Pernahkah Anda masuk ke dalam suatu restoran dan bingung selayaknya harus bayar berapa setelah menyantap makanan? Â Pernahkah makan di restoran dan setelahnya menyuci piring dan gelasnya sendiri? Akhirnya saya pernah merasakan pengalaman itu.
Ketika pergi ke Bali, tentunya sudah banyak tempat makan terkenal yang menjadi destinasi favorit para turis yang sedang liburan atau ada pekerjaan di Bali, di antaranya Warung Made, Nasi Pedas Bu Andika, dan Restoran Menega di kawasan jimbaran dengan pemandangan indah langsung menghadap ke pantai. Tapi saya ingin mencoba sesuatu yang baru yang belum pernah saya coba sebelumnya.
Berawal dari hasil browsing di internet, saya penasaran dengan konsep Restoran 9 Angels di Kawasan Ubud, tepatnya di jalan Suweta no.5. Saya bukan vegan, namun tak mengurangi niat saya untuk mendatangi restoran vegetarian ini. Sesampainya di sana, saya sempat heran karena tempatnya agak masuk ke dalam dari papan tulisan nama restorannya. Banyaknya lukisan khas pelukis-pelukis Bali terpampang jelas ketika memasuki restoran ini. Kesan pertama saya tempat ini asyik, artistik, dan nyentrik.
Makanan disajikan dalam bentuk prasmanan, jadi konsumen bisa mengambil sendiri jenis makanannya sesuai yang disuka dan bisa sepuasnya. Yang paling buat saya penasaran adalah pumpkin soupnya. Jenis sup labu creamy ini termasuk jarang ditemui. Bahkan di Jakarta, sup ini biasanya hanya ada saat perayaan hari Halloween saja. Menu masakan lainnya hari itu adalah tempe goreng, perkedel kentang, gado-gado, pasta veggie, dan masih ada beberapa lainnya.
Semua makanannya enak tapi pumpkin soupnya sendiri benar-benar terbaik, rasanya pas di lidah saya, agak sedikit manis dengan tekstur yang lembut. Sebagai orang yang bukan vegan, saya benar-benar menikmati wisata kuliner hari itu.
Untuk minumannya sendiri terdapat beberapa jus yang disajikan tanpa gula. Selain itu mereka menyediakan air mineral dalam galon yang juga bisa dikonsumsi sepuasnya. Yang terbilang unik adalah disediakannya juga minuman Kombucha dalam suatu galon. Kombucha merupakan hasil fermentasi teh dan gula. Rasanya sendiri asam-asam manis. Saya perhatikan turis-turis asing menyukai minuman ini.
Selesai menyantap banyak makanan, saatnya mencuci piring dan gelas masing-masing di tempat yang disediakan. Lalu tibalah saya harus membayar seikhlasnya. Ya di restoran ini tidak mengenal harga, tapi membiarkan pelanggannya untuk membayar sepantasnya dan seikhlasnya. Sistem ini mengizinkan masyarakat dari kalangan manapun dapat datang ke restoran ini dengan membayar semampunya. Konsep ini dapat dikatakan semacam subsidi silang. Meskipun membayar tidak diatur dalam harga tertentu, namun saya yakin yang mampu membayar lebih pun akan membayar sepantasnya. Pelanggan yang hendak membayar, memasukkan ‘donasinya’ ke dalam suatu wadah menarik berbentuk seperti guci bertuliskan ‘your donation is highly appreciated we all can create more beautiful things and share more love ‘.
Nine Angels di Bali merupakan salah satu restoran yang pastinya takkan terlupakan di benak saya. Bukan hanya pengalaman kuliner saja yang berkesan namun ada nilai tersendiri jika suatu hari mengingat restoran ini. Ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan bukanlah mengenai seberapa banyak yang kita punya, melainkan seberapa banyak yang kita beri. Detik itu saya semakin belajar akan hal ini.