Lewat tengah malam, ibu menidurkanku—menggendongku dari sofa ruang keluarga. setelah menonton film kesukaan Ibu dan Ayah, Titanic. Berulang kali aku menutup mataku ketika adegan Jack dan Kate, Kata ibu, itu adegan yang tidak patut ditonton oleh anak berumur 5 tahun. Aku hanya bisa mengintip di antara jari-jari tangan yang menutupi mataku. Aku digendong ibu dalam keadaan berpura-pura tidur, sesekali mengintip wajah ibu yang menatap lurus ke depan. Kamarku terletak di lantai dua, tepat di atas ruang keluarga, dari depan kamarku—aku bisa melihat TV dan sofa yang berada di depannya.
Setelah film selesai, Ayah masih duduk di ruang keluarga, terus mengganti siaran TV yang makin malam, makin membosankan. Pintu kamarku terbuka lebar, Ibu merebahkan tubuhku, menyelimutiku dan mengecup keningku lalu mematikan lampu sebelum keluar kamar. Pintu dibiarkan tidak tertutup sempurna, untuk menghindari aku terbangun karena suara engsel pintu. Tepat ketika punggung ibu hilang ditelan pintu, aku membuka mataku. Nafasku menderu, memikirkan adegan demi adegan dalam film yang baru saja selesai aku tonton,
Tirai jendela kamar belum tertutup sempurna, pelan-pelan aku keluar dari selimut yang menyelimutiku, turun dari kasur dan berjalan perlahan agar tidak menimbulkan suara. Menutup tirai dengan hati-hati, setelah tertutup sempurna, aku kembali ke kasurku, mencoba memejamkan mata. Aku gagal tidur, berkali-kali terus memejamkan mata, tidak ada hasil. Aku melihat jam yang berada tepat di dinding depan kasur, sehingga mataku benar-benar tepat melihat, bahwa sudah hampir pukul satu pagi.
Aku memutuskan bangkit dari tidurku, berniat untuk berjalan-jalan di dalam rumah, hal yang biasanya aku lakukan ketika insomnia melandaku. Pelan-pelan aku membuka sedikit pintu, memiringkan tubuhku—keluar dengan hati-hati, tepat di depan pintu aku melihat TV yang masih menyala. Bola mataku membesar, kaget melihat TV yang masih menyala, mempertontonkan laki-laki dan wanita yang telanjang, bersetubuh. Buru-buru aku merangkak maju, nafasku semakin memburu. Di atas sofa, aku melihat ibu dan ayah saling menempelkan bibirnya.
Ibu melepas bibirnya dari bibir ayah, ketika tanganku yang menutup mulut menimbulkan suara. Buru-buru aku berbalik, memiringkan tubuhku untuk melewati pintu, lalu naik ke atas kasur, menarik selimut dan memjamkan mata. Suara kaki yang menaikki tangga terdengar sampai kamarku, beberapa detik kemudian ibu membuka pintu—menyalakan lampu, lalu mematikannya lagi setelah melihat bahwa aku masih berada di atas kasur, tidur nyenyak.
------
Keesokan harinya, Ibu membangunkanku untuk berangkat sekolah, Ayah sudah tidak ada di rumah, Ibu bilang Ayah harus ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Pekerjaan ayah membuatnya tidak bisa setiap hari pulang ke rumah. Ayah hanya bisa seminggu sekali pulang bahkan terkadang sebulan sekali. Aku sudah bisa mandi sendiri, memakai pakaian sendiri, memakai sepatu sendiri, kaos kaki sendiri dan menyisir rambut sendiri. Setelah aku siap, aku mengambil tas yang mengantung di pintu kamarku, lalu turun, menuju ruang makan, Isi tas sudah disiapkan Ibu sejak semalam. Kebiasaan Ibu untuk menyiapkan segala sesuatunya untukku.
“Pagi, Bu,†sapaku sambil menarik kursi ruang makan.
“Pagi, Nak,†jawab ibu yang sedang memanggang roti.
Aku meminum segelas susu putih buatan Ibu yang berada di samping koran hari ini, berita utama: Gerhana Matahari Total, memenuhi halam utama koran. 7 kota besar akan dilewati fenomena ini. Aku menghiraukannya, meneruskan minum susu sampai tinggal setengah.
“Ini, roti bakar spesial buatan Ibu,†kata ibu sambil meletakkan piring berisi dua roti bakar tepat di depanku.
“Makasih, Bu.â€
“Sama-sama, anak manis,†jawab ibu, mengelus rambutku.
Ibu melepas celemek bergambar bunga-bunga, menaruhnya di gantungan yang ditempel di dinding kulkas. Lalu mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas kulkas, Menuju garasi untuk memanaskan mobil. Dari tempatku duduk terdengar suara pintu garasi terbuka, pintu mobil terbuka dan mesin mobil yang menyala.
Beberapa detik setelah mesin mobil menyala, ibu menuju kamarnya, mengganti daster dengan celana jeans dan kaos polos abu-abu, V-Neck. Siap mengantarku ke sekolah, rambut panjangnya dikuncir. Kulit putihnya seperti bersinar, wajahnya tampak merona, tanpa hiasan bedak, bibirnya merah tanpa lipstick.
“Ayo nak,†Ajak ibu sambil mengenakan kacamata cokelatnya.
Buru-buru aku menghabiskan rotiku, menenggak habis sisa susu putih, lalu bangkit, bercermin, merapikan rambut, merapikan seragam sekolah lalu mengusap wajahku dan mengedipkan mata di depan cermin. Berjalan santai menuju garasi. Mobil berjalan mundur keluar dari garasi, seperti biasa—aku menutup pintu garasi dan pagar rumah, membantu ibu, agar ibu tidak perlu repot turun dari mobil untuk melakukan hal itu. Setalah pintu garasi dan pagar rumah tertutup rapat, aku membuka pintu depan mobil, naik lalu duduk dengan memangku tas punggungku.
Jarak rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, limabelas menit jika jalanan tidak macet. Berkali-kali aku menatap ibu yang tampil cantik, dengan kacamata cokelat dan rambut yang terkuncir, ibu menatapku heran. Menanyaiku, aku hanya tersenyum—mengatakan kalau Ibu cantik. Ibu tertawa lalu mengucapkan terimakasih dan mengusap rambutku. Terbesit kejadian semalam, aku ingin menanyakan pada ibu, tapi, lidahku kelu, seluruh kata berhenti di kerongkongan. Jantung berdegup kencang.
“Ibu, semalam itu film apa?†dengan keberanian yang memuncak di lidah, aku mengatakannya juga, memecah keheningan.
“Titanic, Nak, kenapa?†jawab ibu yang masih fokus pada jalanan.
“Bukan… Bukan itu bu, setelah Titanic, setelah Ibu menggendongku ke kamar,†Jawabku terbata-bata.
“Ha?? Apa, Nak?†kata Ibu mencoba menghindari pertanyaanku.
“Semalam aku bangun, nggak bisa tidur, Bu. Aku lihat di TV ada itu… Ibu sama Ayah…†Aku mencoba menjelaskan dengan hati-hati.
“Nakal, kamu nak,†Ibu tersenyum—terkekeh.
Mobil Ibu membelok, aku sampai di sekolah, ibu memakirkan mobil tidak jauh dari gerbang sekolah, lalu turun bersamaan denganku. Menggandeng tanganku—mengantarku sampai gerbang sekolah. Sampai di gerbang sekolah, ibu jongkok di depanku merapikan rambutku, merapikan kerah bajuku dan mengusap pipiku.
“Bu, aku mau…†kataku tertunduk.
“Eh, mau apa nak?†Jawab ibu memegang kedua pundakku.
“Semalam, Ibu, Ayah, TV,†Aku menatap Ibu yang menatapku kaget. Ibu terdiam, mulutnya seperti berkumur—mencari jawaban yang pas.
“Udah sana, ditunggu temanmu,†Ibu menunjuk salah satu teman yang melambaikan tangan.
Buru-buru aku menyalami ibu, mencium tangan ibu, berlari menuju temanku yang melambaikan tangan. Ibu masih berdiri di gerbang sekolah ketika aku sudah berada di samping temanku. Ibu melambaikan tangan, pertanda berpamitan, aku membalasnya lalu ibu berlalu—menghilang dari gerbang sekolah, ada sedikit rasa sedih yang melandaku. Setelah itu aku masuk kelas bersama temanku yang sangat riang menceritakan mainan baru yang dibelikan ayahnya. Aku hanya tersenyum, ogah-ogahan menanggapi ceritanya.
------
Malam ini, Ibu membeli Pizza—makanan kesukaanku, sebagai teman nonton. Kali ini film kartun yang ditayangkan salah satu stasiun TV. Film dengan dubbing bahasa Indonesia, membuatku mudah memahami bahasanya, meskipun agak lucu di dengarnya. Seperti kebiasaanku yang sudah-sudah, aku sudah tertidur pulas sebelum film selesai, film yang ditayangkan TV lokal terlalu banyak iklan, membuatku cepat bosan. Kepalaku tersandar di pangkuan Ibu, celana pendeknya membuat paha putihnya terlihat jelas, aroma minyak wangi Ralph Lauren yang sudah biasa dipakai ibu tidak terlalu tajam, segar, seperti bunga mawar, menggoda, membuatku semakin merasa nyaman dan nyenyak.
Lewat tengah malam, ibu membawaku ke kamar. Beberapa kali mengecup keningku. Kali ini ibu tidak lupa menutup tirai jendela setelah merebahkanku di kasur.
“Bu,†aku terbangun karena suara tirai—ibu menoleh.
“Iya, Nak?†Ibu mendekatiku setelah merapikan tirai yang sudah tertutup sempurna.
“Ibu belum jawab pertanyaanku.â€
“Pertanyaan apa, Nak?†Jawab ibu mencoba menghindari apa maksudku. Aku tidak menjawab pertanyaan ibu, terdiam—menarik selimut hingga bawah mataku. Ibu tersenyum, mengusap rambutku, lalu ikut masuk ke selimutku, aku menggerser tubuhku, memberikan ruang untuk Ibu. Ibu memiringkan tubuhnya, satu tanganya merangkulku. Memegang lenganku, mengusapnya perlahan. Aku bisa merasakan hangat nafas ibu yang jatuh di telingaku. Mataku mulai terpejam merasakan halusnya tangan Ibu yang mulai mengusap perutku, nafas Ibu semakin hangat, aku merasakan bibir merahnya yang menyentuh telingaku.
Ibu mulai mencium telingaku, perlahan sampai ke leher, aku terperanjat—membuka mataku ketika tangan ibu mulai mengusap turun ke bawah perut, bulu kudukku berdiri, tubuhku menegang. Buru-buru aku memegang tangan ibu, mencegahnya yang mulai masuk celanaku. Ibu mulai mencium lembut pipiku, tidak menghiraukan tanganku yang mencegahnya, tanganya semakin liar bermain di balik celanaku. Tanganku jatuh kaku, ketika bibir Ibu mulai menyentuh ujung bibirku. Aku menoleh, menatap Ibu yang perlahan membuka matanya. Bibirku dan Ibu saling bertatapan, aku merasakan hangat nafas Ibu yang menyentuh bibirku. Perlahan aku mencium bibir Ibu, persis yang dilakukan Ayah malam itu, Ibu terdiam—tidak membalas ciumanku, tanganya masih bermain-main di balik celanaku. Bibirku merasakan bibir Ibu yang  tersenyum, Perlahan ku tarik selimut, menutupi tubuhku dan Ibu sepenuhnya.