Tulang Punggung Itu Bernama Ginem

14 Jan 2016 20:39 2682 Hits 4 Comments
“Cup … cup … cup, jangan sedih sayangku”

Sahut-sahut suara motor dari kejauhan terdengar.  Pengendara berlomba-lomba untuk segera sampai di tempat kerja.  Demi sesuap nasi, berangkat pagi pulang sore menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh Ginem. Kalaupun ia lelah, cukup beristirahat sejenak. Memakan bekal nasi yang ia bungkus dari rumah. Sesekali membeli lauk di warung depan pabrik untuk menambah ramai makanan.

Melangkah ke dalam pabrik untuk menenun benang.  Berbaur dengan ribuan kaum buruh yang sudah belasan tahun mengadu nasib di Kabupaten Bandung.  Tidak ada rasa lelah, terpenting asap dapur tidak padam. Mematuhi segala aturan pabrik yang ada.  Robot-robot yang jantungnya berdetak, serta aliran darahnya tidak pernah berhenti demi kelangsungan produksi.

Anak-anaknya selalu dititipkan kepada Baby Sister. Akhir bulan, Ginem akan membayarkan upah kepada sebagai ganti jasa pengasuh.  Selama kerja itu menjadi pilihan, selama itu pula buah hatinya berada dipelukan sang Baby Sister.

“Waktu luang untuk anak saya hanya setelah maghrib” ucap Ibu yang ditinggal suaminya lima tahun yang lalu. Ketika pulang kerja, motor suaminya diseruduk sedan dari belakang.  Naas, tubuhnya terpental ke tengah jalan. Tak pelak tubuh kurusnya terlindas motor Supra buatan 2003.  Meski pihak rumah sakit sudah berjuang keras, takdir tidak dapat mengalahkan kehendak sang Kuasa untuk damai di alam sana.

“Mak, ayah sudah bahagia di surga kan ?” pertanyaan yang setiap hari muncul dari Ihsan si bungsu. Umunya yang masih  5 tahun, harus mengalami kepedihan yang abstrak.  Sosok ayah, tidak hadir dalam keseharian.  

“Cup … cup … cup, jangan sedih sayangku” tidak bosan-bosanya Sang Bunda memberikan semangat yang belum dimengerti oleh buah hati.  Tugasnya sebagai tulang punggung keluarga yang hrus menghidupi Ihsan dan Hasan yang masih umur 2 tahun.

Perjalan hidup yang tidak seindah yang direncanakan Ginem bersama Parman yang harus dipisahkan oleh jemputan bernama keranda kedamaian. Perjalanan bukan untuk diam ditempat sambil meratapi nasib. Melainkan mengumpulkan serpihan-serpihan semangat untuk membahagiakan kedua  buah hatinya yang memiliki ribuan cita-cita.

sumber foto : voaindonesia.com

Tags

About The Author

Fadli rais 42
Ordinary

Fadli rais

Pecinta mamah muda made in Indonesia
Plimbi adalah tempat menulis untuk semua orang.
Yuk kirim juga tulisanmu sekarang
Submit Artikel