Berbeda itu Indah

29 Mar 2016 15:02 2944 Hits 0 Comments
Anak-anak berbeda agama sedang menunjukkan ekspresi ceria saat berfoto di depan salah satu rumah ibadah. Foto Dokumentasi

 

Mandhep mantep tur panggah,

Kuwat ing pangangkah,

Kukuh kasmala nirmala,

Ngantepi urip prapteng layu yakin,

Tang mangeran budi cipta

 

Dia berkiblat dengan mantap dan tetap,

Kuat niatnya,

Kukuh untuk menyucikan diri dari segala yang kotor,

Teguh dalam pendirian menemui ajal,

Tidak akan mempertuhan budi cipta.

(Serat Syekh Siti Jenar)

 

Adzan subuh berkumadang saling bersautan dari masjid satu ke masjid lain, membangunkan mata dari mimpi yang indah.  Laki-laki bertubuh tegak mulai melangkahkan kakinya menuju tempat wudhu dan keluar selangkah demi selangkah menuju masjid. Meninggalkan 2 temannya yang masih terlelap dalam tidurnya. Pulang dari masjid dalam hati kecilnya berkata.

“Andai kedua teman ku  itu seagama dan seiman dengan ku pasti akan lebih menyenangkan menjalankan hidup ini, tapi ini lah hidup di dunia. Perbedaan tidak menghambat ku untuk bersujud kepada-Nya.”

Matahari mulai bangun dari tidurnya, menyapa bumi dengan senyuman yang indah. Kilauan sinarnya, menerangi seisi bumi yang telah terlelap tidur. Tepat pukul 06.00  aku sudah siap menjalakan aktifitas. Tak lupa aku bangunkan kedua temanku yang masih terlelap dalam mimpinya.

“Bos...bangun bos.... panggilan akrab kita bertiga...sudah siang ayo, kalian berdua kerja gak?,”

Berhenti ku memanggil,, dijawab dengan suara pelan.

“ ya..iya.. aku bangun... sekarang jam berapa?”

 “Pukul 08.00...”, jawabku.

Ssengaja aku berbohong agar mereka segera beranjak dari tempat tidurnya. Mendengar jawaban itu, keduanya langsung lari menuju kamar mandi. Meninggalkan mimpi indahnya yang belum selesai.

Sebelum berangkat, seperti biasa kita bertiga ngumpul menunggu gerobak penjual nasi dan bubur lewat. Gerobak yang memberikan sarapan kita bertiga setiap pagi.

“Bos sudah jam delapan kenapa gerobak langganan kita belum lewat sin.”

“ Jam delapan kan menurut kamu,,” dengan nada sedikit tertawa bibirku berucap.

“Emangnya sekarang jam berapa?”

“ Lihat saja sendiri jam dinding yang tak pernah berhenti berputar itu,”sahutku.

“Waaaah..wah..wah ternyata baru pukul tujuh kurang lima belas menit. Sialan kamu ngerjain aku.”

 “Kalau gak gitu kalian berdua tidak akan bangun,” kataku.

 Ting....ting...ting… terdengar suara gerobak pemberi energi pagi kita. Tanpa basa-basi serentak bertiga berkata.

“seperti biasa pak.”

Perut keroncongan semalam akhirnya terisi di pagi ini, ketiganya melanjutkan aktifitas masing-masing. Dengan arah dan jalan yang berbeda dengan kedua temanku akupun tetap semangat walaupun hanya dengan berjalan kaki menyusuri sepanjang jalan setapak menuju jalan raya.

Kehidupan ini memang indah, tapi tidak semua orang bisa merasakannya. Kerakusan manusia membuat semua serba kurang. Tapi itulah manusia yang bisanya hanya meminta dan memohon kepada Sang Maha Pemberi.

Tepat di pinggir jalan, bus arah ke kantor datang dengan asap knalpot yang mengepul ke udara. Bus yang penuh dengan penumpang ini melaju dengan kecepatan tinggi.

Jam dinding di dalam bus menujukkan pukul 07.45, ini menunjukkan lima belas menit lagi jam masuk kantor. Dengan penuh kepercayaanku kepada sang pengemudi bus bahwa sebelum jam delapan aku pasti sudah sampai di depan pintu masuk kantor.  Kepercayaanku kepada sang sopir benar tepat, pukul 07.50 aku sudah sampai di depan kantor.

Seperti hari-hari biasa, kerjaan kantor selalu padat,  membuat tenaga ku terkuras habis untuk menyelesaikan semua kerjaan kantor. Bagiku kerjaan seperti ini sudah biasa, karena aku menjalankannya dengan penuh keikhlasan dan kepercayaanku kepada Tuhan yang selalu memberikan jalan keluar bagi hambanya.

Semua kerjaan telah selesai, jam dinding pun sudah menunjukkan jam pulang kantor, akupun bergegas pulang, tak lupa jari tanganku memencet tombol absen yang terletak di depan pintu masuk kantor.

Sepanjang perjalanan ku menuju terminal bus, terlihat seorang anak berpakaian rapi duduk di bawah pohon depan gereja di seberang jalan yang terlihat menangis. Ku dekati dan aku tanya.

“Kenapa kamu menangis?”

Dengan nada sedih terlontarkan suara dari mulut anak kecil itu.

“Aku dimarahi ibu karena tidak mau ikut masuk gereja."

“Memangnya kenapa gak mau masuk gereja?” tanya ku balik.

“Aku ingin main sama teman-teman  di rumah,” jawabnya sambil mengusap air mata  yang membahasi pipinya.

Karena waktu sudah sore dan aku harus sampai terminal sebelum bus jurusan rumah berangkat, aku sedikit berpesan pada anak tadi.

“Berhentilah menangis dan turutilah apa yang dikatakan orang tua. Mungkin ibu kamu punya maksud tersendiri. Masuklah ke dalam dan temui ibumu.”

Mendengar nasihatku, berlarilah anak itu masuk ke dalam gereja.

Sepanjang perjalanan, aku termenung di dalam bus memikirkan anak kecil yang menangis di depan gereja tadi. Semoga saja nasehatku tadi bisa menyadarkan anak itu. Hidup tolong menolong memang menyenangkan, membantu seseorang tidak harus melihat status orang tersebut. Kalau memang seseorang membutuhkan mengapa tidak kita membantu selagi bisa.

Kehidupan ini memang penuh dengan teka-teki, sekarang aku bisa membantu, lain kali pasti aku membutuhkan bantuan orang lain.

 

 

Tags

About The Author

Abdus Salam 36
Ordinary
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel