Pertama kali saya mengenal film Indonesia mungkin saat masih sekitar usia 7 tahun (era 80-an). Penyebabnya adalah om saya suka sekali menonton film tiap malam minggu di gedung bioskop. Itu memang cuma satu-satunya gedung bioskop di kota kami. Letaknya sangat strategis di perempatan kota. Semua orang tahu gedung bioskop itu. Tiap malam lepas maghrib selalu ramai dikunjungi oleh para pecinta film. Biasanya yang ditayangkan adalah film-film terbaru mulai dari film barat, mandarin, India, hingga film nasional. Nah suatu malam Minggu om mengajak saya bersama adik saya menonton film lepas di sana lepas isyak. Sebenarnya om bukannya menginginkan kami menonton film itu tetapi hanya sekedar ingin membelikan kami jajan dan minuman. Setelah antri membeli karcis di loket kemudian kami masuk ke lorong agak panjang. Harga karcis saat itu masih Rp 150. Di sana ada sebuah pintu dimana ada petugas yang menjaga. Setiap orang yang masuk wajib menunjukkan karcis. Setelah karcis dirobek kemudian kami masuk terus mencari tempat duduk. Di ujung tiap deretan tempat duduk ada ada huruf-huruf yang bertujuan agar penonton dapat mencari tempat duduknya sesuai dengan nomor karcisnya. Bangku-bangkunya masih terbuat dari papan kayu sementara posisi duduknya bertingkat. Jadi semakin ke belakang akan semakin tinggi. Di belakang ada sebuah jendela terbuka. Ruangan terang benderang oleh cahaya lampu-lampu neon. Begitu masuk langsung disambut oleh suara lagu-lagu. Di depan ada semacam panggung dengan bentangan layar besar putih. Tak lama kemudian semua lampu neon mendadak padam dan ruangan gelap gulita. Yang tersisa hanya lampu-lampu redup di dinding kanan dan kiri. Semua pintu masuk langsung ditutup. Dari jendela belakang keluar sorot lampu yang menerpa layar putih di depan yang kemudian diikuti oleh gambar bergerak dan suara aktor diiringi musik pengiring. Bagian pembukaa biasanya berisi trailer film-film yang akan tayang beberapa hari atau minggu ke depan. Kemudian baru tayang film yang ditunggu-tunggu. Kala itu film bioskop menjadi hiburan utama karena untuk menyaksikan film-film yang bagus hanya ada 2 jalan yaitu dengan menyewa kaset video Beta atau langsung menyaksikannya di bioskop tetapi biasanya orang lebih suka menonton di bioskop karena filmnya lebih baru sementara kalau menyewa kaset video kebanyakan berisi film-film lama. Jangan berpikir tentang VCD, DVD, atau streaming.
Saat itu film yang saya saksikan adalah film Setan Kredit yang dibintangi oleh Warkop DKI. Waktu itu saya tidak kenal siapa itu Warkop DKI. Yang masih membekas di ingatan saya hingga detik ini adalah adegan si aktor (Dono) bisa terbang dengan menggunakan payung. Saat itu saya sempat terheran-heran bagaimana bisa terbang seperti itu? Pada jaman itu saya kira bisa membuat visual effect seperti itu sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. Saya baru benar-benar mengenal siapa Warkop DKI sejak SMP karena film-filmnya sering ditayangkan di stasiun TV TPI siang hari. Sungguh sangat mengecewakan jika pulang sekolah mendapati filmnya sudah bubar. Oya waktu itu di bioskop ada tawaran menarik Happy Monday. Jadi buat anak-anak SMP dan SMA yang menonton film di bioskop khusus hari Senin sore diberi potongan harga khusus. Saudara sepupu saya hampir tiap Senin sepulang sekolah selalu menyempatkan diri buat menontonnya.
Film layar lebar kedua yang saya saksikan adalah Ari Hanggara (1985) di lapangan desa. Sebenarnya saya sungguh tidak tahu apa-apa tentang film ini sebelum menontonnya sendiri. Kebetulan di tiap-tiap sekolah dibagikan karcisnya dengan hanya membayar Rp 100. Malamnya saya sekeluarga berangkat menonton layar tancap Misbar itu. Disebut Misbar atau Gerimis Bubar karena kalau datang hujan maka semua penontonnya akan bubar menyelamatkan diri masing-masing supaya tidak basah. Di sekeliling lapangan sudah dipagar dengan bethek. Bethek ini berupa anyaman bambu tetapi bambunya tidak ditipiskan seperti gedek sehingga bethek ini jauh lebih kuat dari gedek. Sesudah menyerahkan karcis di pintu masuk maka kami mencari-cari tetap duduk yang enak buat menonton. Yang repot kalau musim hujan karena lapangannya becek jadinya terpaksa menonton sambil naik di atas motor. Biasanya sih waktu pemutaran filmnya molor dari waktu yang sudah dijadwalkan. Jadi kalau misal di karcis tertulis tayang jam 8 maka bisa molor sampai dengan jam 9 malam. Menurut beberapa sumber itu karena si peng-gestrek terlambat. Bisnis layar tancap Misbar ini memang telah menciptakan sebuah profesi yang disebut gestrek. Biasanya penayangan film misbar ini dilakukan serentak di beberapa lapangan desa sekaligus tetapi dengan jadwal yang berbeda. Jadi misal di lapangan desa A mulai jam 7, maka di lapangan desa B mulai jam 7.30, dan di desa C jam 8.00 padahal cuma ada 1 paket yang terdiri dari beberapa rol film. Prosesnya film diputar di lapangan desa A dulu dan begitu rol pertama habis maka rol harus dikirim ke lapangan desa B sesegera mungkin. Begitu rol pertama ini habis di lapangan desa B maka harus secepatnya pula mesti dikirim ke lapangan desa C. Begitu seterusnya sehingga dalam 1 malam dengan modal 1 paket rol bisa tayang di beberapa lokasi sekaligus (mungkin supaya penyelanggaranya dapat banyak untung...). Nah untuk tugas mengantarkan ini disebut dengan gestrek. Biasanya pemuda yang sudah lihai mengebut dengan motor yang mau menjadi gestrek. Kadang terjadi kasus gestrek mengalami kecelakaan akibat ulah mengebutnya itu. Itulah yang kadang membuat film terlambat ditayangkan di suatu tempat. Balik lagi ke film Ari Hanggara itu ternyata bercerita tentang kisah penyiksaan anak kandung oleh seorang ayah kandung dan ibu tirinya. Film ini dibuat berdasar atas kisah nyata yang terjadi 1 tahun sebelum film dibuat. Yang hanya saya ingat adalah si aktor yang beberapa tahun kemudian saya kenal sebagai om Dedi Mizwar.
Film berikutnya yang masih sempat saya tonton di misbar adalah Saur Sepuh I (Satria Madangkara) yang ditayangkan di lapangan sekolah SD. Alasan saya menonton film kolosal ini karena penasaran banget pengen melihat aksi Brama Kumbara dengan ajian serat jiwa dan lumpuh lampahnya. Begitu juga pengen melihat si Mantili dengan pedang perak dan pedang setannya. Sebelumnya saya hanya bisa âmelihatâ suara mereka melalui sandiwara radio. Sandiwara radio ini biasanya disiarkan setiap hari oleh beberapa stasiun pada jam yang sama. Ada yang pagi hari dan malam hari. Satu hari disiarkan satu atau dua episode. Kalau saya lebih suka memilih sandiwara radio malam karena kalau pagi harus ke sekolah. Usai belajar malam biasanya jam 7.30 sandiwara radio sudah dimulai. Yang paling menyebalkan adalah kalau pas tiba waktunya sandiwara main dan turun hujan disertai petir yang menyebabkan suara radio bercampur dengan suara grek.. grek... Maklum waktu itu belum ada stasiun radio FM. Semuanya masih AM. Yang paling ditunggu-tunggu adalah Minggu pagi. Biasanya pada Minggu pagi ada siaran sandiwara radio secara marathon mulai pagi sampai siang. Beberapa episode langsung disiarkan. Jadilah saya dan anak-anak tetangga suka hunting stasiun-stasiun radio ini yang tak jarang merupakan stasiun radio yang jaraknya cukup jauh (bahkan sampai lintas kabupaten) sehingga sinyalnya lemah. Untuk menguatkan sinyal terpaksa saya memasang antena outdoor tinggi-tinggi. Untungnya sinyal AM memiliki propagasi yang cukup jauh sehingga stasiun-stasiun radio yang sangat jauh pun masih mudah ditangkap. Bahkan stasiun-stasiun radio yang jaraknya 200 km pun bisa dengan cukup jernih untuk dinikmati siarannya. Walhasil saya dan anak-anak tetangga selain memiliki hobi mendengarkan sandiwara radio juga sering berbagi nama-nama stasiun radio yang sering menyiarkan sandiwara radio paling gres yang biasanya meliputi nama stasiun radio, frekuensinya berapa, dan jam tayangnya kapan. Merupakan sebuah kebanggan bagi seseorang kalau dia telah mendengarkan episode yang lebih baru dibandingkan teman-temannya yang lain. Tunggu.. tunggu... kok sandiwara radio dibahas segala sih? Ini kan topiknya tentang film nasional?! Hehehe.. jangan salah... Sandiwara radio merupakan cikal bakal hadirnya film-film kolosal seperti Saur Sepuh dan Tutur Tinular serta sinetron TV seperti Misteri Gunung Merapi.
Begitulah masa-masa kejayaan film-film nasional. Lepas Saur Sepuh I saya sudah tidak pernah menyaksikan film lewat bioskop baik lewat gedung maupun Misbar karena kesibukan belajar hingga saya berangkat kuliah di kota besar tetapi bukan berarti saya absen menonton film nasional. Beberapa film layar lebar ditayangkan juga di TV meski sudah tidak baru lagi. Jadilah saya makin mengenal film-film nasional. Yang saya masih ingat ada Catatan si Boy I (1987) dengan aktornya Ongky Alexander, Didi Petet dan Meriam Belina. Yang saya paling ingat dari film ini adalah aksi si Emon (alm. Didi Petet) yang selalu membuat saya tertawa. Ada juga film-film Rhoma Irama seperti Kemilau Cinta di Langit Jingga, Jaka Swara, Gitar Tua, dll. Belum lagi film-film dari babe Benyamin seperti Ratu Amplop atau Biang Kerok. Yang saya ingat dari Ratu Amplop adalah aktris Ratmi B29. Banyak orang di tempat saya yang suka dengan aktingnya yang khas dengan gayanya yang terkesan ndeso.ÂÂ
Ketika saya mulai kuliah (tahun 97-an) bisa dibilang industri film termasuk film nasional mati suri. Bioskop-bioskop banyak yang berhenti beroperasi. Yang beroperasi hanya beberapa gelintir dan itupun hanya film-film barat atau Hongkong yang masih ditayangkan. Waktu itu saya sempat heran ada apa gerangan? Salah seorang teman saya bilang jika penyebabnya adalah maraknya VCD bajakan. Akhirnya saya coba melihat di sekeliling saya penjual dan penyewa VCD bajakan bertebaran. Ditambah harga player dan pesawat TV yang semakin murah maka hancurlah industri bioskop saat itu. Dengan harga beberapa ribu rupiah saja seseorang sudah bisa menyewa beberapa keping VCD bajakan. Selain itu krisis ekonomi yang menghantam negara ini membuat banyak sektor kehidupan luluh lantak termasuk industri perfilman nasional.
Akan tetapi kevakuman produksi film nasional itu tidak berlangsung lama. Mulailah sekitar tahun 2000 industri film mulai merangkak bangkit. Mengapa saya katakan merangkak karena film-film yang ditayangkan hampir sebagian besar bergenre horor + mes*m. Banyak judulnya yang menggunakan kata-kata yang seolah-olah horor tetapi ternyata banyak yang bilang isinya hanya film-film berkualitas rendah. Saya tidak akan sebut judul-judulnya di sini karena memang tidak layak ditonton. Saya terus terang tidak begitu tertarik dengan film-film seperti itu. Jadilah saya tidak pernah menyaksikannya. Bahkan banyak orang yang mencibir kualitas film-film seperti itu di media masa. Saya benar-benar kangen akan film-film nasional berkualitas seperti yang pernah saya saksikan dulu. Mungkin saja tujuan utama si pembuat film-film bergenre horor + mes*m itu hanya sekedar untuk memikat banyak orang supaya menonton tetapi dengan mengorbankan mutu dan pesan moralnya tetapi pada akhirnya saya toh melihat film-film seperti itu akhirnya terkubur sendiri bersama waktu.
Kebangkitan film Indonesia baru benar-benar saya rasakan sejak munculnya film Petualangan Sherina (2000). Sejak itulah saya mengamati mulai muncul kepercayaan rakyat terhadap film nasional. Waktu saya menonton film Petualangan Sherina itu saya mulai merasakan ruh kebangkitan film nasional seolah telah kembali. Meski demikian saya pikir masih diperlukan lebih banyak kerja keras dari semua insan perfilman agar film-film Indonesia bisa kembali ke jaman keemasannya seperti era tahun 80-an dulu. Bagi saya film era 80-an adalah yang terbaik. Hingga hari ini saya masih tetap setia menonton film-film itu secara rutin meski sudah banyak film-film nasional baru yang dirilis. Saya menontonnya lewat streaming di Youtube atau sewa DVD dari kolektor film-film lama karena biasanya film-film ini susah ditemui di tempat-tempat persewaan. Anehnya meski sudah menontonnya berkali-kali dan berulang-ulang masih saja saya tidak pernah bosan. Bahkan film-film barat anyar yang sudah box office pun saya tidak pernah ada minat untuk menontonnya sekarang ini. Banyak yang mengatakan saya jadul tetapi masa bodohlah. Toh jadul bukan berarti jelek atau salah. Ibaratnya saya sudah terlanjur jatuh cinta sampai mati dengan film-film lama nasional. Meski sekarang ada beberapa film nasional dengan seting masa lalu tetapi saya tetap merasakan ada "aroma" yang berbeda jika dibandingkan dengan film-film lama. Suara dengungan dan gemertak di sela-sela suara sang aktor dan garis-garis hitam putih yang sesekali muncul menjadi simbol kekhasan film-film masa lalu yang tidak ada pada film masa kini. Anak-anak saya pun nantinya jika sudah cukup besar akan saya tanamkan pula kecintaan mereka terhadap film-film nasional lama. Sementara itu bioskop tempat saya menonton film nasional pertama kali sekarang sudah sekitar 25 tahun mangkrak. Yang tersisa hanya dinding-dinding berlumut dan rumput yang seolah menjadi saksi bahwa di sinilah dahulu film-film nasional pernah mengalami masa emasnya. Meskipun tempat bersejarah itu kini telah mangkrak namun saya selalu berharap semoga film-film nasional segera meraih jaman keemasannya kembali.
Sumber gambar:
1. www.ambulu.wordpress.com
2. https://i.ytimg.com/vi/V9D_C_6e7eE/hqdefault.jpg
3. http://assets.kompasiana.com/statics/crawl/552a562e6ea834b8258b4567.jpeg
4. https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/2/29/Saur-sepuh-satria-madangkara.jpg
â