Jangan Kawin Seperti Ayam!

6 Mar 2016 13:21 2626 Hits 0 Comments
Hubungan itu kodrati, tapi diatur .....
Judul yang nyeleneh. Gila, tapi menohok. Ya, kawin tengah menggila.Yakni dengan prosesi yang di-âdiskualifikasiâ agama,  apalagi   soal âteknisâ-nya.
 

Ditengah asyik mesum,  beberapa pasangan (belum lama ini)  digerebek dalam salah satu hotel. Aparat menemukan pasangan-pasangan itu tak mengantongi legalitas pernikahan. Pernah jua (di daerah berbeda) kita dihebohkan mesum di kalangan pelajar yang menggelar arisan seks. Seks dimana-mana tanpa norma, sedang menggeliat.

Keadaan ini adalah hal biasa, publikatif karena pemberitaan. Tapi sadar atau tidak, semua tengah berlangsung dimana-mana. Bisa didengar, diceritakan karena kesaksian, tapi tak bisa dihentikan.

Keperawanan tengah hilang, direnggut secara massif. Kita tak usah membeberkan angka statistik. Jangan terlalu terpaut  angka-angka, jika itu hanya untuk informasi saja. Diketahui tapi tak resah.

Ada Aturan

Ada manusia maka ada aturan. Ini logika peradaban yang beradab. Aturan adalah demarkasi antara manusia dan binatang, dari sisi sikap (attitude). Disamping mencegah metamorfosa âadabâ jadi âbiadabâ.

Aturan dilanggar, karena nurani tak dihargai. Yang benar itu  potensi setiap manusia. Terletak pada nurani. Namun ego, syahwat seringkali jadi juara pada pergulatan : âmauâ, atau  âtidakâ? Bukan âbaikâ, atau âburukâ? Salah kaprah-lah  jika baik dan buruk itu penentu dilanggarnya aturan. Semua tahu ikhwal mana yang baik dan buruk. Sedari awal telah berbisik. Namun keburu ditutupi desakan kemauan. Hasil dari mau itulah yang terindentifikasi kadar benar-salahnya.

Peradaban (saat ini) tengah menjemput âmatiânya. Ruh adab mengalami metamorfosis perlahan-lahan, mengelupas menjadi biadab . Di dalam berlangsung mobilitas sosial tabrak-tubrukan. Tumbuh, dan berbeda seiring jalan dengan kultur manusianya. Namun tak teratur selaras nilai etis, dan estetika moral.  Langgar-melanggar adalah barang mudah disaat mobilitas sosial tak terkendali. Tak tentu arahnya perubahan, karena kultur tak lagi memiliki daya proteksi. Siapapun bisa masuk membawa budayanya asal punya modal. Teknologi sana-sini muncrat menunjukkan ekspektasi citra melampaui hal-hal yang lumrah.

Tak ada lagi proses selektif untuk membedakan mana yang tabu, dan mana yang dianjurkan. Ketabuan hidup sebagai mitos-mitos yang tak lagi punya pengikut (konon sudah ketinggalan jika dianut).

Kodrati

Hubungan antara pria dan wanita itu kodrati. Tak sempurna salah satunya, jika tak melengkapi. Keragaman jenis kelamin  bukan tak punya misi. Kontinuitas kehidupan lewat keturunan, ini khittah  adanya pria dan wanita. Ini adalah cita-cita luhur yang diatur norma-norma agama.

Agama telah mengatur hubungan antara pria dan wanita. Bahwasannya hasrat seks itu ada untuk soal keturunan. Bukan soal saluran hasrat amoral. Seks itu daya hewani yang dikandung manusia. Perlu unsur-unsur sakralitas, manusia, dan  segenap norma dalam prosesinya. Karena hubungan seks  adalah ritual besar. Yakni menciptakan tumbuh-kembangnya generasi-generasi baru. Jangan seenaknya menggelar âkegiatanâ ini!

Agama itu asasi manusia. Penciptaan âkeimananâ asasi bukan momentum. Artinya jangan diletakkan pada soal-soal seremonial.Biasanya,  nama agama itu hanya pada prosesi-prosesi tertentu. Tarulah menikah. Meski terjadinya nikah itu âhalalâ atau âharamâ, agama jua jadi syarat melunasi ritualnya.

Terlalu dangkal jika agama  bahan momentum. Makanya nilai firman Tuhan tidak sepotong-sepotong, semua adalah kontinutas dari firman ke firman. Kitab suci adalah akumulasi nilai yang berkaitan satu sama lain.  Agama bawa misi universalitas, rahmatan lil alamin. Sehingga agama itu menyadur kutipan Hajriyanto Tohari likulli zaman wa makan.Tetap fleksibel setiap zaman.

Mari kita kembalikan agama sebagai asasi dalam diri. Yang jadi aspek fundamental baik-buruknya rupa jati diri kita (baca: manusia). Agama adalah konsensus dengan Tuhan sebelum kita dilahirkan,ia harus ditaati, jangan diinjak-injak nilai transedensinya.

Zina contoh penghilangan paksa aspek kemanusiaan. Ia adalah proses pembinatangan secara moral dan agama. Mesti di jauhi dengan totalitas kesadaran sepenuhnya. Wanita sebagai tiang negara tak boleh dirapuhkan dan jangan pula merapuhkan diri. Tegaknya sebuah negara apabila wanita-wanitanya mulia diri, dihargai, dan merawat generasi berkualitas. Karena negara bukan kreasi satu masa, ini adalah perjalanan lintas generasi. Kita butuh generasi-generasi  yang sehat dan terhormat, mulai sejak lahir, sampai merasakan beban ke-warga negaraan-nya.

Kita sadari, perubahan dalam segmen apapun tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu tawadhuâ dalam setiap usaha. Proses perjuangan tatanan masyarakat yang diridhoi tidak menempuh waktu yang gampang-gampang saja .Semua butuh dukungan moral, terorganisir, dan terencana.

Seperti yang ditegaskan Erich Fromm : âsejarah manusia merupakan tanah pemakaman dari kebudayaan-kebudayaan yang tinggi, yang rontok karena mereka tak mampu melakukan reaksi secara sukarela yang terencana dan rasional untuk menghadapi tantanganâ. Mari bisa! (*)


*Gambar diambil dari internet

Tags

About The Author

Jufra Udo 19
Novice

Jufra Udo

Penikmat kopi, buku, dan tulisan. Malas selfie.Menulis? Ya, dunia bisa berubah karena menulis
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel