sekali dengan nasib naas saya, yang ditinggl gebetan nikah ba’da Ramadhan.

“Mengemas cinta dengan kebiasaan islami” membuat saya harus berulang kali memutar logika yang tidak pernah mudeng membaca karya Tan Malaka berjudul “MADILOG”. Sehingga kegoyahan dalam menganalisa suatu masalah dapat saja terjadi kalau logika si empunya sedang oleng. Hawa-hawa menjalin cinta dengan kebiasaan agamis memang nge-hits bingo. Mulai dari Sholat Berjama’ah, Muroja’ah bareng, ketemuan tanpa tatap muka, hingga menghindari bahaya free sex.  Itu semua dilakukan demi nama “cinta”. Josh gandos, kekayaan intelektual mana yang bisa menandingi “cinta”, kisah Ken Dedes with Ken Arok, Romeo dan Juliet, serta Laila dan Majnun. Apalagi kalau sudah menggunakan “pembalut”, apa tidak bertambah nge-hits dikalangan muda mudi sambil hastag #Cintayangislami.

Jikalau pacaran menjadi ikut andil dari keberadaan islami itu bagaimana ? Rasanya ada yang kurang pas dengan prinsip pribadi yang mencoba melawan hegemoni kaum pacaran dengan “embel-embel”. Coz itu cemua h’nya tux m’mbuat hati qt luluh ama dia” kalau kurang terdapat bahasa yang kurang gaul bisa direvisi atau laporkan kepada BUAYA (Badan Umum Bahasa Alay). Ini semua demi sebuah status bernama pacaran.

“Memposisikan” Status

Rasa bangga terhadap diri sendiri alias ujub. Memberi dampak terhadap para malaikat yang sedang ayem melihat dunia yang tentram, mengusik ketenangan dzikir untuk menuliskan satu dosa yang dibuat si ujub. Memang perlu di gembosi pangkat sekaligus kewenangan diri untuk memamerkan “saya paling ….”. Apalah daya, saya hanya mahasiswa yang status di hadapan Alloh tidak begitu taqwa serta kurang beramal shalih. Maklum kalau Alloh sebagai Tuhan, tidak ku jadikan “status” semata. S

Mencoba bangga menjadi jomblo, terusik oleh kaum positivistic. Kalau jodoh di tangan Tuhan, kejar dan raihlah. Kalau hanya tidur ngeleker, serta ngorok tak sesuai takaran bakal overdosis membuat teman-teman disebelah pindah kamar. Meskipun ini sebuah keniscayaan untuk membawa alam mimpi ke nyata, namun jomblo sebagai kenyataan susah untuk dihilangkan. Kalau saja anak kumpulan anak muda tongkrong di depan halaman Gubernuran, Semarang bernama AJI (Aliansi Jomblo Islami) bukan Aliansi Jurnalis Independen). Saya akan bergabung, demi “melabelkan” ke jombloan saya di hadapan gebetan dan mantan.

Terlebih, jalinan silaturahmi bernada asmara. Seolah tak lekang oleh godaan setan, halal di mata kita haram di mata Tuhan. Nada-nada indah berubah menjadi sendu, seketika ayat-ayat suci berubah menjadi kerangka kasur yang berbalut selimut hingga senggama yang katanya “saru” menjadi santapan sehari-hari  bocah kecil masa kini. Di lain hari, status pengharaman sholat berjama’ah “bareng pacar” menjadi makan siang yang mengernyitkan dahi, Alih-alih ibadah, malah kena batu.

Kini, globalisasi terus meng-angkara murka. Tatanan kaum-kaum agamis menjadi hedonis-non realistis. Mencari prestasi melalui kontroversi demi menaikkan rating televisi meski acara nya hanya talk show bukan mengaji. Kyai-kyai sepuh beserta pe-ngangsu kawruh ngangsu kawruh di seberang negeri, menjadi bahan ejekan karena tak pernah “menuhankan status”.

“label” “status” “cap” dan bla-bla. Menjadi kian buming di telinga, di mata, serta di pikiran. Lawatan kemanapun langkah ini, irisan kebencian terhadap yang berbeda menjadi hiburan bagi kita semua. Menertawakan status sebagai “yang paling ….. “ menjadi berpaling dari kenyataan demi mengejar ukhrawi menendang segenap penghalangnya.

Kalau semua seperti itu, lantas sebagai muslim yang kurang islami, masih pantaskah untuk menjadi “khalifah fil ard” dengan meneror wanita-wanita serta anak-anak yang ditinggal mati ayahnya ?. Haruskah jomblo islami serta pacaran islami benar-benar ada dan diadakan oleh yang berada ? Ini semua berkat sang kuasa yang memberikan anugerah alam se isinya untuk dimanfaatkan tanpa saling menyakiti dan “melabeli”. Alih-alih melabeli status, kita akan terjebak di ranjau yang paling dalam di kehidupan ini.

 

Salam

  

 

 

 

Tags Opini

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel