Musim penghujan telah tiba di Muara Teweh, tempat penulis berhidroponik, terlambat satu bulan jika dibandingkan dengan kota Puruk Cahu yang lebih dulu menyambut datangnya hujan setelah sempat dilanda kemarau panjang, terlambat beberapa bulan jika dibandingkan beberapa daerah lain di Indonesia yang telah lebih dulu dilanda banjir, dan bahkan terlambat setengah tahun jika mengacu pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang penulis pelajari di bangku Sekolah Dasar dulu, iya, duluuuu sekali, waktu penulis masih imut, bruakak.
Meskipun sistem hidroponik memanfaatkan tenaga air, salah satu faktor penentu optimalnya pertumbuhan berhidroponik adalah sinar matahari. Saat langit pagi menjadi murung, para petani hidroponik pun menjadi murung, maka ada baiknya jika menghindari melakukan penyemaian di musim hujan.
Kabar buruk yang kedua dengan datangnya musim penghujan bagi petani hidroponik adalah datangnya wabah hama dan binatang pengganggu seiring meningkatnya kelembapan suhu udara. Berbagai jenis hama seperti kutu, serangga, hingga binatang pengerat mulai berdatangan.
Apa saja hama pengganggu tanaman hidroponik? Akan kita bahas nanti di Plimbi, stay tune!
Kadang jerih-payah kita berbulan-bulan bisa lenyap hanya dalam satu malam, namun kita harus percaya bahwa tidak ada hambatan dalam berhidroponik yang tidak mempunyai solusi selama kita masih memiliki tekad dan kemauan keras, serta -tentu saja- kreativitas.
Seperti yang sudah kita bahas pada artikel sebelumnya bahwa kebutuhan pokok tanaman hidroponik adalah: air bernutrisi lengkap dan sesuai kebutuhan, sinar matahari yang cukup, dan sirkulasi udara yang memadai.
Baca juga : Mengenal Hidroponik
Nah, hujan mempengaruhi ketiganya
Di tempat terbuka, curah hujan akan menggenangi bak/boks tanaman kita. Akibatnya bisa sangat serius, level ketinggian air yang bertambah, berkurangnya atau bahkan hilangnya nutrisi dalam bak/boks, membusuknya tanaman yang tergenang, terkontaminasinya air nutrisi dengan zat asam dari air hujan.
Pengalaman ini kami alami pada saat kami menanam selada, kangkung, dan sawi. Setelah sukses dengan selada, anggota keluarga mulai melirik hidroponik, mereka merequest sayur kesukaan mereka untuk ditanam.
Baca juga : Cara Menanam Kangkung Hidroponik
Ketika hujan turun, tanaman kami jadi tergenang, sebagian mengalami patah batang atau cidera pada daunnya akibat derasnya hujan. Sehingga, setiap terlihat mendung di kejauhan, meneduhkan tanaman kami menjadi prioritas utama sebelum mengangkat jemuran. Merepotkan memang.
Setelah tergenang air hujan kami buru-buru mengecek tingkat kepekatan nutrisi dan kadar keasamannya. Pada kasus yang sangat parah, dengan terpaksa kami mengganti ulang air nutrisi. Kenyataannya belajar dari pengalaman itu sangat berharga dan membekas, karena rasanya teramat pahit.
Seiring musim penghujan, kami dapat pengalaman baru, bahwa sinar matahari yang sangat dibutuhkan tanaman adalah sinar matahari langsung pada pagi hari. Terlihat dari perbedaan pertumbuhan pada beberapa bak/boks yang kami tempatkan di tempat teduh agar terlindung dari hujan, dibandingkan dengan bak/boks yang tetap berada di tempat terbuka. Kami mendapat tantangan baru, mencari lokasi yang menerima paparan sinar matahari pagi secara langsung, namun tetap teduh dari hujan.
Kemudian kami mendapat pukulan lagi, kangkung kami diserang kutu, serangga, dan binatang pengerat sekaligus. Daftar pahitnya pengalaman terus bertambah, untunglah kami selalu rutin menyemai bibit-bibit baru, hanya saja memulai dari awal setelah menyaksikan kegagalan itu terasa agak menyesakkan dada. Kami harus tetap move on, sambil mencari solusi.
Solusi pertama yang terlintas adalah menyantet hama tanaman tersebut dengan ilmu hitam yamg berlabel insektisida dan pestisida. Karena berbagai pertimbangan, keduanya tidak kami gunakan, akhirnya penulis hunting ke pasar pertanian dan peternakan, mencari paranet, membelinya beberapa meter.
Sesampainya di rumah, penulis tertegun. Paranet harus punya rangka bangunan untuk menopangnya, penulis garuk-garuk kepala karena buta di bidang pertukangan. Untunglah penulis tidak sendiri, masih ada Pak Zery dari bidang seni, Mas Anjang dari bidang akuntansi, Haji Birin dari bidang laundry, dan Aca kwok dari bidang peternakan.
Berlima kami bahu membahu membuat rumah-rumahan sederhana dengan peralatan seadanya, yang menarik adalah bahwa beberapa minggu kemudian kami baru mengetahui bahwa kami membangun sebuah versi sederhana dari green house.Yah, seperti biasa, praktek dulu baru teori, hahahaha.
Solusi hama terpecahkan, namun seiring frekuensi hujan yang terus bertambah, paranet saja tidak cukup untuk melindungi tanaman dari hujan. Sekali lagi penulis berburu sesuatu yang cocok sebagai atap dari green house sederhana kami. Pilihan jatuh kepada plastik dengan ukuran besar, pengaplikasiannya pun sangat sederhana, green house hanya ditutup ketika hujan saja, karena mempertimbangkan kebutuhan sirkulasi udara bagi tanaman.
Inilah cikal-bakal mendirikan green house di rumah kami.
Ketika populasi tanaman sudah bertambah, kami harus mencari lokasi baru. Lokasi ini berada di tempat yang terbuka, positifnya adalah sinar matahari yang berlimpah, hanya saja itu berarti curah hujan yang berlimpah pula. Ketika perizinan untuk lokasi baru yang akan dijadikan lahan sudah didapatkan. kami mempunyai proyek selanjutnya. Mini Green House!
Perjalan menuju ke sana tentu saja sangat panjang, dalam prosesnya kami selalu menemukan pengalaman dan ilmu baru yang sangat bermanfaat. Akhirnya, orang yang takut gagal adalah orang yang pada akhirnya tidak melakukan apa-apa, dan sebaik-baiknya orang gagal adalah orang yang belajar dari pengalaman kegagalannya dan terus mencoba potensi kegagalan baru tanpa mengulang kegagalan yang sama hingga berhasil.
Kegiatan membuat green house sederhana versi kami akan penulis bahas pada kesempatan lain.
Tinggalkan komentar berupa saran, kritikan, dan masukan.
Semoga bermanfaat, amin.
Â
Cover image source: inspirasi.co