Era kemajuan teknologi internet, melahirkan berbagai inovasi didalamnya. Berbagai hal dalam aspek kehidupan dapat dipengaruhi oleh internet. Yang lagi tren saat ini adalah pengaruh transportasi online berbasis aplikasi yang mendapat reaksi keras dari taksi konvensional. Beberapa hari yang lalu, taksi berbasis aplikasi online, uber dan grab didemo oleh para sopir taksi konvensional, hari ini demo tersebut semakin besar bahkan di beberapa titik ada indikasi anarki berkaitan dengan protes taksi berbasis aplikasi tersebut. Bukan ditutup, namun sebaiknya taksi berbasis aplikasi tersebut ditertibkan.
Tak dapat dipungkiri, taksi konvensional memang semakin tergerus pangsa pasarnya oleh hadirnya taksi berbasis aplikasi. Hal ini tentunya akan berimbas terhadap penerimaan dari armada taksi tersebut. Jika kondisi ini dibiarkan, memang akan semakin menambah kesenjangan pendapatan yang semakin meningkat antara taksi berbasis aplikasi dan taksi konvensional. Jika masyarakat merasa lebih nyaman menggunakan taksi berbasis aplikasi, bukan tidak mungkin perusahaan taksi konvensional akan gulung tikar dimasa yang akan datang.
Fenomena protes terhadap taksi berbasis aplikasi sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun protes serupa juga terjadi di penjuru dunia lain. Penyebabnya mungkin hampir sama, “pangsa pasar taksi konvensional dicuri oleh taksi berbasis aplikasiâ€.
Mirip kasus GoJek
Protes terhadap taksi berbasis aplikasi sebenarnya mirip dengan protes terhadap GoJek, aplikasi ride sharing buatan anak bangsa. Beberapa waktu yang lalu, protes juga ditujukan kepada ojek berbasis aplikasi tersebut, namun akhirnya GoJek masih tetap jalan.
Protes yang ditujukan terhadap Uber dan Grab memang lebih besar dibandingkan protes terhadap GoJek, Namun pada akhirnya pemerintah berhasil mendudukkan berbagai pihak agar GoJek bisa berjalan berdampingan dengan ojek pangkalan.
Menengok undang-undang lalulintas
Bicara fasilitas transportasi umum, tentunya kita harus menengok undang-undang yang mengaturnya, yaitu UU No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ. Melihat undang-undang tersebut, setidaknya ada tiga hal yang harus dipenuhi para penyedia layanan transportasi umum, yaitu kendaraan yang digunakan harus terdaftar, dilakukan pemeriksaan kelayakan kendaraan dan berbadan usaha (ini mungkin berkaitan dengan pajak).
Namun hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Uber dan Grab adalah perusahaan transportasi umum? Jika jawabannya adalah iya, Uber dan Grab terikat dengan aturan diatas. Namun jika jawabannya adalah tidak, aturan diatas bisa jadi tidak mengikat Uber dan Grab.
Tantangan Ride sharing
Tak dapat dipungkiri, perusahaan taksi konvensional memang sedang dihadapkan dengan tantangan berat didepan mata. Mereka berhadapan dengan pesaing yang bermain di area bisnis yang sama, namun pesaing memiliki model bisnis yang sama sekali berbeda dan baru. Uber dan Grab bisa jadi tidak memiliki armada taksi, namun mereka mendayagunakan pihak yang memiliki kendaraan untuk bisa disewakan sebagai sarana transportasi oleh para pengguna jasanya.
Jika perusahaan taksi sudah berinvestasi besar dalam pembelian armada, berbeda dengan taksi berbasis aplikasi yang tidak berinvestasi di armada transportasinya. Berbagai komponen aturan juga mengikat taksi konvensional, yang berujung pada uang yang ditagihkan kepada pengguna lebih tinggi dibanding taksi berbasis aplikasi online.
Berubah atau punah? Konsumen yang sudah berubah
Dalam teori evolusi disebutkan, bukanlah yang terkuat yang akan bertahan, namun yang sanggup beradaptasi dengan perubahanlah yang sanggup bertahan. Meskipun teori evolusi banyak mengundang kontroversi, namun pernyataan Charles Darwin tersebut layak kita cermati berkaitan dengan sebuah kompetisi.
Jika kita simak, perilaku konsumen saat ini memang sudah berubah dibanding satu dekade terakhir. Bukan hanya masalah transportasi, untuk membaca berita pun, saat ini kebanyakan masyarakat lebih nyaman mengkonsumsi berita melalui media online. Perilaku konsumen yang lebih senang dengan bacaan digital ini jelas memukul industri koran dan surat kabar cetak. Media cetak yang tidak mengikuti tren ini bisa gulung tikar, media cetak dipaksa untuk mengikuti tren dan selera konsumen yang berubah. Tak jarang, media cetak yang sudah berpuluh tahun merajai, dipaksa untuk memiliki media online disamping versi cetaknya.
Melihat fenomena taksi konvensinal vs taksi berbasis aplikasi, ini adalah suatu hal yang tidak bisa kita elakkan. Teknologi sebagai buah pikir manusia, jelas kehadirannya adalah sebagai sebuah keniscayaan. Hadirnya teknologi berkirim pesan seperti SMS, WhatsApp, BBM dan lainnya, jelas akan mempengaruhi cara manusia dalam berkirim pesan melalui surat konvensional seperti kartu ucapan lebaran atau surat via pos. Konsumen akan memilih sesuatu yang praktis, nyaman dan yang pasti lebih murah.
Sama dengan taksi berbasis aplikasi, jika lebih mudah dan lebih murah, maka konsumen akan berbondong-bondong memilihnya. Sikap anarkis jelas tidak bisa dibenarkan. Pihak regulator atau pemerintah sangat diharapkan perannya untuk menjembatani tren transportasi yang memasuki babak baru di era digital saat ini. Semoga segera ditemukan titik temu, antara taksi konvensional dengan taksi berbasis aplikasi online agar bisa berjalan berdamping seiringan.Â