Gradasi Cinta
Â
Suara lalu-lalang kendaraan tak Marsyah hiraukan. Berjalan bagai zombie kehilangan otak. Tanpa memperhatikan sekeliling. Matanya hanya tertegun pada smartphone yang teruntai sebuah postingan lelaki. Pesan yang tak diharapkan. Karena bukan untuk perempuan yang kini mematung. Seketika air matanya menetes diatas layar Lumia 1020. Tubuh mungilnya merasa ingin terkapar di tengah jalan. Namun, itu tak mungkin ia lakukan. Langkah kakinya mulai melemah, sesaat ia melihat warung kecil. Sepasang sepatu kets terhenti kemudian tubuhnya duduk di kursi bambu, tergeletak di depan warung.
"Nak, minum apa?" Seketika sosok wanita paruh baya menghampiri. Namun, lidah Marsyah keluh untuk mengatakan sepatah kata.
"Nak? Kamu baik-baik saja kan?" sambil menepuk bahu Marsya.
"Iya, Ibu maaf. Aku pesan teh hangat saja,â menunduk kaku.
Sesaat kemudian teh hangat beralih ke depan Marsya. Tak menyentuh pun akan menjadi dingin. Hati Marsyah terasa remuk. Teh manis terasa tawar. Namun, tak berkomentar. Kemudian meninggalkan uangnya di atas meja. Sudah biasa bagi gadis manis berwajah sendu mangkir di warung Mpok Darmi.
Arah kakinya ke barat warung, sebuah bangunan kubah berujung bulan bintang. Tanpa komando apapun, ia menuju tempat wudhu. Terasa seperti kain sutra menyentuh hatinya.
Lalu, kain putih menutupi seluruh tubuhnya. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh" sambil menoleh ke kiri. Tangannya terselungkup. Doâa-doâa dipanjatkan. Berharap ada keajaiban datang.
Seusai wajahnya diusap, memori tentang Zahir terlintas jelas. Ibu lelaki berparas tampan selalu menggoda gadis berhijab bermata bulat untuk dijadikan menantunya. Gurauan calon mertua hanya ditanggapi senyum renyah. Lelaki yang diprediksikan akan menjadi sayap untuk Marsya masih melalang buana di Jakarta. Marsya tak tahu rupa seseorang yang mengais rezeki itu. Saudara tertuanya bernama Zakiyah menggoda kembali.
"Sih mungkin kalian udah kenalan di facebook, kan? Ayo ngaku!"
Suara wanita itu membuat tamu undangan menatap tajam kami. Saat itu memang acara hajatan digelar. Dalam tradisi arab untuk menentukan bagian dari family atau bukan, hanya menanyakan fam. Marga. Imran tak jauh dengan marga lelaki itu. Ikatan dua pupu terjalin. Tapi, tak saling kenal.
Setelah pulang dari acara tersebut, Marsyah menjadi penasaran dengan orang yang bernama Zahir tersebut. Akhirnya gadis perawakan arab, mencari lewat dunia maya. Seperti spekulasi wanita kemarin yang membuat orang-orang fokus kepadanya.
Lelaki yang isunya akan menjadi pasangan hidupnya. Tidak semudah mencari jarum dalam jerami. Menggonta-ganti alfabet, Zhahir, Zahiir, Zaahir dan seterusnya, hingga berhari-hari. Rupanya, hasil tak pernah menghianati proses.
"Hore!" sambil berjingkrak-jikrak di ruangan 4x3 meter tempat merajut mimpi. Akhirnya, tanpa basa-basi di-add.
"Iya, aku Zahir adiknya kak Zakiyah, kenapa? ada yang ingin disampaikan?" muncul pesan balasan yang ditunggu sekitar 8 jam.
Menjelaskan perihal akan dijodohkan. Responnya hanya terkekeh. Aneh! Lelaki yang cukup dewasa, namun bertingkah seperti anak-anak. Bisikan entah dari mana munculnya.
Mudah sekali ungkapkan cinta. Belum berjumpa. Hanya hitungan 24 jam dalam hari ketiga. Mirip resep dokter. Namun, gadis pemilik lesung pipit tidak berani membalas cintanya. Tujuannya hanya study dimantapkan. Lelaki yang rupanya tak pernah muncul, sepertinya merah padam. Jelas dari emoticonnya bergambar devil. Lelaki mana yang tak kecewa jika cintanya di- pending.
Bulir bening yang keluar dari bola matanya kini menghujani telepon genggamnya. Seperti dimandikan.
Matahari yang menua, mewarnai langit biru menjadi jingga. Angin sore mengibaskan hijabnya. Hingga airmata mengering. Hidungnya kini memerah. Setitik cahaya bertebaran di hadapannya. Hari mulai gelap.
Hari demi hari, terlewati dengan sepi. Pagi tandas oleh lamunan. Bahkan mentari sejajar dengan orang berjalan, kontras dengan Marsya. Diam tanpa kata.
Tanpa melihat siapa yang menelpon ia angkat, namun tak bersua.
"Assalamu'alaikum," ucapan terngian hingga tiga kali. Suaranya seperti tak asing. Dilirik layar kecilnya. "Zahir".
Membalas sahutan lelaki yang katanya merindukannya. Hanya membuat telinga panas. Namun, hati kecil tak berdusta. Benih-benih cinta itu tak pudar.
Kesimpulan gadis keras kepala bulat. Marsya tidak ingin menjalin kasih, hingga skripsi lolos dari dosen killer. Sementara, laki-laki calon pendampingnya siap menanti kehadiran gadis yang akan mengenakan toga.
Setiap almanak yang berganti, selalu membuat bibir perempuan sederhana mengembang. Menyerahkan pesan kecil kepada Ilahi Rabbi. Percaya akan keputusan-Nya.
Pesan balasan Tuhan mengecewakan hati kecilnya. Sudah percaya janjinya. Ingkar!
Sejak terakhir mereka berbincang Marsya dan Zahir benar-benar lost contact. Tak ingin menodai kesucian cinta.
Baru Marsya sadari, betapa teganya lelaki calon imamnya menuliskan untaian kata di depan umum yang seharusnya dihindari. "Aku uda sabar kok, walaupun kamu ngambek. Aku sayang kamu".
Otak berkecamuk dengan hati. Bingung. Sudah berhari-hari tanpa ikatan spesial. Mana mungkin ada peristiwa berantem. Syaraf otaknya berasumsi pasti benar. Terbukti setelahnya. Foto gadis bermata biru tanpa hijab menjadi foto profilnya.
Permisi mbak saya ingin mengumandangkan adzan. Kini waktunya sholat Ashar! Marsyah melangkah mundur, di balik sekat antara laki-laki dan perempuan. Menunduk malu, menyembunyikan kesedihannya. La Tahzan. Jangan bersedih. Sesungguhnya Allah tak pernah pergi. Tetaplah tersenyum, menebar ilmu dan berbagi rizki. Sosok dengan perangai serupamu akan menghampiri. Bisikan lagi, tanpa tahu siapa!
Â
Â
Situbondo, 28 Januari 2014
Direvisi 25 Januari 2016
Tulisan ini berdasarkan kisah seseorang. Semoga bisa memetik hikmahnya.
Tentang Penulis
Â
Baiq Cynthia yang merupakan mahasiswi di Universitas Muhammadiyah Malang. Lahir di Bondowoso, tanggal 30 Juli. Tulisannya hadir di beberapa media online. Terutama di MediaMahasiswa. Menulis di beberapa buku antologi cerpen. Tergabung di "Poejangga Writers" dalam novel Before the Last Day. Motto menulisnya adalah Menulis membuatmu tak sendiri.