Pergeseran Idealisme Penulis, Degradasikah?

24 Feb 2016 13:14 2512 Hits 0 Comments
Cuplikan mimpi tadi malam: Kelereng dalam Baskom

Pergeseran Idealisme Penulis, Degradasikah?

Selamat ulang tahun bagi yang berulang tahun hari ini (24/02), kemarin (23/02), besok (25/02), lusa (26/02), di bulan ini (Februari), dan terutama di tahun ini (2016). Semoga berkurangnya umur kita tidak berarti berkurang juga produktivitas dan kreativitas kita semua, Amin.

Artikel ini berisi cuplikan dari mimpi saya tadi malam: Kelereng dalam Baskom.

 

Pergeseran Idealisme

Sebelum mengulas ini terlalu jauh, untuk lebih memahami apa, bagaimana, dan seberapa jauh pergeseran ini berpengaruh pada dunia tulis menulis, ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya idealisme yang dimaksud dalam pembahasan ini.

Mari kita telusuri sejenak dengan menggunakan Kamus Pergeseran versi Tuhuk Ma’arit.

⇒ Makna Idealisme

Secara kata:

I = aku

ID = Identitas

Ide / Idea = gagasan

Deal = sepakat

Ideal = tepat, cocok

I deal = saya sepakat

Ide alis = gagasan tentang alis

Isme = faham

Is me = adalah aku

I deal is me = aku setuju itu adalah aku

Ide alisme = faham yang menyangkut gagasan tentang alis

Ideal is me = yang ideal itu adalah aku

Idealisme = Sebuah faham tentang ide yang ideal

Secara istilah:

Idealisme adalah sebuah kesatuan dari berbagai gagasan yang membangun pola pikir dalam otak seseorang, dalam hal ini seorang penulis, yang akan mempengaruhi sudut pandang dan cara menerjemahkan apa yang dia pikirkan ke dalam suatu tindakan, dalam hal ini tindakannya adalah kegiatan menulis.

Pembentukan dan pengisian (baca: doktrinisasi) idealisme sangat tergantung dari lingkungan dan cara tumbuh manusia. Penciptaan dan doktrinisasi ini tumbuh berawal dari rumah, entah budaya atau agama, hingga terus berkembang bersama kegiatan sosialisasi.

 

Pergeseran Idealisme Seorang Penulis

Penulis yang mengaku idealis biasanya keras kepala dan egois, sebut saja kerikil (baca: author dengan inisial TM) yang bersikeras masih di tepi sungai. Apa idealisme kerikil ini?

⇒ Isu orisinalitas = Isu ketelanjangan

Berpegang pada idealisme ini, dia mulai mencerca manusia, meng-kerikil-kan manusia, me-manusia-kan kerikil, meski dia masih bimbang tentang dirinya sendirinya entah manusia atau bukan. Bahwa yang mainstream adalah kerikil di dalam sungai, meski pada akhirnya dia mengakui bahwa dia mulai goyah, entah menceburkan diri atau hanya diam saja.

Salah satu sungai (baca: Plimbi) yang kini berada di hadapannya adalah sungai dengan arus yang jelas; kecepatannya,  kelokannya, dan tujuan akhirnya. Kegoyahan ini terlihat nyata ketika TM mulai meninggalkan tulisan-tulisannya yang gagal dan membiarkannya menggantung begitu saja. Alih-alih mengkoreksi diri atau sekedar menepati janji, TM malah menyusuri sungai, mencari jembatan, meracaukan hal-hal yang bukan idealismenya, mulai dari wanita-wanita berambut pendek hingga kangkung dan selada, demi meraih simpati wanita di seberang sana (baca: pembaca).

Apa sebenarnya isu orisinalitas dalam dunia kompleks yang memiliki gerbang informasi maha luas ini?

Bahwa tidak ada hal yang baru, semuanya adalah daur ulang, pendaur ulang ulung akan disukai banyak orang. Jangan-jangan semuanya adalah plagiarisme? Ya, kehidupan adalah plagiarisme, bagaimana meniru cara membuat bayi hingga cara menguburkan mayat. Jika dunia adalah panggung berbentuk roda yang berputar, maka kehidupan di dalamnya adalah adegan demi adegan yang terus terulang.

Benarkah demikian?

Ternyata plagiarisme memiliki batasan tertentu. Bahkan saya pernah membaca artikel yang isinya lengkap membahas tentang plagiarisme dari ujung ke ujung dan disertai undang-undang plagiarisme di Indonesia, celakanya, penulis konten tersebut tidak menyertakan dari mana asal bacaannya sebelum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan tidak mencantumkan asal kutipan dan saduran. Yang lebih celaka lagi adalah, saya ikutan latah dengan praktek tersebut, main comot sana-sini.

Kenyataan ini menyadarkan saya: terserah dari mana sumbernya, yang saya butuhkan adalah informasi atau manfaatnya, bukan penulisnya, tul gak? Membuat saya teringat dengan kata-kata yang dinisbatkan kepada Imam Ali r.a.: "Lihatlah apa (isi) yang dia dikatakan, jangan (memandang) kepada siapa yang mengatakan". Meski ini tidak akan efektif di dunia akademis.

Kemudian datanglah seorang teman menjentik jidat TM, bercerita tentang; sejarah, antropologi, kimia, biologi, fisika, kosmologi. TM tercenung, mendapatkan pencerahan, meminta menceritakan tentang manusia secara sederhana agar mudah dipahami.

Seorang teman mengatakan bahwa manusia adalah ketelanjangan. TM tidak percaya, mungkin tidak rela idealismenya tersingkir, mungkin kecewa karena jawaban yang diberikan seorang teman tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan, dia lalu membunuh temannya.

Keengganan untuk telanjanglah yang membuatnya egois.

Solusi itu seperti pisau bermata dua, tidak berguna jika terlalu tumpul dan akan melukai jika terlalu tajam (Insomnina, page 7, #18, Memahami Teman).

Meski terus bersikukuh bahwa dia masih kerikil di tepi sungai, rekam jejak kakinya yang berlumpur terlihat jelas, bahkan TM sempat tertangkap basah bermain-main dengan air sungai (baca: mainstream tulisan-tulisan populer di Plimbi), mandi, dan bersenang-senang di sana.

TM mendapat kesenangan baru. Sudah bergeserkah idealismenya?

 

Pergeseran Idealisme dalam Menulis

Tak pelak, idealisme penulis yang bergeser, merubah haluan idealisme dalam menulis. Hasilnya jelas, tulisannya memiliki rasa lain, warna lain, bentuk lain. Pembaca yang jeli dan kritis akan berkata, ini seperti bukan kamu, ini bukan kamu yang menulisnya, ini copas dari mana, dan sebagainya.

Mengapa demikian? Karena karakter manusialah yang menjadi identitas manusia dan sidik jarinya (baca: ciri khas). Saat karakter menjadi samar-samar hingga seragam, mereka bukan manusia, tapi robot, robot yang berpikir dan berkarya.

Saat setidaknya 6 milyar manusia dengan kemampuan otak yang (seharusnya) setara saling terhubung tanpa batas di dunia maya, ide-ide selalu tercetus dan berkembang, pemilik ide akan terkubur jika tidak mengembangkan idenya. Ketika dunia butuh inovasi baru, yang akan menjadi populer adalah pengembang/pelaksana ide, bukan pencetusnya. Jika demikian, sah-kah bila saya memakai ide orang lain kemudian mengembangkannya?

Lalu timbul pertanyaan, manakah yang lebih diakui, pemilik ide atau juru tulis? (Baca juga artikel oleh Amien Aulawi dengan judul Perbedaan Penulis dan Juru Tulis). Mungkin saja pertanyaan inilah yang mendasari kenapa beberapa perusahaan raksasa berinisiatif mematenkan sebuah produk yang bahkan belum ada wujud nyatanya di dunia dan masih berupa rancangan.

Saya kesulitan mencari ide, itu yang saya sering dengar dan temui, padahal yang lebih sulit adalah mengembangkannya, menerjemahkannya dari alam abstrak pikiran ke alam nyata.

Saya mengalami kebuntuan dan tidak tahu harus menulis apa, apakah ide menulis bisa mengalami kebuntuan? Jawabannya tidak. Kebuntuan adalah ketidak mampuan mengolah ide menjadi kata.

Saya tidak tahu harus menulis apa... bukan berarti ide itu tidak ada.

⇒ Idealisme menulis adalah kelereng-kelereng di dalam baskom

Seberapa efektif brainstorming? Katakanlah otak Anda adalah sebuah baskom dengan puluhan ide bawaan lahir dan terus bertambah seiring pengalaman yang berbentuk kelereng. Brainstorming berarti mengaduk kelereng tersebut. Siapa tahu ada kelereng terselip atau terpendam begitu lama yang akan muncul, siapa tahu ada rekaman ide yang belum terindex di basis penyimpanan otak.

Hasilnya, tergantung kapasitas idealisme otak pelaku brainstorming. Anggap saja baskom ide Anda berisi seribu butir, jika semuanya seragam dan identik, maka dapat dipastikan, brainstorming akan gagal.

Anda harus menambahkan kelereng Anda, paling tidak menambah warna, rasa, atau aromanya.

Apakah perlu menambah kapasitas baskom saya? Relatif. Jika Anda tidak melakukannya berarti Anda harus membuang sebagian kelereng yang telah ada di baskom Anda ketika Anda mencoba memasukkan kelereng baru.

Bagaimana cara menambah kelereng?

Saat seorang penulis mulai muak dengan daftar ide (baca: idealisme bawaan) di kepalanya sendiri, yang harus mereka lakukan adalah merefreshnya, mengalihkan fokus dari idealisme di kepalanya ke idealisme yang baru. Mereka mungkin akan jalan-jalan di dunia nyata ataupun di dunia maya. Mereka berusaha memperoleh kelereng-kelereng baru dan memasukkannya ke dalam baskom.

Bagaimana cara meng-upgrade kapasitas baskom?

Menjadi manusia yang terbuka. Seperti cinta, dari mata turun ke hati. Kadang-kadang Anda tidak menyadari, bahwa baskom Anda ternyata adalah sebuah botol, pintunya kecil, kelereng hanya mampu masuk satu satu, keluarnya pun hanya bisa satu satu.

Pintu masuk wadah Anda adalah dari mata turun ke hati, buka mata selebar-lebarnya, buka hati seluas-luasnya, buka mata hati. Skeptis dan menutup diri adalah dua cara mempersempit pintu masuk baskom.

⇒ Idealisme dan Inspirasi menulis

Jika ide adalah keluaran dari dalam, maka inspirasi adalah masukan dari luar, mereka adalah kelereng spesies baru dalam komunitas kelereng terdahulu. Mencari inspirasi setara dengan berupaya menggeser idealisme. Saat inspirasi itu masuk ke dalam baskom, prioritas akan berganti, fokus akan beralih, dari idealisme lama ke idealisme baru, mereka menyebutnya sebagai renovasi. Jika inspirasi tersebut mampu berbaur dengan spesies lama dan beradaptasi, mereka menyebutnya sebagai improvisasi.

Menulis adalah hak personal asalkan tidak membentur hak personal orang lain. Tulisan yang menginspirasi orang lain lebih mudah dibuat daripada tulisan yang berasal dari inspirasi orang lain. Ketika menulis berdasarkan hasil inspirasi, ada kewajiban tertentu yang membatasi penulis untuk membawa-bawa nama atau sumber tulisan.

⇒ Antara Berita, Ulasan, Opini, dan Review

Sebuah perusahaan besar meluncurkan produk kondom (alat kontrasepsi) yang inovatif, ini adalah berita. Berapa jumlah jurnalis di dunia yang akan menuliskan berita ini? Berapa persen kemungkinan mereka memberikan hasil berupa tulisan yang mirip bahkan sama persis?

Berapa jumlah teknisian (baca: penguji produk) di dunia yang akan menguji kondom tersebut? Berapa persen kemungkinan mereka memberikan hasil berupa tulisan yang mirip bahkan sama persis?

Berapa jumlah konsumer (baca: pengguna produk) kondom tersebut di dunia yang menuliskan testimoninya? Berapa persen kemungkinan mereka memberikan hasil berupa tulisan yang mirip bahkan sama persis?

Ulasan adalah menulis secara objektif, opini adalah menulis secara subyektif, review adalah menulis secara mendalam.

Kemudian sebut saja TM, dengan latar belakang idealisme yang tidak ada hubungannya dengan kondom, mendapat inspirasi berdasarkan berita, ulasan, opini, atau review kondom tersebut. Bolehkah TM yang minim pengetahuan tentang alat kontrasepsi ini menuangkan tulisan tentang kondom? Jika pada akhirnya TM berhasil merampungkan tulisannya tentang kondom, saya berani bertaruh, isi tulisannya adalah kutipan dari berbagai belahan dunia atau minimal tulisannya berisi sudut pandang yang sedikit berbeda dari kebanyakan tulisan lain.

Pada kondisi ini (menuliskan apa yang bukan menjadi minat, kompetensi, kesukaan, dan idealisme) seorang penulis akan rentan untuk terjatuh dalam lembah plagiarisme.

 

Pergeseran Idealisme Seorang Penulis, Degradasikah?

⇒ Metamorfosa Menulis

Manusia itu unik, mereka dianugerahi Imajinasi dan Kreativitas yang tak terbatas, yang membatasi keduanya adalah idealisme manusia itu sendiri. Penulis yang berani menggeser dinding idealismenya akan membukakan celah bagi perkembangan imajinasi dan kreativitasnya.

Kegiatan geser-menggeser mungkin tidak seheboh kegiatan guling-menggulingkan, runtuh-meruntuhkan, hancur-menghancurkan. Namun, seberapa jauh pergeseran ini (baca: baik renovasi maupun improvisasi) mempengaruhi (baca: memberi dampak-entah positif atau negatif-pada) produktivitas penulis dan minat pembaca adalah pertanyaan yang harus selalu diingat.

Memang, seorang penulis tidak perlu motif tertentu untuk menulis sesuatu, kecuali bagi penulis idealis, mencari-cari alasan dalam menulis.

Ketika kegiatan menulis bermetamorfosa dari minat dan bakat (baca: penyaluran) menjadi profesional (baca: pekerjaan), maka kegiatan tulis-menulis mengalami pembenahan di sana-sini untuk menyasar kualitas: isu orisinilitas dan manfaat.

Tahap metamorfosa selanjutnya adalah komersil (baca: penjualan), maka kegiatan pembenahan kualitas bertransformasi lagi mengikuti kualitas yang diinginkan pasar. Pada akhirnya, yang dibutuhkan pasar adalah rentetan dari salah satu faktor berikut: informasi, edukasi, inspirasi, hiburan, manfaat langsung. Bisakah seseorang menggabungkan semuanya demi memuaskan keinginan pembaca? Sudah pasti bisa.

⇒ Moralitas Menulis

Siapakah yang mengajarkan kebohongan, kemunafikan, dan pencurian? Jawabannya adalah duo-Tan: setan (baca: naluriah) dan tuntutan (baca: desakan kebutuhan marketing). Persis seperti ide dan inspirasi, setan mendorong dari dalam dan tuntutan menekan dari luar. Keduanya menjadi akar kebudayaan plagiarisme turun-temurun.

Seperti halnya manusia, tulisan adalah seorang bayi di tangan penulis, entah anak kandung biologis, anak adopsi dari suatu tempat, ataupun anak hasil kloningan.

Bodoh, miskin, dan pemalas sering dijadikan alasan legitimasi terhadap kecurangan dalam sebuah karya. Benarkah demikian? Haruskah setiap penulis itu "telanjang"? Jika itu yang terjadi (telanjang), maka ada kemungkinan dunia tulis menulis akan dicap cabul, tidak bermoral, tidak beretika, tidak beradab, tidak manusiawi. Padahal, dunia hanya butuh ketelanjangan. Entah itu moral yang telanjang, etika yang telanjang, adab yang telanjang, maupun keadilan yang telanjang.  Atau boleh saja ditambahkan sedikit kemanusiaan untuk dunia, tapi tentu saja kemanusiaan yang telanjang pula.

⇒ Kaidah Degradasi

Jika kerikil tidak telanjang lagi, berbusana dan berdandan, maka akan ada dua pertanyaan dari substansi yang berbeda: masih kerikilkah atau masih di tepi sungaikah?

Memakai tolak ukur metamorfosa dan moralitas adalah menambah beban baru kegiatan menulis di pundak penulis. Kecuali jika Anda sepenuhnya sadar sedang berdiri di tepi sungai yang mana.

Ketika saya membaca cerita 3 Botol Jus Jeruk (artikel dapat dilihat pada tautan berikut: http://caramenulisbuku.com/caramenulisbuku/meningkatkan-kemampuan-menulis.htm), saya mulai memahami bahwa pergeseran idealisme menjadi tidak berarti jika dibandingkan dengan sasaran dan hasil akhir dari sebuah tulisan.

Idealisme adalah memilih jenis jeruk, warna jeruk, harga jeruk, rasa jeruk, cara pengolahan jeruk. Ketika berhadapan dengan pasar, jus jeruk bukan plagiarisme selama tidak memakai kemasan jus jeruk lain yang telah ada, walaupun memakai kebun yang sama maupun mesin yang sama.

Degradasi adalah inkonsistensi, keruntuhan citra, kehilangan identitas, dan penurunan kualitas.

 

Penutup

Ini adalah opini saya dengan batasan sudut pandang pribadi, silakan menarik kesimpulan sendiri-sendiri.

[Tuh kan, tidak sopan dan tidak bertanggungjawab, setelah membahas panjang lebar, bukannya memberi solusi malah (lagi-lagi) menggantungnya dan menyerahkannya kepada pembaca]

Ciri khas ego tulisan saya memang sangat jauh dari kesan singkat, padat, dan jelas, alias bertele-tele, mengembang, dan membingungkan. Bayangkan, saya bermimpi tentang kelereng dalam baskom, kemudian keesokan harinya kelereng dalam baskom tersebut menjelma menjadi dua ribu kata, jangan-jangan artikel ini hanya lelucon saja... Bisa jadi tulisan ini adalah contoh konkrit penerapan keahlian dalam bertele-tele. Jika ada achievement untuk kategori author ngalor-ngidul, TM mungkin bisa menjadi kandidatnya.

Saya memang keras kepala terhadap tulisan saya bukan berarti saya tidak terbuka untuk saran, masukan, kritikan, dan hujatan. Saya adalah makhluk fana yang akan terus be-regenerasi (baca: memperbaiki diri).

Jika pada akhirnya kehidupan ini hanyalah sebuah lelucon, so, why so serious? Teruslah berkarya, jangan batasi tulisan kalian! Berhentilah mencari-cari alasan untuk berhenti menulis!

Jadi, pergeseran idealisme seorang penulis, degradasikah?

Tags Opini

About The Author

Tuhuk Ma'arit 53
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel