Memori Perjalanan Meraih Mimpi (02)

23 Feb 2016 19:19 2420 Hits 6 Comments
Para "perjaka tanggung" yang tak lelah menerima kenyataan. Menyebut "walisongo-ng" hanya imajinasi yang berujung pemotongan muka denga raut muka "polos" memikirkan masa depan.

sambungan dari Memori Perjalan Meraih Mimpi (01)

..............................................................

Perkemahan Sabtu-Minggu (Persami), mungkin sebuah perkenalan melalui media-media yang tak terduga.  Perkenalan dengan kakak angkatan yang terlampau satu atau dua tahun. Tetap saja anak-anak lugu yang belum mendapatkan seragam putih abu-abu masih bersirekas untuk menerka-nerka. Apakah semua ini settingan atau murni berjalan natural.

Kelas satu  atau sepuluh. Lompatan berupa kebiasaan anak SMP yang bisa sekarepe dewek. Perlahan harus mematuhi aturan main yang cukup detil. Mulai dari ujung rambut hingga ujung jari kaki. Kalaupun kedapatan, melanggar salah satu. Memiliki dua pilihan, ketahuan atau dilaporkan. Ah, itu hanya dianggap sebagai selingan dalam masyarakat sekolah. Jadi, tak perlu dibesar-besarkan.

Ritual jum’at sebagai adik pramuka. Harus hadir dalam latihan yang dimulai pukul 13.00 hingga 16.00. Pakaian yang dikenakan selalu lengkap, kalau tidak lenkap jangan berharap punggung tidak bersimbah keringat. Berdiri tegak tanpa ndredeg pun sudah paling beruntung.

“Yan, bawa ring ?” tanya IU.

“Wah, saya Cuma bawa satu.” Balasnya.

Pertanyaan-pertanyaan seputar ring, hasduk, kaos kaki, serta emblem. Perkara yang harus diselesaikan dengan mendatangi Warung  Peralatan Pramuka. Letaknya di komplek timur pasar Karanganyar.  Ibu Mirna namanya. Wajahnya berseri ketika jum’at tiba. Mendulang rejeki dari para pelupa.  Sesekali melempar pertanyaan untuk intropeksi, kala membeli sebuah ring.

“Padahal baru beli dua minggu yang lalu ?”

“Di ambil tikus, bu”

Selain bersilaturahmi ke warung Bu Mirna. Kawan satu angkatan ketika jum’atan tiba mungkin tidak memilih ibadah sholat di Jingklak yang dekat dengan sekolah. Kita lebih memilih mampir ngombe  di stasiun K.A Karanganyar untuk merebahkan tubuh di bangku.  Jikalau adzan di Masjid Agung Karanganyar  sudah cawe-cawe, baru kita melangkahkan kaki kesana.  Setelah selesaipun, kita sering kembali ke stasiun untuk makan bekal dari rumah.  Awalya ke stasiun hanya Riyan, Aji, Amrih, Supri, dan Aku. Lama-lama kelamaan IU, Yadi, Wahyu bahkan Munir mampir ngombe di situ.

“Enak jadi petugas stasiun. Hanya mengacungkan tanda berwarna hijau dipagi hari sedangkan di malam hari menyoroti denga lampu hijau serta meniup peluit” ucap Amrih.

“Mbahmu, itu pun harus sekolah berpangkat S” timpal Aji.

“Iya, enak sekali jadi petugas stasiun” Amrih tak mau kalah.

Entah kedengaran pembicaraan atau apa. Dari kejauahan lelaki yang bertugas sebagai pemberangkat kereta api. Dia melihat dengan sorot mata yang tajam. Matanya yang hampir loncat dari pelupuk. membuat kita agak salah tingkah serta memilih untuk berangkat ke sekolah. Karena KA Parahyangan jurusan Malang-Bandung sudah melewati stasiun alias sudah pukul 13.00. Stasiun menjadi tempat yang tidak pernah lupa dalam schedule hari jumat. Disana kita terkadang mengerjakan PR pramuka. Belajar soal sandi rumput, sandi morse, atau  ngopi ditemani sebatang rokok. Bak prajurit TNI yang akan berangkat ke medan perang, kita betul-betul mempersiapkan di stasiun sebelum pukul satu siang.

Pramuka bukan mengajarkan seabrek materi dan ribuan sandi tak terguna. Selama berproses menjadi penegak. Diantara kami bersembilan mencoba untuk memahami karakter satu dengan yang lainnya.  Pernah Amrih nyeplos, “Jum’at berkah hanya di stasiun”. Disaat tubuh digerayangi keringat yang membuat  bau yang nyentrik. Setelah melakukan pemanasan di lapangan voli bersama dengan dewan kerja.  Hampir setiap jum’at selama satu tahun, tidak lepas dari sapaan para pecinta suara singa. Apa yang akan dilakukan di jum’at depan, pasti musababnya jum’at kemarin. Kejadiannya menjadi lirik lagu “Sambung menyambung menjadi satu, itulah hari jum’at”.

Selain berproses di Pramuka. Kita juga, sudah disediakan sebuah basecamp dengan multifungsi. Ajang saling mengenal  kakak kelas serta berbaur tanpa memandang dia agama, keturunan, dan warna kulit apa.  Letak tempat berkumpul tepat di mulut wc khusus pria. Kalaupun ada wanita masuk, kalau bukan anak baru paling cewe yang sudah di ujung tanduk ingin buang hajat. Selebihnya digunakan mandi dan menaruh barang  lelaki yang ada disitu.

Tidak ada tirani mayoritas dan minoritas. Disini lika-liku organisasi secara demokratis.  Dipilih untuk mengedepankan dan melatih skill calon pemimpin bangsa. Lelaki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi ketua osis, ketua pramuka, ketua kelas. Perbedaan kita hanya ketika masuk WC di jam sekolah. Layaknya sekolah-sekolah SLTA mainstream.

Satu tahun menjalani proses kegiatan belajar mengajar berarti satu tahun mengikuti kegiatan ekstrakulikuler pramuka.  Acara yang sangat ditunggu-tunggu adalah kemah besar dua ekstra wajib, baik itu Pramuka dan Palang Merah Remaja (PMR). Tempat untuk perkemah di lapangan, tepat di bawah Jembangan Wisata Alam. Ekspresi anak-anak kelas sepuluh mendengar berita itu, ada yang girang dan cemberut menghadapi pagelaran tersebut.

Seminggu sebelum perkemahan seluruh anak-anak ekstra berkumpul mempersiapkan  peralatan kelompok.  Tidak ada yang canggung untuk bahu-membahu demi kesuksesan kemah.  Suasana kekerabatan antara dewan dan adik ekstra terlihat sangat ciamik. Saya hanya berpikir, ini menghemat tenaga untu bertempur di kemah besar.  Semoga saja itu hanya bayanganku yang selalu melintas kesana-kemari  tapi ditengah-tengah selalu di begal kantuk yang mengajakku untuk berbaring di mushola setelah selesai persiapan.

Kemah Yang Berkemah

“Kita besok kemah ?” Yadi memulai percakapan

“Yoi bro, meski jarang berangkat. Terpenting ikut pembuka, tengah-tenga, terus penutup di kemah. Keren kan” balas IU.

“Iya. Kita besok nda usah bawa kompor ?” sela Aji

Ide brilian memang selalu muncul dari kawan yang bertubuh cungkring. Tubuhnya yang tidak lebih dari 35 kg. Memudahkan Aji untuk berlari kesana kemari tanpa, begitupun kreativitas yang cukup dalam mengolah masalah dapur termasuk lihai.  

“Oke, biar kemah beneran !” seru Munir.

Embun pagi masih berusaha mendinginkan suasana pagi, apadaya matahari sudah terbit dari timur untuk menghangatkan bumi. Aku duduk di perempatan Sugih Waras menunggu kedatangan angkutan umum.  Kulihat teman-teman satu angkatan membawa tas dengan muatan besar melintas. Ada yang diantarkan oleh teman, orang tua, bahkan pacar. Sudah lima belas menit, menunggu mobil berwarna kuning tak melintas. Hingga aku dikagetkan oleh suara klakson dari sebrang jalan.

“Bareng sama saya saja Dli”

Aku masih belum ngeh dengan wajahnya. Aku mencoba mengucek mata karena sempat lupa raut wajahnya. Seingatku dia adalah kakak kelas waktu SMP.

“Heh, ini Yoga”

“Owalah, saya memang pelupa”

Aku akhirnya diantarkan oleh motor bebek bermerk Honda buatan 1996. Walau sudah tua, tapi bodinya masih kinclong. Entah sering di elap atau bagaimana. Yang jelas motor ini sudah dikendarainya semenjak dia sekolah SMP. Selain untuk kesekolah, terkadang Mas Yoga pergi menyabit untuk sapi-sapinya dirumah yang cukup banyak. Memang, rezeki anak soleh tidak kemana. Tidak ada mobil jemputan boncengan pun di dapat.

“Terimakasih Mas Yoga”

“Oke. Hati-hati”

Dari kejauhan, Riyan sudah terlihat siap tempur. Dari kejauhan Aji dan Amrih berbonceng membawa segenap peralatan pribadi. Sementara yang lain, saya belum menunggu kehadirannya di sekolah.

Hari ini, regu laki-laki akan satu tenda di bumi perkemahan. Masih lengkap sembilan laki-laki sejak masuk d SMK Negeri 1 Karanganyar. Hajatan besar, tidak boleh disia-siakan sebagai moment untuk saling bekerja sama dan membangun kekompakan. Meski tidak membawa kompor, tungku menjadi solusi dengan berharap hujan tidak mengguyur saat hari pelaksanaan.

...................................................................

R.Lesen

Tags Ulasan

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel