Pondok Pesantren, lembaga pendidikan  nor formal yang lebih mengajarkan ilmu-ilmu agama memang mempunyai banyak keunikan yang tidak dimiliki lembaga pendidikan lain baik formal maupun non formal. Seperti cara berpakainnya yang benar-benar beda dengan pendidikan formal lainnya, kebanyak pendidikan formal menggunakan baju kemeja putih dan celana pendek ataupun panjang, di pesantren cukup menggunakan sarung sebagai bawahannya kemeja ataupun kadang juga menggunakan kaos dan pecis sebagai penutup rambut.Â
Satu yang tidak terhapus dari memori anak pensatren biasanya kejahilan teman-teman sekamar, dan cerita lainnya, ada juga yang lebih asyik dan masih selalu dijadikan tradisi, meski sudah lulus dari pesantren. Gaya makan ala pesantren. Kebanyak orang kalau makan pasti menggunakan piring, dan satu orang satu piring, seperti halnya individu (mangan-mangan dewe, kayak di warung).Â
Di pesantren, tradisi makannya memang sangat unik dan sangat menggugah rasa persaudaraan dan nafsu makan (bagi yang terbiasa). Pada satu nampan (piring besar) langsung dikasih nasi, lauk, sayur dan sambal (itu kalau ada laukknya, jelantah pindang yo gak apa-apa) nampan tersebut dikelilingi 5-6 santri dan langsung mengambil nasi dengan menggunakan tangan, tanpa harus menggunakan sendok.Â
Terkadang, nasi, lauk dan sayur (sekali lagi, kalau ada lauknya) disajikan dengan kondisi yang masih panas, ibaratnya baru matang dari dapur langsung disajikan dan langsung dikerubutin santri. Bagi yang tahan panas, sudah pasti akan lebih cepat dan yang gak tahan pasti akan ketinggalan dalam arti lain "ora wareg".Â
Ada trik sendiri ketika akan makan dengan ala pesantren seperti ini. Pertama, usahakan perut anda dalam keadaan lapar, kalau sudah lapar dijamin akan lebih lahap dan satu lagi pasti habis lebih banyak (wareg nda). Kedua, jangan ragu-ragu untuk mengambil yang terlihat mata (yang tertutup nasi juga boleh disikat) dan yang ada disekitar jari-jari tangan, kalau ragu-ragu nantinya bisa kedahuluan jari-jari tangan yang lain.Â
Ketiga, jangan puasa saat makan ala pesantren, "lak yo mosok poso-poso meh mangan, lak yo batal posone", yang ketiga ini anggap saja bonus,. Keempat, akan lebih enak kalau makan ala pesantren ini dinikmati saat semua lagi pada lapar, "mesti langsung resik segone, apa meneh lawohe enak malah entek disek".
Model seperti itu, biasanya satu dengan yang lain "pendapatannya" berbeda, karena siapa yang cepat dia yang dapat, "ora gesit ora mangan". Ada lagi yang lebih adil dan terlihat manusiawi, tapi kurang menarik dan menantang bagi yang suka dengan kegesitan. Model makan ala santri ini hampir sama dengan yang pertama tadi, pada satu wadah besar (nampan) dikasih lauk dan sayur, namun biar tidak terjadi rebutan dan menang sendiri, nasinya dipotong-potong sehingga terbentuk garis pemisah, semisal satu nampan dimakan 6 orang, berarti nasi yang berada di nampan (piring besar) tadi dipotong-potong menjadi enam dan dikasih sayur dan lauk di atas nasi.Â
Kalau sudah dikasih batas-batas seperti ini, bagi yang makannya "lemah gemulai" akan aman dan tidak perlu takut kehabisan meskipun lambat (paling-paling kalau terkahir ngasahi). Model ini seperti makan satu orang satu piring, cuman kalau yang ini tempatnya satu tapi sudah "berkapling". Namun namanya juga manusia, kurang asyik kalau tidak usil bin jail. Meskipun bukan wilayahnya, masih saja dimakan juga.Â
"Lha ora barange wae kadang iseh wae dijupuk, lha iku maling, copet, begal lan dulur-dulure.. (termasuk Koruptor)"
Model menggunakan daun seperti ini, sering dilakukan  para Pak Tani atau Bu Tani (mas-mas tani dan mbak-mbak tani juga boleh) yang sedang menggarap lahan persawahan. Bagaimana coba, membayangkan makan dengan alas daun (Pisang, Jati dan daun lainnya) di gubung yang dikelilingi persawahan dan pemandangan dua gunung (ojo pikir sek ora-ora, iki dua gunung terinspirasi gunung Sindoro karo Sumbing) di tengah kondisi perut lapar habis macul, tandur, ndaut, dan lain-lainnya (bar mancing welut yo oleh kok, bebas) kan romantis-romantis gimana gitu rasanya.
 "wes pokoke lali sekabehane, lali anake nek omah lagi nangis rewel jaluk duwet,mbuh tukaran karo kakange,  tur sek parah meneh lali nek awake iseh jomblo."
Â