Ketika Cinta Bicara (When Love Talks) Chapter 3

30 Mar 2016 15:12 6433 Hits 4 Comments
Pada bab 3 mulai terkuak alasan para penculik menculik Kayla, ternyata ada hubungannya dengan anak angkatnya,Choki. Pada bab ini Kayla juga mencoba mengingat masa pertemuannya dulu dengan Choki sebelum akhirnya memutuskan mengangkat Choki sebagai anak angkatnya.

Pagi yang indah. Terdengar kicauan burung gereja bernyanyi merdu mengiringi pancaran sinar matahari pagi yang sejuk. Pancarannya menembus masuk tepat mengenai wajah Kayla dan perlahan membangunkan Kayla yang sempat lelap tertidur. Sinarnya yang menyilaukan mata membuat Kayla kesulitan membuka kelopak matanya. Dengan tangan kanannya ia menutupi kening wajahnya sambil melihat sekitarnya. Tampak didepan Kayla berdiri seorang laki-laki berewok yang sedari tadi menunggu dirinya terbangun. 

“Sudah bangun kau rupanya.” Dengan logat Batak yang kental laki-laki itu menyapa ramah.

Masih dalam kebingungan, Kayla mencoba bangun. “Saya dimana ini? Siapa kau?” Kayla bertanya galak. Sambil memperbaiki duduknya, matanya menatap tajam ke arah laki-laki itu. Ada pancaran amarah dimatanya.

Laki-laki itu tersenyum. Ia membalas tatapan tajam Kayla dengan senyuman. Sambil jongkok, ia berusaha membelai wajah Kayla. Namun usaha itu tidak disambut baik oleh Kayla. Dengan spontan ia menepis tangan laki-laki itu dengan kasar. Dengan sigap pula Kayla menghindar dengan mendorong dirinya ke belakang menggunakan kedua tangannya menjauh dari laki-laki yang tidak dikenalnya itu.

Sadar bahwa usahanya tidak disambut baik, Ia pun bangkit berdiri. Laki-laki yang bertubuh gendut dan tidak terlalu tinggi itu berjalan menjauhi Kayla. Ia merogoh saku bajunya, membuka sebungkus rokok dan mengambilnya sebatang. Kemudian ia berjalan menuju ke sebuah meja yang berada di dekatnya. Laki-laki itu mengambil sebuah Zippo berwarna hijau daun yang terletak di meja itu. Ia menyulut rokok itu dalam-dalam. Matanya menatap Kayla lekat. 

“Kau tahu, aku sudah menantikan saat-saat ini. Bisa bertemu dan bertatap muka dengan seorang wanita lihai macam kau!” Laki-laki itu mulai berbicara. Suaranya mulai terdengar berat dan parau. Ucapan laki-laki itu membuat Kayla semakin bingung.

Mungkin orang ini sudah gila. Wanita lihai? Apa maksudnya?, Kayla bertanya keheranan dalam hati.

“Ha…ha…ha…!!” Laki-laki itu tertawa seolah-olah bisa menjawab pikiran Kayla. “Aku tahu kau pasti kebingungan kan, ha…ha…ha…!!” Ia tertawa lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.

“Ya, saya memang tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan saya saat ini. Bisa di jelaskan…” Kayla mencoba menjawab dengan ramah, tetapi kini nada suaranya menyimpan ketakutan, ia teringat kejadian semalam.

Laki-laki itu mendekati Kayla, sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, ia mencoba menenangkan Kayla. Tangannya yang kasar akhirnya berhasil membelai wajah Kayla yang lembut. Kayla membiarkan dirinya dibelai laki-laki itu. Ia lalu mendekatkan bibirnya ke arah telinga Kayla sambil berbisik pelan, “ Di mana kau sembunyikan si Ucok, anak kecil itu ?”

Kayla terdiam, wajahnya memerah bagaikan tersambar petir. Ia mulai mengerti arah teka-teki ini.

Ucok? Maksudnya Choky? Jangan-jangan ayahnya ikut terlibat…, Kayla menerka-nerka.

“O, ya, namaku Tigor. Tapi anak buahku biasa menyebutku BOSS…” Tigor mengulurkan tangannya ke arah Kayla. Kayla tidak merespon.

Sedikit demi sedikit, tabir mulai terkuak. Ia baru sadar bahwa peristiwa ini ternyata ikut melibatkan Choky, anak angkatnya yang masih berusia 5 tahun.

***

 

Kayla sangat menyayangi Choky. Wajahnya yang lucu dan menggemaskan sanggup membuat hari-hari Kayla menjadi lebih indah. Ia mengangkat Choky sebagai anak ketika saat itu, tiga tahun yang lalu, ia melihat Choky sedang duduk seorang diri di trotoar jalan sambil memandangi dirinya pada genangan air hujan di dekatnya. Sesekali ia memainkan air itu dengan jari telunjuknya. Seolah tidak peduli dengan keadaan di sekelilingnya, Choky asyik dengan dunianya.

Saat itulah, sebuah mobil Kijang Innova berwarna biru tua metalik melintasi jalan tersebut. Tak berapa lama, mobil itu berhenti tepat di trotoar tempat Choky berada. Seorang wanita dengan stelan blazer hitam bergaris-garis putih vertical keluar dari mobilnya mendekati Choky yang masih asyik bermain-main dengan kubangan air itu. Wanita itu adalah Kayla. Saat itu hari sudah sore. Tidak seperti biasanya memang Kayla melewati daerah kumuh itu. Semula Kayla hanya ingin menghindari macet yang selalu terjadi di jalan-jalan protocol di kota Medan pada jam pulang kantor. Tak dinyana, inilah yang menjadi awal petualangan bagi kehidupan Kayla di kemudian hari.

Kayla berjalan mendekati anak itu. Sambil membungkuk, Kayla berkata, “Halo…, kamu namanya siapa ? Kenapa main sendirian di sini…?”

Anak itu menengok ke arah Kayla dan hanya tertawa menjawab pertanyaan Kayla. Suasana saat itu cukup sepi, hanya beberapa orang saja yang lalu lalang di trotoar itu. Meskipun begitu tidak ada satupun yang peduli dengan nasib anak ini. Mereka hanya memandangi sekilas namun setelah itu berjalan menjauh. Kayla tercenung. Ia pun berdiri dan memandang ke sekeliling, mencoba mencari keberadaan orang tuanya. Ia menuju ke sebuah ruko terdekat untuk bertanya, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Tidak ada satupun yang tahu orang tua anak itu, atau mungkin tidak mau tahu. Sampai akhirnya seorang ibu tua bermata sipit berjalan tertatih-tatih mendekati Kayla.

“Nak,…” Kayla menoleh ke belakang.

“Orang tua si Ucok … tinggal sekitar dua blok dari sini…. Sudah dua hari… ibunya membiarkan anaknya di sini…” Nenek itu menjelaskan dengan intonasi lambat.

Kayla terkejut mendengar penjelasan nenek ini. Orang tua mana yang tega membiarkan anaknya sendirian di sini?

Nenek ini melanjutkan pembicaraannya, “Biasanya anak ini ditemani kakaknya ... Tapi sejak semalam …kakaknya tidak kelihatan.”

“Mengapa orang tuanya tega ya meninggalkan anaknya sendirian di sini ?” Kayla bertanya penasaran.

“Waahh…, wa(1) juga tak tahu lo..., tapi wa kenal ibunya…”

“Nenek tahu rumah orang tua anak ini, bisa nenek tunjukkan di mana ?”

“Itu … di sana … “ Nenek itu menunjuk ke sebuah pemukiman kumuh yang terletak dekat sungai, “ Lu turun dulu ke sana lo, baru belok kiri… terus belok kanan,… nanti sampai ujung, lu tanya saja rumahnya si Ucok…” Nenek itu menjelaskan dengan detil.

“Oh, kalau begitu saya ke sana saja. Saya bawa saja si Ucok ini. Kamsiah(2) ya nek.” Kayla bermaksud menggendong anak tersebut ketika sang nenek mencegahnya.

“Me-memangnya … lu siapanya si Ucok …, saudaranya, ya?” Nenek itu bertanya penasaran sambil memegang tangan Kayla.

“Bukan, saya hanya kasihan melihat anak batita duduk sendiri di trotoar jalan. Kan berbahaya sekali, nek. Saya mau berikan ke ibunya.” Kayla menjelaskan.

 

(1) Wa (bahasa Hokian) : Saya ; (2) Kamsiah : Terima kasih

“Ya… ya… betul juga…“ Nenek itu menunduk-nundukkan kepalanya tanda setuju dengan penjelasan Kayla.

“Lu bawa deh…, tapi hati-hati ya…. Bapaknya suka kumat… “ Kayla kembali terperanjat.

“Maksud nenek?“

“Bapaknya tukang mabuk…. Kalau sudah kumat mabuknya, bahaya….”

Kayla memantapkan niatnya untuk membawa pulang Choky alias Ucok ke rumahnya. Ia menggendong Choky seperti menggendong anaknya sendiri. Ada getar-getar cinta yang dirasakan Kayla saat menggendong anak itu. Matanya yang bulat, hidung yang mancung dan bibir yang tebal berisi menambah ketampanan wajah sang bayi ini. Meskipun lucu, tapi badan Ucok kurus. Sepertinya anak ini kurang gizi, pikir Kayla. Yang membuat Kayla semakin terpikat adalah ketika Ucok tertawa saat ia hendak menggendongnya. Tidak menolak ataupun  menangis. Ia  menuruti  saja  kemauan  Kayla.

Setelah mengikuti instruksi yang diberikan sang nenek dan setelah bertanya dengan tetangga Ucok di sekitar pemukiman tersebut, Kayla sampai ke rumah yang diyakini rumahnya Ucok. Dengan memberanikan diri ia mengetuk pintu rumah itu. Saat sedang  mengetuk,  tiba-tiba seorang  wanita  datang dan menghardik  Kayla.

“HAIII!!! Mau apa kau!! Kenapa anakku kau bawa-bawa..!!”

Kayla menoleh. Ia kaget bukan main. Belum sempat Kayla memberikan penjelasan, dengan kasar ibu itu merampas anaknya dari gendongan Kayla. Seketika itu juga Ucok menangis.

“Maaf bu, saya tidak ada maksud apa-apa. Saya justru mau berikan pada orang tuanya...”

“Aku ibunya, ini anakku. Sekarang kau boleh pergi!!” Ibu itu mengusir Kayla. Kayla tersinggung.

“Baik, saya akan pergi. Tapi kalau memang ibu orang tuanya, tolong jangan biarkan anak ibu bermain-main di trotoar jalan! Ibu tidak punya perasaan!!” Perkataan Kayla membuat ibu itu terdiam. Puas karena telah menyalurkan amarahnya, Kayla segera angkat kaki dari tempat itu.

“Orang miskin yang sombong!” umpat Kayla pelan.

Ketika sedang melangkahkan kakinya pergi, selang beberapa langkah, ibu itu memanggil Kayla.

“Dek, tunggu…” Kayla berdiri terpaku.

“Maaf dek, saya sudah berlaku kasar. Se… sebenarnya saya… juga tidak mau… seperti ini…” Ibu ini terbata-bata sebelum akhirnya mengeluarkan air mata. Melihat ini, Kayla tak sampai hati. Ia langsung mengerti bahwa ibu ini sedang mengalami masalah yang berat. Kayla memberanikan diri mengelus-elus pundak sang ibu yang malang itu.

“Sudah, tidak apa-apa kok, bu. Saya tidak marah. Mungkin ada yang bisa saya bantu?” Mendengar Kayla berbicara seperti itu, tangis ibu itu pun semakin menjadi-jadi. Hati Kayla semakin ciut.

“Bagaimana kalau kita masuk saja ke rumah ibu, boleh? Nanti di rumah, ibu bisa menjelaskan semuanya pada saya…”

“Jangaann!! Nanti kalau bapaknya Ucok pulang bisa gawat...!” Ibu itu mencegah Kayla masuk ke rumahnya. Kayla langsung teringat perkataan nenek yang ditemuinya di pinggir jalan, kalau bapaknya Ucok seorang pemabuk.

“Sudah, nggak apa-apa dek, nggak apa-apa. Terima kasih ya dek, sudah menolong. Sebaiknya adek pulang saja, sudah malam..” Hari memang sudah mulai malam, suara azan maghrib pun terdengar. Namun Kayla seperti enggan meninggalkan tempat itu. Hatinya tergerak oleh belas kasihan. Ia sangat ingin menolong ibu itu.

“Kalau begitu begini saja bu…” Kayla merogoh tasnya dan mengambil sebuah kartu dari dompetnya.

“Ini kartu nama saya. Kalau ibu perlu bantuan saya, hubungi saya di sini.” Kayla memberikan kartu namanya. Tak lupa Kayla juga memberikan dua lembar uang seratus ribu rupiah kepada ibu itu.

“Ini untuk beli susunya Ucok. Ibu ambil ya…” Kayla melipat-lipat uang itu lalu memberikannya ke tangan ibu itu. Ibu itu terpana. Tidak ada satu katapun terucap dari mulutnya.

“Baik, saya pulang dulu. Ucok, kakak pulang dulu ya. Sampai ketemu lagi.” Kayla pamit. Tak lupa ia mencium pipi Ucok.

Kejadian itu tidak akan pernah dilupakan Kayla. Sejak itu wajah Ucok selalu terbayang.

***

 

Dua hari kemudian sejak pertemuannya dengan Ucok, pada suatu malam….

“Kak…., kak Kayla…. Bangun kak….!” Terdengar suara yang memanggil Kayla sambil mengetuk pintu kamarnya.

“Kaakk…., bangun kak…!” Ketukan pintu terdengar lebih jelas.

Kayla terbangun. Ia membuka kelopak matanya perlahan, “Siapa siiihhh….“ Kayla sewot.

“Kaaakk…!”

“Ada apa sih, Is…?” Kayla berteriak kesal. Ia membalikkan badannya, tapi tetap berbaring.

“Ada tamu, kak. Ada ibu dengan anaknya mau ketemu kakak...,” mendengar itu, dengan sigap Kayla meninggalkan tempat tidurnya dan membukakan pintu kamarnya.

“Siapa Is?” seperti tidak percaya dengan ucapan pembantunya, Kayla bertanya kembali.

“Itu kak, ada ibu dengan anaknya mau ketemu kakak.” Dengan polosnya Iis mengulangi perkataannya.

Kayla bingung. Tidak biasanya ia menerima tamu pada tengah malam. Penasaran, ia pun segera melangkahkan kakinya bertemu “tamu misterius” itu. Dengan masih mengenakan piyama warna coklat muda, ia membuntuti pembantunya dari belakang.

“D…dek Kayla… masih kenal saya kan… ibunya Ucok…” Seorang ibu langsung menyapa dengan ramah saat ia melihat Kayla.

“Oh…iya. Apa kabar, bu…” Begitu ia melihat ibu itu, Kayla langsung teringat peristiwa dua hari yang lalu. Kayla senang. Sejurus kemudian ia melihat ibu itu sedang menggendong anaknya yang sedang tertidur lelap.

“Ehh..., ibu bawa Ucok kemari?” tanya Kayla heran.

Ibu itu pun bercerita panjang lebar. Sambil menangis terisak-isak ia menceritakan kesusahannya pada Kayla. Sepertinya ibu ini sudah tidak tahu lagi kemana ia bisa menumpahkan segala kegundahan hatinya. Pilihan pun jatuh pada Kayla. Segala permasalahan yang dia alami diceritakan seluruhnya kepada Kayla. Dengan seksama Kayla mendengar cerita sang ibu itu.

“Begitulah dek Kayla. Saya sudah tidak sanggup lagi. Kerja bapaknya hanya mabuk-mabukan. Setiap hari saya dikejar-kejar penagih utang. Yang lebih sedih lagi, anak perempuan saya yang tertua, menghilang entah kemana. Hanya tinggal Ucok yang menemani saya. Tapi saya juga tidak mau membiarkannya sengsara. Untuk itulah saya memberanikan diri menitipkan anak ini pada dek Kayla. Hanya dek Kayla yang saya percaya...”

Demi mendengar cerita itu, Kayla tak kuasa menolak permintaan ibunya Ucok. Ia mengangguk tanda setuju.

“Dengan senang hati saya akan membantu ibu. Tapi bagaimana kalau bapaknya cari?”

Ibunya Ucok terdiam sejenak. Beberapa detik kemudian ia menjawab, “Bapaknya setuju kalau Ucok dititipkan, tapi saya tidak memberitahukan kalau saya titipkan pada dek Kayla. Dia pikir Ucok saya titipkan ke ibu saya, neneknya Ucok di kampung.”

“Bagus kalau begitu. Saya akan jaga baik anak ibu. Ibu juga boleh kesini kapan saja.” Kayla tersenyum senang sambil ia mengarahkan tangannya hendak mengambil Ucok dari gendongan ibunya.

“Sementara saja saya titip anak saya ya dek Kayla, sampai saya mendapat pekerjaan baru. Setelah itu saya berjanji tidak akan mengganggu dek Kayla lagi.” Ibu itu berjanji lalu melepaskan gendongannya dan menyerahkan anaknya kepada Kayla.

“Ibu tidak usah kuatir. Nanti saya coba bantu carikan pekerjaan untuk ibu, ya.” Kayla berusaha menenangkan sang ibu yang mulai menangis terisak menahan haru.

Setelah melewati “prosesi” yang berjalan cukup mengharukan, akhirnya seorang batita bernama Ucok kini bisa tertidur lelap di kamar Kayla. Lelap dan tidak peduli dengan keadaan sekitar. Bagi Ucok hidupnya berjalan dengan  indah.

***

 

Pada suatu siang, di sebuah café…

“Lo udah gila ya, Kay?” Nina berteriak nyaring setelah mendengar cerita sahabat karibnya itu sambil menunjuk-nunjuk ke arah jidat kepalanya sendiri.

“Koq lo yang sewot sih, Nin?. Gue bener-bener nggak tega melihat kehidupan mereka yang sangat memprihatinkan. Rasanya ingin segera melepaskan mereka dari jerat kemiskinan yang melilit mereka…” Kayla  tertunduk  sedih.

“Tapi nggak sampai segitunya dong Kay. Nanti kalau ada apa-apa bagaimana? Lagian jaman sekarang Kay, begitu banyak penipuan berkedok kemiskinan. Masa’ lo nggak tau sih?”

“Tapi kalau yang ini gue yakin, mereka tidak mungkin menipu, Nin. Feeling gue nggak mungkin salah,” Kayla berusaha meyakinkan temannya.

“Yaa, I hope you’re feeling right.” Nina menggoyang-goyangkan kepalanya sambil mencibirkan mulutnya tanda menyindir. Tangannya sibuk memotong-motong steak kesukaannya yang tinggal sedikit lagi habis.

Kayla sewot. Ia tak selera makan. Nasi goreng cap cay favoritnya sama sekali tak tersentuh. Pandangannya menuju ke arah kaca café. Tatapannya kosong. Tangannya hanya memain-mainkan sendok dan garpu tanpa berniat memakan nasi goreng kesukaannya. Ia mulai merasa takut dan kuatir, perkataan Nina ada benarnya juga.

Melihat temannya melamun, Nina pun menghentikan makan siangnya. Ia menatap Kayla kasihan sambil mengambil dan menyeruput juice terong belanda yang ada di samping kirinya.

“Sorry, gue gak bermaksud menakut-nakuti lho, Kay. Gue hanya mengungkapkan pendapat. Lo kan tau gue. Gue juga berharap pilihan lo tepat, kok.” Nina menghibur temannya. Sesekali matanya memandang ke arah nasi goreng cap cay di depannya  dan berharap mudah-mudahan Kayla mau memberikan makanan yang mengundang selera itu kepadanya.

Mendengar ucapan temannya, Kayla berbalik memandang Nina. Ia melihat senyum lebar Nina. Hatinya sedikit tentram. Kayla mengangguk senang.  

“Thanks, Nin. Lo memang teman yang baik.”

“What friends are for. Hehehe...” Nina tertawa kecil.

“By the way, lo mau nasi goreng gue, belum gue makan koq, Cuma gue obok-obok sedikit. Kalau mau….”

Belum selesai Kayla bicara, tanpa berpikir panjang, Nina langsung menyambar nasi goreng Kayla secepat kilat dan menghabisinya tanpa ampun.

“???...” Kayla terbengong-bengong.

“Kelakuaann!!!...”

***

 

Setelah berusaha mengingat-ingat peristiwa demi peristiwa dan menghubungkannya dengan kejadian semalam, sedikit demi sedikit, misteri pun mulai terkuak. Kayla mulai memahaminya. Saat ini Kayla sudah ditempatkan kembali di gudang tempat ia sebelumnya diikat. Hanya kali ini ia tidak terikat.

“Menyebalkan! Kembali lagi kemari…!” Kayla menggerutu. Ia sibuk berjalan mondar-mandir tanpa tujuan. Kayla mulai berpikir keras.

“Aduuhh…, apa yang harus kulakukan?” Kayla meringis. Tangannya merogoh saku celananya, berharap ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Sebuah kertas kecil yang basah dan lusuh akibat terlipat-lipat berhasil ia dapatkan dari saku celananya yang sebelah kiri. Kayla membuka lipatan-lipatan kertas tersebut perlahan-lahan agar tidak sobek. Sejurus kemudian ia tersentak. Sebuah gambar pemandangan lengkap dengan rumah dan gambar dirinya sedang menggandeng tangan seorang anak kecil membuat ia tak kuasa menahan tangis. Ia teringat anak angkatnya Choky, yang tak lain adalah Ucok. Dua hari sebelum peristiwa ini, tepatnya pada hari Minggu, Choky memberikan kertas itu kepada Kayla dengan malu-malu.

“Mama Kayla…” Choky menarik-narik baju Kayla yang saat itu sedang menyetir. Kayla menoleh.

“Choky punya sesuatu untuk mama… Ini, ma.” Anak itu menunjukkan gambar buatannya sendiri dengan bangga dan tersenyum lebar. Ia merentangkan kertas itu lebar-lebar ke arah Kayla dengan harapan Kayla melihatnya.

“Wow, great!. Kamu memang pintar menggambar.” Kayla melihat sepintas dan tertawa senang.

Seolah-olah tidak puas dengan tanggapan Kayla, Choky membuka sabuk pengamannya, berdiri dari tempat duduknya, mendekat ke arah Kayla dan kembali mengangkat kertasnya tinggi-tinggi. Kayla merasa terganggu.

“Iya, mama tahu, nanti saja mama lihat ya, mama sedang nyetir. Nanti kalau tabrakan bagaimana?” Kayla protes.

Mendengar protes dari mama angkatnya, Choky duduk dengan lesu. Tak tega melihat keadaan seperti itu, Kayla meminggirkan mobilnya untuk berhenti. Sedetik kemudian, ia mengambil kertas itu dari tangan Choky, dan melihatnya lebih teliti lagi. Tidak ada yang luar biasa, seperti layaknya gambar anak berusia lima tahun, pikir Kayla. Tak lama Kayla tercekat, di bawah gambar tersebut Choky menulis lima buah kata yang begitu menyentuh hati Kayla : I Love You, Mama Kayla.

Kayla tersenyum dan memandang wajah Choky lekat-lekat dan berkata ”I Love You too, Choky”. Choky tersenyum senang. Kayla merentangkan tangannya lebar-lebar ke arah Choky.

“Berpelukaaann…!!” teriak Kayla yang langsung disambut dengan antusias oleh Choky. Dan mereka pun berpelukan. Semenjak itu kertas itu selalu dibawa oleh Kayla.

 

Hari mulai beranjak siang. Kayla mulai merasa lapar. Ia bangun dari tempat duduknya. Sambil melipat kembali kertas tersebut, ia teringat jika sebenarnya ia bermaksud untuk membingkai lukisan Choky di dinding ruangan kerjanya. Kesibukannya memimpin rapat di kantornya membuat dia baru membeli figura sore hari saat berbelanja dengan sahabat karibnya, Nina. Kayla tertunduk sedih. Ia mulai teringat ibu dan teman-temannya.

Mama, Nina, bang Ringgo… where are you?. Apa mereka sedang mencari aku...?. Pertanyaan-pertanyaan itu mulai meresahkan Kayla. Pikirannya campur aduk. Marah, sedih, risau, kesal, putus asa, semua bercampur menjadi satu. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Matanya menerawang jauh.

 

BERSAMBUNG

 

 

About The Author

Arya Janson Medianta 47
Ordinary

Arya Janson Medianta

0813 7652 0559 (WA) Arya_janson@yahoo.com
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel