Wajah muram terlihat dari kejauhan. Muda-mudi masih duduk di depan kelas. Â Hilir mudik wanita-wanita yang aduhai, menjadi santapan mata setiap hari. Bukan perkara mengenai nikmat atau kesenangan duniawi semata. Tempat lah yang menuntun untuk menikmati ini semua. Ini merupakan satu dari sekian banyaknya kenikmatan duniawi yang bisa dirasakan oleh indra.
Bangku SMA memang menjadi kenangan tersendiri bagi pemuda seperti saya. Setelah membaca buku Cinta Soekarno dan Anak SMA. Bukan mustahil dedek gemes berbaju putih abu-abu sedang menjadi jati diri. Memiliki teman ribuan wanita bukan mimpi saya, keadaan lah yang memaksa itu semua. So, jalanilah.
Bertemu dengan sosok tinggi, kurus serta logat jawa yang tulen.  Kalau bicara bahasa Indonesia, medhok-nya sungguh kelihatan. Apalagi mengucapkan bahasa lainnya, ada kemungkinan medok  plus fals. Dia, orang itu selalu mengundang gelak tawa. Cara pengucapan bahasa selain jawa ngapak memiliki gaya tersendiri. Saya berpikir kalau dia berbicara seperti laki-laki dan wanita muslim wa muslimah.  Penggunaan kata akhi wa akhwat. Bakal medhok atau fals gak yah ?
Begini, ketika dulu masih sering anjangsana kerumah teman. Mampir ke rumah Dia merupakah kenangan yang belum bisa saya lupakan sampai saat ini. Lha, wong ketika me-lafadz-kan ta’awud serta al-fatihah memiliki cara tersendiri.
“Hangudzubillah Hii Minassyaithon Nirrojimâ€
“Simillah hirrohmaa nirrohimâ€
Sontak, saya yang terbiasa dengan pelafalan yang dianggap normal, tercengan dan  penasaran. Lha, dulu masih memikirkan bahwa kebenaran pengucapan dalam Al-Qur’an itu ada satu merk dan itu mutlak paling benar. Ngeri, bukan. Kakek yang kira-kira berumur kepala tujuh itu sudah menjadi pemangku adat di desa tersebut. Ucapan tersebut masih dipergunakan karena ajaran nenek moyang terdahulunya. Itupun membuat ingatanku melayang, ketika Al-Magfurllah As-syeikh Kyai Wahib Mahfudz menasehati santri saat mengaji ta’alim muta’alim, “Para Santri, ngenjang menawi sampun turun teng masyarakat bakal katah permasalahan. Namung sing kudu di emut niku setunggal. Ampun ngeroso paling bener, anangin di rembug bareng,â€. Terjemahan bebasanya seperti ini “Santri-santri, ketika sudah berbaur dengan masyarakat akan banyak permasalahan. Ada satu hal yang perlu kalian (santri) ingat, jangan merasa paling benar melainkan bermusyawarahlah dengan masyarakatâ€)
Masih dalam suasana mengigat perkataan beliau. Pelafalan tersebut perlukah saya salahkan ? atau mencoba untuk kongkow mengenai pengucapan tersebut ?. Tujuannya agar tidak salah paham dan tidak langsug menelan mentah-mentah bahwa itu salah. Â
Ucapan itu bukan menilik dari konteks lafadz dan makna yang berubah. Melainkan sejauh mana konteks historis yang ada di desa tersebut. Dialek yang digunakan di pedesaan tersebut seperti apa ? Budaya yang dijalankan di tempat tersebut seperti apa ?.
Beberapa bulan yang lalu pun, sempat mengunjungi salah satu desa di Banjarnegara serta Gunung Kidul. Â Peristiwa tersebut pun terjadi kembali. Lantas, saya mencoba menanyakan kepada salah seorang pemangku adat.
“Ini sudah di ajarkan sejak nenek moyang kami. Nilai-nilai leluhur kami akan pertahankan ditengah gerusan nilai-nilai budaya lainnya.†Jawab lirih sang pemangku adat.
“Apakah (belum) pernah seseorang yang mencoba berdialog mengenai persoalan lafadz tersebut, pak “ tanyaku.
“Sudah mas, kami sekarang sedang dibimbing menuju hal tersebut secara pelan-pelan.  Maklum kami orang kuno, jadi pelafadzan agak susah. Berbeda dengan anak-anak yang masih muda.  Mereka sudah di ajarkan sejak dini†tambah bapak berumur 60 tahun itu.
Adem tenan, persoalan yang mengandung unsur-unsur budaya memang seharusnya di dialogkan. Â Menghakimi sepihak, bukanlah solusi cairnya sebuah permasalahan malah akan menambah ruwet. Desa yang berbudaya itu dilestarikan menurut adatnya dan di modernkan menggunakan pendekatan dialog.
Mungkin suatu saat dialog di desa Dia akan terjadi. Sehingga pelafadzan tersebut menjadi sempurna. “Teaching society with culture†kata Peter Berger.
Â
sumber gambar : sichungkring.wordpress.com