Setelah mengalami peristiwa tragis dua hari kemaring. Memadang tapi tak dipandang. Mengucapkan wisuda malah diledek. Kemudian dikata-katain maba yang culun setengah hidup “Sudah Telat Wisuda Jomblo Pulaâ€. Ulasan yang menyakitkan itu sudah diterbitkan oleh admin plimbi.com. Terimakasih Kakak Admin.  Semoga Kakak cepat menyusul.  Gubrak
Mengisi liburan panjang ala mahasiswa pengangguran seperti saya. Lebih mementingkan pulang kampung daripada harus bergerilya di kota atlas. Kenapa pulang ? Di Kota Atlas menderita akibat menjadi wisudawan tertinggal. Â Melihat toga-toga yang ber-selfie ria ala dedek gemes. Â Walau wisuda telat pilihan, tetapi sakitnya tidak tertahan. Selain itu status single (dupak) jomblo menjadi rindu akan kenaturalan pemuda-pemuda menghadapi tuna asmara, ditengah ributnya para wartawan meliput kasus Mirna bukan Munir.
Rumah yang terletat jauh dari hingar-bingar karoke, diskotik, bar, kawasan industri, serta media sosial. Memberikan ruang bersosial secara face to face begitu besar. Hamparan sawah yang luasnya ¾ dari luas wilayah desa, menjadi sumber mata pencaharian. Puluhan tahun lahan itu digarap telah menghasilkan generasi-generasi bangsa yang bergerilya nafkah baik skala nasional maupun internasional. Kultur masyarakat yang cukup cepat dalam pola adaptasi, memberikan ruang sebesar-besarnya pada teknologi sembari menghidupkan budaya-budaya yang kemungkinan akan tergerus oleh zaman.
Pemuda-pemudanya rata-rata hobi lek-lek an alias begadang. Biasanya hingga pukul dua malam. Pos ronda pinggir jalan sering digunakan sebagai markas besar pemuda desa. Bangunan seluas 6 X 10 cukup untuk 5-10 orang di dalamnya. Â Biasanya sembari ronda, kita memainkan gaple atau remi. Jika bosan, lebih baik ngobrol ngalor-ngidul untuk menambah wawasan.
Malam yang indah, bintang berebut tempat diangkasa. Tidak sedikit mereka yang menjatuhkan diri, sehingga umat manusia girang melihatnya kemudian memanjatkan doa. Ritual tersebut mengingatkan masa kecil yang tidak pernah sakit hati, tak merasa kesepian di malam minggu, apalagi menderita tuna asmara. Berjalan di tengah semak-semak terdengar suara orang memanggil
“Jomblo sleketep, woy ,“ panggil dia
Awalnya saya tidak menoleh. Ku kira dia memanggil siapa. Tetapi setelah ku amati, orang tersebut menunggu respon balik dari saya. Jadi salah tingkah dah.
“Gimana kabar ?†tanyaku setelah berjabat tangan.
“Sehat. Kamu sendiri ?†sambil mengeluarkan rokok satu bungkus.
“Sehat.,†sahutku.
Dedi namanya, memang kawan sejak sekolah dasar. Â Orangnya koplak setengah waras setengah hidup kalau setelah nonton dangdut. Perjalan menuju markas besar terhenti, Dedi mengajak ngobrol di atas jembatan.
“Kok tadi, memanggil dengan sebutan jomblo sleketep ?†tanyaku penasaran.
Bukan dibalas dengan jawaban, melainkan dengan tawaann yang membuatku bingung.  Pasalnya dalam kamus njawa tidak pernah ada definisi sleketep itu apa. Di Kota Atlas pun orang bertutur sleketep belum pernah ku temui. Lah, ini diksi darimana. Tawa yang tak habis-habis, membuat wajah bengongku harus terpasang lebih lama. Dedi yang terkadang setengah gila, memang kalau sudah bertemu dengan perkara kecil yang lucu  menururt dia tidak pernah berhenti tertawa.
Sleketep memang aku tak mengerti diksi yang turun dari langit ke berapa. Seringkali aku pulang kerumah, menemukan diksi-diksi njawa yang baru. Mulai dari lancau, gendon, hingga sleketep. Ingatanku mulai mencari-cari kapan pertama kali mendengar sleketep.
Coba bayangkan, setiap saya pulang ke desa. Diksi njawa bertamah terus menerus. Bakan ketinggalan gaul seperti kita yang memuja para dedek gemes. Diksi yang ditambahkan pun tidak pernah di muat pada kamus besar bahasa jawa baik online / offline.
Lha, kalau jarang pulang ndesa berarti ketinggal diksi A, diksi B, diksi, dst ?
Lha, jangan terlalu di pikir nak.
Â
Â
Â
Â
Â