Ketika Cinta Bicara (When Love Talks) Chapter 5

4 Apr 2016 16:34 7897 Hits 7 Comments
Sesuai kesepakatan, Ringgo cs yang dibantu oleh para polisi bertemu di suatu tempat terpencil dekat hutan untuk melakukan barter. Kesepakatan ternyata tidak berjalan mulus, pertemuan berubah bencana. Terjadi baku tembak dan nyawa Ringgo pun terancam.

Matahari pagi kembali memancarkan sinarnya dengan lembut. Sudah  sejak  pagi  tadi Choky  bangun. Tampak ia sedang dibasuh oleh uwak(6)-nya setelah selesai mandi. Ia harus bersiap-siap berangkat ke sekolah.

(6)  uwak : bibik, pembantu

Nina, si  tante ceriwis yang sejak semalam tidur menemani Choky, masih belum beringsut dari tempat tidurnya dan masih tertidur pulas. 

Ya, semenjak Kayla tahu bahwa ayahnya Choky akan membawa kembali Choky dan berniat merebut dari tangannya, diam-diam Kayla membawa lari Choky. Ia tak rela jika Choky sampai kembali ke tangan ayahnya yang jahat dan tidak bertanggung jawab. Kayla menyembunyikan Choky ke rumah orang tuanya yang ada di luar kota Medan. Membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan jauhnya untuk sampai ke kota itu jika dari Medan. Sementara dari kota tersebut hanya butuh waktu sekitar satu jam untuk tiba di daerah wisata yang terkenal di Sumatera Utara, danau Toba.

Kayla sendiri sebenarnya tinggal bersama orang tuanya di Medan. Semula mamanya Kayla tidak setuju dengan ide Kayla mengadopsi Choky. Mamanya takut anak perempuannya dicap “bukan perempuan baik-baik” karena memiliki anak sebelum menikah. Maklumlah, orang tua Kayla masih terikat adat yang kuat. Tapi seperti layaknya sifat orang Batak pada umumnya, Kayla mempunyai watak yang keras. Jika itu sudah menjadi kemauannya, maka siapapun tidak dapat mencegahnya termasuk kedua orang tuanya. Apalagi Kayla adalah anak perempuan satu-satunya dan sejak kecil orang tuanya sudah memanjakan dia. Untunglah, karena keinginan Kayla sendiri mengangkat anak bukanlah keinginan yang jahat, akhirnya mereka pun menyetujuinya. Apalagi Kayla mempunyai penghasilan sendiri.

Sejak peristiwa “penculikan” ini, tentu saja orang tua Kayla khawatir. Sebentar-sebentar mamanya menelepon Ringgo dan Nina. Mamanya sangat mempercayai mereka karena Nina memang sahabat baik Kayla sejak mereka sama-sama kuliah di Jakarta, bahkan Nina sampai rela melamar kerja di Medan padahal kedua orang tuanya tinggal di Jakarta, hanya demi bisa dekat dengan Kayla. Demikian juga Ringgo. Ringgo adalah kakak kelas Kayla semasa SMA. Benih-benih cinta memang sudah tumbuh di benak keduanya sejak pertama kali bertemu. Hubungan mereka berlanjut sampai pertunangan mereka. Saat itu Choky sudah bersama-sama dengan mereka. 

Mamanya Kayla sebetulnya juga sangat menyukai Choky. Choky bahkan memanggilnya opung boru(7). Saat ini ia hanya bisa berharap  keadaan bisa kembali seperti semula. Ia begitu mengkhawatirkan kondisi Kayla saat ini.

(7) opung boru (bahasa Batak)  : nenek

Mamanya Kayla baru saja meminta Nina untuk menemani Choky tinggal menginap di rumahnya yang ada di luar kota ini. Nina menyetujuinya, sementara Ringgo kembali ke Medan.

Suara bus angkutan sekolah Choky yang bising dan mengganggu telinga berhasil membangunkan Nina dari bunga tidurnya. Sontak Nina langsung  berdiri dan sambil berjalan gontai ia berjalan ke luar dari kamar tidurnya Kayla dan bermaksud menemui Choky.

“Tante, Choky pigi(8) dulu ya?” terdengar teriakan Choky dari jauh saat melihat tantenya sudah menyembulkan kepalanya dari pintu ruang tamu. Nina tersenyum sambil matanya masih setengah mengantuk.

(8)  pigi : pergi

“Baik-baik ya sayang. Jangan nakal…!” Nina berteriak sambil melambaikan tangannya ke arah Choky. Choky balas melambaikan tangannya.

Nina terpaksa meminta ijin tidak masuk 3 hari kepada atasannya. Besok ia sudah harus kembali ke kantor. Nina pun sangat mengkhawatirkan kondisi Kayla. Tidak terbayang dibenaknya jika Kayla akan menghadapi situasi sulit seperti ini. Tapi Nina sendiri sebenarnya sudah pernah memperingatkan Kayla, agar tidak usah mengangkat Choky sebagai anak. Ya, saat Kayla menceritakan kepadanya pertama kali di sebuah café tiga tahun yang lalu.

Sambil meminum kopi hangat buatan Wak Suti, Nina teringat kembali peristiwa kala bapaknya Choky mendatangi rumah Kayla. Saat itu sore hari, dan mereka baru saja pulang dari kantor. Walaupun kantor tempat mereka bekerja berbeda, tapi Nina sering meluangkan waktunya singgah ke kantor Kayla yang jaraknya berdekatan. Kadang giliran Kayla yang menjemput Nina ke kantornya. Dan saat itulah saat yang tidak pernah dilupakan Nina…

***

 

“Kay, si Ferdy tambah cakep aja ya?! Matanya itu loh, tajam menggoda! Hahaha!!!” Nina tertawa kecil lalu merebahkan dirinya duduk di sofa empuk berwarna coklat muda yang terletak di ruang keluarga rumah Kayla. Sambil mengikat rambutnya, ia mulai bergosip.

“Kamu naksir, kan Nin? Ya sudah, bilang saja sama dia!” Kayla berseloroh sambil membuka sepatunya dan duduk menghampiri Nina.

“Maunya sih, begitu! Tapi harga diri gue terlalu tinggi, Kay. Gengsi dong, ngomong duluan!” Nina tak mau kalah.

“Lagian…,” Nina melanjutkan, ”Gue dengar-dengar dari sekretaris lo, siapa namanya, yang kalau ke kantor selalu pakai pita rambut motif bunga?” Nina mengingat-ingat sambil menunjuk-nunjuk ke arah Kayla.

“Ninuk? Memang apa katanya?”

“Ya, Ninuk. Iihh…, hari gini kok masih ada juga cewek yang punya selera kampungan!” Nina mencibirkan mulutnya sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Kayla pun tertawa geli.

“Iyaa, memang apa katanya?” Kayla mengulangi pertanyaannya sambil berjalan ke arah dapur hendak mengambil minum.

“Itu loh, kalau Ferdy seorang playboy!”

“Apaa??”

“PLAY-BOY!!! Nina berteriak.

Kini seluruh penghuni rumah Kayla mendengar teriakan Nina, termasuk Iis, pembantunya Kayla yang punya penyakit suka kagetan. Saat itu Iis sedang menyapu halaman depan rumah. Mendengar teriakan Nina, tanpa dikomando Iis langsung masuk ke dalam rumah. Ia mengira Nina berteriak memanggil namanya.

“Ehh, kakak manggil Iis?? Kenapa, kak??” Iis kontan mendatangi Nina dengan tergopoh-gopoh. Nina kaget dan sempat bengong melihat Iis mendatanginya, ia merasa tidak memanggil si pembantu suka kagetan itu.

"Yeee, siapa yang manggil kamu?? Nimbrung aja!!, Sudah sana!!!” Nina mengusir Iis sambil tertawa melihat tingkah polah pembantunya Kayla yang masih kebingungan  itu.

“Ohh, kakak nggak manggil aku? ku pikir manggil, heee!” Iis jadi malu hati, wajahnya merah. Ia berjalan kembali ke halaman depan sambil menggaruk-garuk kepalanya.

”PEKAAKK!!” ejek Nina sambil geleng-geleng kepala. 

“Yakin kamu sama omongannya si Ninuk?” Kayla mengambil sebotol minuman air mineral yang diambilnya dari kulkas dan memberikannya pada Nina. Setelah itu ia mengambil beberapa butir kacang dari toples dan duduk disamping Nina. Gosip pun berlanjut.

“Tadinya sih gue nggak percaya. Tapi kayaknya ada benarnya juga. Soalnya kalau gue perhatikan, dia sering melirik ke arah gue…, hihihi!!!” Nina membanyol, tangannya ikut-ikutan mengambil kacang dari tangan Kayla.

“Iihhh… Ge-er!” Kayla mencibir.

“Nggak percaya dia! Gue perhatiin juga nih, dia juga sering melirik…, ke arah elo, Kay!!” Nina menjerit tertahan sambil tak lupa menutup mulutnya, takut didengar Iis.

“HAHAHA!!!” Mereka pun tertawa kompak.

Begitulah mereka. Hari-hari sering mereka lalui bersama dengan canda dan tawa. Persahabatan mereka sudah terjalin erat sejak lama. Nina sendiri memang pribadi yang suka menghangatkan suasana, terutama kalau sudah bergosip. Ayam pun bisa kena giliran.

Sedang asyiknya mereka bercanda ria sambil memakan kacang goreng buatan Iis, saat itulah terjadi peristiwa itu…

”Hei, kalian! Mana Ucok, anak saya?! Kembalikan anak saya!!!”

Kayla dan Nina terkejut begitu mendengar seorang laki-laki yang berteriak memaki-maki di depan rumahnya. Mereka mengintip dari balik jendela. Tanpa diminta, Nina memberanikan diri menemui laki-laki yang tak lain adalah ayah kandung Ucok atau Choky. Iis yang masih belum selesai membersihkan halaman rumah Kayla mengikuti Nina dari belakang.

“Ada perlu apa bapak teriak-teriak di depan rumah orang?” Nina menjawab dengan ketus.

“Ho-oh, ada perlu apa bapak teriak-teriak di depan rumah orang?” Iis ikut-ikutan menimpali.

“Mana anak saya? Saya minta anak saya! Kembalikan anak saya, dasar pencuri!!” Bapaknya Ucok memaki-maki sambil tangannya menunjuk ke arah Nina.

“Hati-hati bapak kalau bicara! Teman saya tidak mencuri. Ibunya sendiri yang menitipkan anaknya pada kami!” Nina menjawab sambil berkacak pinggang.

“Iya, ibunya kok yang menitipkannya pada kami!” Iis ikut-ikutan berkacak pinggang.

“Is, jangan ikut-ikutan dong!!, masuk sana!!” Nina protes sambil memukul pundak Iis pelan dan mengusirnya pergi.

“O ya, maaf...” Iis langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya dan berlalu meninggalkan Nina sendiri.

“Baik, kalau begitu mana anak saya? Saya minta anak saya, sekarang!!”  Ia berteriak keras. Nina tak kalah garang.

“APAA??!, Memangnya bapak pikir setelah bapak berteriak mempermalukan kami di depan tetangga kami, kami akan memberikan Ucok begitu saja sama bapak?!!” Nina menjawab dengan suara yang keras. Ia sudah tidak bisa menahan amarahnya, emosinya sudah sampai ke ubun-ubun.

“Saya tidak mau tahu! Pokoknya kembalikan anak saya!!” 

“Supaya bapak bisa menjualnya, kan? Supaya bapak bisa membayar hutang bapak, kan? Begitu, kan?!!” Jawaban Nina tak pelak membuat bapaknya Ucok terdiam seribu bahasa. Bagai tersambar petir di sore hari, wajahnya kontan memerah menahan malu. Saat itu, beberapa orang yang sedang berjalan di depan rumah Kayla melihat keheranan ke arah mereka, bahkan tetangga Kayla yang semula berada dalam rumah, ikut-ikutan keluar mendengar percakapan mereka.

Melihat wajah bapaknya Choky yang memerah, Nina tersenyum puas. Rasain loh, kapok kau kan!, demikian batin Nina. Sementara itu Kayla masih menyembunyikan dirinya di dalam rumah.

“Borjong(9)!!, Awaass kalian! Kalian akan menyesal!!” Umpat bapaknya Ucok sambil mengepalkan tangan lalu mengambil ancang-ancang mundur begitu melihat warga mulai  berkerumun. Ia  men-starter motor bututnya dan bersiap-siap pergi meninggalkan kediaman Kayla sambil mengancam, “Lihat nanti…!!”

(9)  Borjong : brengsek

Nina berjalan gontai memasuki rumah Kayla. Kayla langsung datang menghampiri Nina sambil memegang tangan Nina yang basah karena keringat.

“Aduuh, Nin. Makasih banget ya say, sudah nolongin aku. Kamu nggak apa-apa kan?” Kayla mengajak Nina duduk lalu mengusap wajah Nina dengan tissu basahnya. Nina menggeleng pelan tanpa bicara sepatah katapun. Tubuhnya lemas.

“Maaf ya Nin, jadi nyusahin kamu,” Kayla merasa tak enak.

“Nggak apa-apa, Kay. Aku nggak papa koq.” Nina menghibur sahabatnya sambil tersenyum lemas. Tak bisa dipungkiri ia sendiri sebenarnya merasa takut menghadapi bapaknya Ucok seorang diri. Peristiwa itu sungguh bersejarah bagi Nina dan takkan pernah bisa dilupakannya..

 

“Kak Nina, sarapan dulu ya…. Sudah saya siapin nasi goreng loh…” Ucapan Suti memecahkan lamunan Nina, ia tersadar.

 “Ohh, yyaa… Terima kasih, Ti.” Nina mengusap-usapkan wajahnya sambil menuju kamar mandi membersihkan diri.

Sambil mandi, Nina masih teringat ucapan bapaknya Choky atau Ucok yang mengancam bahwa suatu saat mereka akan menyesal. Mungkinkah ini maksudnya? Bahwa Kayla diculik? Bahwa bapaknya Choky ada di belakang semua ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggelayut di benak Nina. Waktulah yang akan menjawab.

 

***

 

Setelah meminta ijin untuk cuti kepada atasannya dan menyerahkan sementara tugas-tugas pekerjaannya ke anak buahnya, Ringgo memutuskan untuk mencari Kayla. Dengan modal informasi yang pas-pasan ia memulai petualangan mencari kekasihnya. Ringgo sebenarnya tak tahu harus memulainya dari mana. Tapi ia tidak bisa juga harus berpangku tangan. Setidaknya kini ia sudah bisa mendapatkan gambaran kasarnya, bahwa Kayla diculik ada hubungannya dengan Choky dan sebagai ganti tebusannya adalah Kayla harus memberikan Choky ke tangan para penculik itu atau memberikan uang sebesar dua ratus juta rupiah. Ia pun sudah memberitahukan pada polisi perihal kejadian semalam.

Setelah tiga jam perjalanan jauhnya, Ringgo sampai di kediaman Kayla yang di luar kota. Tepatnya di sebuah kota yang bernama Pematang Siantar. Saat itu Choky baru saja pulang sekolah dan sedang asyik-asyiknya bermain dengan tantenya, Nina.

“Oom, oom..!!” begitulah Choky berteriak memanggil dirinya begitu sampai di rumah Kayla.

“Halo jagoan kecil! Sudah makan belum? Ini ada oom belikan mainan buat kamu…” Ringgo membelai rambut Choky yang langsung memeluk kakinya erat dan memberikan mainan kesayangan Choky. Choky menerimanya dengan senang hati.

“Asyiiikk!! Angry birds!!” Choky berteriak girang. Ringgo pun tersenyum puas.

“Oom, kita main ular tangga yuk! Choky sedang main ular tangga sama tante. Yuuk…!!” Choky menarik tangan Ringgo dan berjalan menuju ruang televisi.

“Halo, bang…” Nina menyapa ramah. Ringgo tersenyum.

“Abang sudah makan?”

“Sudah, di jalan. Bagaimana? Tidak ada masalah kan?”

Nina menggeleng sambil tersenyum manis. Kini mereka sudah duduk bersama di atas tikar sambil memainkan permainan kesayangan Choky. Terdengar senda gurau dan tawa manis dari seorang anak yang masih polos dan lugu. Ia berteriak kegirangan jika menang dan menutup mukanya jika kalah. Choky begitu larut dengan suasana.

Waktu berjalan dengan cepat. Tak terasa waktu mulai beranjak sore. Kini Choky sudah bersama uwaknya yang sedang memandikannya. 

“Belum ada kabar dari penculik itu, bang?” Nina memulai percakapan sambil memberikan secangkir teh manis hangat aroma melati kesukaan Ringgo. Ringgo langsung meminumnya.

“Belum, Nin. Semoga hari ini kawanan penculik itu menghubungi kita lagi. Aku punya rencana untuk memberikan uang itu pada mereka..,” Ringgo menjawab lirih, lalu mengambil sebatang rokok dari saku bajunya.

“M-maksud abang?” Nina terkejut tak mengerti.

“Iya. Abang sudah menyusun rencana. Sesuai kesepakatan, si penculik gila itu akan menghubungi abang malam ini. Jadi abang sudah menyiapkan koper yang berisi uang yang mereka minta itu. Nanti….” Belum selesai Ringgo bicara, Nina memotong pembicaraan.

“Abang sudah menyiapkan uang sebanyak itu?? darimana bang…?” Nina masih belum mengerti.

“Makanya dengar dulu dong…,” Ringgo protes.

“Kopernya tidak semua kuisi dengan uang. Hanya bagian depan dan bagian belakangnya saja yang kuisi dengan beberapa lembar uang. Selebihnya potongan-potongan kertas. Mudah-mudahan mereka cukup bodoh untuk dikelabui. Yah, setidaknya kita sudah berusaha…” Ringgo menghisap rokoknya dalam-dalam lalu melanjutkan lagi pembicaraannya.

“Rencananya begitu mereka menyerahkan Kayla, abang serahkan uangnya pada mereka, sementara polisi mengawasi abang dari jauh. Begitu Kayla sudah di pelukan abang, polisi langsung segera meringkus mereka…” Ringgo menjelaskan panjang lebar.

“Abang menghubungi polisi?”

Ringgo mengangguk.

“Tak mungkin kita bergerak sendiri, Nin. Mereka pasti punya senjata. Sedangkan kita tidak. Selain polisi aku juga minta John dan Ferdy untuk ikut membantu.” Begitu mengucapkan nama Ferdy, Ringgo melirik Nina sambil tersenyum. Terlihat mata Nina yang berbinar-binar.

“Ferdy??”

“Iya. Dia tadi telepon abang menanyakan Kayla. Jadi abang ceritakan yang sebenarnya. Ia siap membantu.”

“Terus…?” Nina penasaran.

“Terus…, ya kita ke Medan sekarang. Dugaan abang Kayla masih di Medan, atau setidaknya tidak terlalu jauh dari Medan.” Ringgo mematikan rokoknya. Kemudian, Ringgo berdiri dari tempat duduknya, disusul Nina yang masih belum yakin dengan rencana Ringgo.

“Skenario tadi sudah disusun oleh polisi. Jadi kita tinggal menjalankan saja. Mudah-mudahan sesuai rencana…” Ringgo mengenakan jaketnya dan bersiap-siap kembali ke Medan.

“Mudah-mudahan saja, bang. Kasihan Kayla….”

“Tenang, Nin. Besok pasti sudah berakhir, kok.” Ringgo berusaha menenangkan Nina. Nina mengangguk.

Tak lama Nina berkata sambil mengepalkan tangannya,

“Awas saja mereka, kalau sampai ketemu, ku potong-potong dan ku sayat-sayat mereka!! Huuhh, dasar pengecut, beraninya sama perempuan!!”

Ringgo terkejut, tapi setelah itu tertawa terbahak-bahak,

“HAHAHAHAHA...!!!”

***

 

Saat ini Ringgo dan Nina sudah bersiap-siap hendak pergi menuju ke Medan.

“Choky, om dan tante mau pulang dulu ya, boleh kan?” Ringgo membujuk Choky. Choky cemberut, seolah tidak rela.

“Koq, om dan tante nggak di sini aja? Choky kan sendirian…” Choky menjawab pelan, suaranya hampir tidak terdengar.

“Iya, om dan tante kan harus kerja besok. Jadi om dan tante harus pulang. Nanti kan bisa kemari lagi.” Ringgo berusaha menenangkan Choky sambil membelai rambut hitam si bocah ajaib ini. Ingin rasanya ia menjelaskan yang sebenarnya, tetapi Choky masih terlalu kecil untuk mengerti.

“Tapi Choky kesepian, om. Choky mau pulang juga. Choky mau ketemu mama…” Choky tidak dapat lagi menahan air matanya. Ia menangis sesunggukan. Ringgo dan Nina tidak dapat menahan iba. Ingin rasanya mereka membawa Choky ke Medan saat ini juga, tetapi tentunya hal itu sangat mustahil dilakukan.

“Choky pasti ketemu mama, mama kan lagi kerja cari uang buat beli susu Choky…” Nina ikut menimpali. Ia memeluk Choky erat. Kini Choky menangis dipelukan Nina.

“Lagipula Choky kan sudah sekolah di sini. Nanti Choky bolos dong?” Nina terus membujuk Choky. Tangannya membelai bagian belakang kepala Choky. Choky tidak menjawab.

Sedang sibuknya mereka membujuk Choky, tiba-tiba suara handphone Ringgo berdering…

“Hallo…” Ringgo memulai percakapan.

“Sudah kau siapkan uangnya?” Tigor menyahut.

Ringgo terkesiap.

“Sudah. Sekarang bagaimana?” Ringgo balik bertanya.

“Mudah. Kau ikuti saja instruksiku. Jangan sampai melanggar. Kalau tidak pacarmu jadi taruhannya.”

Ringgo tidak menjawab.

“Kau bawa uang yang kuminta, sekalian kau serahkan anak itu padaku. Ingat, uang dua ratus juta dan anak itu harus kau serahkan padaku malam ini. Titik.”

“APAAA??! Enak saja kau! Tidak ada perjanjiannya kalau anak itu kami serahkan pada kalian! Kan sudah diganti dengan uang dua ratus juta??!” Ringgo berteriak meradang. Ia merasa ditipu.

Mendengar Ringgo berteriak keras, Nina langsung memanggil uwak Suti untuk bergegas mengambil Choky dari pelukannya. Akibat teriakan Ringgo yang menggelegar, Choky jadi ketakutan.

“Kau pikir kami GUOBLOK?? Apa mungkin bisa kau dapatkan uang dua ratus juta dalam semalam? Pasti sudah kau mainkan!!” Tigor membalas.

“Tidak bisa begitu dong! Pokoknya aku hanya memberi uang itu, tapi anak ini tidak akan kubawa!!” Ringgo tidak mau kalah.

“BAAHH!! Kau pulak(10) yang mengancam! Itu kan kemauanmu, bukan kemauanku. Pokoknya kau ikuti saja kemauan kami!. Dan ingat, jangan sampai ada polisi. Kalau tidak habis riwayat pacarmu ini!!” Tigor mengancam.

(10)  pulak : pula

“Enak kali kalian! Sudah dapat uangnya, dapat anaknya juga! Pokoknya aku tidak akan bawa anak ini. Aku tidak takut ancaman kalian!!” Ringgo masih tetap pada pendiriannya.  

“BAHH!! Jangan sok jago kau! Aku tidak main-main! Kau mau pacarmu mati, HAA…??!” Tigor berteriak mengancam. Ia mulai tersinggung.

Mendengar ancaman ini, Ringgo tidak berkutik. Ia takut memikirkan jika seandainya Kayla benar-benar dibunuh.  

“Sudahlah, lakukan saja yang kuperintahkan. Sekarang kau catat alamat ini. Kita ketemu disana. Jangan sampai terlambat! Ini alamatnya ….” Tigor memberitahu alamat yang akan dituju.

“Kalian pasti menyesal!!” Ringgo balas mengancam Tigor sambil mencatat alamat pertemuan.

“Tak perlu bicara penyesalan. Mamakku pun menyesal melahirkan aku ke dunia ini. Kau lakukan saja perintahku!!. Ingat, uang, anak itu dan tanpa polisi. Titik! Habis perkara!”

Klik!. Hubungan pun terputus.

“Bangsaatt!! Pergi saja ke neraka!!!” Ringgo berteriak geram sambil melepaskan tinjunya ke langit. Ia begitu marah dan frustrasi. Nina terpaku mendengar semuanya, sementara Choky tak henti-hentinya menangis. Sepertinya rencana harus diubah. Tak ada jalan lain, Choky terpaksa harus di bawa ke Medan.

***

 

Ringgo melajukan mobilnya dengan kencang. Bersama Nina dan Choky, mereka menuju ke tempat yang sudah ditentukan Tigor, sang penculik Kayla. Melalu nomor Hp baru, Ringgo menelepon polisi dan memberitahukan alamat yang akan menjadi lokasi pertemuan dirinya dengan sang kawanan penculik itu. Tak lupa ia memberitahukan teman ganknya, John dan juga Ferdy, sang idola.

Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, merekapun sampai di lokasi yang dituju. Lokasi ternyata berada di luar kota Medan. Ringgo memperlambat laju kecepatan dan mematikan lampu mobilnya. Suasana begitu sepi, banyak pepohonan dan gelap mencekam. Selain jauh dari keramaian, tempatnya seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.

“Benar bang, di sini tempatnya?” Nina membuka percakapan. Ia berbicara pelan sekali, seperti tercekat.

“Kayaknya sih begitu…” Ringgo membalas dengan suara berbisik menambah tegang suasana.

Sambil menjalankan mobilnya perlahan, Ringgo merogoh saku bajunya dan membaca sekali lagi alamat dan tempat yang dituju. Jl. Sekoci No. 50, disamping bangunan tua tanpa atap dan depan pohon beringin besar. Merekapun melihat ke kiri dan ke kanan, berharap melihat bangunan tua dan pohon besar sesuai dengan petunjuk. Tak berapa lama mereka berhasil mendapatkan tempat tersebut. Namun Ringgo tidak bermaksud berhenti di situ. Ia pun mencari tempat persembunyian. Setelah mendapatkan tempat persembunyian yang sesuai, Ringgo pun menghentikan laju kendaraannya.

“Kita berhenti di sini saja ya, Nin” Ringgo meminta persetujuan Nina sambil membuka jendela mobilnya. Nina mengangguk. Tak lupa ia melihat Choky yang sedang tertidur pulas di pangkuan Nina.

Sedetik kemudian, Hp Ringgo bergetar.

“Bang, kami sudah sampai di tempat tujuan. Abang dimana?” Terdengar suara Ferdy yang menelepon Ringgo sambil berbisik.

“Kami juga sudah sampai Fer. Kami sekarang berada di...” Ringgo menghentikan pembicaraan sambil melihat-lihat lagi sekitarnya.

“… di dekat pohon besar, sepertinya pohon durian…” Ringgo menerka-nerka.

“Durian? Wahh, enak dong! Bisa sambil makan durian…” Ferdy bercanda mencoba meredakan ketegangan, tapi tetap berbisik.

“Hahaha…!!” Spontan Ringgo tertawa, tak mampu menahan lelucon Ferdy. Nina kaget dan menoleh ke arah Ringgo. Choky pun terbangun.

“Apa-apaan sih abang, lagi serem begini malah tertawa! Ngerumpi sama siapa sih?!” Nina mengomel pelan sambil tangannya mengelus-elus kepala Choky supaya tidur lagi. Untungnya usaha Nina berhasil.

“Hmmmppff…,” tersadar karena tawanya bisa memancing keributan, Ringgo langsung menghentikan tawanya sambil menggigit bibirnya. Wajahnya merah menahan malu.

“Jangan bercanda ya Fer. Ini serius! Sekarang kalian ada di mana?” Ringgo mencoba jaim. Suaranya pun diberat-beratkan.

“Hehehe…, maaf ya bang…,” Ferdy cengengesan.

“Kami sudah melihat mobil abang, kok. BK 1120 KY, kan?”

“Ya, betul! Kalian di mana, kok abang tidak nampak?” Ringgo menoleh ke belakang. Ia tidak melihat apa-apa. Ia pun melihat ke kiri dan ke kanan, tak juga melihat siapa-siapa.

“Abang tak usah kuatir! Kami parkir agak jauh dari abang, tapi bisa melihat abang. Posisi abang sudah tepat disitu, kami juga bisa melihat bangunan tua itu dari sini…” Ferdy berusaha meyakinkan Ringgo sambil sekali lagi menggunakan binocularnya melihat keadaan Ringgo.

“Fer, mari Hpmu, aku mau bicara…” John, sahabat Ringgo yang juga ikut serta mencoba bicara pada kawan lamanya itu. Ferdy memberikan Hpnya.

“Go, Ijon nih. Tenang, Boss. Kita sudah pantau dari jauh. Teman-teman dari polisi juga sudah bersama-sama dengan kita. Jadi you tak perlu kuatir, OK?!”

“Ijon! Polisi juga dengan kalian? Syukurlah kalau begitu!” Ringgo tersenyum senang. Perasaannya mulai tenang.

“Sebentar lagi Ferdy akan datang menemui kalian dan membawa koper yang sudah kita siapkan. Stand by ya, friend?” Ijon.

“Baik.” Ringgo.

“Baiklah kalau begitu! Nanti ku telepon lagi. Kita tidak mau mereka curiga kan ?” Ijon mencoba menutup pembicaraan.

“OK, Boss! Wish me luck!”. Ringgo.

“OK!”. Ijon.

Klik!

Tak lama kemudian, Ferdy datang mendekati mobil mereka sambil berjalan mengendap-endap. Ringgo membuka pintu mobilnya sedikit saja dan tanpa keluar dari mobil ia mengambil koper tersebut dari tangan Ferdy sambil mengacungkan jempolnya ke arah Ferdy. Ferdy pun membalas. Setelah selesai melaksanakan tugasnya, Ferdy kembali ke tempatnya meninggalkan mereka bertiga. Semua terjadi begitu cepat.

Kini suasana pun kembali sepi. Hanya terdengar suara jangkrik-jangkrik yang sedang bersahut-sahutan mengiringi kedatangan sinar rembulan yang menerangi malam itu. Juga terlihat setitik terang-terang kecil yang berasal dari kunang-kunang yang sedang terbang beriringan melalui mobil mereka menembus kegelapan malam. Malam semakin larut. Dingin yang menusuk mulai merasuki tulang-tulang mereka. Nina mulai kedinginan. Ia mendekap Choky lebih erat lagi dan menutupnya dengan jaket yang sudah sejak tadi dipakainya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan hampir pukul 23.00 WIB. Sudah setengah jam lebih mereka menunggu, namun belum ada tanda-tanda yang berarti. Hp Ringgo kembali bergetar.

“Malam pak Ringgo. Ini Bambang. Bagaimana pak, mereka sudah ada telepon?” Seorang polisi berpangkat AIPTU yang bernama Bambang Jaelani menelepon Ringgo.

“Belum, pak. Mungkin sebentar lagi. Dari sini belum nampak tanda-tanda kedatangan mereka. Bagaimana di sana, pak?”

Bapak polisi itu terdiam sebentar, ia melihat ke kiri dan ke kanan. Lalu menjawab,

“Di sini juga clear. Bapak tetap saja disitu sampai mereka datang. Kalau mereka datang, bapak datangi saja lalu ikuti kemauan mereka. Kita pantau dari jauh.”

“Baik, pak!” Ringgo mengangguk sambil kembali memandang sekitarnya dari dalam mobilnya.

Tak lama merekapun menutup pembicaraan.

“Duh, lama banget ya. Mereka kok belum datang sih. Bang, kita nggak salah tempat kan?” Nina mulai kesal. Ia mengambil sebotol juice dari dashboard, lalu meminumnya.

“Tenang, Nin. Abang yakin nggak salah alamat.” Ringgo berusaha menenangkan Nina. Dirinya pun mulai tak tenang. Ia melihat jam tangannya.

“Mana tempatnya sepi banget lagi, kayak di kuburan! HIIII!!” Nina merinding.

Ringgo pun memandang sekeliling.

“Sepertinya memang benar Nin,” Ringgo mulai jahil.

“WHAAA?!! Ya ampyuun!! Iseng banget tuh penjahat. Nggak ada tempat pertemuan lain apa selain di kuburan? Di mana kek, di mall kek, kan bisa sekalian cuci mata!” Nina menjawab sekenanya sambil memain-mainkan tangannya menunjukkan kecentilannya.

“BAH!! Ada-ada saja kamu ini. Masa’ di mall sih?” Ringgo geleng-geleng kepala memandang Nina sambil tangannya mendorong pelan pundak Nina ke depan. Nina tersenyum sendiri.

“Kamu berdoa saja Nin, mudah-mudahan tidak ada arwah yang gentayangan di sini.” Ringgo mencoba menakut-nakuti Nina. Jahilnya kumat.

“Hiii, takuuutt!!!” Nina berteriak pelan sambil kedua tangannya menutupi wajahnya. Ringgo tersenyum lebar.

Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Tanpa mereka duga, Choky pun terbangun.

“Mama…, jangan tinggalin Choky, …jangan ma…” Choky mengigau sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke atas. Ringgo dan Nina kaget. Mereka berusaha menidurkan kembali Choky. Nina mengusap-usap pundak belakang Choky, sementara Ringgo membelai-belai kepala Choky.

“Mama, jangan kesitu…., sini saja sama Choky, ma…” Choky masih terus mengigau sambil matanya masih terpejam.

“Cup, cup… tidur ya sayang, tidur yaa...” Nina mengusap-usap pundak belakang Choky dan mencium ubun-ubun kepalanya berharap Choky kembali tertidur. Yup, berhasil! Choky pun tertidur, dan kembali bermimpi indah. Ringgo tersenyum lega, ia merebahkan kepalanya ke kursi mobilnya.

 

Saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Rombongan penculik itu datang sambil membawa Kayla. Ada tiga buah mobil banyaknya yang berjalan beriringan, sementara Tigor dan Kayla berada di mobil yang berada di tengah-tengahnya. Ringgo melihat mereka dari arah samping kanannya. Untuk memberanikan dirinya, Ringgo tak lupa berdoa. Tak lama ia membuka pintu mobilnya sambil tangannya menenteng koper yang sudah dipersiapkan itu. Ia berjalan sendiri mendekati mereka.

“Hebat juga nyali pacarmu itu.” Tigor tersenyum begitu melihat Ringgo sudah berada tak jauh di depan mereka. Kayla memperhatikan Ringgo dengan was-was.

Seorang laki-laki botak berbadan kekar datang menghampiri Ringgo. Mereka kini berdiri berhadap-hadapan.

“Mana anak itu?!!” Ia membentak Ringgo.

“Siapa kau?!. Kau yang menculik Kayla?!” Ringgo balas membentak.

“Kurang ajar!! Belum pernah kena bogem mentah rupanya!!” Ia bermaksud memukul Ringgo, sebelum Tigor datang menghentikannya. Ringgo sendiri sudah bersiap-siap memasang kuda-kuda hendak balas menyerang.

“Benni!! Berhenti!! Dasar otak udang!! Siapa yang suruh kau berkelahi?!!” Tigor marah dan memukul kepala laki-laki botak yang bernama Benni itu dari belakang. Kini mereka berdualah yang berhadapan.

“Kau yang bernama Ringgo?” Tigor memulai percakapan. Ringgo tidak menjawab. Ia hanya memandang Tigor dengan tatapan tajam.

“Oohh…, hebat juga kau rupanya. Baik, kalau kau tidak mau. Namaku Tigor. Kita sebenarnya tidak ada urusan. Karena itu aku bicara singkat saja. Mana uang dan anak itu??”

“Mana Kayla?” Ringgo balas menantang.

“???” Tigor terdiam sesaat sambil tersenyum sinis kemudian tertawa keras sekali, “HAHAHA!!!”

Ia terdiam lagi dan kali ini ia menatap Ringgo sambil menahan marah.

“SUUUIIITTT!!!” Ia bersiul keras dan tak berapa lama, seorang pria datang membawa Kayla yang dalam kondisi terikat kedua tangannya dan mulutnya ditutupi dengan plester hitam. Ringgo melihat Kayla sepintas. Setelah itu ia memusatkan kembali perhatiannya pada Tigor. Ia mencoba fokus.

“Sudah kau lihat pacarmu, kan? Lihat! Tidak kuapa-apakan dia. Bahkan kuberi dia baju dan sepatu bagus. Sekarang berikan uang itu dulu, baru anak itu. Setelah itu kau boleh ambil pacarmu ini. Sekarang mana anak itu?” Tigor.

“Dia ada di mobilku. Begini saja, Aku berikan uang ini dulu, lalu kau berikan dia, setelah itu kuberikan lagi anak itu padamu!” Ringgo.

“HHAAA?? Kau pikir aku ini benar-benar guoblok ya??!. Kau tidak tahu siapa aku, haa?! Tigor berjalan mendekati Ringgo sambil memaki-maki. Ringgo tidak bergeming.

Sementara itu, Ijon cs dan kawanan polisi yang melihat kejadian itu dari jauh, sudah bersiap-siap mengarahkan tembakannya ke arah para penculik itu. Mereka tinggal menunggu aba-aba menembak begitu tas koper itu diberikan oleh Ringgo. Tanpa disadari oleh para penjahat, mereka sudah datang mendekat sambil tetap bersembunyi. Sementara dari dalam mobil Ringgo, Nina mengamati kejadian tersebut dengan perasaan takut yang luar biasa. Ia mendekap erat-erat Choky sambil mulutnya tak henti-hentinya mengucapkan doa. Air mata ketakutan tak terasa mengalir ke pipinya.  

Begitu melihat pimpinannya marah, sekitar 5 orang datang menghampiri Bossnya dan satu persatu mulai menodongkan senjatanya ke arah Ringgo. Saat itulah Ringgo merasakan kakinya seperti mau copot. Rasanya begitu dekat dengan kematian. Wajahnya memucat. Tapi ia terus memberanikan dirinya. Malu sekali rasanya kalau sampai jatuh pingsan.

“Turunkan senjata kalian! Belum perlu membunuhnya!” Tigor menepis salah satu senjata yang ditodongkan ke arah Ringgo. Serentak mereka pun menurunkan senjatanya. Ringgo bernafas lega. Begitu juga Kayla.

“Aku curiga, orang ini pasti tidak sendiri. Ia terlihat berani. Kau, Limbong, Rusli! Lihat-lihat sekitar kalian, periksa sekeliling tempat ini, apa ada orang lain selain dia! Cepaatt!!” Tigor memerintah sambil tanpa sengaja ia membelakangi Ringgo.

Ringgo melihat ada pistol di belakang celana Tigor. Tanpa membuang-buang waktu, spontan Ringgo menjatuhkan tas koper yang dia pegang dan langsung memiting Tigor dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya mengambil pistol tersebut lalu menempelkan moncong pistol tersebut ke dahi kepala Tigor. Keadaan pun berbalik, kini kondisi Tigor yang terancam. Meskipun begitu anak buahnya tidak tinggal diam. Mereka kembali menodongkan pistol mereka ke arah Ringgo. Ringgo mundur ke belakang.

Kesempatan itu tidak disia-siakan Kayla. Begitu melihat Bossnya terancam, anak buah Tigor yang semula memegang Kayla erat, menjadi lengah. Saat itulah Kayla memutuskan ini kesempatan yang tepat untuk melarikan diri. Ia pun menginjak kaki orang itu dengan sekuat tenaga, kemudian berbalik dan menendang selangkangannya.

“BUUGGHH!.” Orang itupun terjatuh meringis kesakitan sambil memegang kemaluannya. Tanpa menunda waktu, Kayla langsung berlari kencang meninggalkan mereka sambil membungkuk. Spontan seorang dari anak buah Tigor menembak ke arah Kayla. Kayla tak peduli, ia terus berlari sambil badannya terus membungkuk.

Mendengar suara tembakan, kawanan polisi Bambang cs ikut menembak. Kini terjadi tembak-tembakan dua arah. Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Ringgo berlari mundur sambil tangan kirinya terus memiting erat Tigor dan tangan kanannya terus menodongkan pistolnya ke kepala Tigor. Akibatnya, Tigor jadi terseret-seret. Benni, salah seorang anak buah Tigor mengejar mereka sementara yang lainnya berlari berhamburan berusaha menyelamatkan diri.

Melihat Benni ikut mengejar Ringgo dan Tigor serta bermaksud menembak ke arah Ringgo, Tigor langsung melambai-lambaikan tangannya ke atas tanda jangan menembak. Ia takut Ringgo akan menembaknya saat itu juga. Benni tak jadi menembak, tapi terus mengarahkan pistolnya ke arah Ringgo. Ringgo pun berhenti berlari mundur, ia takut menabrak sesuatu. Ringgo melihat kawanan Bambang cs sudah datang mendekat dan menguasai keadaan. Satu persatu kawanan penjahat sudah ada yang teringkus sementara yang lainnya ada yang kabur dan ada yang masih melawan.

Mengetahui situasi menjadi tak menguntungkan di pihaknya, Benni berusaha melarikan diri, namun ia bermaksud menyelamatkan Bossnya. Saat itu juga ia nekat menembak Ringgo.

“DOORRR!!!” Kena pelipis kanan Ringgo. Ringgo terhuyung-huyung, tapi tangan kirinya masih berusaha memiting leher Tigor. Kesempatan itu  tidak disia-siakan Tigor, ia mendorong dan menendang Ringgo hingga terjatuh, kemudian berlari  kabur.

“DOORRR!!!” Sekali lagi Benni menembak Ringgo. Kali ini mengenai kaki kanan Ringgo. Akibat terburu-buru, Benni tidak focus menembak Ringgo. Ia menembak asal-asalan. Begitu Bossnya sudah pergi jauh, ia pun ikut mengejar Bossnya berlari meninggalkan Ringgo sendirian yang berteriak kesakitan.

“AADDDUUUHHH!!!” Ringgo mengerang kesakitan.

“Heeeiii!!! Di sini!!” Ringgo berteriak sekuat tenaga memanggil kawannya Ijon sambil meringis menahan sakit yang luar biasa.

Ijon yang mendengar suara erangan Ringgo, langsung memanggil Bambang dan juga Ferdy serta berlari mendatangi temannya tersebut. Sambil berlari, ia berteriak menyahuti Ringgo.

“Ringgo!! Syukurlah kau masih hidup! Kau enggak apa-apa kan?” Ijon.

“Jon! Pak Bambang! Mereka lari ke sana! Kejar mereka, Pak!” Ringgo menunjuk ke arah kaburnya Tigor dan Benni. Setelah itu ia memegang kembali kaki kanannya yang tertembak.

Serta merta Bambang bersama anak buahnya mengejar kawanan tersebut. Kini Ringgo sudah bersama Ijon dan Ferdy. Melihat darah yang terus mengucur di pelipis dan kaki kanan Ringgo, Ijon berinisiatif membuka jaketnya, lalu mengoyakkan t-shirtnya yang berwarna putih dan mengikatkannya ke kaki Ringgo dengan harapan darah bisa berhenti mengalir. Ferdy pun mengambil sapu tangannya dan mengikatkannya di kepala Ringgo.

Tak lama Kayla pun datang menghampiri mereka. Saat itu keadaan sudah bisa dikuasai oleh Bambang cs. Hampir semua kawanan penjahat itu berhasil diringkus. Namun sayangnya, Tigor sang bandit dan Benni justru berhasil lolos.

***

 

“Kayla!! Kayla!! Ke sini!” Nina berteriak memanggil Kayla. Ia pun melambai-lambaikan tangannya. Semula Kayla tidak melihat sahabatnya itu, ia terus berlari jauh meninggalkan Ringgo sendirian di sana. Suara tembakan yang tertuju ke arahnya tidak ia pedulikan. Untungnya tembakan itu meleset tidak mengenai dirinya.

“KAYLAA!!” sekali lagi Nina berteriak.

Kayla mendongakkan kepalanya. Saat tembakan berbunyi, Kayla menjatuhkan dirinya dengan maksud menghindari tembakan. Ia mendengar suara sahabatnya. Gelapnya malam menghalangi Kayla melihat Nina dengan jelas.

“Ninnaa!” pekik Kayla dalam hati. Tidak bermaksud langsung berlari, Kayla menunggu hingga tembakan berhenti. Ternyata tembakan justru datang silih berganti. Ia melihat kawanan polisi berpakaian preman mendadak muncul dari semak-semak dan menembak ke arah para penjahat itu. Ada juga yang sudah berada di atas pohon mengintai sambil membidik ke sasaran. Kayla tidak memperhatikan lagi arah suara Nina, ia berbalik melihat sergapan tersebut dan sambil merunduk ia melihat Ringgo yang sedang berlari mundur sembari tetap memiting leher Tigor menuju ke arah hutan belukar.

Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Suara tembakan saling berbalas. Melihat posisinya yang sudah aman, Kayla memberanikan dirinya untuk berdiri. Nina yang melihat Kayla berdiri, bermaksud datang menghampirinya, namun ia teringat Choky di dalam mobil. Ia membatalkan niatnya.

Tak lama Nina melihat Kayla justru berlari menjauhi dia. Nina pun berteriak.

“KAYLAA!! Jangan ke situ! Berbahaya!!”

Kayla menoleh ke belakang. Ingin rasanya mendatangi Nina, tapi ia sangat khawatir akan keselamatan Ringgo. Saat itulah ia mendengar suara letusan yang datang dari arah hutan belukar. Ia melihat Ringgo tersungkur dan Tigor kabur masuk ke dalam hutan tersebut disusul Benni, anak buah Tigor yang menembak Ringgo dua kali. Kayla menjerit histeris, lalu berlari bermaksud menemui Ringgo. Dengan tangannya yang masih terikat dan mulut yang masih ditutupi plester, ia terus berlari. Sejurus kemudian ia melihat ada sosok yang dikenalnya. Ferdy!. Ia langsung mendekati Ferdy yang kebetulan sedang bersembunyi. Semula Ferdy tidak memperhatikan, namun begitu melihat Kayla mendatangi dirinya, ia pun datang menjemput atasannya itu dan tanpa dikomando ia langsung membuka tali yang mengikat kedua tangan Kayla dan kemudian membuka plesternya.

“Fer! Bang Ringgo tertembak! Tolong dia, Fer!” Begitu plester itu lepas, Kayla langsung menjerit histeris sambil menangis.

“Hhaa??! Bang Ringgo? Di mana?” Ferdy panik sambil memegang tangan atasannya. Kapan lagi, pikirnya.

“Di sana!! Cepat Fer!” Kayla menunjuk ke arah hutan belukar. Ferdy pun berlari meninggalkan Kayla, sambil berteriak memanggil Ijon, saat itu Ijon sedang berlari menuju ke tempat Ringgo berada. Kayla melihat dari jauh. Suara tembakan mulai mereda. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kayla pun berlari menyusul Ferdy.

***

 

Tigor berlari kencang menembus hutan lebat. Tanpa mempedulikan lagi sekitarnya, ia terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Ia menerobos apa saja yang dilewatinya. Tampaknya Tigor hafal tempat itu. Di belakangnya, Benni menyusul. Mereka terus berlari tanpa henti.

Kawanan polisi yang mengejar mereka tidak berhenti menembaki mereka. Namun karena tidak menyangka akan masuk ke dalam hutan, Bambang cs mulai kesulitan mengejar Tigor dan Benni. Mereka pun kehilangan arah. Atas komando Bambang, mereka pun berpencar. Bambang masih melihat sekelebat bayangan Benni dari jauh.

“Berhenti!!” Ia berteriak sambil melepaskan tembakan. Tapi bayangan itu semakin berlari menjauh. Ia pun terus mengejar.

Benni yang merasa dirinya masih terus dikejar, memutuskan bersembunyi. Ia bersembunyi di sebuah pohon tua yang besar dan rimbun. Dengan nafas yang masih tersengal-sengal, ia memperhatikan Bambang dengan seksama. Bambang masih melajukan langkahnya dengan cepat. Suasana pun menjadi hening, tidak terdengar lagi suara orang berlari.

“Sialan!” Bambang mengumpat menahan kecewa. Ia berhenti di tempat. Karena tidak mungkin lagi melakukan pengejaran, ia pun memutuskan untuk menghentikan pencarian. Sambil menahan kesal ia memerintahkan anak buahnya berhenti mencari dan meninggalkan hutan.

Benni menarik nafas panjang. Ia melihat situasi sudah aman. Kini ia bisa dengan leluasa kabur dan menyusul Bossnya yang pasti sudah menunggunya di tempat yang sudah ditentukan.

“Bang! Itu Bos Tigor! Dekati Bang!” Salah seorang anak buah Tigor melihat Tigor berlari dan keluar dari dalam hutan.  

Dengan  sigap  mereka  menghidupkan  kereta (11)-nya dan mendekati Tigor. Sambil berlari terengah-engah, Tigor berteriak memanggil anak buahnya.

(11)  kereta : motor

“Kenapa Boss?” dengan tololnya salah seorang anak buah Tigor bicara.

“Jangan banyak tanya! Kita harus segera berangkat dari sini!” Tigor mendekat dan menaiki kereta yang berada didekatnya.

“Tunggu! Jangan berangkat dulu! Kita tunggu Benni. Ia tadi di belakangku!” Tigor mencegah anak buahnya yang bermaksud segera melarikan keretanya.

Dugaan Tigor benar. Tak lama Benni menyembulkan kepalanya dan berlari ke luar dari hutan. Seseorang yang dipanggil abang dengan cekatan langsung mendekati Benni, kemudian dengan sigap  Benni langsung loncat dan mendarat mulus di jok belakang kereta itu. Mereka pun langsung tancap gas dan kabur.

***

 

Akibat tembakan yang mengenai pelipis dan  kaki kanan  Ringgo,  dirinya mengalami luka-luka yang cukup parah. Untung saja, peluru yang mengenai pelipis kanan wajahnya tidak sampai menembus melainkan hanya menggores bagian kanan dari pelipisnya. Meskipun begitu peluru yang mengenai kaki kanan Ringgo terpaksa masih harus bersarang di sana.

“Bang Ringgo!! Bertahan ya, bang!!” Kayla mendekati Ringgo sambil memeluk dan menciumi wajahnya. Ringgo meringis kesakitan. Ia masih terduduk di bawah pohon sambil tangannya terus memegangi kakinya yang tertembak walaupun sudah diikat. Tak lama Ijon dan salah seorang dari kawanan polisi memapah dirinya. Mereka memutuskan membawa Ringgo ke rumah sakit terdekat.

Nina melihat mereka dari jauh. Ia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya begitu melihat Ringgo sedang dipapah berjalan mendekati dirinya. Ia juga melihat Kayla yang berlari ke arahnya. Bak dalam sinetron, Nina pun berlari mendekati sahabat karibnya itu. Mereka berpelukan sambil menangis terharu.

“Kaylaa!! Kamu nggak apa-apa kan?”. Nina.

“Nggak apa-apa Nina, kamu?” Nina tidak menjawab, ia hanya menggeleng. Ia memandang wajah temannya lekat-lekat, seolah-olah tidak pernah berjumpa setelah sekian tahun. Sejurus kemudian ia melihat lagi Ringgo.

“Bang Ringgo kena tembak ya, Kay?”

“Iya Nin…” Kayla menjawab pelan sambil menangis sesunggukan.

“Ya Tuhan!! Bang…!!” Nina menjerit sambil melepaskan pelukan Kayla dan menghampiri Ringgo yang sedang dibopong sambil terus menjerit kesakitan.

Tak lama kemudian mereka bersiap-siap membawa Ringgo ke rumah sakit. Saat itu sudah menjelang subuh. 

BERSAMBUNG

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel