Masih Kerikil di Tepi Sungai

20 Jan 2016 22:00 3338 Hits 0 Comments
Manusia dan Alam "Gaib"

Masih Kerikil di Tepi Sungai

Cover Image: Jimi Laila

Dia memintaku menceritakan tentang manusia. Ku katakan bahwa manusia itu sederhana, hingga mereka memiliki keyakinan dan keragu-raguan. Saat salah satu dari keduanya menjadi tak terbatas, manusia menjadi tidak sederhana lagi.

Ada manusia yang menceritakan tentang kepercayaan, sebuah unsur manusia yang tidak terlihat, hal yang gaib. Kemudian bahwa Tuhan itu gaib, kiamat itu gaib, surga dan neraka itu gaib, semua serba gaib, lalu didirikan sekolah yang membahas tentang kegaiban, lulusannya mendapat titel S.Ag... Sarjana Alam Gaib.

Kemudian ada juga yang menolak untuk meyakini kegaiban Tuhan sehingga membuatnya menjadi tidak gaib lagi, bisa dilihat, diraba, dan diterawang. Tuhan yang tidak gaib ini bisa dipakai untuk membeli bermacam-macam, misalnya makanan yang bisa diputer, dijilat, lalu dicelupin.

Masalah kegaiban terus berkembang dalam persepsi manusia, merambah kehidupan dan kematian, merambah alam nyata dan~tentu saja~ alam gaib, merambah sejarah masa lalu dan ramalan masa depan, meski kemampuan mereka tidak normal, mereka menolak disebut lebih normal apalagi kurang normal, sehingga memiliki julukan tersediri, para normal.

Permasalahan kepercayaan selalu berhubungan dengan Tuhan, mereka menyebutnya Theis, mungkin bisa diterjemahkan secara bebas menjadi tuhani. Semua menjadi serba Tuhan, alam semesta dan seisinya terjadi dan berkembang secara Tuhani sehingga menjalani kehidupan di dunia harus dengan konsep dan ajaran Tuhani. Mereka hanya memikirkan dan membicarakan tentang ketuhanan dan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. Mungkin dengan demikian mereka bisa mengerti dan mengenal Tuhan. Mungkin dengan demikian mereka bisa berperilaku sesuai dengan apa yang disenangi Tuhan. Mungkin mereka adalah manusia-manusia yang menemukan Tuhan. Bisa jadi aku menyebut mereka sebagai para penemu.

Manusia yang belum menemukan Tuhan akan mencari keberadaan Tuhan. Masa pencarian adalah masa-masa sulit, sebagian dari mereka ada yang terpleset, terjerembab, terjatuh. Tidak sedikit yang tersesat, yang salah jalan, yang bertemu tembok atau jurang, yang mengambil jalan memutar, dan ada pula yang kembali dan memulai lagi dari nol. Ada juga yang merasa sudah berada di jalan yang tepat namun masih kekurangan petunjuk. Bisa jadi aku mengelompokkan mereka sebagai para pencari.

Kemudian Tuhan dipersepsikan sesuai kehendak mereka, sesuai dengan apa yang mereka kira pantas untuk Tuhan. Bahwa Tuhan pasti esa dan digdaya, tidak mungkin ada dua Tuhan atau lebih yang saling bahu-membahu bekerja sama. Sebaliknya, ada juga yang merasa perlu menambahkan sekutu-sekutu Tuhan, lalu Tuhan punya anak istri, atau saudara, keluarga, sanak famili, kerabat, handai taulan, pembantu, kaki-tangan, asisten, pasukan, dan lain sebagainya, entah di langit atau di muka bumi. Kemudian ada juga tokoh antagonis untuk melawan Tuhan, lengkap juga dengan kroni-kroninya, seakan Tuhan dari dahulu sampai sekarang merasa perlu untuk berperang dengan musuh-musuhnya. Entahlah, mungkin mereka ini para pendongeng, atau para penulis cerita fiksi, seperti saya, barangkali?

Ada juga manusia yang tidak percaya dengan keberadaan Tuhan, menceritakan tentang bertahan hidup, bahwa yang terbaik dan yang terkuatlah yang akan meneruskan kehidupan. Dengan demikian, jika ingin bertahan, manusia harus kuat, entah fisik, mental, atau akal. Ku pikir evolusi adalah semacam pertandingan atau perlombaan, yaitu kompetisi yang melahirkan pemenang dan pecundang. Ketika monyet dan monyet berkompetisi, pemenangnya kemudian disebut manusia, dan monyet-monyet yang masih ada sampai sekarang adalah sekumpulan pecundang, sehingga bila manusia bertemu monyet, mereka akan menyapa monyet dengan ucapan, halo para pecundang.

Bisa jadi pendapat ini benar, karena ketika dipandang melalui kacamata kemanusiaan, monyet-monyet yang masih tetap bertahan sampai saat ini semuanya tidak bermoral, tidak beretika, tidak beradab, tidak manusiawi, entah monyet itu cabul atau tidak. Paling tidak monyet-monyet tersebut telanjang.

Padahal monyet tidak membutuhkan sedikitpun kemanusiawian.

Aku khawatir dimonyetkan. Padahal aku cuma telanjang. Di sini. Di tepi sungai.

Kemudian ada pula manusia yang merasa perlu menciptakan keharmonisan. Mereka mencarikan jalan tengah untuk urusan hakikat manusia, bahwa manusia adalah produk naturalis, yang jika diterjemahkan secara bebas menjadi alami. Kemudian mereka melibatkan Tuhan dalam proses penciptaan pertama, kemudian berlepas tangan, bahwa Tuhan menciptakan suatu unsur atau materi, lalu Tuhan menciptakan ruang dan waktu untuk keberadaan benda tersebut, lalu berlepas tangan, terserah mau jadi apa, kalau rusak atau hancur, kan tinggal bikin lagi, gitu aja kok repot.

Lalu terjadilah ledakan maha dahsyat, sehingga secara alami terciptalah sesuatu yang memiliki massa dan volume, sehingga terciptalah sesuatu yang terus berputar tanpa henti. Karena terjadi secara alami, mereka menyebutnya sebagai alam semesta, bukan tuhan semesta. Jangan-jangan Tuhan berlepas tangan atas alam semesta, terserah mau jadi apa, kalau rusak atau hancur, kan tinggal bikin lagi, gitu aja kok repot.

Seiring waktu terciptalah galaksi-galaksi dan satelit-satelitnya, yaitu bintang-bintang dan satelit-satelitnya,yaitu planet-planet dan satelit-satelitnya, bahkan katanya galaksi-galaksi adalah satelit juga.

Secara alami tercipta salah satu planet yang disebut bumi, tiba-tiba secara alami terciptalah satu sel kehidupan dan keadaan alam yang mendukungnya, mereka memperkirakan itu terjadi satu milyar tahun yang lalu.

Secara alami sel itu membelah diri menjadi dua, terus menerus, menjadi kehidupan; mikroba, bakteri, fungi, atau apalah itu, hingga memenuhi bumi, lalu entah bermutasi atau berevolusi, menjadi bentuk yang lain, ada yang betah dengan bentuknya dan ada juga yang tidak betah lalu berubah menjadi bentuk lain.

Secara alami terciptalah jenis makhluk perdana, cikal bakal manusia sekitar lima ratus juta tahun yang lalu, makhluk yang memiliki kecerdasan.

Akhirnya, makhluk hidup yang berasal dari satu sel yang membelah diri kemudian berkompetisi untuk tetap hidup dengan alam tanpa campur tangan Tuhan menjadi manusia yang sekarang bisa baca tulis dan sebagian ada yang nongkrong di Plimbi.

Jangan-jangan Tuhan tidak peduli dengan manusia, kalau rusak atau hancur kan tinggal bikin lagi, gitu aja kok repot.

Begitulah manusia, kataku. Lalu dia membunuhku. Dia pikir kalau aku mati kan tinggal dihidupkan lagi, gitu aja kok repot.

Tags

About The Author

Tuhuk Ma'arit 53
Expert

Tuhuk Ma'arit

Bodoh, miskin, dan pemalas. Lahir di Kotabaru (Kalimantan Selatan) pada tanggal 30 Januari 1988. Menulis adalah hal yang biasa bagi saya, saya sudah melakukannya sejak Sekolah Dasar. Saya sudah terbiasa menyalin contekan PR, dihukum menulis di papan tulis, menulis absen dari jarak jauh ketika bolos (mungkin bisa disebut mengisi absen secara online), menulis cerpe'an sebelum ulangan, dan menulis surat cinta di tahun 90-an. Tetapi, menulis ide orisinil adalah hal baru yang akan saya kembangkan. Semoga, amin. Sekarang saya bekerja tetap sebagai pengangguran. Hobi saya yang bercita-cita memberi pekerjaan kepada sejuta rakyat Indonesia adalah bermalas-malasan. Jika istri saya tidak mengetahui akun ini, berarti status saya adalah masih single dan available. Eh?
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel