Kaum Keras Kepala

1 Feb 2016 01:17 4433 Hits 0 Comments
Cerita Fiktif anak SMA tahun 2000an. Dijamin bikin ngantuk dan bagus bagi mereka yang susah tidur.

BAB SATU

 

First

~ Monster ~

 

Rabu

Kelas benar-benar hening, hanya terdengar suara-suara goretan pulpen di kertas, namun semenit kemudian beberapa siswa mengeluh pelan. Seorang cowok berambut botak terdengar sayup-sayup bergumam, matanya tertutup, suaranya terdengar seperti dukun membaca mantra dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti, keringat menetes dari keningnya, gumaman itu semakin lama semakin nyaring, malah terdengar mirip lenguhan kerbau.

Nasir menaikkan alisnya karena benar-benar merasa terganggu. Diremasnya pulpen di tangannya sambil memaki dalam hati, Bara di depannya masih khusuk dengan mantranya. Melihat postur tubuhnya orang-orang tidak akan menyangka bahwa dia adalah siswa kelas satu SMA. Nasir hanya setinggi telinganya.

Dra. Mance L. Tobing, M.Pd, seorang pembunuh berdarah dingin yang telah menewaskan ratusan siswa-siswi SMA Negeri 13 Kotabaru, kini menatap Bara dari tempat duduknya.

Jika berbicara masalah, maka ini adalah masalah besar jika berurusan dengan beliau, dan jika berbicara mengenai keras kepala, maka siapapun tahu kalau kepala beliau BENAR-BENAR KERAS. Lebih keras daripada arak Bali, begitu komentar Rizal. Dan jika berbicara mengenai tewasnya ratusan siswa di tangan sang Killer, maka perlu kalian ketahui, bahwa kalimat itu bukan metafora ataupun hiperbola, semua korban-korban beliau benar-benar mati, MATI KUTU!

 “Bara………………!” Petir menggelegar mengiringi suara Bu Mance, “Bawa mejamu keluar!”

“Apa…?! Saya tidak melakukan apa-apa!” Bara berdiri dan matanya menentang tajam ke arah Bu Mance.

“Tidak usah membantah! Kamu mengganggu konsentrasi murid-murid yang lain!” sahut Bu Mance tegas.

“Sialan, dasar nenek sihir” gumam Bara pelan.

“Aku sudah selesai, jadi aku tidak perlu mengerjakan tugas ini di luar kelas” kata Bara berapi-api sambil menatap Bu Mance.

“Bagus! Kumpulkan dan berdiri di luar selama sisa jam ujian!” keputusan Bu Mance tidak mungkin bisa ditawar lagi, dengan berat hati Bara berjalan ke depan.

“Aku bersumpah, kau akan membayarnya” desis Bara. Nasir tersentak, bulu kuduknya merinding, manusia ini mengerikan, tidak, dia bukan manusia! Dia adalah monster!

 

*****

 

 “Pret…”

Tiba-tiba terdengar suara alunan merdu.

Nasir menoleh sejenak ke arah suara itu, dua orang gadis, dan salah satunya menatap tajam dengan wajah sinis. Mata mereka bertemu dan Nasir melihat kilat yang menyambar dirinya. CETARR…! Makhluk ini bahkan bisa membunuhku walau hanya dengan menatapku batin Nasir. Cepat-cepat dipalingkannya wajahnya, kelas ini benar-benar mengerikan, banyak monster yang tinggal di dalamnya.

Kemudian menyusul “prêt” yang kedua…

Nasir melongo sambil mengedarkan pandangan ke seantero ruangan kelas.

Hening… dan… misterius…

Orkestra itu ditutup dengan “prêt” pamungkas yang panjang dan mendayu-dayu.

Nasir menatap Bu Mance yang terlihat sepertinya tidak terganggu. Jangan-jangan bunyi-bunyian tersebut hanya halusinasi.

Satu-persatu siswa mengumpulkan lembar jawaban mereka, waktu terasa berjalan sangat cepat. Nasir berjuang keras sampai terengah-engah menuliskan setiap baris jawaban dari pertanyaan essay yang terakhir. “Tara…!!” gumamnya dalam hati, akhirnya selesai tepat waktu.

Diangkatnya dagunya, Rose baru saja mengumpulkan lembar jawabannya dan sedang menuju kembali ke mejanya. Dia sangat cantik batin Nasir, dadanya bergemuruh. Mungkinkah cewek ini komposer dari paduan suara tadi? Rasanya tidak mungkin…

Tiba-tiba Rose menatapnya, cepat-cepat Nasir menunduk sambil mengemasi alat tulisnya, ini buruk, sialan, mengapa monster ini begitu cantik? Tanya Nasir dalam hati lalu berdiri sambil menggelengkan kepalanya.

 

*****

 

Kamis

Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi, koridor sekolah mulai kosong, hanya beberapa siswa yang terlihat masih duduk-duduk di depan kelas, sepertinya mereka menganggap kelas seperti sangkar. Terlebih bagi seorang pemuda berambut cepak yang kelihatannya terlambat pagi ini, Nasir. Ia berlari melintasi koridor sekolah, tas di punggungnya yang kokoh berayun mengikuti irama tubuhnya.

Papan nama Kelas X-B kini sudah terlihat, sepertinya masih ada beberapa siswa yang berdiri di pintu masuk, berarti Pak Eko, wali kelas mereka belum datang. Nasir mengurangi kecepatan larinya, keringat bercucuran di pelipisnya, padahal pagi ini masih dingin.

Akhirnya Pak Eko datang setelah Nasir duduk di kursinya.

Seperti biasa Pak Eko adalah guru yang membosankan, ceramah sepanjang waktu, kadang-kadang cuma membacakan teks di buku, lain waktu menyuruh siswa-siswi mencatat atau menyalin sesuatu. Lalu apa bedanya dengan membaca di rumah atau perpustakaan? Paling tidak Pak Eko harus mengadakan sesi tanya jawab, keluh Nasir dalam hati.

Sambil bengong Nasir melayangkan pandangan ke seisi ruangan, pengisi saf depan adalah wajah-wajah yang sepertinya tidak asing dengan buku, mereka sangat antusias mendengarkan khotbah Pak Eko, seperti bunga kering yang sangat mengharapkan siraman air ilmu pengetahuan. Ada Aceng dengan kacamata tebalnya, Eka cewek berjilbab yang duduk satu meja dengan Heni, dia mengenal ketiganya saat Opspek. Selebihnya dia tak tahu.

Saf kedua di meja ketiga dari kiri ada Mamad and the gang. Hanya Mamad, itupun saat Opspek, selebihnya dia tidak kenal.

Saf selanjutnya adalah deretan… Nah! Bahkan dia tidak familiar sama sekali dengan wajah-wajah mereka, jika tidak ada papan nama kelas mungkin dia ragu sekarang ada di kelas mana!

Deretan keempat adalah meja yang kini dihuni Bara, tepat berada di depannya. Dia duduk sendirian, kursi di sebelah kirinya kosong. Di samping kanan mejanya Bara ada dua cowok, Nasir menggaruk kepalanya lagi, siapa mereka? Alien? Lalu di sebelah kanannya lagi ada dua orang cewek. Nah, itu dia, monster yang kemarin menyambarkan kilat saat menatap matanya, tapi dia cantik, dan teman di sebelahnya juga lumayan.

Entah kenapa si monster memalingkan wajahnya ke belakang! Astaga! Jangan-jangan dia merasa diperhatikan? Nasir buru-buru mengalihkan pandangannya, ya ampun, aku tidak mau mati muda! serunya dalam hati, jantungnya berdegup kencang.

Kini pandangannya beralih ke deretannya sendiri. Ada satu orang cewek duduk sendirian di sampingnya. Selanjutnya meja kosong tanpa penghuni, lalu meja yang terakhir, Rizal, sedang menunduk sambil nyengir-nyengir sendiri.

Nasir akhirnya memandang langit-langit kelas, sudah sebulan berlalu, dan dia menyadari bahwa belum ada satu pun dari seisi kelas yang benar-benar berinteraksi dengannya. Nasir menggaruk kepalanya, apakah dia benar-benar tertutup? Kurang bergaul? Minder?

Nasir mulai mengkoreksi diri, akhirnya dia menemukan sesuatu, dia sangat sederhana, tidak stylish, bahkan seragam dan celana yang dipakainya lusuh, sepatunya butut, tasnya belel. Begitu juga dalam mata pelajaran, dia tidak pernah menonjol. Setidaknya aku harus melakukan sesuatu, bisiknya dalam hati.

 

Second

~ Mawar ~

 

Di akhir pelajaran Pak Eko mulai mengabsen, biasanya Nasir hanya memperhatikan namanya saja, tapi kini dia penasaran dengan nama seseorang, lalu memutuskan untuk memperhatikan absensi dari awal. Hingga namanya dipanggil nama orang yang dia inginkan belum juga disebut.

“Nasir…….?” Namanya dipanggil untuk kedua kalinya.

“Ha…hadir pak!” sahutnya terkejut, dia terlalu berkonsentrasi menatap punggung seseorang.

“Rose……”

Seorang cewek mengangkat tangan kanannya sebentar tanpa berkata apa-apa, Pak Eko menatap cewek itu dari balik kacamatanya sejenak lalu melanjutkan absensi. “Yes!” seru Nasir dalam hati, tak disangka ternyata namanya di absensi berada tepat sebelum cewek tersebut.

Oh, jadi Rose ya? Nama apaan tuh? Kenapa pendek banget? Keluhnya dalam hati, paling tidak dia mengetahui namanya. Nasir menarik nafas lega kemudian menghembuskannya.

Bel istirahat berbunyi, setelah mengucapkan salam Pak Eko bergegas meninggalkan ruangan. Saat-saat istirahat seperti ini biasanya hanya beberapa orang yang tinggal dalam kelas, dan yang tidak pernah absen adalah Nasir, sendirian di pojok ruangan.

“Bruakakakak, hey Zorro, ngapain bengong aja setiap hari? Ayo gabung!” Rizal memanggilnya, Zorro adalah karakter dengan topeng, kumis tipis, dan anggar yang dipakai Nasir ketika opspek. Nasir hanya tersenyum pahit, menelan ludahnya, lalu kembali tersenyum. Nasir bingung apa yang harus dilakukan, mungkin ajakan itu adalah basa-basi, tapi sekarang adalah saatnya untuk bergaul, pikirnya dalam hati.

“Ayo!” Rizal kali ini tampak sungguh-sungguh.

“Umm… Mungkin lain kali, ada yang mau aku kerjakan dulu” sahut Nasir tiba-tiba sambil tersenyum, kali ini senyumnya sedikit manis. Rizal hanya mengangguk, Bara hanya menoleh sebentar lalu mereka berjalan meninggalkan kelas.

Astaga……! Apa yang aku lakukan?? Keluh Nasir dalam hati, lidah dan otaknya tidak bekerja sama. Akhirnya seperti biasa, sendirian dalam kelas, Nasir mengeluarkan buku catatan, mungkin lebih baik aku mengulang pelajaran selanjutnya dulu katanya dalam hati. Sunyi.

Beberapa siswa keluar masuk ruangan, sayup-sayup terdengar percakapan, namun Nasir tenggelam dalam kesunyian. Nasir mengangkat dagunya, teringat seseorang, Rose, namun meja Rose masih kosong, dia belum datang.

Nasir menghela nafas, memelototi tulisan di depannya, lalu terdengar bunyi goretan, ah suara ini tak asing pikirnya, kemudian meneruskan membaca. Sudah sebulan dia mendengar suara itu setiap kali istirahat! Goretan itu berasal dari seorang cewek dengan rambut dikepang dua yang sedang duduk menggambar sesuatu tepat di samping mejanya.

“Bruakakakakakakak!!” suara tawa Rizal terdengar di kejauhan, tak lama Bara masuk menyusul Rizal di belakang, muka keduanya berseri-seri seperti orang habis menang togel.

“Wah, nyesel lu Zor, tadi ga ikut, seru deh pokoknya” kata Rizal mendekat.

“Hahahaha” sekarang giliran Bara yang tertawa.

“Eh Bar, gue putuskan sejak hari ini gue mesti pindah duduk!”

“Oh ya? Pindah kemana? Ke akhirat?”

“Asem lu Bar, ya kesini lah……! Di samping elu, bruakakakakak”

Menjijikkan! Seperti percakapan sepasang homo, ketus Nasir dalam hati, lalu perutnya terasa mual. Bara menjatuhkan pantatnya di kursi, aroma rokok yang khas mengiringi tubuhnya saat dia merebahkan punggungnya di kursi. Setiap hari selalu bau itu yang aku cium, bisik Nasir.

“Hahahaha, apalagi yang lu tunggu? Ambil tas elu!” sahut Bara kemudian. Rizal bergegas mengambil tasnya, melompati beberapa meja dan tiba-tiba sudah duduk di samping Bara.

“Hallooo tetangga… bruakakakakakak… Zorro beneran sariawan kayaknya Bar, liat aja dari tadi cuma bengong mulu, mungkin mikirin kudanya yang hilang, bruakakakak!” Rizal tertawa terpingkal-pingkal, menyusul Bara. Nasir mengepalkan tinjunya di bawah meja, ada asap yang mengepul dari kepalanya.

“Eh Zor, tumben kelimis hari ini? kumisnya dikemanain? Zorro ga pake kumis ga macho loh, bruakakakakakkak” Rizal mulai lagi.

Bel berbunyi, siswa-siswi berhamburan masuk. Rose! Dan teman semejanya memasuki kelas, Nasir terpana sebentar menatap wajahnya, sekarang ada keringat yang mengalir di pipi Rose, dan Rose sedang tersenyum riang, semua beban di hatinya tiba-tiba sirna, kamu begitu cantik, dan kecantikanmu menyejukkan hati ini, bisik Nasir.

Hari ini terasa sangat singkat, suara-suara Rizal tak lagi mengganggu Nasir, "bunga" itu telah menyita perhatiannya seharian. Pak Eko mengakhiri pelajaran Matematika lebih cepat.

“Ingat, jangan buat keributan, jangan lupa kerjakan tugas yang Bapak berikan, terimakasih atas perhatian…”

“Pak…” tiba-tiba Nasir mengangkat tangannya.

“Iya? Maaf?” Pak Eko mencondongkan kepalanya ke arah Nasir

“Umm… Anu… Pak… Sepertinya Bapak belum mengabsen” sahut Nasir dengan susah payah.

“Saya sedang buru-buru, absen jam ini saya percayakan kepada kalian, OK, selamat siang anak-anak” kata Pak Eko

“Selamat siang, Pak………” sahut mereka serentak, Pak Eko mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Nasir merasa kecewa, dia hanya ingin mendengar nama itu disebut lagi.

Kelas jadi ramai, masing-masing berbicara dengan teman semeja, berbeda dengan Nasir yang hanya di pojok seorang diri. Sebenarnya masih ada satu orang lagi yang senasip, dia sedang asik menggambar sesuatu. Tentu saja yang paling berisik adalah Rizal, apalagi sekarang dia duduk di depanku, telingaku harus dilindungi perisai sebagai antisipasi, keluh Nasir dalam hati.

“Eh Bar, lu pulang naik apa? Motor gue masuk bengkel nih” Bara berdiri, “ikut gue aja kalo begitu”.

Nasir merapikan alat tulisnya, enak banget ya ke sekolah bawa motor, padahal SIM aja belum punya, Nasir memikirkan itu sambil menghela nafas. Mereka meninggalkan ruang kelas beriringan, menyusuri koridor sekolah, melewati kelas-kelas kosong dan kantor dewan guru.

Akhirnya mereka sampai di tempat parkir, tiba-tiba Rizal memutar kepalanya ke belakang, Nasir hanya beberapa langkah di belakangnya, “Eh Zor, lu pulang naik apa? Kayaknya kita ga pernah ketemu sepanjang jalan pulang?”

“Aku pulangnya dijemput, kalo berangkat naik angkot” sahut Nasir santai namun ada nada pedih dalam kalimatnya. “Oh… kalo begitu kami duluan, hati-hati di jalan ya… bruakakakak” kata Rizal, Bara hanya mengangguk dan tersenyum.

Nasir melanjutkan langkahnya, menyusuri halaman, melewati gerbang sekolah, lalu bertingkah seolah-olah sedang menunggu seseorang atau sesuatu (misalnya helikopter yang tiba-tiba mendarat, mobil patroli yang kebetulan lewat, atau sukur-sukur ada mobil ambulan yang jemput).

BRUUUMMMMMMM……………

“Bruakakakakakakak……!! Dadah…………….” Bara dan Rizal akhirnya berlalu. Tidak ada satupun angkot yang lewat, sekolah mereka berada di kawasan pegunungan alias jauh dari kota. Angkot hanya lewat pada pagi hari, kalaupun ada angkot jam segini berarti angkot carteran beberapa siswa yang menjadi langganan antar-jemput.

Jarak dari sekolah Nasir ke terminal terdekat sekitar dua kilometer, dan jarak dari sekolah ke rumah Nasir kira-kira enam kilometer. Nasir sudah terbiasa jalan kaki, bahkan jika tidak terbiasa pun maka sejak memutuskan masuk SMA Negeri 13 Kotabaru maka dia harus membiasakan diri, untuk menghemat ongkos, setiap rupiah sangat berarti baginya.

Jalan raya sepi, sesekali sepeda motor dan truk melintasi jalan, benak Nasir melayang, Rose. Ck, Nasir menggelengkan kepala, mimpi di siang bolong. Nasir merogoh saku celananya, sebenarnya masih ada seribu rupiah, tapi kalo aku berjalan empat kilometer lagi berarti aku bisa menabung hari ini, desah Nasir lalu tersenyum.

Matahari bersinar sangat terik, keringat mengucur di kening dan lehernya, haus. Tiba-tiba dia teringat adiknya di rumah, Nasir menyinggahi sebuah warung untuk membelikan sesuatu, rumahnya hanya sekitar dua kilometer lagi. “Permisi…..” Nasir memanggil penjaga warung, tapi tidak ada orang. Nasir menengok ke sebelah warung, ada bengkel, “Permisi……. yang punya warung mana ya?” tanya Nasir kepada seseorang yang hanya memakai singlet dan celana SMA, orang yang ditanya berbalik. Bara!!

“Nasir???” 

Astaga! Nasir terkesiap, ingin rasanya menghilang atau bersembunyi tapi sudah terlambat. Apa yang harus aku katakan? Keluh Nasir dalam hati.

 

*****

 

Jum'at

Pagi yang cerah. Nasir berjalan melalui koridor sekolah, wajahnya masih seperti biasa, tanpa ekspresi. Pikirannya melayang akan kejadian kemarin siang, Bara bersikeras mengantarnya pulang ke rumah, Nasir hanya bisa pasrah, bahkan Bara tidak banyak bertanya apa dan kenapa. Nasir melintasi pintu kelas, dilihatnya sebagian kursi masih kosong, diliriknya jam dinding, 06.47. Bara sudah ada di kursinya, sedang asik membaca sesuatu.

“Pagi Bar” kata Nasir sambil tersenyum, selama sebulan ini Bara adalah manusia pertama yang disapanya (biasanya Nasir menyapa tumbuh-tumbuhan, jangkrik, capung, dan beberapa hewan melata).

“Yo yo” sahut Bara tetap konsen dengan bacaannya.

Nasir meletakkan tasnya di meja lalu duduk di kursi. Nasir melirik ke samping kanan, hanya meja-meja dan kursi-kursi kosong, bahkan sampai ke ujung, dia seorang diri di deretan paling belakang. Nasir mengalihkan pandangan ke meja favoritnya, kosong.

Beberapa menit kemudian Mita memasuki kelas, aha, pekik Nasir dalam hati, namun orang yang diharapkannya tidak juga muncul. Nasir mengeluh sejenak, mana Rose? Mungkin teman duduknya mengetahuinya batin Nasir, tapi itu tidak mungkin aku tanyakan, memalukan, lagipula aku tidak tahu nama teman Rose tersebut, pikir Nasir kemudian.

Rizal memasuki kelas, wajahnya cerah seperti biasa.

“Bar, permisi Bar numpang lewat, badan lu tambah hari tambah bengkak aja!”

“Daripada kayak elu, cacingan!”

“Ah, jangan pandang kurusnya donk! Yang penting gemuk otaknya!”

“Tapi masih gemuk otak gue”

“Ea… gemuk tapi ga ada isinya, BRUAKAKAKAK, eh, hari ini pengumuman kelas peminatan akademik kan? Lu milih apa? Katanya masih bisa pindah loh, mending ikut gue aja di kelas Bahasa, Bar!”

“Gak menantang, makanya otak lu cacingan, coba gue nih, mendaftar di kelas Matematika dan Sains, hahaha”

“Itu juga kalo lulus, eh Zor? Lu masuk mana?”

Ck… sepertinya bakal dipanggil Zorro seumur hidup.

“Sosial” sahut Nasir pendek. “Huwaaa…… membosankan…… ikut gue aja Zor, di kelas Bahasa, ayolah, gue bakal kesepian tanpa elu” sahut Rizal. Nasir hanya diam.

SMA Negeri 13 Kotabaru tahun itu menjadi bahan uji publik kurikulum baru sebagai sekolah percontohan, sistem ini hanya berlaku pada kelas X, tidak ada pemilihan jurusan IPA, IPS, Bahasa, namun diganti menjadi mata pelajaran wajib, mata pelajaran pilihan (peminatan akademik), dan mata pelajaran pilihan bebas (sesuai minat dan bakat). Agak mirip dengan perkuliahan, karena masing-masing kelas menuntut sejumlah jam pelajaran yang harus diambil, mirip-mirip SKS.

Hari ini adalah pengumuman hasil ujian kelas peminatan akademik, ada tiga kriteria hasil ujian, lulus, pertimbangan, dan tidak lulus. Yang lulus dipastikan akan mengikuti kelas yang dipilih setiap hari Kamis dan Sabtu, yang masuk dalam pertimbangan, boleh mengulang atau tetap bertahan, dan yang tidak lulus tentu saja harus mengulang atau menyerahkan keputusan kepada guru.

Walaupun namanya kelas pilihan, tetap saja diadakan ujian, hal ini karena keterbatasan ruangan, dikhawatirkan jumlah peminat tidak seimbang, mungkin saja salah satu kelas hanya berisi beberapa siswa sedangkan kelas yang lain kelebihan muatan.

Bel masuk berbunyi. Rose tetap tidak muncul, Pak Eko memasuki ruangan, mengucapkan salam, dan memulai khotbah. Nasir merasakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, entah apa, dia tidak bersemangat pagi ini, tatapan hanya tertuju ke suatu tempat, tempat yang seharusnya diisi Rose. Dua jam berlalu begitu saja, Pak Eko mulai mengabsen.

“Hadir, Pak….” Sahut Nasir lesu.

“Rose……,” Pak Eko berhenti sejenak, lalu seperti teringat sesuatu “Oh iya……selanjutnya Rusdi….. ”

“Hadir, Pak!” sahut Rusdi.

Tidak ada penjelasan tentang Rose? Nasir jadi bertanya-tanya.

“Pengumuman hasil ujian kelas peminatan akademik sudah dipasang di Mading depan kantor, yang ingin mengulang diharapkan datang lusa, Minggu pukul 9 pagi ke sekolah, atau dinyatakan menyerahkan keputusan pilihan kepada guru. Sekian. Selamat Pagi anak-anak” kata Pak Eko.

“Selamat pagi, Pak……….” Sahut siswa serempak.

Bel istirahat belum berbunyi, Pak Eko sepertinya suka mengkorupsi waktu, kadang-kadang setengah jam lebih cepat. Siswa-siswi mulai membicarakan tentang kelas pilihan mereka, suara mereka mendengung seperti sekumpulan lebah. Bel istirahat akhirnya berbunyi.

“Ayo Bar!” tiba-tiba Rizal bersuara lalu menoleh ke Nasir, “Zor, barengan yuk lihat hasilnya!”

Sebagian besar murid kelas X menyerbu papan pengumuman, Nasir berjalan dengan enggan di belakang Bara dan Rizal, Rizal hanya setinggi bahu Bara, jika mereka bertiga berjalan beriringan dengan urutan Bara>Nasir>Rizal, maka akan tampak seperti tangga menurun.

Beberapa siswa mengeluh, sebagian yang lain menunjukkan wajah girang, puluhan siswi hanya bisa menunggu di barisan belakang karena tidak mau ikut berdesakan. Bara maju bagaikan Bulldozer menyeruak di antara kerumunan, menyusul Rizal di belakang, sepertinya itu memang ide Rizal.

“Bruakakakakak, gue lulus Bar, lu sama Zorro masuk pertimbangan, sudahlah, Minggu pagi ikut ujian kelas Bahasa aja, dijamin lulus!” seru Rizal. Kelas Bahasa sedikit peminat. Nasir teringat sesuatu, “Eh tunggu disitu Bar!” katanya kemudian menyeruak menghampiri Bara. Nasir mencari sebuah nama. Rose Lulus.

Kelas wajib adalah kelas yang mereka tempati sekarang, mulai Oktober kelas wajib berlaku pada Senin sampai Rabu, hari ini yaitu Jum’at selanjutnya akan jadi kelas pilihan bebas, dan akan terus begitu selama tiga tahun. Nasir merenung sesampainya di kelas. Rizal dan Bara mungkin sedang bersemedi di semak-semak, merokok.

Rose masuk kelas Sains, jika aku memilih kelas lain berarti aku tidak akan melihatnya selama dua hari dalam seminggu, kalau dalam setahun ada 40 minggu efektif berarti… (perhitungan ini terjadi dalam otak Nasir >> 2 hari x 40 minggu x 3 tahun = 240 hari). “Tidak………….!” Nasir menjerit, Wulan yang sedang menggambar di sampingnya menoleh keheranan, akhir-akhir ini Nasir sering bertingkah aneh dan mendadak.

Nasir mengerang membayangkan 240 hari tanpa Rose, belum lagi jika ditambah dengan kelas pilihan bebas.

 

Third

~ Garansi ~

 

Sabtu

“Zor”

Nasir mengangkat wajahnya.

“Lu tinggal di mana?”

“Di rumah…”

 Rizal menarik nafas sambil menahan emosi.

“Rumah lu di mana?”

“Semayap…” sahut Nasir pendek lalu melanjutkan membaca.

“Sama donk! Elu Semayapnya sebelah mana?”

“Kanan…”

“Sempak, serius nih, rumah gue di Gang Komodo!” kata Rizal lalu menoleh ke buku yang dibaca Nasir.

“Bruakakakakakakakak…………………!!!”

Rizal spontan tertawa sambil menepuk-nepuk tembok kelas.

“Ehem………., please, ya……. Gue lagi konsentrasi ngerjain tugas!” kata Rose dingin tanpa menoleh dari tempat duduknya dengan latar belakang awan kelabu dan suara petir membahana dari kejauhan.

Efektif. Rizal berhenti tertawa tapi kemudian mengacungkan jari tengahnya ke arah Rose, Rose tidak melihatnya, namun sebuah sepatu melayang di udara, melewati Bara yang sedang mendengkur, lalu mendarat tepat di pipi Rizal. Gedebruk. Bara terbangun, mengucek-ngucek matanya, kemudian menatap ke arah Rizal yang nemplok di dinding dengan gaya cicak gepeng kejepit pintu.

“Nape lu, Zal? Mo jadi Spiderman?”

“Zorro belajarnya biologinya serius banget, Bar, terobsesi untuk beternak kuda kayaknya, Brekekek” sahut Rizal, kali ini menahan suara tawanya sambil memandang Mita yang sudah siap dengan sebelah sepatu lagi di tangannya. Cowok yang duduk di meja sebelah Mita tampak berurai airmata tanpa suara karena kedua belah sepatunya telah berpindah tangan dalam sekejap mata.

“Wahahaha, tadi pagi malah asik menghitung rumus Fisika dia, Zal” sahut Bara sambil menoleh ke Nasir yang tidak memperdulikan perbincangan mereka berdua.

“Biasa, Bar, menghitung tinggi lompatan dan kecepatan lari kudanya…, brekekekek” kata Rizal lagi tetap waspada dan menatap Mita dengan seksama.

“HUWAHAHAHAHAHA!” tawa Bara meledak. Sebuah sepatu meluncur ke arahnya. Entah bagaimana Bara dengan santai menghindari timpukan itu meskipun dia sedang duduk membelakangi Mita. Gedebruk. Rizal kembali nemplok ke dinding dengan gaya cicak gepeng untuk kedua kalinya.

Bara membalikkan posisi duduknya menghadap Mita, kali ini sepasang sepatu sekaligus sedang menerjang ke arahnya. Bara tidak terlihat kaget, dan tiba-tiba masing-masing sepatu itu telah berada di tangan kanan dan kiri Bara. Mita mendengus, sekarang ada dua orang cowok yang sedang berurai airmata tanpa suara. Pandangan Mita kemudian beralih ke cowok lain di dekatnya, cowok itu langsung gelagapan, tanpa diberi aba-aba melepas kedua belah sepatunya lalu menyerahkannya ke Mita.

“Yah, masak gue harus ngelawan cewek” kata Bara dengan gaya lemes.

Beginilah nasib kelas terlantar ditinggal kabur wali kelasnya, batin Nasir. Pak Eko hari ini mengkorupsi satu jam penuh pelajaran dan hanya memberikan tugas untuk dikerjakan.

Bel tanda berakhirnya kegiatan belajar di sekolah hari ini berbunyi panjang.

“Oppa Gangnam Style…………!” teriak Aceng kegirangan sambil melompat ke atas kursinya kemudian kelojotan tak karuan.

“AARRGGHH…………….!!” Rose menjerit lalu berdiri dari kursinya.

Wung… wung… wung… wung…

Dua pasang sepatu melayang.

Plak… plak… plak… plak…

Giliran Aceng yang nemplok di papan tulis dengan gaya cicak gepeng. Kerjasama tim yang bagus, seru Nasir menghela nafas melihat aksi Bara dan Mita, lalu memasukkan bukunya ke dalam tas. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas, tiga orang siswa masih berurai airmata tanpa suara bergerak memungut sepatu mereka. Dunia memang kejam.

 

*****

 

 Minggu

 Ruangan terasa pengap dan mencekam, setidaknya bagi Nasir. Keringatnya menetes satu demi satu dari keningnya, otaknya sedang berolahraga sains, sejenis olahraga yang benar-benar tidak disukainya. Diliriknya jam dinding yang tampak menggoda, 09.50, sepuluh menit lagi. Beberapa siswa mulai berdiri, merapikan alat tulis dan mengumpulkan lembar jawaban mereka ke meja guru. Pak Ali masih bersandar di pintu, merokok.

Pandangan Nasir mulai mengabur karena peluh yang mengendap di alis dan menggenangi kelopak matanya, beberapa tetes keringatnya jatuh ke atas lembar jawabannya, Nasir mengerang perlahan, tangannya gemetar, sambil mengutuk dalam hati. Seharusnya ujian itu seperti togel, untung-untungan nasib dengan memilih huruf a, b, c, atau d, atau seperti kuis tebak-tebakan. Celakanya, ujian kali ini berbentuk essay. Sains dan essay, bencana jika dikawinkan.

“Silahkan meninggalkan ruangan”

Suara Pak Ali mengagetkan Nasir, tamat sudah. Beberapa siswa terlihat mulai meninggalkan ruangan. Ditatapnya lagi lembar jawabannya yang agak becek.

“Silahkan….!” Seru Pak Ali meninggikan suaranya, ternyata hanya Nasir yang tertinggal dalam ruangan. Akhirnya dia berdiri, pasrah, oh Rose… bisiknya dalam hati dengan wajah dramatis, melankolis, dan hampir nangis. Pak Ali mengambil lembar jawaban Nasir dengan tergesa, menumpuknya jadi satu dengan yang lain, merapikannya, kemudian memasukkannya ke dalam amplop besar.

Pak Ali melirik mimik Nasir yang terlihat sangat merana, menyalakan rokoknya, lalu menepuk pundak Nasir.

“Sains tidak menjamin kesuksesan dan masa depanmu, percayalah!” kemudian beliau meninggalkan Nasir, melangkahkan kaki ke arah kantor.

Nasir melangkah dengan gontai menyusuri koridor sekolah yang sepi. Sepi karena hari ini hari minggu, sepi karena Nasir selalu pulang paling akhir, sepi karena putus asa yang membuat hatinya hampa. Ujian tadi adalah ujian pemilihan kelas akademik yang terakhir, jika dia gagal, maka kemungkinan besar dia akan masuk kelas bahasa yang sedikit peminatnya.

Nasir mulai menghitung, jika kemungkinan gagalnya adalah 80%, berarti masih ada 20% kemungkinan lolos, 20% tersebut terdiri dari faktor keberuntungan, ketidak sengajaan, keajaiban, dan human error (Ed: menurut Nasir, loh!).

Berdasarkan perhitungannya, akhirnya Nasir menarik kesimpulan, bahwa dia harus benar-benar banyak berdo’a, yaitu do’a yang berisi meminta keberuntungan, keajaiban, ketidak sengajaan, dan terutama do’a agar terjadi human error pada guru pemeriksa. Kemudian do’a tersebut dikali 3 dipangkatkan 3 kemudian dilipat 3 dan dibaca 3x sehari sebelum makan 1 sendok teh. (Ed: kocok dulu sebelum diminum).

Nasir mendengar suara berdecit di koridor karena bergesekan dengan sepatu kets dari arah belakangnya, ternyata masih ada orang yang tertinggal, dan dia sedang berlari ke arahnya, Nasir membalikkan badannya ke belakang, Gedebruk! Orang itu malah menabraknya, putih, jangkung, dan tampan. (Ed: moga aja gay, amin!). Keringat membasahi bajunya, cowok itu hanya menoleh ke Nasir sekilas dengan alis berkerut lalu melanjutkan larinya ke tempat parkir, meninggalkan Nasir yang sedang meringis karena kaget dan kesakitan.

Sialan, gerutu Nasir, tidak ada permintaan maaf? Nasir menghela nafas, lalu matanya menangkap sesuatu yang teronggok di ujung sepatunya, sebuah dompet, besar! Dipungutnya, berat! Dibukanya isinya, banyak! Lalu dibakarnya, tentu saja tidak!

Perasaan Nasir campur aduk, persis seperti mengkudu, jengkol, paprika, kunyit, empedu, dan jeroan ikan paus yang dimasukkan dalam blender, lalu mesinnya dihidupkan. (Ed: jangan lupa ditutup, nanti isinya berhamburan).

Pelan tapi pasti dimasukkannya dompet itu ke saku celananya, kemudian melakukan senam leher, menoleh ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang, ke atas dan ke bawah. (Ed: Ada semut di sana, serta-merta diinjaknya, agar saksi itu membisu selamanya. Kini tinggallah rumput yang bergoyang, Nasir tidak tinggal diam, ditebasnya sampai rata dengan tanah)

Apakah aku seorang pencuri? Tidak! Aku baru saja mendapat rejeki! Tegas Nasir dalam hati lalu bergegas menuju WC sekolah. Dikeluarkannya dompet itu kemudian membuka isinya, merah dan biru.

Nasir meneguk air liurnya. 20 lembar warna merah dan 12 lembar warna biru. Rp 2.600.000,- (Ed: ga usah repot bantu ngitung gan, sudah saya cek pake kalkulator kok). Otak Nasir berlari kencang, mulai berfantasi, shopping dalam imajinasi.

Nasir tertegun sebentar, kalau yang punya dompet ini orang yang menabraknya tadi, cowok tampan, jangkung, putih, banyak duit lagi! (Ed: gay please……! Please…….!) Nasir meninju tembok berulang-ulang, sial! Sial! Sial!

Akhirnya Nasir memeriksa keseluruhan isi dompet tersebut (Ed: dengan tangan yang agak memar), mencari kartu pengenalnya, namun tidak ada apapun kecuali kartu kredit dan kartu ATM. (Ed: serta kondom merek Durenz rasa rendang).

Franky, nama itu tertera di kartu kreditnya. Nasir mencoba mengingat-ingat, tidak ada guru, staff pengajar, maupun pegawai sekolahnya yang bernama Franky, berarti kemungkinan besar si Franky adalah kakak kelasku, bisik Nasir. (Ed: peduli amat, amat juga kagak peduli, sikat aja bos!). Nasir terdiam sejenak, sambil bertanya-tanya dalam hati, Ed itu siapa ya? Daritadi nyeletuk terus. Bruakak.

 

Fourth

~ Harga ~

 

Nasir terkenang dengan kemiskinan yang menetes-netes dari atap rumahnya, kelaparan yang merembes dari dinding rumahnya, dan kepedihan demi kepedihan yang tumbuh dan bersemi di lantai rumahnya. Ya, peduli amat, cetus Nasir dalam hati sambil memasukkan kembali dompet itu ke saku celananya lalu bergegas meninggalkan WC.

Koridor yang selama ini selalu muram kini terlihat ceria di mata Nasir, langkahnya sangat ringan menyusuri keramik-keramik~yang dulunya berwarna~putih, melenggang dengan santai melewati kantor dewan guru, menyusuri halaman sekolah, dan sesekali bertengadah menghirup udara segar sambil memejamkan mata. Dia lalu menadahkan telapak tangan kanannya ke arah matahari, hangat, mengembangkan senyumnya, senyum seharga dua juta enam ratus ribu rupiah.

Tapi senyum itu tidak berlangsung lama, dahinya tiba-tiba berkerut, lalu langkahnya terhenti. Tunggu dulu! Jadi hargaku cuma segitu? Pertanyaan itu berkecamuk di kepalanya, hargaku cuma segitu?

Dompet di saku celananya terasa panas, membakar sekujur kakinya (Ed: sepanas-panasnya uang panas kagak sebegitu juga panasnya keles). Ada malaikat dan setan yang sedang bertempur di kepalanya. Ribuan suara-suara yang entah darimana asalnya tiba-tiba saja berteriak nyaring dan berdesakan memenuhi otaknya. Nasir bimbang.

Nasir menatap gerbang sekolah yang tinggal beberapa meter lagi di depannya, namun entah kenapa kakinya tak bisa bergerak (Ed: tali sepatunya terikat di tiang bendera tuh). Ditutupnya kedua telinganya, menekannya dengan erat, namun gagal, suara-suara itu tetap terdengar. Dia akhirnya terduduk, jongkok. Terdengar suara pintu kantor ditutup dan dikunci, lalu disusul langkah-langkah panjang tepat ke arahnya.

“Hei, kamu tidak apa-apa?” Suara Pak Ali terdengar dari kejauhan, Pak Ali dengan setengah berlari menghampiri Nasir, mengusap pundaknya perlahan, “Kamu sakit?”

Nasir menengadahkan wajahnya yang kalut, “Tidak Pak, saya baik-baik saja, hanya saja…” dan dia tidak mampu melanjutkan ucapannya, kepalanya terasa pusing, lalu mencoba berdiri, dengan sigap Pak Ali menopang punggung Nasir. Pak Ali kemudian meraih sebungkus rokok dari saku baju beliau, mengambil sebatang, lalu membakarnya.

“Bapak mengerti, memang berat menjadi seorang pelajar, Bapak pernah mendengar seorang mahasiswa menikam gurunya hanya karena sebuah nilai ujian, dan Bapak rasa hal itu tidak perlu terjadi, pada kita, tentunya” lagi-lagi Pak Ali menepuk-nepuk pundak Nasir, yang ditepuk pundaknya malah tersedak mendengar ucapan tersebut (Ed: tersedak? Habis minum apa gan? Spritus?) Namun ajaib, suara-suara di kepalanya mulai mereda. Nasir menatap Pak Ali lekat-lekat.

“Saya menemukan dompet, Pak” (Ed: Ups!)

“Kapan? Punya siapa? Di mana?” sahut Pak Ali memberondong Nasir dengan pertanyaan.

“Isinya banyak, Pak!” (Ed: yang nanya isinya siapa, coba?)

Pak Ali serta-merta (Ed: kirain serta mertua) memeriksa saku celananya sendiri, aman, batin beliau, lalu kembali menepuk-nepuk pundak Nasir.

“Ikutilah kata hatimu, kejujuran bukan sains, jadi tak perlu menghitungnya dengan otak…” kata beliau, lalu berhenti sejenak untuk menghisap rokoknya, “Dan tentu saja, merokok itu tidak baik untuk kesehatan” lanjut beliau.

Nasir hanya termangu, kemudian manggut-manggut.

“Pulang ke mana? Mau ikut Bapak?” tanya Pak Ali sejurus kemudian.

Nasir menganggukkan kepalanya. (Ed: sambil berseru, trilili..lili…lili…lili)

Pak Ali menghidupkan motornya lalu manabrak Ed sampai mati kemudian menggilas mayatnya sambil menyalakan rokok, lalu~lagi-lagi~menepuk-nepuk pundak Nasir.

 

*****

 

Nasir bersandar di bangku panjang sesampainya di rumah. Pinggangnya terasa sakit, motor Pak Ali tiba-tiba mogok di tengah jalan, padahal di depan mereka ada tanjakan yang lumayan tinggi, mau tidak mau Nasir membantu mendorong motor Pak Ali melalui tanjakan tersebut, sisa perjalanan dilaluinya bersama Pak Ali dengan berjalan kaki, jogging plus-plus di minggu pagi jelang siang. Pak Ali bercerita banyak sambil menuntun motornya, sebagian besar tentang masa muda beliau dulu, kemudian membandingkannya dengan kehidupan anak muda zaman sekarang. Perbincangan mereka terhenti di depan sebuah bengkel. Bengkel Bara.

Nasir kemudian meninggalkan Pak Ali setelah meminum segelas air putih yang dibawakan ibunya Bara, sekilas Nasir mendengar Pak Ali mulai mengajak Bara yang sedang mengutak-atik mesin motor Pak Ali untuk berbicara, ujung-ujungnya pasti masa muda, seru Nasir dalam hati. Dia lalu tersenyum, diam-diam Nasir mulai menyukai Pak Ali (sebagai guru, gan, catet ya, jangan berpikir yang bukan-bukan!)

Nasir sedang menatap saku celana depannya yang menggelembung seperti lagi hamil dan tampaknya sedang memasuki masa injury time ketika Nara melintas. Nara berhenti sejenak, lalu duduk di samping Nasir. Nara~gadis manis sederhana, setidaknya menurut Nasir~yang berumur kurang lebih 15 menit lebih muda dari Nasir kemudian berdehem.

“Bawa apa tuh? Hadiah buat aku? Perasaan ultah kita masih lama deh…” Kata Nara sambil melirik saku celana Nasir.

“Oh…., ini…. Bukan…” sahut Nasir gelagapan sambil meletakkan telapak tangannya ke atas paha, seakan menyembunyikan aib keluarga, lalu memandang Nara dengan wajah tegang.

“Kalo gitu apa, donk?” tanya Nara sambil menatap tajam dengan penuh penasaran ke balik telapak tangan Nasir.

“Mau tau aja!” sahut Nasir dengan ketus lalu berdiri meninggalkan Nara.

“Eh, ujiannya tadi gimana?”

“Lancar”

“Soalnya mudah ya?”

“Iya”

“Jawabannya?”

“Sama”

“Sama dengan sukses atau sama sekali hancur?”

Nasir yang sudah berada di ambang pintu kamarnya menoleh ke Nara sambil melotot dan memajukan bibirnya. Cerewet banget, harusnya Nara ini kembarannya Rizal, seru Nasir dalam hati, Nara menjulurkan lidahnya lalu beranjak menuju dapur.

Nara merasa seharusnya mereka kembar identik, Nara selalu antusias dengan kegiatan Nasir, seringkali dia berharap bisa bertukar peran sebagai Nasir, namun itu tidak akan pernah terwujud, penampakan mereka benar-benar berbeda, postur tubuh, suara, dan jenis kelamin, tidak ada tanda-tanda fisik kalau mereka pernah berbagi rahim selama sembilan bulan dan lahir pada tanggal yang bersamaan.

Nasir sendiri meragukan kenyataan bahwa mereka itu kembar, meskipun mereka telah tumbuh bersama selama bertahun-tahun. Namun, Nasir selalu bersyukur saat menatap wajahnya di depan cermin, tidak terbayang kalau mereka benar-benar identik dengan jenis kelamin yang berbeda, mungkin wajah Nara akan se-maskulin Nasir, atau bisa jadi wajahnya akan jadi se-feminin Nara, dan bisa jadi pula mereka berada di antara keduanya~tidak maskulin dan tidak feminin~, itu sangat gawat, teramat sangat menodai kelaki-lakian, seru Nasir sambil mengajak pemirsa se-tanah air untuk mengucapkan naudzubillah ribuan kali.

Nasir merebahkan tubuhnya, meraba dompet di saku celananya, kemudian bangkit, mondar-mandir tidak jelas, aku harus menghubungi seseorang, kata Nasir kemudian. Dia meraih kalkulator dari meja belajarnya, bertingkah seolah memencet nomor telepon seseorang, lalu mendekatkannya ke telinga.

“Halo, bisa bicara dengan Rumah Sakit Jiwa?” kata Nasir kemudian, tentu saja tidak ada sahutan (emangnya RSJ bisa ngomong?).

Terasa benar pentingnya komunikasi dan alangkah indahnya dunia jika komunikasi itu dapat berjalan mudah dan cepat. Sayangnya, Nasir tidak mampu membelinya, memikirkannya saja tidak. Nasir akhirnya mengambil buku dan pulpennya, lalu mulai menulis.

 

Kepada temanku, Rizal.

Hai,

Apa kabarmu? Aku dalam keadaan sehat wal melarat saat menulis surat ini.

Oh, iya. Aku penasaran dengan seseorang yang bernama Franky, tampaknya dia adalah kakak kelas kita. Apakah kau mengenalnya? Ku tunggu balasanmu.

Wassalam 

Nasir

 

Nara yang sedang mengintip dari balik pintu jatuh terjengkang.

 

Fifth

~ Merokok dan Cinta Membunuhmu ~

 

“Franky?”

Nasir mengangguk.

“Emangnya ada apa? Menurut gue sih sebaiknya elu gak usah berurusan ama dia” lanjut Rizal sambil memasukkan emping komodo ke mulutnya. (FYI: emping komodo adalah emping yang lagi meledak di Kotabaru~walaupun meledak, untungnya tidak sampai memakan korban jiwa. Emping ini bentuk dan rasanya seperti melinjo biasa~karena bahan bakunya dari melinjo~dan dikemas dalam bungkus bergambar komodo, sehingga lebih tenar dengan sebutan emping komodo)

“Ngomong-ngomong, Zor, ini emping menurut gue kagak kreatif, harusnya diukir bentuk komodo gitu kek biar lebih “komodo”, atau minimal dikasih perasa “komodo” sintesis lah… Bruakakak” kata Rizal diiringi tawanya yang khas.

“Aku ke sini mau diskusi Franky, Zal, bukan komodo” sahut Nasir ketus.

“Bruakakak, OK, lanjut” kata Rizal kemudian mencoba memasang wajah serius, menutup bibirnya rapat-rapat dan menatap Nasir dengan seksama, mulutnya masih mengunyah-ngunyah emping, terlihat mirip muka konyol pemamah biak.

Saku celana Nasir akhirnya melahirkan, atau lebih tepatnya diaborsi oleh Nasir.

“Wew…” lalu Rizal mengalihkan pandangannya ke arah Nasir.

 

*****

 

Matahari telah condong ke arah barat. Sebuah tembok tinggi berdiri kokoh di depan dua orang remaja yang sedang termangu.

“OK, tinggal pencet bel dan selesai” kata Rizal membuka pembicaraan setelah mereka masing-masing lama terdiam di depan pintu gerbang yang terkunci rapat. Nasir berbalik, menyentuh bahu Rizal, lalu berbisik, “Pulang aja, yuk!”

“Wah, memble, lu. Kita sudah sejauh ini!”

“Apalah arti dua juta sekian bagi rumah semegah ini” sahut Nasir sambil menunjuk bangunan yang berdiri angkuh di tengah halaman luas~yang terlihat mirip taman ketimbang halaman.

“Entahlah, elu sebenarnya niat balikin apa kagak, sih?”

Nasir terhenyak, lalu kembali berbalik menghadap pagar.

“Cepat pencetnya belnya”

“Ini juga daritadi gue nyari-nyari kagak ketemu” sungut Rizal sambil celingukan di sekitar pagar, tapi tidak menemukan sesuatu yang mirip bel atau semacamnya.

“Besok aja deh, Zal, bantu aku mencari Franky di sekolah” kata Nasir tiba-tiba.

Rizal mendesis perlahan. “Harusnya elu ngomong gitu dari awal, awal sekali, sebelum elu datang ke rumah gue”

“Haha…” Nasir menjawabnya dengan tawa hampa sambil menggaruk kepalanya.

Suara deru mesin terdengar dari kejauhan, serempak mereka berdua menyingkir dari jalan dan menyandarkan punggung mereka di depan pagar. Honda CR-V itu malah menyalak dan mengagetkan mereka berdua sehingga mereka berebutan melompat ke samping.

Tiba-tiba pagar itu berderit perlahan, terbuka, CR-V putih itupun berbelok masuk ke dalam. Baru setengah masuk, mobil itu berhenti, mundur sedikit sampai berada tepat di samping Nasir dan Rizal. Kaca samping kanan bagian belakang mobil tersebut perlahan-lahan turun, seorang wanita separuh baya melongokkan kepalanya.

“Ngapain? Mau maling, ya?”

“A…..a…..anu……” Nasir tergagap.

“Duh, jangan gitu, mah!” terdengar suara gadis remaja, wanita tersebut mendengus lalu menaikkan kaca jendelanya. Buru-buru Rizal melompat ke depan.

“Maaf, tante. Kami menemukan sesuatu yang sepertinya milik Franky”

Entah suara Rizal terdengar atau tidak, sejurus kemudian ia menurunkan kaca jendelanya lagi. Rizal menarik Nasir agar mendekat. Nasir bergegas mengeluarkan dompet itu lalu menyodorkannya. Saat itulah matanya bertemu dengan gadis yang duduk di sebelah Si Tante. Cantik. Mengingatkannya pada Rose. Mereka memiliki mata yang sama, tapi tidak se-mematikan milik Rose.

“Ya, terimakasih” jawab si Tante pendek.

“Siapa namamu?” seru gadis itu dengan wajah berseri. Namun suaranya tenggelam seiring kaca jendela yang merangkak naik. Rizal tersenyum lebar, lalu berteriak sambil menepuk pundak Nasir.

“ZORRO…!!”

Mobil itu melenggang masuk menyusuri halaman, diiringi pintu gerbangnya yang berderit menutup. Nasir dan Rizal kemudian meninggalkan rumah tersebut, menyusuri jalan, ditemani matahari yang mulai tenggelam. Sesekali angin bertiup mengacak rambut mereka berdua.

“Seperti nenek sihir…” gumam Nasir.

“Yang mana? Sebelah kiri apa kanan?”

Nasir tersentak, tidak menyangka Rizal mendengar gumamannya, “Dua-duanya” jawab Nasir sejurus kemudian.

“Hah? Cakep gitu dibilang nenek sihir?”

“Tatapannya menyihirku” lanjut Nasir pelan, hampir tak terdengar.

“Cieee… Jatuh cinta pandangan pertama ni yee… sama tante-tante pula! Bruakakak”

“Cinta…?” gumam Nasir lagi sambil bertengadah tidak menghiraukan ledekan Rizal barusan, memandang langit jingga dan awan yang berarakan. “…Rose”

Rizal yang tertinggal beberapa langkah di belakang Nasir karena sedang menyalakan rokok langsung mendelik.

“Lu bilang apa tadi?”

“Gak ada” sahut Nasir tak acuh.

Rizal mempercepat langkahnya mengimbangi Nasir kemudian menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Nasir menyingkir menjauh, seakan menghindari sekumpulan lebah yang sedang terbang di dekatnya.

“Bruakakakakak” Rizal terbahak-bahak, disedotnya lagi rokoknya, kali ini dengan penuh semangat lalu menghembuskannya kuat-kuat ke arah Nasir. Nasir dengan sigap berlari menghindar, Rizal buru-buru menghisap rokoknya dan menahan udara di mulutnya kemudian berlari mengejar Nasir dengan mulut kembung dan bibir monyong ke depan.

“Lari lu cepet juga, ya!”

Rizal berhenti setelah beberapa menit berlari, mengatur nafasnya, melihat Nasir yang masih sepuluh meter di depannya, lalu kembali berlari.

“Zor….!! Gue nyeraaaaah…!!”

Nasir tersenyum lalu mengurangi kecepatannya larinya, menoleh ke belakang sebentar lalu akhirnya berjalan mundur sambil menghadap Rizal yang masih terengah-engah dan melambai-lambaikan tangannya.

Nasir berhenti di depan Gang Komodo, bersandar di gapura dengan ekspresi datar, keringat terlihat menetes dari kening dan pipinya, berbeda sekali dengan Rizal yang terlihat payah dengan wajah yang memerah, berjalan dengan nafas yang terengah-engah menghampiri Nasir. Menyadari sudah berada di depan gang, Rizal buru-buru membuang rokoknya.

“Zor, lu curang, kagak ngerokok sih… entar gue sama Bara bakal kasih elu kuliah khusus tentang indahnya rokok”

“Ya… Setahuku merokok itu tidak baik untuk pencernaan...” sahut Nasir.

“Bruakakak” Rizal terjengkang di tanah, lalu duduk dengan cueknya, bersandarkan gapura, tepat di samping Nasir.

“Bagus juga sore-sore olahraga, jarak yang jauh jadi gak kerasa, eh, tiba-tiba kita dah nyampe, Zor…”

Hening. Sesekali kicauan burung dan jangkrik terdengar dari kejauhan.

“Ah elu bengong aja, mikirin apa, sih? Asal lu tau aja, gue salut dengan kejujuran elu, Zor, tapi elu ikhlas, kan?”

“Ikhlas atau tidak itu cukup aku dan Tuhan yang mengetahuinya” sahut Nasir.

Rizal mengangguk.

“Eh, lu mau mampir dulu? Sekalian sholat terkejjud berjama’ah?” celetuk Rizal sembari bangkit dari duduknya.

Nasir menggeleng, tersenyum tipis.

“Makasih dah nemenin aku sore ini, Zal”

“Sip…!” Jawab Rizal sambil mengacungkan jempol. Rizal masih terdiam di tempatnya berdiri, menatap kepergian Nasir yang mulai menjauh diiringi matahari yang hampir terbenam seluruhnya.

“Rose…” gumam Rizal sambil tersenyum penuh misteri.

Next ⇒ BAB DUA (Pursuit 2 Rose)

Tags

About The Author

Tuhuk Ma'arit 53
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel