Entah jeritan apa yang harus saya teriakan di laut selatan.  Melihat fenomena-fenomena intoleran yang terus menerus.  Seolah-oleh perilaku tersebut seperti cacing yang keluar dari tanah, tak pernah habis selalu menumbuhkan bibitnya. Terpaksa saya harus mengatakan “biang kerok†intoleran menjadi kekerasan sehingga, gubug serta isinya lenyap di lalap api.  Apakah selesai dengan perlakuan seperti itu ?
“Kita itu bergamanya seperti daging†seperti yang di ucapkan oleh Gus Mus. Proses beragama  kita selalu dihadapkan pada tantangan. Tuhan tidak rela melihat orang-orang beriman tanpa ada ujian dalam setiap jengkalnya. Ibarat tanaman yang selalu tertiup oleh angin. Kita pernah merasakan di ombang-ambing oleh suatu keadaan. Dampaknya pun keimanan kita naik atau turun keimanan kita seperti gelombang. Kualitas keimanan pun menjadi tolak ukur seseorang untuk berjalan di bumi ini.
Perdebatan demi perdebatan memang selalu terjadi dalam ajaran apapun. Cara kita memuja Tuhan memang dikatakan sudah final seperti simultan. Disitulah titik kelemehan kaum keberagaman, yang sibuk mempertanyakan keabsahan yang lain dalam menyembah-Nya. Justru kila lalai akan ujian keberagaman bermacam-macam bentuknya. Permasalah sosial yang kian hari menumpuk seperti tukang laudry yang menerima order.  Gariah ini dimuulai dengan  gerakan gerakan berbau agama yang memiiliki prinsi-prinsip dasar  agama itu sendiri. Umpanya kekerasan terhadap satu kaum  yang digadang-gadang membawa kita menuju jalan surga, ajaran tersebut menjadi tantangan kita untuk mensikapinya. Dimana komponen sosial harus bergerak mencari win-win solution dari dogma-dogma buta seperti ini. Â
Orang-orang yang memiliki semangat tinggi mempelajari agama, namun tidak memiliki pemahaman terhadap keragaman. Keragaman itu pada hakikatnya adalah sebuah tangga ilmu pengetahuan. Ibarat kita menuntut ilmu di sekolah umum. Dimulai dari jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, kemudia kuliah. Gerakan membangun kesadaran proses beragama dengan benar, upgrade pengetahuan agama. Agama   yang tidak  berhenti pada asal turunnya, melainkan memperhatikan local wisdom.
Beragama tidak berhenti pada labelisasi. Ini menandakan agama yang menggunakanya label saja, akan menjauhkan dari identitas agama yang sesungguhnya. Bagaimana kita menyikapi gerakan bagi keberagaman kita. Tidak perlu panik, yang terpenting adalah membangun pribadi-pribadi yang toleran. Serta memahami toleransi yang bersifat inklusif.
“Religion haven’t studies violenceâ€
Beberapa kalimat dari Khobah Jum'at oleh Muhtarom, M.Ag di Masjid Walisongo Semarang (21/01)
sumber gambar : dhyy.wordpress.com